Selasa, 11 Februari 2020

Sejarah Jakarta (86): Mendengarkan Cerita Bung Ridwan Saidi Mengenai Bang MH Thamrin; Sejarah Adalah Narasi Fakta-Data


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Bung Ridwan Saidi dan Bang MH Thamrin adalah tokoh beda generasi yang saya suka. Namun yang menjadi masalahnya adalah ketika Bung Ridwan Saidi bercerita tentang Bang MH Thamrin lebih banyak salahnya daripada benarnya. Padahal siapa yang seharusnya mewakili untuk menceritakan tentang Bang MH Thamrin, sosok yang paling tepat adalah Bung Ridwan Saidi. Sebab, Bung Ridwan Saidi dan Bang MH Thamrin sama-sama pernah tinggal di Sawah Besar.

Ini bermula ketika seorang teman, asli Betawi menunjukkan saya video tentang suatu wawancara kepada Bung Ridwan Saidi tentang Bang MH Thamrin yang diupload di You Tube. Saya coba melihat, memang enak mendengar bagaimana Bung Ridwan Saidi bercerita tentang Bang MH Thamrin. Seperti saya, tampaknya Bung Ridwan Saidi juga pengagum Bang MH Thamrin. Yang membuat saya kaget, ekspektasi saya keliru, ingin mendapatkan pengetahuan tambahan tentang Bang MH Thamrin dari Bung Ridwan Saidi, justru banyak kekeliruan yang harus saya catat. Catatan tersebut menjadi pertanyaan dalam menulis artikel ini.

Lantas seperti apa sejarah MH Thamrin? Tentu saja sudah banyak ditulis dan tak perlu diulang di sini, cukup baca saja di internet. Saya juga pernah menulis bagian-bagian tertentu dari sejarah MH Thamrin. Namun soal kekeliruan yang terdapat dalam narasi cerita Bung Ridwan Saidi tentang Bang MH Thamrin kiranya perlu ditambahkan dan juga dikurangi agar kontennya berisi penuh. Dengan demikian narasi sejarah MH Thamrin akan menjadi baik dan benar. Untuk meluruskan sejarah MH Thamrin mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*

Figur MH Thamrin

Sejarah beda generasi adalah tentang beda waktu melihat sejarah. Karena kita tidak hadir (belum lahir) ketika sejarah berlangsung maka banyak sumber yang dapat kita gunakan. Sumber praktis pertama adalah orang yang masih hidup sejaman dan mampu menceritakan dengan baik dan benar (nara sumber). Sumber praktis masa kini adalah surat kabar, majalah dan buku-buku sejaman (sumber sekunder). Sumber yang pertama tidak ada lagi (sudah meninggal), maka sumber kedua yang umum digunakan. Sumber kedua harus, paling tidak kita bisa membaca bahasa Inggris dan bahasa Belanda. Dua bahasa ini kini banyak terdapat di internet. Namun itu tidak cukup, kita harus tetap mengandalkan analisis relasi (untuk memvalidasi data tentang fakta yang sebenarnya). Dengan begitu kita bisa memilah fiksi dari fakta.

Mohammad Husni Thamrin (MH Thamrin) lahir di Weltevreden, Batavia, 16 Februari 1894, meninggal dunia di Senen, Batavia pada tanggal 11 Januari 1941. MH Thamrin meninggalkan istri dan anak. Diantara kolega, MH Thamrin juga meninggalkan menantu dan besan. Menantunya adalah Mr. Egon Hakim Nasution dan besannya adalah Dr. Abdul Hakim Nasution. Saat MH Thamrin meninggal, Dr. Andul Hakim Nasution adalah Wakil Wali Kota (locoburgemeester) Kota Padang. Sementara Ridwan Saidi lahir di Djakarta pada tanggal 2 Juli 1942 (saat pendudukan militer Jepang) dan masih sehat walafiat hingga ini hari. MH Thamrin tidak meninggalkan Bung Ridwan Saidi dan saya (karena belum lahir), tetapi saya dan Bung Ridwan Saidi termasuk daftar orang masa kini sebagai pengagum Bang MH Thamrin.

Figur MH Thamrin menjelang wafatnya adalah Pemimpin Besar bangsa Indonesia. Kita tidak bisa berbicara tentang  Ir. Soekarno dan Drs. Mohamad Hatta saat itu karena keduanya tengah berada di tempat pengasingan. Dr. Soetomo telah lebih dahulu meninggal pada tahun 1938. Meski masih ada Dr. Radjamin Nasution, Mr. Sartono dan Parada Harahap dan golongan yang lebih muda seperti Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap dan Mr. Mohamad Jamin, namun yang paling menonjol saat itu adalah MH Thamrin. Meninggalnya MH Thamrin juga sangat disayangkan oleh Jepang.

Soerabaijasch handelsblad, 28-01-1942
Satu dokumen Jepang yang dikirim ke Indonesia melalui kurir ditahan oleh PID Belanda. Dokumen tersebut ditahan pada tahun 1938 dari Keizo Kaneko, mata-mata Angkatan Laut Jepang yang sudah lama di Hindia Belanda. Dokumen itu berisi tentang strategi memanfaatkan surat kabar berbahasa Melayu di Hindia untuk kepentingan Jepang. Selain itu juga terdapat dokumen lain yang memproyeksi struktur pemerintahan Indonesia yang mana sebagai pemimpin Indonesia adalah MH Thamrin dan dibantu oleh Soekardjo (lihat Soerabaijasch handelsblad, 28-01-1942). Dokumen itu muncul tidak lama setelah meninggal Dr. Soetomo dan ulasan dokumen itu yang dipublikasi surat kabar Soerabaijasch handelsblad tidak lama setelah meninggalnya MH Thamrin. Seperti kita ketahui invasi (militer) Jepang di Indonesia tidak lama kemudian terjadi. Dalam hal ini di mata orang Jepang, MH Thamrin adalah pemimpin Indonesia.

