Sabtu, 05 November 2022

Sejarah Lampung (37): Lapangan Terbang di Lampung; Pembangunan Lapangan Terbang Branti 1952 dan Ir. Tarip Abdullah Harahap


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lampung di dalam blog ini Klik Disini 

Sejarah lapangan terbang di Lampung, pada dasarnya tidak dimulai dari Branti, tetapi pada era Pemerintah Hindia Belanda dimulai di Teloek Betoeng. Pesawat pertama kali dari Jawa (Bandoeng) di Teloek Betoeng tahun 1926. Lapangan terbang Branti dimulai pada era pendudukan Jepang. Pada era Republik Indonesia, pada tahun 1952 lapangan terbang Branti ditingkatkan untuk kebutuhan penerbangan sipil. Pembangunan lapangan terbang Branti dipimpin oleh Direktur Penerbangan Sipil, Kementerian Perhubungan Ir Ir Tarip Abdullah Harahap.


Bandar Udara Internasional Radin Intan II Lampung sebelumnya bernama Pelabuhan Udara Branti adalah peninggalan Pemerintahan Jepang yang dibangun pada tahun 1943. Pada tahun 1946 diserahkan kepada Pemerintahan Republik Indonesia Cq. Detasemen Angkatan Udara / AURI. Dari tahun 1946-1955 Pelabuhan Udara Branti dikelola oleh Detasemen Angkatan Udara / AURI dan pada saat itu belum ada penerbangan komersial/ reguler. Pada tahun 1955, pengelolaan Pelabuhan Udara Branti dikelola oleh Djawatan Penerbangan Sipil (DPS) karena pada tahun tersebut Detasemen Angkatan Udara / AURI memiliki pangkalan udara di Menggala Kabupaten Lampung Utara. Pada tahun 1956 Garuda Indonesian Airways merintis membuka jalur penerbangan yang pertama kali dengan rute Jakarta – Tanjung Karang PP, dengan menggunakan pesawat jenis Barron dan pada tahun itu juga penerbangan komersial dimulai dengan frekuensi penerbangan 3 kali/minggu (jenis pesawat Barron diganti Dakota) dengan panjang landasan pacu ± 900 meter. Pada tahun 1963 secara resmi Bandar Udara Branti dari AURI diserahterimakan kepada Residen Lampung dan pada tahun 1964 diserahkan pengelolaannya kepada Djawatan Penerbangan Sipil (DPS). Pada tahun 1975 (Pelita II Tahun I) dimulai pembangunan landasan baru yang terletak disamping/sejajar dengan landasan lama. Pembangunan landasan baru dengan maksud untuk dapat didarati pesawat jenis F-28 dan sejenisnya. Secara bertahap landasan dibangun dan pada saat itu panjangnya mencapai ± 1,85 kilometer. Pada tahun 1976 pembangunan landasan beserta Apron yang baru telah selesai dan diresmikan penggunaannya pada bulan Juni 1976 oleh Direktur Jenderal Perhubungan Udara Bapak Marsma Kardono dengan menggunakan pesawat F - 28 MK 3.000. Pada tanggal 1 September 1985 istilah Pelabuhan Udara Branti diubah menjadi Bandar Udara Branti dengan singkatan Bandara Branti (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah lapangan terbang di Lampung? Seperti disebut di atas, sejarah penerbangan diu Lampung tidak dimulai pada era lapangan terbang Branti, tetapi jauh di masa lampau pada era Pemerintah Hindia Belanda di lapangajn terbang Teloek Betoeng. Namunm satu yang jelas pembangunan lapangan terbang Branti terlaksana pada masa awal era Republik Indonesia yang dipimpin Ir Tarip Abdullah Harahap. Lalu bagaimana sejarah lapangan terbang di Lampung? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Lapangan Terbang di Lampung; Pembangunan Lapangan Terbang Branti dan Ir Tarip Abdullah Harahap

Sebelum adanya lapangan terbang di Branti yang dibangun pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), dimana lapangan terbang pertama di Lampung? Yang jelas pada bulan November 1926 penerbangan pertama ke Teloek Betoeng dari lapangan terbang Andir di Bandoeng (lihat De Indische courant, 15-11-1926). Disebutkan berangkat dari Bandung pukul enam pagi dan tiba sekitar pukul 9 di Telok Betoeng setelah melakukan persinggahan singkat di lapangan terbang Tjililitan di Batavia.


Banyak yang hadir di lapangan terbang ketika menyambut pendaratan pertama di Teloek Betoeng, Kebetulan hari Kamis adalah hari libur (libur apa tidak disebutkan). Surat kabar ini memberitakan hari Senin, 15-11-1926. Hari Kamis yang dimaksud berarti tanggal 11 November 1926. Sebagai gambaran, pada tahun-tahun sebelum itu adalah awal tumbuhnya penerbangan sipil (penerbangan di luar militer). Sebagaimana diketahui pada tahun 1924 telah terjadi penerbangan jarak jauh (long distance) antara Amsterdam hingga Batavia, melalui persinggahan belasan lapangan terbang, antara lain Phuket (Siam), Medan (Polonia), Singapoera, Bangka, lalu tiba di Tjililitan (Batavia) dengan selamat. Suatu penerbangan jarak jauh pertama di dunia. Pada tahun 1926 lapangan terbang yang sudah ada di Indonesia (baca: Hindia Belanda) selain yang disebut di atas, ada di Soebang (Kalidjati), Semarang, Gresik, Singaradja (Bali). Pada tahun 1926 ini pihak Inggris di Singapoera merencanakan pembukaan jalur penerbangan sendiri dari Singapoera ke Austrtalia melalui Bangka, Batavia, Semarang, Gresik, Singaradja, Koepang hingga ke Darwin dan seterusnya ke Sidney. Pihak Portugal juga mengajukan izin untuk membuka jalur mereka dari Lisbon hingga ke Dilli.

Pembangunan lapangan terbang di Teloek Betoeng terkait dengan keinginan asosiasi penerbangan sipil di Hindia Belanda yang akan membuka jalur penerbangan dari Batavia ke Lampong di Teloek Betoeng. Dengan pendaratan pesawat di Teloek Betoeng tahun 1926 mengindikasikan telah ada tiga lapangan terbang di Sumatra, yakni di Medan (Polonia), Bangka (Moentok) dan Lampung (Teloek Betoeng). Dalam hal ini Lampung menjadi bagian pertama dalam fase sejarah navigasi penerbangan sipil di Indonesia.


Seperti kita lihat nanti, jalur navigasi penerbangan di Sumatra diperluas, dari Teloek Betong ke Palembang. Lalu dari Palembang ke Medan, tetapi ada perdebatan apakah jalur menuju ke Medan dari Palembang, melalui Padang atau Pekanbaroe. Lalu dari Padang ke Medan melalui Padang Sidempoean dan dari Pekanbaroe ke Medan melalui Rantau Prapat. Catatan: pembangunan lapangan terbang tersebut, pada fase itu kemampuan terbang pesawat masih sangat terbatas, kapasitas yeknologi mesin dan ketersediaan bahan bakar di dalam pesawat. Hal itulah mengapa dari Batavia ke Medan harus melalui beberapa lapangan terbang termasuk meminjam lapangan terbang Inggris di Singapoera (demikian sebaliknya Inggris dari Singapoera ke Australia).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pembangunan Lapangan Terbang Branti dan Ir Tarip Abdullah Harahap: Era Republik Indonesia

Selama era Pemerintah Hindia Belanda sudah banyak lapangan terbang yang dibangun, ditambah beberapa pada era pendudukan Jepang. Selama perang kemerdekaan Republik Indonesia ada sejumlah lapangan terbang yang rusak atau sengaja ditinggalkan (tidak digunakan lagi). Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh (kerajaan) Belanda (27 Desember 1949), terutama pasca RIS, Pemerintah RI mulai menata penerbangan sipil (sendiri) dan merehabilitas dan upgrading semua lapangan terbang. Tentu saja menambah lapangan terbang yang baru.


Setelah menyelesaikan masalah urusan penerbangan dan kebandaraan di Jawa, selaku penanggungjawab dari Direktorat Penerbangan Sipil, Ir. Tarip Abdullah Harahap mulai mengembangkan urusan serupa di luar Jawa. Hal yang paling pokok ke barat adalah pengoperasian jalur penerbangan ke Medan (via Palembang). Sementara hal paling pokok ke timur dalam pengoperasian jalur penerbangan ke Makassar (terus ke Ambon) adalah negosiasi dengan militer untuk menjadikan lapangan terbang di Makassar sebagai bandara sipil (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 29-05-1951). Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-07-1952 melaporkan di Medan telah dibentuk sebuah komisi penerbangan (civil aviation) dalam rangka mengevaluasi kelayakan bandara Polonia Medan dan juga untuk melakukan studi persiapan bandara Blang Bintang di Kota Radja (kini Banda Aceh) untuk persiapan pendaratan jenis pesawat Convalrs. Komisi terdiri dari Tarip Abdullah Harahap (ketua).

Lalu bagaimana dengan di Lampoeng? Tampaknya lapangan terbang di Teloek Betoeng sudah ditinggalkan (?). Di Lampong akan dibangun lapangan terbang baru di utara Tandjoeng Karang di Branti. Ada apa di lapangan terbang di Teloek Betoeng dan harus dipindah ke Branti (?).


De nieuwsgier, 02-08-1952: ‘Lapangan terbang baru. Dari pihak Kementerian Perhubungan, diketahui bahwa kementerian telah menyiapkan rencana 3 tahun untuk pengembangan penerbangan sipil di Indonesia. Dalam kurun waktu tersebut, 20 lapangan terbang baru akan dibangun sesuai dengan rencana ini, sehingga jumlah saat ini akan menjadi 50 buah. Lapangan terbang baru akan dibangun di Kalimantan di Sampit dan Samarinda, di Sumatera di Bagansiapi-api, Sibolga, Tandjung Pinang dan Branti (Lampung), di Sulawesi di Palopo, Poso, Gorontalo. Pare-Pare, Donggala, Toli-Toli, Luwuk, Palangede dan Buton. Selain itu, bandara baru akan dibangun di Ternate, Lombok dan Ende. Termasuk lapangan terbang yang ada dan akan ditingkatkan, anggaran rencana tiga tahun ini sebesar Rp 100.000.000, Untuk tahun 1952 sejumlah Rp. 30.000.000. tersedia. Selain lapangan terbang Tjurug (Tangerang), Pendópo (South Sumatera) juga telah diuji. Uji coba pendaratan di lapangan terbang Pendopo dilakukan dengan pesawat Dakota TNI AU. Landasan pacu lapangan terbang ini panjangnya 1,800 M dan juga cocok untuk pesawat yang lebih berat Dakota’.

Lapangan terbang di Teloek Betoeng, seperti disebut di atas dibangun pada era Pemerintah Hindia Belanda, sebelum invasi Jepang. Lalu lapangan terbang itu digunakan oleh Jepang dan dikembangkan oleh militer Jepang. Setelah pendudukan Jepang berakhir, seiring dengan kembalinya Pemerintah Hindia Belanda (NICA), beberapa hari setelah pendudukan Telok Betoeng oleh militer NICA, pesawat Belanda pertama, Dakota dari Naval Aviation Service mendarat di atasnya lagi, bandara yang diduduki (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 19-01-1949). Disebutkan lebih lanjut pesawat itu melakukan pendaratan yang sangat baik dan membawa, antara lain, sejumlah warga sipil ke Telok Betoeng. Sebuah pesawat pemburu yang ditinggalkan Jepang ditemukan di lapangan terbang dalam kondisi rusak parah. Lalu dalam perkembangannya seteralah pengakuan kedaulatan Indoonesia, pasca dibubarkannya RIS, dan kembali ke NKRI (1950) Presiden RI, Ir. Soekarno membentuk kabinet baru dimana Menteri Perhubungan adalah Ir Djoeanda dan yang bertanggung jawa untuk direktorat penerbangan sipil adalah Ir Tarip Abdoellah Harahap.


Ir Soekarno adalah lulusan Technische Hoogesachool (THS) Bandoeng, masuk pada tahun 1922. Sementara Ir Djoeanda masuk (angkatan) tahun 1929, sedangkan Ir Tarip Abdoellah Harahap Angkatan 1934. Ini mengindikasikan sejak kembalinya ke NKRI (1950) soal kebandaraan dan penerbangan sipil dan penerbangan militer telah berada di tangan anak bangsa. Hanya saja maskapai penerbangan sipil (GIA) belum sepenuhnya di tangan anak bangsa. Sebab GIA adalah kolaborasi antara RI/RIS dengan KLM di Amsrterdam. Oleh karena itu pimpinan di GIA, sebagai direktur adalah seorang Belanda tetapi sebagai wakil direktur adalah Mr. CA Nasoetion (lulusan bidang hukum di Belanda) yang masih berkantor di Amsterdam.  Dalam perkembangannya GIA dinasionalisasi (sepenuhnya). Kebetilan Ir Tarip Abdullah Harahap dan Mr. CA Nasoetion sama-sama berasal dari Padang Sidempuan, Ir Tarip dalam urusan kebandaraan dan system penerbangan sipil dan Mr Chairoel dalam urusan pesawat sipil.

Sebelumnya Ir Tarip Harahap sudah mulai menasionalisasi pilot, Departemen Penerbangan Sipil, Kemenetrian Perhubungan mulai merintis sekolah pelatihan penerbangan sipil. Sekolah ini dipusatkan di Curug, Tangerang. Sementara pembangunan lapangan terbang di Curug, Tangerang berlangsung departemen penerbangan sipil menyiap kurikulum (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-06-1952). Sejauh ini Ir. Tarip Abdullah Harahap telah mengoperasikan sebanyak 30 bandara sipil dan sebanyak 20 buah bandara baru yang dibangun, termasuk bandara Curug, Tangerang (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 24-02-1953). Hari Senin tanggal 2 Maret 1953 secara resmi Sekolah Penerbangan Indonesia dibuka di Kemajoran dimana pelatihannya di Tjoeroeg (lihat De nieuwsgier, 03-03-1953). Dalam hal ini lapangan terbang Branti di Lampoeng telah selesai yang kemudian telah mendapat kehormatan dikunjungi oleh Ir Soekarno.


De nieuwsgier, 24-10-1952: ‘Presiden ke Surabaya dan Sumatera Selatan. Ir Soekarno akan melakukan perjalanan selama sepuluh hari Presiden Sukarno akan pergi ke Surabaya pada 10 November dan dari sana ke Sumatera Selatan. Dia diharapkan akan kembali 19 November ke Djakarta. Presiden akan berangkat 10 November, pukul 09:00 berangkat dengan rombongannya dari Kcmajoran ke Surabaya, dimana Monumen Nasional akan diresmikan pada pukul 16:30 sore. Malam harinya, Presiden akan memberikan sambutan kepada para tamu undangan di kediaman resmi Gubernur Jawa Timur Samadikun. Pada 11 November, akan diadakan pertemuan dengan siswa sekolah menengah di rumah dinas gubernur. Keesokan harinya rombongan presiden berangkat dengan pesawat dari Surabaya menuju Lampong pada pukul 11.00 WIB. Dari lapangan terbang Branti, mereka langsung menuju Tandjungkarang tempat presiden akan berpidato di rapat massa. Resepsi akan diadakan pada malam hari. Pada tanggal 13 November, perjalanan akan dilakukan melalui Gedongtataan. Gadingredjo dan Talangpandang ke Kota Agung, dimana akan diadakan rapat massal lagi. Hari yang sama rombongan kembali ke Tandjungkarang. Di jalan, rapat massa lagi diadakan di Gadingredjo. Pada 14 November, rombongan presiden melakukan perjalanan dengan kereta api ke Kotabumi. Setelah rapat massa, perjalanan mobil akan dilakukan ke Wai Petai. dimana pusat transmigrasi akan dikunjungi, setelah itu rombongan akan melakukan perjalanan kembali ke Kotabumi dengan menggunakan kereta api. Kemudian perjalanan dilanjutkan ke Baturadja, tempat bermalam. Pada 15 November, perjalanan kereta api akan dilanjutkan melalui Prabumulih dan Maara Enim menuju Lahat, tempat presiden akan berpidato di depan umum.  Pada 16 November, perjalanan dilakukan dengan mobil ke Pagaralam, tempat diadakannya resepsi, lalu kembali ke Lahat. Rombongan kemudian naik kereta api ke Palembang. dimana resepsi malam diadakan. Pada tanggal 17 November, presiden melakukan perjalanan mobil ke Kaju Agung, dimana pertemuan massa lain diadakan. kemudian kembali ke Palembang. Malam seni akan diadakan disini untuk para tamu. Pada 18 November, presiden akan mengadakan pertemuan makan malam dengan para pemuda dan dengan para pemimpin berbagai organisasi sebelum rombongan beranhgkat ke Bengkuloe, tempat pertemuan massa terakhir akan diadakan. Resepsi akan diadakan pada malam hari. Pada 19 November, presiden akan mengadakan pertemuan lagi dengan para pemuda. dan pimpinan berbagai organisasi di Bengkuloe. Setelah makan siang, rombongan presiden akan memulai perjalanan kembali ke Jakarta, dimana diperkirakan tiba pukul 17.00’.

Pada bulan Juni 1953 bandara di Indonesia mulai dimodernisasi (lihat De nieuwsgier, 12-06-1953). Disebutkan peralatan kontrol lalu lintas radio yang baru mulai dioperasikan yang pertama di bandara Talang Betutu di Palembang. Unit ini, yang sangat modern, yang tahun lalu oleh Kementerian Perhubungan dipesan di Inggris. Ir Tarip Abdullah Harahap dari kementerian menyatakan kepada PIA bahwa total ada sebanyak 30 Unit yang dipesan oleh kementerian dari Inggris. Bandara kedua yang akan mendapatkan unit seperti itu setelah Palembang adalah bandara Makassar, demikian menurut Ir. Harahap. Selama tugasnya, Ir Tarip telah melakukan kunjungan ke Australia dan Prancis untuk mempelajari system aviasi.


Setelah semuanya berlangsung dengan baik dalam urusan penerbangan sipil di Indonesia tampaknya Ir Tarip Abdoellah Harahap kembali ke pekerjaannya semula sebagai swasta pemilik perusahaan arsitek di Djakarta. Dalam urusan penerbangan terakhir namanya diberitakan pada bulan Maret 1954 (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-03-1954). Disebutkan Ir. Harahap dari penerbangan sipil, lapangan terbang di Den Pasar, Sumbawa. Waingapu, Kupang, Maumere dan Makassar dan lainnya menginspeksi bandara di bagian timur Indonesia.

Akhirnya maskapai GIA membuka koneksi penerbangan (sipil) dari Djakarta ke Tandjoeng Karang (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 22-04-1954). Disebutkan pembukaan koneksi GIA Djakarta-Tandjung Karang dengan dua pesawat Heron, Garuda Indonesian Airways secara resmi membuka penerbangan berjadwal Jakarta-Tandjong Karang pada Rabu. Menteri Perhubungan, Prof. Rooseno dan Menteri Pekerjaan Umum, Moh. Hassan yang didampingio Kepala Penerbangan Sipil Ir. Sogoto, Direktur GIA Dr. Konijnenburg. Disebutkan lebih lanjut pukul sembilan lewat seperempat pada Rabu pagi, kedua pesawat itu berangkat dan tiba lebih dari satu jam kemudian di lapangan terbang Branti AURI. Perjalanan dilanjutkan dengan mobil menuju Tandjong Karang, dimana Residen Lampong, Mr Gele Haroen Nasoetion memberikan resepsi untuk menghormati perusahaan dan dimana juga ada pidato. Setelah pidato dari Bapak Lie, perwakilan lokal dari GIA, Menteri Perhubungan berpidato yang diantaranya menyatakan bahwa pada tanggal 30 Mei, GIA akan 100% milik nasional dan juga menginformasikan bahwa pada bulan berikutnya Pontianak oleh pihak GIA akan terhubung dengan Djakarta dan segera juga Sibölga dan Donggala. Akhirnya ia menyampaikan harapannya agar masyarakat dapat melihat GIA dengan dukungan moril maupun materil.


Mr. Gele Haroen Nasoetion, Residen Lampong adalah mantan pejuang di Lampoeng. Mr Gele Haroen anak seorang dokter di Tandjoeng Karang menyelesaikan Pendidikan hukum di Universiteit te Leiden 1936. Di Lampong Mr Gele mendirikan kantor advocat pribumi pertama. Mr Gele Haroen, seorang Republiken dalam perang kemerdekaan di Lampong memimpin para pejuang bergerilya yang berpusat di Liwa. Setelah pengakuaan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, Mr Gele Haroen diangkat sebagai Residen Lampoeng. Sementara itu, Ir Tarip Abdoellah Harahap selama perang kemerdekaan ikut mengungsi ke ibu kota RI di Jogjakarta dan diangkat sebagai Kepala Djawatan Angkoetan Motor Republik Indonesia (DAMRI) yang kemudian menjadi cikal bakal DAMRI pada masa ini. Catatan: Residen Lampong pertama segera proklamasi kemerdekaan Indonesia (1945) adalah Mr Abdoel Abbas Siregar (anggota PPKI). Nama Mr Gele Haroen kini tengah diusulkan Pemerintah Daerah Lampung agar mendapat gelar Pahlawan Nasional.

Pada tahun 1955 (sejak 12 Agustus) terjadi perubahan cabinet. Kabinet yang dipimpin oleh Perdana Meneteri Mr Ali Sastroamidjojo dibubarkan dan kemudian digantikan oleh cabinet baru yang dipimpin oleh Perdana Menteri Boerhanoeddin Harahap. Pada masa cabinet Harahap ini gawe terbesar adalah penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) pertama. Logistik dan pengiriman surat suara ke pusat sudah sangat siap karena secara teknis penerbangan ke seluruh Indonesia sudah beres, termasuk ke Lampung.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar