Minggu, 06 November 2022

Sejarah Lampung (39): Ir. Soekarno, 1838 Diasingkan ke Bengkoeloe; Perjalanan dari Ende Flores, Mengapa via Teloek Betoeng?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lampung di dalam blog ini Klik Disini 

Banyak data sejarah tidak terungkap, banyak juga narasi sejarah tidak terinformasikan data sejarah. Ada yang mengangap satu hal tidak penting, tetapi sebaliknya ada yang tidak penting tetapi sebenarnya jika diinterpretasi dengan data lain menjadi sungguh penting. Itu sudah masuk ranah analisisi sejarah. Namun para peminat sejarah kurang memperhatikan relasi sejarah (antara satu data dengan data lain secara vertical juga antara satu dengan data lain secara horizontal. Padahal level tertinggi dalam analisis sejarah adalah ketersediaan data dan analisis relasi. Dalam hal inilah muncul pertanyaan: Mengapa perjalanan Ir Soekarno Ketika diasingkan dari Ende Flores ‘dipilih’ via Teloek Betoeng, Lampung.


Soekarno diasingkan ke Ende, Flores pada 14 Januari 1934. Ia diasingkan di sana selama empat tahun (1934-1938). Setelah itu, tahun 1938 (9 Mei) Soekarno diasingkan ke Bengkulu. Rumah pengasingan Bung Karno di Bengkulu terletak di tengah Kota Bengkulu, tepatnya di jalan Sukarno Hatta Kelurahan Anggut Atas kecamatan Gading Cempaka. Awalnya, rumah tersebut adalah milik seorang pedagang Tionghoa yang bernama Lion Bwe Seng yang disewa oleh orang Belanda untuk menempatkan Soekarno selama diasingkan di Bengkulu. Soekarno menempati rumah itu pada 1938-1942. Di rumah ini terdapat barang-barang peninggalan Soekarno. Ada ranjang besi yang pernah dipakai Soekarno dan keluarganya, koleksi buku yang mayoritas berbahasa Belanda serta seragam grup tonil Monte Carlo asuhan Soekarno semasa di Bengkulu. Ada juga foto-foto Soekarno dan keluarganya yang menghiasi hampir seluruh ruangan dan yang tidak kalah menarik adalah sepeda tua yang dipakai Soekarno selama di Bengkulu (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Ir Soekarno diasingkan ke Bengkoeloe 1938? Seperti disebut di atas, mengapa diasingkan ke Bengkoeloe dan mengapa melalui Teloek Betoeng tidak terinformasikan. Satu yang jelas, saat dua orang agen intelijen Belanda membawa Ir Soekarno tiba di pelabuhan Teloek Betoeng, juga disambut Mr Gele Haroen. Gele Haroen, selama di Bengkoeloe kerap dikunjungi Mr Gele Haroen. Mengapa? Lalu bagaimana sejarah Ir Soekarno diasingkan ke Bengkoeloe 1938? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Lampung (38): Mr Gele Haroen di Lampung; Ini Riwayat Sang Ayah Dokter di Lampung hingga Sang Anak Jadi Residen


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lampung di dalam blog ini Klik Disini  

Siapa Gele Haroen di Lampung, tentu saja sudah dikenal secara luas. Gele Haroen lahir di Sibolga, belum setahun umumnya, sang ayah Haroen Al Rasjid Nasoetion meminta kepada pemerintah untuk pensiun dini, lalu hijrah ke Lempung di Telok Betoeng karena kekosongan dokter. Haroen Al Rasjid membuka klinik Kesehatan untuk penduduk di Teloek Betoeng, lalu di Tandjoeng Karang dan Way Lima. Gele Haroen, yang terbilang ‘anak Lampung’, setelah lulus sekolah dasar (ELS) di Teloek Betoeng melanjutkan sekolah menengah di AMS Bandoeng, lalu kemudian melanjutkan studi ke universitas di Belanda.


Mr. Gele Harun Nasution (6 Desember 1910 – 4 April 1973) adalah seorang hakim, pengacara, dan politikus Indonesia. Ia adalah Residen Lampung dari tahun 1950 hingga 1955. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Daerah Lampung pada 10 November 2015. Gele Harun lahir di Sibolga, 6 Desember 1910. Meski berdarah Batak, Gele Harun sudah tidak asing lagi dengan Lampung sebab ayahnya, Harun Al-Rasyid Nasution yang merupakan seorang dokter sejak dahulu, telah menetap dan memiliki tanah. Gele Harun belajar hukum di Leiden, Belanda. Tahun 1938 kembali ke tanah air dengan membawa gelar Mr. atau meester in de rechten, membuka kantor advokat pertama di Lampung. Pada tahun 1945, ia memulai perjuangannya dari Angkatan Pemuda Indonesia (API) dengan menjadi ketuanya. Tetapi aktivitas itu terhenti saat ia ditugaskan menjadi hakim di Mahkamah Militer Palembang, Sumatra Selatan tahun 1947 dengan pangkat letnan kolonel (tituler). Gele Harun memutuskan kembali ke Lampung dan bergabung kembali dengan API hingga ikut mengangkat senjata saat Agresi Militer Belanda II tahun 1948. Pada 5 Januari 1949, Gele Harun diangkat sebagai acting Residen Lampung. Pada 18 Januari 1949, Gele Harun memindahkan keresidenan dari Pringsewu ke Talangpadang. Serangan Belanda yang begitu bertubi-tubi, membuat Gele Harun kembali memindahkan pemerintahan darurat ke pegunungan Bukit Barisan di Desa Pulau Panggung, dan terakhir hingga ke Sumber Jaya, Lampung Barat. Saat berjuang di Waytenong, seorang putrinya, Herlinawati, yang berusia delapan bulan meninggal dunia. Jasadnya dimakamkan di sebuah desa di tengah hutan. Gele Harun dan pasukannya keluar dari hutan Waytenong setelah gencatan senjata antara Indonesia-Belanda pada 15 Agustus 1949. Gele Harun dan pasukannya baru kembali ke Tanjungkarang setelah penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949. Lalu ia diangkat kembali menjadi Residen Lampung yang "definitif" pada tanggal 1 Januari 1950 hingga 7 Oktober 1955 (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Mr Gele Haroen di Lampung? Seperti disebut di atas, sebagai anak Lampung mengawali karir sebagai advokat di Lampung sepulang studi dari Belanda. Semua itu bermula dari riwayat Sang Ayah seorang dokter di Lampung hingga kemudian Sang Anak, Gele Haroen menjadi Residen di Lampung. Lalu bagaimana sejarah Mr Gele Haroen di Lampung? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, 05 November 2022

Sejarah Lampung (37): Lapangan Terbang di Lampung; Pembangunan Lapangan Terbang Branti 1952 dan Ir. Tarip Abdullah Harahap


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lampung di dalam blog ini Klik Disini 

Sejarah lapangan terbang di Lampung, pada dasarnya tidak dimulai dari Branti, tetapi pada era Pemerintah Hindia Belanda dimulai di Teloek Betoeng. Pesawat pertama kali dari Jawa (Bandoeng) di Teloek Betoeng tahun 1926. Lapangan terbang Branti dimulai pada era pendudukan Jepang. Pada era Republik Indonesia, pada tahun 1952 lapangan terbang Branti ditingkatkan untuk kebutuhan penerbangan sipil. Pembangunan lapangan terbang Branti dipimpin oleh Direktur Penerbangan Sipil, Kementerian Perhubungan Ir Ir Tarip Abdullah Harahap.


Bandar Udara Internasional Radin Intan II Lampung sebelumnya bernama Pelabuhan Udara Branti adalah peninggalan Pemerintahan Jepang yang dibangun pada tahun 1943. Pada tahun 1946 diserahkan kepada Pemerintahan Republik Indonesia Cq. Detasemen Angkatan Udara / AURI. Dari tahun 1946-1955 Pelabuhan Udara Branti dikelola oleh Detasemen Angkatan Udara / AURI dan pada saat itu belum ada penerbangan komersial/ reguler. Pada tahun 1955, pengelolaan Pelabuhan Udara Branti dikelola oleh Djawatan Penerbangan Sipil (DPS) karena pada tahun tersebut Detasemen Angkatan Udara / AURI memiliki pangkalan udara di Menggala Kabupaten Lampung Utara. Pada tahun 1956 Garuda Indonesian Airways merintis membuka jalur penerbangan yang pertama kali dengan rute Jakarta – Tanjung Karang PP, dengan menggunakan pesawat jenis Barron dan pada tahun itu juga penerbangan komersial dimulai dengan frekuensi penerbangan 3 kali/minggu (jenis pesawat Barron diganti Dakota) dengan panjang landasan pacu ± 900 meter. Pada tahun 1963 secara resmi Bandar Udara Branti dari AURI diserahterimakan kepada Residen Lampung dan pada tahun 1964 diserahkan pengelolaannya kepada Djawatan Penerbangan Sipil (DPS). Pada tahun 1975 (Pelita II Tahun I) dimulai pembangunan landasan baru yang terletak disamping/sejajar dengan landasan lama. Pembangunan landasan baru dengan maksud untuk dapat didarati pesawat jenis F-28 dan sejenisnya. Secara bertahap landasan dibangun dan pada saat itu panjangnya mencapai ± 1,85 kilometer. Pada tahun 1976 pembangunan landasan beserta Apron yang baru telah selesai dan diresmikan penggunaannya pada bulan Juni 1976 oleh Direktur Jenderal Perhubungan Udara Bapak Marsma Kardono dengan menggunakan pesawat F - 28 MK 3.000. Pada tanggal 1 September 1985 istilah Pelabuhan Udara Branti diubah menjadi Bandar Udara Branti dengan singkatan Bandara Branti (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah lapangan terbang di Lampung? Seperti disebut di atas, sejarah penerbangan diu Lampung tidak dimulai pada era lapangan terbang Branti, tetapi jauh di masa lampau pada era Pemerintah Hindia Belanda di lapangajn terbang Teloek Betoeng. Namunm satu yang jelas pembangunan lapangan terbang Branti terlaksana pada masa awal era Republik Indonesia yang dipimpin Ir Tarip Abdullah Harahap. Lalu bagaimana sejarah lapangan terbang di Lampung? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Lampung (36):Pelabuhan Lampung, Pelabuhan Kuno hingga Pelabuhan Modern; Teluk Betoeng, Pandjang, dan Bakauheni


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lampung di dalam blog ini Klik Disini

Dalam narasi sejarah pelabuhan di Lampung lebih mengenal pelabuhan (perdagangan) Pandjang dan pelabuhan (penyeberangan) Bakauheni. Dua pelabuhan tersebut tentulah masih terbilang baru. Sebelum dibangun pelabuhan Pandjang, di teluk Lampung pelabuhan utama adalah pelabuhan Teloek Betoeng. Namun pelabuhan itu juga masih terbilang baru, dua pelabuhan kuno terdapat di teluk Semangka dan di muara sungai Toelang Bawang.


Pelabuhan Panjang adalah sebuah pelabuhan internasional yang terletak di Kecamatan Panjang, Kota Bandar Lampung, Lampung. Pelabuhan ini adalah salah satu pelabuhan besar di Indonesia. Saat ini Pelabuhan ini sedang memperluas area dermaga dengan mereklamasi pantai serta revitalisasi jalur kereta api Pidada. Pada mulanya pelabuhan ini hanyalah pelabuhan kecil di Teluk Betung yang disingahi kapal-kapal motor dan perahu layar yang mengangkut hasil perikanan dan pertanian keluar daerah lampung atau sebaliknya mengangkut barang barang dari luar daerah Lampung ke daerah lampung untuk memenuhi kebutuhan Provinsi Lampung dan sekitarnya. Dengan adanya peningkatan kegiatan pada abad ke XVII oleh Pemerintah Hindia Belanda, maka dibangun pelabuhan panjang yang dikenal dengan nama “Oesthaven”. Pembangunan tahap pertama yaitu dermaga sepanjang 200 Mr dengan menggunakan konstruksi caisson dengan kedalaman -7 LWS beserta satu unit gudang dengan luas kurang lebih 1.000 M3. Pelabuhan panjang saat ini telah tumbuh dan berkembang menjadi pelabuhan Samudera yang melayani pelayaran antar pulau dan antar negara. Pembangunan pelabuhan panjang dengan menambah fasilitas dan peralatan penunjang, ini terus dilakukan secara bertahap sejalan dengan tuntutan permintaan pengguna jasa serta perkembangan perdagangan internasional (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah pelabuhan di Lampung? Seperti disebut di atas di Lampoeng sudah ada pelabuhan sejak zaman kuno, Dua pelabuhan yang dikenal pada era VOC/Belanda trerdapat di teluk Semangka dan muara sungai Toelang Bawang. Pelabuhan Teluk Betoeng yang kemudian relokasi ke Pandjang adalah pelabuhan moder pada er Pemerintah Hindia Belanda. Lalu bagaimana sejarah pelabuhan di Lampung? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Jumat, 04 November 2022

Sejarah Lampung (35): Krui di Pantai Barat Sumatra;Kabupaten Lampung Barat di Liwa Dimekarkan Kabupaten Pesisir Barat di Krui


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lampung di dalam blog ini Klik Disini  

Kota Krui pada dasarnya bukanlah kota terpencil di wilayah Lampung, tetapi kota yang terbilang ramai di pantai barat Sumatra. Sebelum Krui menjadi bagian wilayah (provinsi) Lampung, Krui adalah bagian dari residentie Bengkoelen di pantai barat Sumatra. Posisi Krui awalnya dilihat dari pantai barat Sumatra (Melayu), namun kemudian dilihat dari wilayah pedalaman Lampong (orang Lampung). Bagaimana dengan Krui, yang sebelumnya masuk kabupaten Lampung Barat, kini menjadi kabupaten baru Pesisir Barat?


Krui adalah ibu kota Kabupaten Pesisir Barat, dimana sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Lampung Barat. Namun Jauh sebelum bergabung ke provinsi Lampung, Krui dahulu administratifnya Palembang, Sumatra Selatan, yaitu kresidenan Bengkulu. Krui berada di daerah pesisir Samudra Hindia. Krui terdiri dari 11 kecamatan, yaitu Pesisir Tengah, Pesisir Utara, Pesisir Selatan, Lemong, Pulau Pisang, Way Krui, Krui Selatan, Karya Penggawa, Ngambur, Ngaras dan Kecamatan Bengkunat. Sejarah Krui sudah ada sejak zaman dahulu ketika masih masuk bagian administratif Sumatra Selatan, Krui masuk kedalam Kresidenan Bengkulu dibawah naungan Kesultanan Palembang Darussalam. Hingga saat ini dunia internasional tetap mengenal Krui dengan istilah "Krui South Sumatra" khsususnya dikalangan turis mancanegara. Sumber pendapatan masyarakat kebanyakan dari berdagang, nelayan dan bertani. Mayoritas penduduk asli Krui adalah keturunan asli Orang Melayu Palembang sesuai dengan sejarah masa lampau. Sebelum lahirnya Kabupaten Pesisir Barat berdasarkan Undang-Undang tersebut diatas, Kabupaten Pesisir Barat masih termasuk wilayah pemerintahan Kabupaten Lampung Barat yang ibukota kabupatennya di Liwa (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah Krui di pantai barat Sumatra? Seperti disebut di atas, Krui adalah nama yang sudah lama eksis, sejak masih menjadi bagian dari wilayah Bengkulu di pantai barat Sumatra pada era Pemerintah Hindia Belanda. Pada masa Republik Indonesia menjadi bagian provinsi Lampung di Kabupaten Lampung Barat ibu kota di Liwa. Pada masa ini kabupaten dimekarkan dengan membentiuk Kabupaten Pesisir Barat dengan ibu kota di Krui. Lalu bagaimana sejarah Krui di pantai barat Sumatra? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Lampung (34): Metro, Kolonisaasi Orang Jawa di Lampung era HindiaBelanda; Bumi Sai Wawai di Sai Bumi Ruwa Jurai


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lampung di dalam blog ini Klik Disini  

Kota Metro di Lampung adalah kota baru. Kota baru yang terbentuk dari suatu desa yang menjadi pusat kolonisasi, transmigrant asal dari Jawa di wilayah yang sepi penduduk. Nama Metro tidak merujuk pada nama asli, oleh karena nama tempat yang baru, nama Metro adalah nama baru untuk tempat. Kolonisasi orang Jawa berada di desa Gedong Tataan, tetapi nama Gedong Tataan adalah nama asli. Menurut warga di wilayah (kota) Metro wilayahnya sangat indah Bumi Sai Wawai di wilayah Sai Bumi Ruwa Jurai.


Kota Metro adalah salah satu kota di provinsi Lampung, 52 Km dari Kota Bandar Lampung (kota terbesar kedua di provinsi Lampung). Sejarah kelahiran Kota Metro bermula dengan dibangunnya kolonisasi, dibentuk sebuah induk desa baru yang diberi nama Trimurjo. Sebelum tahun 1936, Trimurjo adalah bagian dari Onder Distrik Gunungsugih yang merupakan bagian dari wilayah Marga Nuban. Kawasan ini adalah daerah yang terisolasi tanpa banyak pengaruh dari penduduk lokal Lampung. Pada tahun 1936 Pemerintah Hindia Belanda mendatangkan migran asal Jawa (kolonis). Kelompok pertama tiba pada tanggal 4 April 1936. Pada tanggal 9 Juni 1937, nama daerah itu diganti dari Trimurjo ke Metro dan pada tahun yang sama berdiri sebagai pusat pemerintahan Onder Distrik yang dipimpin asisten kepala distrik (asisten demang). Tugas dari Asisten Demang mengkoordinasi Marga yang dikepalai oleh Pesirah. Pesirah selain berkedudukan sebagai Kepala Marga juga sebagai Ketua Dewan Marga. Selama periode yang sama, dibangun lebih banyak jalan dan pengadaan klinik, kantor polisi, dan kantor administrasi. Pada tahun 1941 dibangun sebuah masjid, kantor pos, pasar yang besar, dan penginapan, serta pemasangan listrik dan saluran telepon. Pemerintah Hindia Belanda memperkerjakan Ir. Swam untuk merancang sistem irigasi. Desainnya dikenal dengan nama tanggul (bahasa Prancis "leeve", sekarang bentukan ini dikenal dengan "ledeng") selebar 30 M dan sedalam 10 M saluran irigasi dari Sungai Way Sekampung ke Metro. Konstruksi dimulai pada tahun 1937 dan selesai pada tahun 1941. Nama Metro disebut berasal dari kata “Meterm” dalam Bahasa Belanda yang artinya “pusat". Ada juga yang menyebut nama Metro berasal dari kata "Mitro" (Bahasa Jawa) yang berarti artinya teman, mitra, kumpulan. Dengan berlakunya Pasal 2 Peraturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 maka Metro Termasuk dalam bagian Kabupaten Lampung Tengah (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah Kota Metro, kolonisaasi orang Jawa di Lampung era Pemerintah Hindia Belanda? Seperti disebut di atas, kota Metro adalah kota baru, kota yang bermula kolonisasi pada era Hindia Belanda (wilayah penempatan transmigrasi asal dari pulau Jawa. Motto kon Metri dikenal sebagai Bumi Sai Wawai, suatu yang mirip dengan motto Lampung Sai Bumi Ruwa Jurai. Lalu bagaimana sejarah Kota Metro, kolonisaasi orang Jawa di Lampung era Pemerintah Hindia Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.