Namun kita tidak tahu rencana Jepang tersebut apakah diketahui oleh MH Thamrin, Juga kita tidak tahu apakah ada kontak langsung MH Thamrin dengan orang-orang Jepang. Namun sebelum Dr. Soetomo meninggal, banyak terjadi kontak Jepang terhadap para pemimpin revolusioner Indonesia dan sebaliknya. Hubungan para revolusioner Indonesia dengan orang-orang Jepang terjadi pada akhir tahun 1933. Setelah pulang dari Jepang, sejumlah pemimpin revolusioner Indonesia diasingkan.

Ketika pers Indonesia ditekan Pemerintah Hindia Belanda, dan adanya rumor bahwa Ir. Soekarno akan diasingkan, Parada Harahap mempimpin tujuh revolusioner Indonesia ke Jepang pada bulan November 1933. Dalam rombongan ini dua pemimpn pers, selain Parada Harahap sendiri (Bintang Timoer di Batavia) adalah Abdullah Lubis (Pewarta Deli di Medan). Dalam rombongan ini juga terdapat ekonomi senior dan ekonom junior. Ekonomi senior adalah Samsi Widagda, Ph.D (guru di Bandoeng) dan Drs. Mohamad Hatta yang baru pulang studi dari Belanda. Di Jepang, Parada Harahap dan rombongan disambut meriah di Jepang. Parada Harahap dijuluki pers Jepang sebagai King of Java Press.

Rombongan kembali ke Indonesia dan dua orang revolusioner yang lain tinggal di Jepang (untuk sementara). Pada tanggal 13 Februari 1934 dengan kapal Panama Maru tiba di pelabuhan Tandjoeng Perak. Mereka disambut oleh Dr. Soetomo, kepala rumah sakit Soerabaja dan Dr. Radjamin Nasution, anggota dewan kota (gemeenteraad) Soerabaja. Pada hari yang sama Ir. Soekarno diberangkatkan dari pelabuhan Tandjong Priok menuju pengasingan di Flores. Setelah seminggu, Parada Harahap dan Drs. Mohamad Hatta kembali ke Batavia, namun tidak lama kemudian keduanya ditangkap PID. Atas kesaksian konsulat Jepang di pengadilan mereka berdua dibebaskan. Seminggu kemudian Mohamad Hatta ditangkap karena alasan lain dengan tuduhan provokasi di majalan Daoelat Ra’jat yang terbit enam bulan sebelumnya. Dalam hubungan penangkapan Mohamad Hatta ini, juga ditangkap Soetan Sjahrir, Abdoel Moerad Lubis, Amir Sjarifoeddin Harahap dan Mohamad Jamin. Atas pembelaan Prof. Husein Djajadiningrat dan MH Thamrin, Abdoel Moerad Lubis (pemimpin redaksi Daoelat Ra’jat), Amir Sjarifoeddin Harahap (ketua Partindo cabang Batavia) dan Mohamad Jamin (ketua Partindo cabang Soerabaja). Mohamad Hatta dan Soetan Sjahrir, dua pemimpin partai Pendidikan Nasional Indonesia kemudian diasingkan ke Digoel.

Diasingkannya tiga pemimpin revolusioner Indonesia (Soekarno, Hatta dan Sjahrir) sedikit sock para pemimpin revolusioner Indonesia lainnya. Namun masih ada yang tersisa untuk meneruskan perjuangan. Paling tidak masih ada MH Thamrin dan Mangaradja Soeangkoepon di Volksraad dan Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin di Soerabaja; Parada Harahap, Abdullah Lubis dan Saeroen dari pers serta pemimpin muda lainnya antara lain Amir Sjarifoeddin Harahap dan Mohamad Jamin. Strategi baru dijalankan sedikit lebih cooperative.

Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin di Soerabaja, dua pemimpin Partai Indonesia Baroe (PIB), mencoba menambah kekuatan dengan mengajak Boedi Oetomo menjadi partai politik. Para pemimpin Boedi Oetomo yang kebetulan generasi baru yang lebih revolusioner seperti Mr. Soepomo, Ph.D dan Dr. Sardjito, Ph.D mendukung inisiatif PBI tersebut. Lalu PIB dan Boedi Oetomo bersatu (fusi) dan membentuk partai baru dengan nama Partai Indonesia Raja (Parindra). MH Thamrin kemudian bergabung dengan Parindra.

Parada Harahap berjuang tidak melalui partai. Parada Harahap berjuang dengan pena. Parada Harahp mulai berjuang di Deli tahun 1918 ketika masih berusia 17 tahun dengan membongkar kasus poenali sanctie (kekejaman para planter terhadap koelii asal Jawa) dan mengirimkan laporannya ke surat kabar Benih Merdeka di Medan. Parada Harahap dipecat sebagai krani. Sempat menjadi redaktur Pewarta Deli (pimpinan Abdullah Lubis) sebelum Parada Harahap pulang kampung di Padang Sidempoean. Pada tahun 1919 Parada Harahap mendirikan surat kabar radikal di Padang Sidempoean yang diberi nama Sinar Merdeka dan juga pemimpin redaksi majalan Pesotaha yang didirikan Soetan Casajangan pada tahun 1915. Saat diadakan kongres Sumatranen Bond di Padang 1919 dan 1921, chemistry Parada Harahap dan Mohamad Hatta terbentuk. Selama di Padang Sidempoean belasan kali dimejahijaukan karena delik pers dan beberapa kali dibuai. Setelah Sinar Merdeka dibreidel tahun 1922 Parada Harahap hijrah ke Batavia (sementara Mohamad Hatta berangkat studi ke Belanda). Di Batavia menerbitkan surat kabar Bintang Hindia (1923) dan kemudian surat kabar Bintang Timoer (1926). Pada tahun 1927 Parada Harahap, sekretaris Sumatranen Bond menggagas perlunya bersatu seluruh organisasi kebangsaan Indonesia. Lalu sejumlah pimpinan organiasi berkumpul di rumah Prof. Husein Djajadiningrat. Dalam pertemuan itu hadir antara lain MH Thamrin (Kaoem Betawi), Pasoendan, Ir. Soekarno (Perhimpoenan Nasional Indonesia), Dr. Soetomo dari Studieclub Soerabaja. Dalam pertemuan itu juga dihadiri anggota Volksraad yang baru Mangaradja Soeangkoepon. Lalu sepakat membentuk supra organisasi dengan nama Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Ketua ditunjuk MH Thamrin dan Parada Harahap sebagai sekretaris. Agenda PPPKI antara lain membangun kantor/gedung di gang Kenari, melaksanakan kongres tahun 1928 (yang kemudian diintegrasikan dengan Kongres Pemuda). Husein Djajadiningrat dan Abdul Firman gelar Mangaradja Soeangkoepon adalah pengurus Indische Vereeniging di Belanda yang digagas oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan tahun 1908. Pada tahun 1921 nama Indische Vereeniging diubah olegh Dr. Soetomo dkk dengan nama bari Indonesiasche Vereeniging dan tahun 1924 oleh Mohamad Hatta dkk mengubahnya lagi menjadi Perhimpoenan Indonesia (PI).    
    
Pada tahun 1927 sudah ada tiga organisasi yang menggunakan nama Indonesia: PI (pimpinan Mohamad Hatta), PPPKI (pimpinan MH Thamrin dan Parada Harahap) dan PNI (Perhimpoenan Nasional Indonesia pimpinan Soekarno). Tiga organisasi inilah penggerak memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Gedung PPPKI di gang Kenari dengan kepala kantor Parada Harahap menjadi Rumah Indonesia (club huis). Hanya ada tiga potret yang dipajang di kantor/gedung ini: Diponegoro, Soekarno dan Mohamad Hatta.

Sehubungan dengan terbentuknya PPPKI, lalu didirikan organisasi pemuda/pelajar pendukung PPPKI yakni PPPI. Corong PPPKI digunakan surat kabar milik Parada Harahap Bintang Timoer. Lalu di Bandoeng muncul organisasi pemuda di bawah PNI yang disebut Indonesia Moeda (salah satu pengurusnya Soetan Sjahrir yang masih SMA).     
    
Untuk menyelenggarakan Kongres PPPKI (senior) pada bulan September 1928 Parada Harahap menunjuk Dr. Soetomo sebagai ketua panitia. Untuk menyelanggarakan Kongres Pemuda (junior) pada bulan Oktober 1928 dibentuk panitia kongres: Ketua, Soegondo (dari PPPI); Sekretaris, Mohamad Jamin (dari Jong Sumatra/Sumatranen Bond); dan Bendahara Amir Sjarifoeddin Harahap (dari Jong Batak/Bataksche Bond). Tiga pimpinan utama panitia Kongres Pemuda ini dibawah arahan Parada Harahap (sekretaris Sumatranen Bond dan juga pembina dan pernah menjadi ketua Bataksche Bond).

Menjelang Kongres PPPKI (senior) Kongres Pemuda (junior), untuk lebih menyebarluaskan gaung dua kongres, Parada Harahap menerbitkan Bintang Timoer edisi Semarang (untuk Midden Java) dan Bintang Timoer edisi Soerabaja (untuk Oost Java). Untuk mendukung keuangan kedua kongres ini disponsori oleh Himpoenan Pengusaha Pribumi Batavia (semacam KADIN pada masa ini) yang dipimpin oleh Parada Harahap (anggota KADIN ini juga termasuk MH Thamrin). Catatan: kelak Bintang Timoer edisi Soerabaja menjadi surat kabar Soeara Oemoem pimpinan Dr. Soetomo, yang sekaligus menjadi corong PBI.

Hasil Kongres PPPKI pada tanggal 29 dan 30 September 1928 adalah platform PPPKI diubah dari nama Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia menjadi Perhimpoenan Partai-Partai Kebangsaan Indonesia. Keputusan lainnya adalah pengurus baru diangkat Dr. Soetomo sebagai ketua dan Ir. Anwari sebagai sekretaris.

Sementara keputusan Kongres Pemuda yang terpenting adalah dideklarikan suatu ikrar yang di dalam Putusan Kongres Pemuda yang berbunyi: Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia; Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia; Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. Dalam kongres ini juga diperdengarkan lagu ciptaan WR Soepratman. Catatan: WR Soepratman adalah editor kantor berita pribumi milik Parada Harahap (WR Soepratman tinggal di lingkungan tempat tinggal, paviliun rumah Parada Harahap).

MH Thamrin dan Parada Harahap meski tidak menjabat lagi sebagai ketua dan sekretaris, namun Parada Harahap pemilik dan pimpinan redaksi surat kabar Bintang Timoer tetap bertanggung jawab terhadap gedung/kantor PPPKI di gang Kenari. Hal ini karena Dr. Soetomo tinggal di Soerabaja dan Ir. Anwari tinggal di Bandoeng, Lagi pula dana pembangunan gedung/kantor PPPKI yang berada di gang Kenari di lahan milik MH Thamrin digalang oleh perimpunan pengusaha Batavia yang dipimpin oleh Parada Harahap. Sementara itu MH Thamrin yang menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad) Batavia kerap berkunjung ke gang Kenari untuk menghadiri pertemuan-pertemuan publik apakah yangdilaksanakan oleh organisasi kebangsaan, partai politik atau organisasi mahasiswa PPPI.

Kongres PPPKI tahun 1929 dilaksanakan di Solo. Kongres ini dipilih waktunya berdekatan dengan Kongres Boedi Oetomo yang juga dilaksanakan di Solo. Tentu saja Dr. Soetomo, ketua PPPKI berharap agar organisasi kebangsaan Boedi Oetomo ikut bergabung dengan PPPKI. Dalam kongres PPPKI ini juga tampil Ir. Soekarno dari PNI (yang berpusat di Bandoeng). Tidak lama setelah kongres ini Ir. Soekarno ditangkap karena terkait dengan tuduhan provokasi.

Dalam situasi Ir. Soekarno ditahan di Bandoeng, beberapa hal yang terjadi diantara para pemimpin revolusioner Indonesia, antara lain: (1) Pada bulan yang Oktober 1930 Dr. Soetomo dari studieclub Soerabaja mendirikan organisasi kebangsaan yang baru yang disebut Partai Bangsa Indonesia (PBI). Besar dugaan pendirian partai didorong oleh Parada Harahap. Radjamin Nasution menjadi salah satu pengurus PBI; (2) MH Thamrin diangkat menjadi Wakil Wali Kota (locoburgemeeter) Batavia. Setahun kemudian, anggota dewan kota (gemeenteraad) Padang yang paling senior (wethouder) Dr. Abdul Hakim Nasution menjadi Wakil Wali Kota (locoburgemeeter) Padang.

De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 22-01-1930 Batavia, Januari 21 (Aneta). Dalam pertemuan pagi ini Dewan Walikota dan Aldermen, Mr Thamrin diangkat wakil walikota kedua Batavia. Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 09-12-1931: ‘Wakil Walikota Padang: Sebuah laporan resmi mengumumkan bahwa Mr C. Hoogenboom mengundurkan diri sebagai wakil walikota Padang dan dia akan menggantikan Mr. M. Passer, sebagai anggota dewan Kota Padang. Sementara untuk Wakil Wali Kota diangkat, anggota dewan,  Dr A. Hakim’.

Dr. Abdul Hakim Nasution adalah teman sekelas Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo semasa kuliah di Docter Djawa School di Batavia yang sama-sama lulus tahun 1905. Pada saat pembentukan partai politik pertama, Nationale Indische Partij (NIP) oleh Dr. Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan dua temannya yang disebut tiga serangkai, Untuk ketua NIP di Pantai Barat Sumatra adalah Dr. Abdul Hakim Nasution.  

MH tidak menjabat lagi sebagai Locoburgemeeter Batavia karena telah terpilih menjadi anggota Volksraad. Sementara Dr. Abdul Hakim Nasution masih menjabat Locoburgemeeter Padang (bahkan hingga tahun 1942). Pada tahun 1935 Parada Harahap mempertemukan keluarga MH Thamrin di Batavia dengan keluarga Dr. Abdoel Hakim Nasution di Padang. Anak Dr. Abdul Hakim Nasution dinikahkan dengan putri MH Thamrin. Parada Harahap selain sangat dekat dengan MH Thamrin, Parada Harahap juga sudah mengenail sejak 1919 Dr, Abdoel Hakim Nasution ketika kongres Sumatranen Bond yang juga dihadiri oleh Parada Harahap dan Mohamad Hatta. Saat itu, Dr. Abdul Hakim Nasution adalah pembina kongres pertama tersebut sementara Parada Harahap adalah pemilik dan pemimpin redaksi surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean.

Egon Hakim menempuh pendidikan sekolah menengah (SMA) di Belanda (lihat De Gooi- en Eemlander: nieuws- en advertentieblad, 05-07-1924). Egon Onggara Hakim menyusul Amir Sjarifoeddin Harahap yang sudah lebih dulu menempuh sekolah menengah di Belanda. Egon Hakim melanjutkan ke Universiteit Leiden di bidang hukum dan mendapat gelar Meester (MR) tahun 1933. Egon Hakim pulang ke tanah air dan lalu kemudian diangkat sebagai pengacara (advocaat en procureur) di Kantor Raad van Justitie di Kota Padang (lihat De Indische courant, 31-05-1935). Sepulang dari Belanda inilah Mr. Egon Hakim menikah dengan putri MH Thamrin.

Dr. Abdul Hakim Nasution lahir di Padang Sidempoean dan mengikuti sekolah ELS di Padang Sidempoean. Abdul Hakim Nasution diterima di Docter Djawa School pada tahun 1898. Pada tahun 1935 anggota Volksraad kelahiran Padang Sidempoean terdapat tiga orang yakni Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon dari dapil Oost Sumatra; Dr. Abdul Rasjid Siregar dari dapil Tapanoeli dan Mr. Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D dari dapil Batavia. Dalam pernikahan putri MH Thamrin dengan Mr. Egon Hakim di Batavia turut hadir lima tokoh asal Padang Sidempoean (Dr. Abdoel Hakim Nasution sebagai besan, Parada Harahap dan tiga anggota Volksraad).

Sementara Soekarno, Mohamad Hatta dan Soetan Sjahrir masih di pengasingan (Flores dan Digoel), dalam suatu pertemuan tanggal (konferensi) tanggal 24-26 Desember 1935 di Solo PBI dan Boedi Oetomo melakukan fusi dan membentuk partai baru yang diberi nama Partai Indonesia Raja yang disingkat Parindra. Ketua terpilih adalah Dr. Soetomo. Untuk kantor pusat Parindra ditetapkan di Soerabaja. Ini dengan sendirinya akan memperkuat Soerabaja sebagai basis perjuangan politik, sebagaimana Bandoeng tahun 1927 dengan dibentuknya Partai Nasional Indonesia (PNI). Dalam kepegurusan Parindra ini termasuk Dr. Radjamin Nasution (sebelumnya pengurus PBI Soerabaja) dan MH Thamrin (dari Batavia). Parada Harahap kembali memainkan peran penting yang baru.

Setelah berdirinya Parindra (1935), para pemimpin muda Partai Indonesia (Partindo) yang dipimpin oleh Mr. Sartono, mulai memisahkan diri dengan membentuk partai baru yang disebut Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Partai baru ini resmi didirikan apda tahun 1937 dengan ketua Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap. Sebelum membentuk Gerindo, Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap adalah ketua Partindo afdeeling (cabang) Batavia dan untuk cabang Soerabaja diketuai oleh Mr. Mohamad Jamin. Dua tokoh inilah pemimpin utama di dalam organisasi pusat Gerindo. Ini seakan mengingatkan kembali pada tahun 1928 pada Kongres Pemuda yang mana sebagai sekretaris Mohamad Jamin dan bendahara Amir Sjarifoeddin Harahap yang berada di latar belakang (pembina) adalah Parada Harahap (sekretaris PPPKI). Parada Harahap, jurnalis (non partai) sangat dekat kepada dua tokoh muda revolusioner ini. Kedekatan Parada Harahap dengan Mohamad Jamin tidak hanya sesama tokoh di Sumatranen Bond, tetapi juga karena abang Mohamad Jamin yang bernama Djamaloeddin (kelak lebih dikenal sebagai Adinegor) bekerja untuk Parada Harahap di surat kabar Bintang Timoer sebagai editor. Pada tahun 1930 Adinegoro dipindahkan ke Medan untuk menjadi kepala editor di surat kabar Pewarta Deli. Pimpinan Pewatta Deli (hingga 1940) masih dipegang oleh Abdullah Lubis (satu dari anggota rombongan yang dipimpin Parada Harahap ke Jepang pada tahun 1933).

Parada Harahap memiliki jaringan yang sagat luas. Tidak hanya ke partai politik dan anggota Volksraad juga di dalam lingkungan pers. Parada Harahap sebelumnya telah berhasil menggabungkan semua jurnalis pribumi dalam satu wadah dan semua penerbit dalam satu wadah sarikat penerbit surat kabar (termasuk di dalamnya Dr. Soetomo pimpinan umum surat kabar Soeara Oemoem di Soerabaja dan Saeroen dari Semarang). Dalam situasi dan kondisi inilah Parada Harahap mengusulkan agar Soekarno dan Mohamad Hatta dipindahkan dari pengasingan di Flores dan Digoel ke Sumatra.

Kopiah: MH Thamrin, Abd Rasjid Siregar, M Soangkoepon
Usulan ini muncul setelah Parada Harahap pulang dari kunjungan pers di Lampong (lihat      Soerabaijasch handelsblad, 21-02-1938). Sudah barang tentu Parada Harahap bertemu dengan Dr. Haroen Al Rasjid Nasution dan anaknya Mr. Gele Haroen (yang sudah pulang studi hukum dari Belanda tahun 1938). Mr. Gele Haroen adalah sepupu Mr. Egon Hakim Nasution (Dr. Abdul Hakim Nasution dan Dr. Haroen Al Rasjid adalah saudara sekandung). Mr. Gele Haroen advokat di Telok Betong dan Mr. Egon Hakim sebagai advokat di Padang. Usulan Parada Harahap untuk memindahkan dua idolanya ini (sebagaimana potretnya masih ada di gedung/kantor PPPKI di gang Kenari) didukung oleh sejumlah anggota Volksraad pro-revolusioner (paling tidak tiga anggota Volksraad asal Padang Sidempoean dan MH Thamrin).

Usulan pemindahan Soekarno dan Mohamad Hatta ke Sumatra terdapat resistensi dari pemerintah. Namun setelah MH Thamrin berbicara (semacam negosiasi) dengan pejabat pemerintah, dengan jaminan akhirnya Soekarno dan Mohamad Hatta disetujui Gubernur Jenderal tetapi Mohamad Hatta ditolak ke Sumatra karena berasal dari Sumatra. Keputusan pemerintah adalah Soekarno diizinkan dipindahkan dari Flores ke Bengkoeloe dan Mohamad Hatta (yang juga termasuk Soetan Sjahrir) dipindahkan dari Digoel ke Banda. Skenario Parada Harahap berhasil penuh atas pemindahan Soekarno ke Sumatra sementara karena halangan asal usul hanya setengahnya berhasil (dipindahkan dari Digoel ke Banda). Tentu saja pemilihan pemerintah dipindahkan ke Bengkoeloe membuat Parada Harahap tersenyum.

Pemerintah menetapkan Bengkoeloe karena dianggap terpencil dan sulit diakses dari Jawa. Namun dipikiran Parada Harahap penetapan Bengkoeloe adalah, boleh jadi, sesuai pikirannya. Mengapa? Meski Bengkoeloe terpencil, Parada Harahap memiliki jaringan yang luas di Sumatra. Paling tidak di Padang ada pengacara Mr. Egon Hakim Nasution (menantu MH Thamrin) dan di Telok Betong ada pengacara Mr. Gele Haroen Nasution yang dapat setiap saat berkunjung ke Bengkoeloe. Itulah alasan mengapa Soekarno senang dipindahkan dari Flores ke tempat yang dipilih pemerintah di Bengkoeloe. Tentu saja Parada Harahap mengetahui ada seorang guru muda asal Afdeeling Padang Sidempoean di Bengkoeloe namanya Abdul Haris Nasution (kelak dikenal sebagai Jenderal Abdul Haris Nasution).  

Sejarah Awal MH Thamrin

Mohamad Husni Thamrin lahir tahun 1894. Menurut Bung Ridwan Saidi, tahun kelahiran MH Thamrin adalah tahun kematian Si Pitoeng. Menuru Bung Ridwan Saidi, kakeknya MH Thamrin adalah seorang Jaksa dan ayahnya bernama Thabri yang pernah menjabat sebagai Wedana, MH Thamrin bersekolah di KW III.

Pada tahun 1878 Mohamad Thabri diangkat menjadi pegawai pribumi dengan jabatan jaksa di Tangerang. Mohamad Thabri sebelumnya adalah wakil kepala jaksa di Landraad Batavia (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 03-07-1878). Pada tahun 1886 Thamrin Mohamad Thabri diangkat sebagai penulis di Landraad Batavia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 17-06-1886). Pada tahun 1894 Thamrin Mohamad Thabri diangkat sebagai wakil kepala jaksa di Landraad Batavia (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 19-09-1894). Thamrin Mohamad Thabri telah mencapai posisi yang pernah dijabat oleh ayahnya, Mohamad Thamri. Pada tahun 1905 Thamrin Mohamad Thabri diangkat sebagai komandan Pendjaringan, yang sebelumnya sebagai wakil jaksa (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 24-06-1905). Pada tahun 1908 Thamrin Mohamad Thabri  diangkat menjadi wedana di Batavia (lihat De Preanger-bode, 01-05-1908). Pada tahun 19011 Thamrin Mohamad Thabri  diberhentikan wedana di Batavia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 27-06-1911). Pada tahun 1913 Thamrin Mohamad Thabri diketahui menjadi anggota dewan kora (gemeenteraad) Batavia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 26-06-1913).

Bung Ridwan Saidi keliru menyusun silsilah keluarga MH Thamrin. Seharusnya nama kakek MH Thamrin adalah Mohamad Thabri. Ayah MH Thamrin adalah Thamrin Mohamad Thabri. Nama MH Thamrin mengambil nama ayahnya, Thamrin. Sementara nama kecil MH Thamrin adalah Mohamad Husni.

Stambuk (silsilah) MH Thamrin
Salah satu nama saudara MH Thamrin adalah Mohamad Mahmoen Thamrin (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 12-12-1913). Berapa jumlah saudara MH Thamrin tidak diketahui.

MH Thamrin memulai pendidikan sekolah dasar Eropa (ELS) di Batavai dan lulus tahun 1910. Pada tahun ini juga MH Thamrin lulus ujian masuk sekolah Gymnasium Willem III (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 23-04-1910). Satu angkatan dengan MH Thamrin yang diterima di sekolah elit ini adalah Raden Hilman Djajaningrat.

Gymnasium Willem III memiliki dua program. Program pertama lama studi tiga tahun (setara MULO) dan program kedua dengan lama studi lima tahun (HBS). Sekolah GW III ini beralamat di Salemba.

Setelah lulus HBS di GW III, MH Thamrin mengikuti pendidikan pembukuan Diploma-A. Pada tahun 1917 MH Thamrin lulus ujian pembukuan (boekhouden) di Batavai (lihat De Preanger-bode, 22-02-1917). Sementara itu, Raden Hilman Djajaningrat, melanjutkan studi ke Belanda. Sebagai pegawai KPM di Weltvreden, MH Thamrin kemudian mulai merintis jalan ke parlemen kota melalui pemilihan 1918-1919.

Dalam pemilihan umum tahun 1918, nama MH Thamrin muncul sebagai salah satu kandidat untuk anggota dewan kota (gemeenteraad) Batavia (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 25-07-1918), Uniknya ayahnya, Thamrin Mohamad Tabri  yang pernah menjadi anggota dewan juga termasuk dalam daftar kandidat. Ayah dan anak tampaknya harus bertarung untuk mendapatkan kursi di Gemeenteraad Batavia. MH Thamrin lalu terpilih sebagai anggota dewan (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 25-09-1919).

Mekanisme pemilihan anggota dewan kota (gemeenteraad) sejak 1918 di berbagai kota seperti Batavia, Soerabaja, Padang dan Medan tidak lagi delakukan dengan penunjukkan/pengangkatan oleh Residen tetapi melalui pemilihan umum (pemilih untuk pribumi bukan berdasarkan umur tetapi tingkat pendapatan). Pemilihan dibagi ke dalam tiga kategori: Eropa, pribumi dan Timur asing. MH Thamrin masuk kelompok pemilihan pribumi dengan jumlah kandidat sebanyak tujuh orang untuk mendapat jatah tiga kursi. MH Thamrin termasuk salah satu dari tiga pemenang. Sementara di untuk kelompok pribumi di Medan dari satu jatah untuk pribumi dimenangkan oleh seorang penilik sekolah Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng (De Sumatra post, 16-07-1918). Sedangkan di Padang dimenangkan oleh Dr. Abdul Hakim Nasution (kelak menjadi besan dari MH Thamrin) dan di Tandjoeng Balai dimenangkan oleh Mangaradja Soangkoepon. Di Padang Sidempoean tempat kelahiran Radja Goenoeng dan Abdul Hakim Nasution belum ada dewan karena bukan gemeente.

Pada periode pemilihan berikutnya MH Thamrin kembali terpilih. MH Thamrin tampaknya telah menggantikan popularitas ayahnya. MH Thamrin seakan bersinar terus sebagai matahari muda di Batavia. MH Thamrin muncul sebagai kandidat untuk anggota dewan pusat Volksraad untuk kelompok pribumi dari Pasoendan/West Java (lihat De Preanger-bode, 07-11-1923). Namun hasilnya tidak memuaskan.

Het nieuws van den dag voor NI, 13-02-1924
Dalam daftar kandidat yang sudah menyatakan persetujuaannya diumumkan ke publik (lihat De Indische courant, 02-01-1924). Dalam daftar ini terdapat nama-nama yang dikenal antara lain, MH Thamrin pegawai KPM di Weltevreden; H Agus Salim. jurnalis; Dr. Abdul Hakim Nasution, dokter di Padang; Dr. Abdul Rasjid Siregar dokter di Kotanopan, Tapanoeli; Abdoel Moeis, jurnalis di Bandoeng; Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng, penilik sekolah di Medan; Mr. Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia, direktur HIS di Kotanopan; Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon, pejabat pemerintah di Tandjong Balai; Dr. Soetomo, dokter di Soerabaja; Dr. Tjipto Mangoekoesoemo dokter di Bandoeng; Hasilnya sangat ketat terutama untuk memperebutkan satu kursi dari dapil Sumatra (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 13-02-1924). Suara untuk kandidat asal Padang Sidempoean terpecah sebagai berikut: Mr. Soetan Goenoeng Moelia 32 suara; Dr. Abdul Rasjid Siregar 27 suara; Dr. Abdul Hakim Nasution 8 suara dan Radja Goenoeng 1 suara. Untuk kandidat Abdul Moeis 35 suara. Di West Java MH Thamrin hanya mendapat satu suara; Bupatie Bandoeng Wiranatakoesoema juga minim hanya 8 suara. Setelah ditambahkan dari suara yang tidak digunakan, hasilnya Abdoel Moeis memenangkan kursi untuk Sumatra dengan memperoleh 47 suara (beda 8 suara dengan Soetan Goenoeng Moelia 35 suara). MH Thamrin tetap dengan satu suara.

MH Thamrin kembali menjadi kandidat untuk pemilihan berkala di dewan kota (gemeenteraad) Batavia (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 27-06-1924). Dari 14 kandidat pada putaran pertama 11 orang lanjut ke putaran kedua termasuk MH Thamrin yang mendapat suara 633 suara (lihat De Indische courant, 09-08-1924). Tidak diketahui apakah MH Thamrin dapat mendapatkan kursi kembali di dewan kota.

Yang jelas MH Thamrin melakukan inisiatif untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan  kebakaran yang terjadi Kebon Djeroek baru-baru ini (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 24-08-1925). Dalam pembentukan komite oleh 11 asosiasi pribumi yang diadakan di rumah MH Thamrin di Sawah Besar turut dihadiri oleh Bupati Batavia. MH Thamrin didaulat menjadi ketua komite. Program yang diadakan untuk penggalangan dana antara lain pertandingan sepak bola, pasar, pertunjukan teater dan juga pengumpulan dana dilakukan melalui masjid.

MH Thamrin muncul sebagai kandidat anggota dewan provinsi West Java (lihat      Bataviaasch nieuwsblad, 07-11-1925). Provinsis West Java termasuk Residentie Batavia dimana ibukota provinsi di Batavai. MH Thamrin termasuk yang terpilih menjadi anggota dewan provinsi (Provincialraad) West Java (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 23-12-1925).

MH Thamrin juga diketahui turut menghadiri kongres pertama Jong Islamietenbond te Djokjakarta 25 Desember 1925 sebagai pembicara dengan tema Persaudaraan Dunia dalam Islam, dalam bahasa Melayu (lihat  De Indische courant, 28-12-1925). Disebutkan bahwa kongres ini dihadiri tidak kurang dari 47 termasuk Mohammadijah. Asosiasi pemuda Islam ini adalah pemisahan dari para anggota dari Jong Java. Pembentukan serikat muda Islam ini pada tanggal 1 Januari 1925 di Djokjakarta sebagai konsekuensi kepercayaan agama dan perbedaan pendapat dengan asosiasi Jong Java. Pada tanggal 5 Februari pertemuan publik pertama diadakan di Weltevreden dan kemudian dilanjutkan yang kedua di Djokjakarta pada 15 Februari 1925. Dalam waktu singkat empat divisi telah dibentuk, yaitu di Weltevreden, Djokja, Solo dan Madioen. Bandung, Magelang, dan Surabaya menyusul kemudian, Tujuh divisi yang telah didirikan dengan total 1.004 anggota. Hadji Agus Salim sebagai penasihat.

Kasus yang mirip dengan pemisahan dari Jong Java dengan membentuk Jong Islamietenbond terjadi pada tahun 1919. Sumatranen Bond yang didirikan oleh Sorip Tagor Harahap di Belanda tahun 1917, setelah kongres pertama di Padang tahun 1919 terjadi friksi dimana sebagian anggota kurang menerima kehadiran anggota yang bukan beragam Islam. Untuk memfasilitas agar pemuda yang bukan beragama Islam terakomodir dalam organisasi pemuda, Dr. Abdul Rasjid Siregar yang baru lulus STOVIA membentuk organisasi pemuda yang baru yang disebut Bataksche Bond (Jong Batak) di Batavia tahun 1919. Pada tahun 1925 ini penasehat Bataksche Bond adalah Parada Harahap (yang juga Parada Harahap adalah pengurus Sumatranen Bond). Pada awal tahn 1926 MH Thamrin menghadiri kongres Moehammadijah di Soerabaja (lihat     De Indische courant, 02-03-1926).  
       
Pada pilkada untuk anggota dewan kota Batavia tahun 1926 kembali nama MH Thamrin muncul sebagai kandidat (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 17-06-1926). Ada beberapa nama pribumi diantaranya yang dikenal selain MH Thamrin adalah Dr. Sardjito, Ph.D yang baru pulang studi dari Belanda. Dalam pemilihan yang dilakukan MH Thmarin dan Dr. Sadjito terpilih menjadi anggota pribumi dewan kota Batavia. Pada sidang pertama dewan kota Dr. Sardjito masuk pada komisi pasar dan rumah potong hewan dan juga komisi layanan kesehatan (Bataviaasch nieuwsblad, 24-08-1926). Dr. Sardjito, Ph.D adalah debut di dewan kota. Dr. Sardjito sebelum studi ke Belanda pernah menjadi ketua Boedi Oetomo cabang Batavia. Di Belanda, Dr. Sradjito menjadi seorang nasionalis dan ketika pulang tidak terlalu aktif lagi di Boedi Oetomo yang platformnya masih organisasi kedaerahan. Demikian juga dengan Dr. Soetomo yang juga belum lama pulang studi di Belanda telah lama meninggalkan Boedi Oetomo dan telah membentuk studieclub di Soerabaja. Ir. Soekarno yang belum lama lulus di THS Bandoeng juga sudah lama meninggalkan Boedi Oetomo (dan lebih bersifat nasionalis).

Pada tahun 1926 ini Parada Harahap mendirikan surat kabar baru yang lebih radikal yang diberi nama Bintang Timoer. Ini tidak lama setelah kunjungan jurnalistiknya ke Sumatra dan Sememanjung Malaka. Surat kabar Parada Harahap sebelumnya adalah Bintang Hindia (sejak 1923). Yang menaungi surat kabar Bintang Timoer ini adalah NV Bintang Hindia. Parada Harahap meski terbilang baru di Batavia, tetapi telah cukup dikenal sebagai jurnalis yang radikal (berani berpolemik dengan pers Belanda dan tidak henti mengkritisi pemerintah). Parada Harahap sebelum ke Batavia adalah pemilik dan pemimpin redaksi surat kabar Sinar Merdeka yang terbit di Padang Sidempoean sejak 1919 (pada tahun 1922 surat kabar ini dibreidel). Parada Harahap di Padang Sidempoean juga menjadi pemimpin redaksi majalah mingguan Poestaha (yang didirikan Soetan Casajangan tahun 1915, dua tahun setelah kepulangan Soetan Casajangan studi di Belanda).

Besar dugaan Parada Harahap hijrah ke Batavia karena juga faktor Soetan Casajangan. Sejak 1920 Radjioen Harahap diangkat menjadi direktur sekolah guru Normaalschool di Meester Cornelis. Sekolah ini tidak jauh dari sekolah MH Thamrin KWS III [Normaal school kini SMA N 68 dan KWS III kini menjadi Perpustakaan Nasional]. Soetan Casajangan adalah pendiri organisasi mahasiswa di Belanda Indische Vereeniging tahun 1908. Tahun 1922 Dr. Soetomo dkk mengubah namanya menjadi Indonesiasche Vereeniging dan tahun 1924 Mohamad Hatta dkk mengubah namanya lagi menjadi Perhimpoenan Indonesia (PI). Soetan Casajangan pada tahun 1914 menjadi direktur sekolah guru (Kweekschool) di Fort de Kock, pada periode inilah Soetan Casajangan juga mendirikan majalah mingguan di kampong halamannya di Padang Sidempoean tahun 1915 (yang juga pernah diasuh oleh Parada Harahap). Soetan Casajangan alumni sekolah guru kweekschool Padang Sidempoean berangkat studi ke Belanda tahun 1905 (jumlah mahasiswa pribumi baru empat orang).

Salah satu perhatian dewan kota yang baru adalah program perbaikan kampong (Kampongverbetering). Salah satu program perbaikan kampong adalah perbaikan kampong di Sawah Besar (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 27-09-1926). Dalam program ini bagian persil milik MH Thamrin terkena gusuran ketika dinas PU melakukan kegiatan. MH Thamrin keberatan karena persil lahannya No. 81 (55, 11029 dan 9752), Berkenaan dengan keberatan dari MH Thamrin, kepala dinas PU dan Polisi Gedung menginformasikan bahwa ada alasan untuk mengatasi keberatan ini sampai batas tertentu, dengan menggerakkan garis bangunan satu meter ke depan di sisi selatan jalan Sawah Besar.

Program perbaikan kampong telah dibahas pada sidang yang dilakukan pada bulan Juni 1923 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 06-06-1923). Sejauh ini baru pembahasan untuk membentuk komisaris untuk menyiapkan rencana perbaikan kampung (lembar 23 No. 244). Agenda yang dibahas juga adalah mosi yang dibuat oleh MH Thamrin, Arifin dan Soebrata mengenai alokasi hasil penerimaan pajak bumi (blad 23 No. 220). Pada sidang yang diadakan pada bulan April 1924 agenda pembahasan program perbaikan kampong ditolak/ditunda (lihat De Indische courant, 07-08-1924). Ketika program perbaikan kampong mulai dijalankan pada tahun 1926, MH Thamrin keberatan untuk satu hal karena persilnya kena gusur dalam pelembaran jalan.

Pada tahun 1926 nama MH Thamrin muncul lagi sebagai kandidat untuk anggota dewan pusat Volksraad dari dapil West Java (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 15-10-1926). Dalam daftar yang diberikan pemerintah (termasuk di dalamnya nama MH Thamrin) diminta kepada anggota dewan kota Batavia untuk menyeleksi paling tidak sebanyak 15 kandidat dari daftar. Dalam daftar tersebut terdapat nama bupati Batavia, bupati Bandoeng, Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dokter di Bandoeng serta R Soewandi (notaris pribumi pertama).

MH Thamrin kembali menghadiri kongres Jong Islamietenbond, kongres yang diadakan di Soerabaja (lihat De Indische courant, 16-12-1926). MH Thamrin, sekretaris Moehammadijah akan memberikan ceramah. De Telegraaf, 31-03-1927 memberitakan bahwa MH Thamrin menerjemahkan brosur tentang Islam ke dalam bahasa Belanda. Brosur tersebut karya Mauloi Moehammadl Ali di Lahore. Kata pengantar oleh RAA Wiranata Koesoema, bupati Bnndoeng. Buku tersebut diterima oleh De Telegraf dari seorang imam muslim Mirza Wali Ahmad Baig  di Djokjakarta.
  
Pada pemilihan 1927 MH Thamrin terpilih menjadi anggota Volksraad. MH Thamrin dalam hal ini naik kelas dari anggota dewan kota (gemeeteraad) menjadi anggota dewan pusat Volksraad. Kekalahannya pada pemilihan tahun 1923/1924 telah terbayar lunas.

Pada pemilihan 1927 pulau Sumatra dibagi menjadi empat dapil, masing-masing hanya satu kursi. Dari dapil Noord Sumatra (terdiri dari Residentie Tapanoeli dan Residentie Atjeh) terpilih Dr. Alimoesa Harahap; dan dari dapil Oost Sumatra (Province Oost Sumatra) terpilih Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon. Alimoesa Harahap dan Mangaradja Soangkoepon sama-sama kelahiran Padang Sidempoean.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pemindahan Soekarno ke Bengkoeloe dan Meninggalnya MH Thamrin

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar