*Untuk melihat semua artikel Sejarah Malang dalam blog ini Klik Disini
Siapa Sanusi Pane? Jangan tanya. Sanusi Pane
adalah orang terkenal di zamannya yang namanya hingga kini masih dikenal.
Apakah Sanusi Pane juga seorang sejarawan Indonesia? Jangan tanya. Ketika orang
Indonesia (baca: pribumi) belum berbicara tentang (penyelidikan) sejarah
Indonesia, Sanusi Pane sudah menulis buku beberapa volume berjudul Sedjarah
Indonesia. Volume pertama diterbitkan pada tahun 1942. Mengapa Sanusi Pane bisa
menulis Sejarah Indonesia? Jangan tanya. Baca saja karya-karyanya. Jangan lihat
di Wikipedia, karena namanya tidak ada dalam daftar sejarawan Indonesia.
Apakah Sanoesi Pane memahami sejarah Airlangga? Jang tanya. Apakah Sanoesi Pane mengerti sejarah Kertajaya? Jangan tanya. Apakah Sanoesi Pane mengetahui sejarah Kertanegara? Jangan tanya. Sanoesi Pane telah menulis sejarah Airlangga, Kertajaya dan Kertanegara. Bahkan Sanoesi Pane telah menulis drama pertunjukannya. Sanoesi Pane tidak hanya seorang sastrawan, juga sebagai penulis sejarah zaman kuno Indonesia. Jangan lupa, Sanoesi Pane adalah penulis sejarah Bahasa Indonesia yang pertama. Lantas siapa Sanoesi Pane? Sanoesi Pane adalah anak Soetan Pangoerabaan, seorang guru di Padang Sidempoean. Soetan Pangoerabaan adalah seorang sejarawan local di Padang Sidempoean. Jangan pula lupa adik Sanoesi Pane bernama Armijn Pane adalah yang menerjemahkan buku RA Kartini dari bahasa Belanda ke Bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Timbullah Terang. Apakah masih ada anak Soetan Pangoerabaan yang terkenal? Ada, Namanya Prof Lafran Pane, pendiri organisasi mahasiswa HMI di Jogjakarta pada tahun 1947.
Lantas bagaimana sejarah Raja Kertanegara di Kerajaan Singasari Malang, Raja Kertajaya di Kerajaan Kediri? Seperti disebut di atas dua raja berpengaruh ini pernah ditulis oleh Sanoesi Pane. Lalu apa hubungannya dengan kerajaan di Tapanuli Selatan (kampong halaman Sanoesi Pane)? Ayahnya Soetan Pangoerabaan Pane telah menulis sejarah kerajaan di Tapanuli Selatan? Apakah ada hubungan dua pusat kerajaan tersebut. Akhir Matua Harahap berpendapat iya, ada. Mungkin hal serupa ini yang pernah dipikirkan oleh Sanoesi Pane. Lalu bagaimana sejarah Raja Kertanegara di Kerajaan Singasari Malang, Raja Kertajaya di Kerajaan Kediri? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Raja Kertanegara di Kerajaan Singasari Malang, Raja Kertajaya di Kerajaan Kediri; Kerajaan di Tapanuli Selatan
Ada pepatah lama diantara para arkeolog: penduduk yang lugu percaya tahyul sebenarnya telah menyelamatkan candi-candi purbakala, tetapi orang Eropa yang licik telah merusaknya dengan mengambil benda-benda kuno berharga yang dapat diperdagangkan’. Masih ada lanjutannya: tapi sebenarnya yang dikhawatirkan adalah orang-orang pribumi yang mencoba menyimpannya tetapi tidak bisa menjaganya dari kerusakan. Kedua dalil itu sesungguhnya tidak tepat, seharusnya benda-benda kuno tetap berada di tempatnya dan semua bertanggungjawab menjaganya. Mengapa? Agar narasi sejarah terus diuji.
Benda-benda kuno dan candi-candi memiliki masa peradaban yang berbeda-beda, suatu masa peradaban yang dikaitkan dengan system pemerintahan yang berlaku (kerajaan) dan peran para pemimpinya (radja) dan dinamika yang terjadi di dalam masyarakatnya. Keberadaan candi Singasasari sudah lama diketahui, diketahui dalam posisi terkubur sebagian atau sepenuhnya di bawah tanah di atas vegetasi hutan. Namun bagaimana situs-situs tua itu berbicara tidak dapat diwakili oleh penduduk di sekitar. Pengetahuan mereka terbatas, ada leg waktu yang panjang antara generasi penduduk yang masih hidup dengan masyarakat pendukung situs di masa lampau. Hanya ilmu pengetahuan (dengan bantuan teknologi) yang dapat menjelaskannya situasi dan kondisi pada masa situs berfungsi di masa lalu.
Struktur dan arsitektur candi Singosari tidak utuh lagi. Yang ada di museum hanya minimal yang tersisa dari yang hilang. Di area situs sendiri hanya tersisa yang memang hanya tersisa. Seperti kata pepatah orang tempo doeloe: ‘bahwa segala sesuatu di dunia ini cenderung menghilang, kecuali yang terlalu panas atau terlalu berat!’ Di candi Singosari, ada dua patung (batu) raksasa yang bagaimana pun sulit dipindahkan. Oleh karena sangat berat, selamatlah dua patung tersebut.
Patung-patung raksasa seperti di candi Singosari (district Malang) ini juga ditemukan di candi Portibi di (district) Padang Lawas (Tapanuli Selatan). Kemiripan yang terdapat diantara dua tempat yang berjauhan ini yang menurut Schnitger (1936) ada relasi antara kerajaan Singosari di Malang dengan kerajaan Panai di Padang Lawas. Oleh karena patung dan candi Singosari terbilang unik di Jawa, lalu Schnitger berpendapat bahwa raja Singosari yang terakhir Kertanegara adalah salah satu pendukung fanatic agama Boedha Batak sekte Bhirawa. Catatan: di Portibi, Padang Lawas ada tiga candi berdekatan, adalah tiga candi dari 26 candi di seluruh Padang Lawas. Patung-patung semacam di candi Singosari sangat banyak di Padang Lawas. Foto: Patung-Patung di candi Portibi/Padang Lawas
Orang-orang Belanda sangat malu ketika orang-orang Inggris (1811-1816) menyadari keberadaan candi-candi dan patung-patung (terutama candi Borobudur di Magelang), sementara orang Belanda sudah hadir di Kawasan sejak abad ke-17, tanpa menemukan apa-apa, dan dari yang telah ditemukan belum dilakukan apa-apa. Candi Singosari terabaikan berabad-abad, orang-orang Belanda mengabaikannya meski telah melihatnya. Namun hal itu mulai disadari, lebih baik terlambat daripada sama sekali tidak, Pemerintah Hindia Belanda mulai melakukan eksplorasi, eskavasi dan pemugaran. Proses pemugaran candi Singosari dilakukan pada tahun 1935, saat mana Schnitger melakukan eskavasi di candi-candi Padang Lawas. Dari penyelidikan lebih lanjut candi-candi di wilayah Malang muncul tokoh/raja semasa yakni radja Kertanegara.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Kerajaan di Tapanuli Selatan: Berusia Lebih 1000 Tahun?
Hingga tahun 1920 tidak ada sedikit pun tercetus nama Sriwijaya. Memori kolektif warga Palembang kosong soal adanya Sriwijaya. Pendapat umum di Hindia Belanda, soal kekaisaran di nusantara selalu menganggap Sumatra berada di belakang Jawa. Penemuan candi Borobudur oleh Raffles tahun 1814 telah menghipnotis orang-orang Belanda bahwa peradaban dan kekaisan agung di jaman kuno hanya ada di Jawa: Singasari dan Madjapahit.
Penemuan candi di Padang Lawas, Tapanoeli tahun 1843 juga tidak digubris.
Padahal yang menemukan dan melaporkan pertama kali adalah seorang geolog
terkenal Jung Huhn. Meski, lukisan candi Padang Lawas sudah dipublikasikan oleh
pelukis terkenal Rosenberg (1857) tetap tidak mendapat perhatian. Konsentrasi
orang-orang Belanda hanya tertuju di Jawa (khususnya Borobudur dan Prambanan).
Seorang peneliti Inggris, S. Beal menemukan arah suatu kekaisaran besar yang letaknya menuju sungai Moesi dimana kota Palembang berada. S. Beal adalah Sinoolog yang telah lama melakukan riset di Tiongkok. Kegundahan S. Beal memberanikan diri untuk menyurati lembaga ilmu pengetahuan (Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen) di Batavia pada tahun 1887. Dalam suratnya, Beal menyatakan bahwa ia sampai pada kesimpulan bahwa sebuah kota Hindu-Boedha yang besar pastilah berada di lokasi Palembang yang sekarang. Dalam surat itu juga Beal bertanya apakah Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen tertarik untuk memulai penyelidikan di ibukota Palembang untuk menyelidiki kemungkinan sisa-sisa pusat yang kekaisaran yang kuat tersebut.
Wakil Presiden van den Raad van Indie yang juga anggota Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, WP Groenevelt menjawab surat dan
dalam surat tersebut WP Groenevelt menyangkal dan menganggap hipotesis Beal
tidak masuk akal dan karena itu lembaga ilmu pengetahuan tertinggi di Batavia
tersebut tidak memiliki alasan untuk mengabulkan permintaannya.
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen di Batavia telah membuat keputusan yang sangat keliru. Pada tahun 1920 Mr LC Westenenk, Residen Palembang mengumumkan penemuannya di Bukit Sigoentang menemukan puing-puing patung Buddha yang bertarih 684 M (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-11-1920).
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-11-1920: ‘Residen
Westenenk mengumumkan kemarin menemukan dimana Palembang memiliki inscriptie
(tulisan kuno) Hindoe sebanyak tujuh belas catatan dan tidak rusak. Tulisan
kuno ini menunjukkan kemiripan yang sangat besar dengan tulisan di Kota Kapoer di Banka dan karena itu
mungkin sudah berusia lebih dari sepuluh abad. Ini adalah prasasti Hindoe
Melayu pertama yang ditemukan di Sumatera Selatan’.
Batavia geger. Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen kecolongan. Berbagai media (bahkan juga media di Belanda) menyindir kita kehilangan waktu 30 tahun studi untuk memperluas pengetahuan kita tentang Sriwidjaja. Disebut kehilangan waktu 30 tahun karena S Beal pada tahun 1887 telah mendorong peneliti-peneliti untuk melakukan penyelidikan di Palembang. Sindiran ini seakan mencemooh bahwa kembali Inggris selalu lebih maju selangkah di depan dari Belanda.
Mr LC Westenenk (Residen Palembang 14 Mei 1920-25 Mei 1921), bukanlah seorang
peneliti apalagi bukan seorang arkeolog. Mr LC Westenenk hanyalah pejabat
pemerintah yang memiliki perhatian terhadap perihal kepurbakalan. Media
menyindiri mungkin untuk mengolok-olok dimana berada para peneliti dan para
arkelolog Belanda selama ini. Peneliti terkenal Inggris S Beal telah diabaikan
oleh peneliti Belanda dan temuan Mr LC Westenenk seorang awam justru membuat
gempar dunia ilmu pengetahuan Belanda. Dalam hal ini head to head peneliti
Belanda kalah cepat dibandingkan Inggris.
Surat S Beal itu sesungguhnya telah menjadi isu di Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, namun entah bagaimana surat S Beal ini kembali masuk laci. Pembicaraan surat S Beal baru intens setelah Mr LC Westenenk melaporkan penemuannya (1920).
Uniknya, setelah penemuan Mr LC Westenenk, peneliti-peneliti Belanda
tidak hanya memulai langkah untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut temuan
awal Mr LC Westenenk tetapi juga laporan Jung Huhn tahun 1843 tentang
keberadaan candi di Padang Lawas dibuka kembali dan dibicarakan serius. Area
percandian di Padang Lawas sangat luas yang berpusat di (kampong) Binanga
(pertemuan sungau Batang Pane dengan sungai Baroemoen) dan kampong Pertibie
(sungai Batang Pane). Nama-nama Binanga (Minanga); Pane (Panai), Baroemoen (aroe=sungai)
dan Pertibie (Pritivi=dunia) diduga kuat berasal dari India.
Langkah inilah yang kemudian memunculkan gagasan pendirian Pusat Kepurbakalan di Palembang (bukan di Jawa). Pusat kepurbakalaan ini akan menjadi pusat kajian dalam penyelidikan lebih lanjut situs-situs tua di Palembang, Bangka, Padang Lawas dan berbagai tempat dimana akan ditemukan situs baru di Sumatra. Orang yang ditempatkan di pusat kepurbakalaan yang baru ini adalah seorang arkeolog bernama FM Schnitger.
Menurut NJ Krom dalam bukunya Hindoe-Javaansche Geschiedenis (1926) hanya tiga kompleks candi di Sumatra yakni Palembang, Muara Takus (Riau) dan Panai (Padang Lawas). Tiga daerah ini jauh mendahului dari semua tempat di Sumatra, seperti Lamuri di Aceh, Malaka dan Pagaruyung. Dari spesimen makara yang terdapat di candi Padang Lawas menurut Krom, tidak hanya lebih tua (dari candi Melayu di Muara Takus) tetapi juga menunjukkan Panai (Padang Lawas) lebih makmur pada abad kesebelas. Keberadaan Panai tercatat dalam prasasti Tanjore, 1030. Urutan keberadaan tempat-tempat penting di Sumatra (lihat Krom, 1926) adalah sebagai berikut: Sriwijaya di Palembang, kemudian Panai di muara sungai Baroemoen dan selanjutnya Jambi (dan dihulunya muncul kemudian Muara Takus).
Pelabuhan Panai berkembang setelah era pelabuhan kuno, Baros memudar.
Dengan kata lain pusat-pusat perdagangan dari pantai barat Sumatra (di Baroes)
telah bergeser ke pantai timur Sumatra dimana Palembang dan Panai menjadi
pelabuhan penting. Meski demikian, keberadaan penduduk Batak dalam mengusahaan
produk-produk alamiah (kemenyan, benzoin dan kamper) tetap sentral. Pelabuhan
Panai (di hulu sungai Baroemoen atau sungai Batang Pane) didukung oleh
bandar-bandar kecil di hulu sungai Baroemoen, tempat dimana pedagang-pedagang
India melakukan transaksi dagang dengan penduduk dari semua punjuru Tanah
Batak. Produk perdagangan kuno kemenyan, benzoin dan kamper sebagaimana
diketahui hanya dihasilkan oleh penduduk Batak. Besar kemungkinan produk ini
mengalir ke Palembang melalui pelabuhan Panai.
Pada tahun 1935, Schnitger seorang arkeolog melakukan beberapa minggu penelitian di Palembang (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 16-02-1935). Disebutkan Schnitger menemukan artefak dan candi-candi yang berasal dari abad ke-13 dan 14.
Tidak lama kemudian FM Schnitger, Kepala Pusat Kepurbakalan Sumatra di
Palembang, mendapat laporan adanya candi yang lebih tua di Simangambat, Siaboe
(dekat Padang Lawas). Schnitger kaget luar biasa dan bergegas dari Palembang
datang ke Siaboe untuk mengkonfirmasi keberadaan candi Simangambat. Tanpa pikir
panjang, FM Schnitger dan tim langsung melakukan ekskavasi terhadap candi
Simangambat dan laporannya dipublikasikan pada bulan Juni 1935 (lihat Het nieuws
van den dag voor Nederlandsch-Indie, 05-06-1935 dan Bataviaasch nieuwsblad
05-06-1935). Berita tersebuit pada kala itu sangat luar biasa, semua koran
besar di Hindia melaporkan atau melansirnya. Pada intinya, koran-koran tersebut
mengabarkan sebagai berikut: ‘Minggu lalu FM Schnitger dalam laporannya
diketahui bahwa candi Simangambat adalah candi Siwa yang dibangun pada abad
kedelapan. Di dekat Simangambat (sebelah selatan) juga ditemukan candi di Bonan
Dolok. Candi Simangambat adalah candi tertua yang dikenal di Sumatra. Candi ini
mengandung relief teratai dan yang paling mengejutkan ditemukan arca dewa
Ganesha. Bangunan candi ini merupakan lebih awal dari Borobudur dan diharapkan
akan dilakukan perlindungan. Hal yang luar biasa dalam penemuan ini, bahwa ada
relief candi yang melukiskan suatu daerah di Jawa. Sekarang, Mr. Schnitger
sedang mempersiapkan suatu ekspedisi lanjutan untuk eksplorasi ke percandian di
Baroemoen, di mana mereka berharap untuk membuat penemuan menarik di daerah
arkeologi itu. Mr Schnitger dan tim pergi ke daerah itu dan diperkirakan
berlangsung selama dua minggu’. Candi Simangambat
Laporan FM Schnitger tersebut kemudian diterbitkan dalam bentuk brosur 38 halaman 'Oudheidkundige Vondsten in Palembang' oleh penerbit EJ Brill, Leiden. 1936. Isi laporan tersebut hasilnya sangat menggemparkan: 'Candi (Hindu) Simangambat adalah candi tertua di Sumatra dan candi yang mendahului pembangunan candi (Budha) Borobudur di Jawa Tengah'.
Keberadaan candi di Simangambat boleh jadi merupakan garis continuum
kehadiran orang-orang India selatan di Sumatra: Baros, Siaboe dan Padang Lawas.
Sebagaimana diketahui, kota tertua di nusantara yang pernah tercatat adalah
Baros (konon sudah dikunjungi oleh orang-orang Mesir kuno, jaman prasejarah).
Koloni orang-orang India selatan di Baros besar kemungkinan adalah orang-orang
India selatan yang melakukan migrasi setelah mengetahui banyak penduduk lokal
di sekitar sungai Batang Angkola di Siaboe mengusahakan tambang emas
(pertambangan emas masih ditemukan hingga ini hari).
Samuel Beal adalah orang pertama yang dapat dimasukkan pada jajaran para peneliti Sriwijaya. Samuel Beal adalah orang pertama yang meyakini, meski belum menyebut Sriwijaya, ada suatu kerajaan besar yang (pernah) beribukota di Palembang. Keyakinan itu diteruskannya dengan mengirim surat ke lembaga ilmu pengetahuai Hindia Belanda di Batavia tahun 1887.
Samuel Beal bukanlah orang sembarangan. Samuel Beal adalah seorang
sarjana Inggris yang kompeten. Samuel Beal lahir di Devonport, Devon, Britania
pada tanggal 27 November 1825. Samuel Beal memperoleh gelar sarjana dari
Trinity College, Cambridge pada tahun 1847. Sebelum menjadi kapten kapal laut
Inggris, Samuel Beal adalah pejabat perguruan tinggi. Setelah bertugas di China
dan pensiun dari angkatan laut Inggris tahun 1877, Samuel Beal kemudian
diangkat sebagai Professor of Chinese di University College, London. Samuel
Beal pernah menjadi rektor di Falstone, Northumberland 1877–80 dan rektor di
Wark, Northumberland sejak 1880. Saat menjadi rektor inilah Samuel Beal
mengirim surat tentang kerajaan besar (Sriwijaya) ke lembaga ilmu pengetahuan
di Batavia tahun 1887. Dua tahun sebelum menulis surat ke Batavia ini tahun
1885i, Samuel Beal telah mendapat penghargaan DCL (Durham) sebagai pengakuan
terhadap hasil penelitiannya tentang Chinese Buddhism. Samueal Beal seorang
yang memiliki reputasi dan telah menghasilkan banyak karya terutama terkait
dengan Chinese Buddhists di India dari abad kelima hingga abad ketujuh. Bukunya
tentang Buddhism telah menjadi buku referensi para ahli. Samuel Beal meninggal
pada tanggal 20 August 1889 di Greens Norton, Northamptonshire, Britania.
Orang kedua yang dapat dimasukkan sebagai peneliti sejarah Sriwijaya adalah Mr LC Westenenk, sebab dialah yang kali pertama menemukan bukti-bukti awal tentang keberadaan sejarah Sriwijaya. Louis Constant Westenenk adalah seorang sarjana Indologi, lulusan Delf. Sebagai sarjana Indologi yang menjadi pejabat Hindia Belanda, tentu saja dia telah memhami metologi riset dan sangat tertarik tentang sejarah awal Hindia Belanda lebih-lebih dirinya adalah putra daerah (Hindia Belanda) kelahiran Semarang. Setelah penemuan awalnya tahunn 1920 tentang bukti Sriwijaya di Palembang, Mr LC Westenenk pada tahun 1922 telah menerbitkan laporan tentang aksara Rencong (Kerinci).
Mr LC Westenenk memiliki keberanian dan banyak kepandaian. Mr LC
Westenenk menguasai sejumlah bahasa nusantara diantara bahasa Kerinci dan
bahasa Minangkabau. Mr LC Westenenk diduga memhami bahasa Armenia (masih masuk
wilayah Turki) karena pernah menjadi perwakilan Belanda di Armenia sebelum
menjadi Residen di Palembang. Mr LC Westenenk, selain karya aksara Rencong juga menghasilkan sejumlah karya lainnya.
Last not but least: Schnitger adalah orang yang pertama menarik relasi antara peradaban di Sumatra dan di Jawa. Seperti telah dideskripsikan pada artikel sebelum ini. Relasi itu memiliki dua jalur navigasi pada era yang berbeda: Pertama, jalur navigasi pantai barat Sumatra dan pantai selatan Jawa yang diindikasikan adanya kemiripan candi Simangambat (Tapanuli Selatan) pantai barat Sumatra dengan candi Sewu di Klaten pantai selatan Jawa. Kedua, jalur navigasi pantai timur Sumatra dan pantai utara Jawa. Pada jalur navigasi ini dimulai pada era dinasti Dapunta yakni Dapunta Hyang Nayk di Padang Lawas (Tapanuli Selatan), Dapunta Hyang Srinagajaya di Sumatra bagian selatan (Palembang dan Bangka) dan Dapunta Seilendra di Jawa bagian tengah (lihat prasasti-prasasti abad ke-7). Jalur navigasi ini terus berkembang hingga era kerajaan maritime di Jawa dimulai (sejak kerajaan Singasari). Seperti disebut di atas, Schnitger (1936) menyimpulkan ada hubungan yang kuat antara kerajaan Singosari dengan kerajaan Panai di Padang Lawas. Salah satu bukti itu tampak dalam bentuk dan ornament candi Singasari dengan candi-candi di Padang Lawas.
Diantara pulau-pulau di Nusantara relasi Sumatra dan Jawa yang paling
kuat dari masa ke masa, mungkin itu sudah dimulai dari jaman kuno. Dalam catatan
geografi dan peta yang dibuat oleh Ptolomeus abad ke-2 tampak dalam peta semananjung
Burma (Asia) menyatu dengan Sumatra dan Jawa melalu gugus pulau-pulau di Andaman
dan Nikobar. Hal itu yang diduga menjadi sebab terdapat populasi harimau dari
Asia, Sumatra, Jawa dan Bali. Juga diduga menjadi sebab mengapa ada bukti
populasi orang negrito yang ditemukan pada awal era Pemerintah Hindia Belanda di
Jawa sebagaimana kini masih eksis di Andaman dan Nikobar. Satu yang penting
soal peradaban di Sumatra dalam risalah Ptolomeus adalah di dalam peta itu
diidentifikasi nama kota Takola (Angkola di Tapanuli Selatan?) dan disebutkan sentra
produksi kamper (yang menurut para ahli berikutnya sentra itu berada di Sumatra
bagian utara. Dalam catatan Tiongkok era Dinasti Han abad ke-2 juga disebut ada
utusan raja Yah-teao mengunjungi Peking untuk membuka pos perdagangan di pantai
selatan Tiongkok (para ahlu menyebut itu di Vietnam yang sekarang). Lalu dalam
catatan Eropa abad ke-5 secara eksplisit disebut produk kamper di ekspor dari
pelabuhan yang disebut Baroes. Selanjutnya, pada abad ke-7 terjadi navigasi
pelayaran dari Minanga (Binanga di Padang Lawas?) sebagaimana dalam prasasti
Kedoekan Boekiy (682 M) yang lalu dilanjutkan dari Bangka dan menuju Jawa
(prasasti Kota Kapoer 686 M). Ekspedisi Sumatra ke Jawa inilah yang membentuk
garis dinasti Dapunta di Sumatra dan di Jawa. Dalam hal ini nama Takola (abad
ke-2), nama Baros (abad ke-5), nama Minanga/Binanga (abad ke-7 era Dapunta dan dinasti
Dapunta Seilendra di Jawa) dan seterusnya nama Panai/Mandailing (abad ke-13 era
Singosari di Jawa) merupakan nama-nama tempat yang berada di wilayah Tapanuli
Selatan yang sekarang. Angkola/Baros di pantai barat dan Binanga/Panai di
pantai timur Sumatra. Jarak antara kedua pantai itu merupakan jarak terpendek
di pulau Sumatra antara pantai barat dan pantai timur yang mana di pantai barat
ditemukan candi terawal candi Simangambat dan kemudian di pantai timur
ditemukan puluhan candi-candi di Padang Lawas. Dengan demikian, wilayah
Tapanuli Selatan (orang Angkola/Mandailing) yang sekarang adalah salah satu wilayah
peradaban yang telah eksis sejak zaman kuno Prolomeus hingga zaman sekarang. Itu
berari sudah lebih dari seribu tahun.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar