Sabtu, 02 September 2023

Sejarah Mahasiswa (56): AA Maramis Studi ke Belanda; Doktor Ekonomi Sastrawidagda dan Mahasiswa Arnold Mononutu diBelanda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Banyak siswa pribumi asal Hindia melanjutkan studi ke Belanda dalam hal ini termasuk AA Maramis. Banyak yang berhasil, bahkan hingga mencapai gelar doktor seperti Sastra Widagda. Tentu saja ada yang gagal, Tidak banyak tetapi ada. Bagaimana dengan Arnold Mononutu di Belanda?


Mr Alexander Andries Maramis (AA Maramis) lahir 20 Juni 1897 di Manado, Sulawesi Utara pada tanggal 20 Juni 1897. Ayahnya bernama Andries Alexander Maramis (nama pertama dan tengah dibalik). AA Maramis belajar di sekolah dasar ELS di Manado. Dia kemudian masuk sekolah menengah HBS di Batavia di mana dia bertemu dan berteman dengan Arnold Mononutu dan Achmad Soebardjo. Pada tahun 1919, Maramis berangkat ke Belanda dan belajar hukum di Universitas Leiden, terlibat dalam organisasi mahasiswa Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging). Pada tahun 1924, ia terpilih sebagai sekretaris perhimpunan tersebut. AA Maramis lulus dengan gelar Mr tahun 1924. Ia kemudian kembali ke Indonesia dan memulai kariernya sebagai pengacara di Pengadilan Negeri di Semarang tahun 1925. Pada era Republik AA Maramis diangkat sebagai Menteri Keuangan dalam kabinet Indonesia pertama, menggantikan Samsi Sastrawidagda yang pada awalnya diberi jabatan tersebut pada waktu kabinet dibentuk pada tanggal 2 September 1945. Sastrawidagda mengundurkan diri setelah hanya menjabat selama dua minggu karena sakit. Sastrawidagda adalah orang pertama yang ditunjuk sebagai Menteri Keuangan Indonesia, tetapi karena waktunya yang sangat singkat, Maramis dapat dianggap, secara de facto, sebagai Menteri Keuangan Indonesia pertama. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah AA Maramis studi ke Belanda? Seperti disebut di atas, banyak siswa priobumi studi ke Belanda, ada yang berhasil dan ada yang gagal. AA Maramis termasuk yang berhasil demikian juga dengan Sastra Widagda yang bahkan mencapai gelar doctor. Bagaimana dengan studi Arnold Mononutu di Belanda? Lalu bagaimana sejarah AA Maramis studi ke Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

AA Maramis Studi ke Belanda; Doktor Ekonomi Sastra Widagda dan Mahasiswa Arnold Mononutu di Belanda

Setelah lulus sekolah dasar ELS di Manado, AA Maramis melanjutkan studi ke Batavia di sekolah menengah HBS (lihat De expres, 14-05-1912). Disebutkan lulus ujian dari kelas satu ke kelas dua di HBS antara lain AA Maramis. Teman satu kelasnya antara lain R Soewignjo, E Tangkau, W Patiwael, Raden Alisabah Soeriadiningrat, Raden Ngabehi Soewarsi Koesoemo,, Raden Amat Soebardjo, Raden Panoedjoe, Raden Goernita Soebrata, Raden Apiet Sastradiningrat.


Nama (marga) Maramis sudah tersebar di berbagai tempat di Hindia Belanda dengan berbagai profesi dan tingkatannya. AA Maramis diduga adalah anak dari AA Maramis. Nama AA Maramis diketahui pensiun sebagai juru tulis di kantor Residen di Manado tahun 1894 (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-12-1894).

Pada tahun 1913 AA Maramis lulus ujian naik dari kelas dua ke kelas tiga (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 13-05-1913). Disebutkan di Prins Hendrik School Afdeeeling H HBS 3 tahun lulus ujian naik ke kelas tiga antara lain AA Maramis dan Raden Apiet Sastradiningrat. Tampaknya Soebardjo ditransfer dari KW III Maramis dan Mas Amat Soebardjo. Semua teman-temannya yang disebut di atas ada dalam daftar kecuali Raden Alisabah Soeriadiningrat, Raden Ngabehi Soewarsi Koesoemo, ke PHS. Catatan: Mas Amat Soebardjo lulus ujian masuk di KW III tahun 1911 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 17-05-1911).


Prins Hendrik School (PHS) di Batavia dibuka tahun 1911 yang juga menyelenggarakan pendidikan sekolah umum HBS 3 tahun dan HBS 5 tahun, Siswa yang diterima adalah lulusan sekolah dasar ELS. Dalam hal ini AA Maramis dkk terbilang sebagai angkatan pertama. Sebagaimana kita lihat nanti nama-nama yang lulus dari sekolah ini antara lain (urutan tahun) Mohamad Hatta (lulus 1921 kelak Wakil Presiden RI), Ida Loemongga Nasution (lulus 1921, kelak dokter perempuan pertama Indonesia bergelar doktor/Ph.D tahun 1930 di Univ, Amsterdam), Abdoel Hakim Harahap (Gubernur pertama Sumatra Utara), Anwar Makarim (kakek Nadiem Makarim) dan Soemitro Djojohadikoesoemo (ayah Prabowo Soebianto). Pada tahun 1913 ini, bulan Desember Sorip Tagor Harahap lulus dari Veeartsenschool di Buitenzorg melanjutkan studi ke Utrecht (Dokter hewan pertama Indonesia, lulus di Univ, Utrecht tahun 1920). Sorip Tagor Harahap adalah kakek Risty/Inez Tagor. Pada tahun ini Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, pendiri Indische Vereeniging di Belanda tahun 1908, pulang ke tanah air bulan Juli dan ditempatkan sebagai guru di ELS Buitenzorg.

Oleh karena PHS belum menyelenggarakan HBS 5 tahun, maka siswa-siswa yang ingin melanjutkan ke HBS 5 tahun ditransfer ke sekolah Koning Willem III School (di Batavia). Yang transfer termasuk AA Maramis. Pada tahun 1914 AA Maramis lulus ujian naik dari kelas tiga ke kelas empat di KW III (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 23-04-1914). Disebutkan di Koning Willem III School lulus ujian dari kelas tiga ke kelas empat antara lain AA Maramis. Dalam daftar ini termasuk diantaranya Mohamad Nazir, Raden Koento, JG Kajadoe, Mas Amat Soebardjo dan Raden Hilman Djajadiningrat.


Yang lulus ujian dari kelas empat ke kelas lima hanya ada satu siswa yang berbama pribumi yakni Raden Mas Soerachman. Setelah lulus RM Soerachman melanjutkan studi ke Univ. Delft teknik kimia. RM Soerachman adalah pribumi pertama yang lulus dari Delft.. Mohamad Nazir juga melanjutkan studi (hukum) ke Belanda dan pernah menjadi ketua Indische Vereeniging (1924-1925). Pribumi pertama lulus di KW III adalah Husein Djajadiningrat (abang Hilman Djajadiningrat dari Banten) yang juga melanjutkan studi ke Belanda pada tahun 1906 (ketua Indische Vereeniging yang kedua). Achmad Soebardjo juga melanjutkan studi ke Belanda (hukum). Achmad Soebardjo juga pernah menjadi ketua Indische Vereeniging.

Setelah ujian AA Maramis sempat pulang kampong ke Manado. Pada bulan Juni sudah kembali ke Batavia  dengan kapal ss Overstraeten dari Manado via Makassar (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 15-06-1914). Pada tahun 1915 AA Maramis naik ke kelas lima (lihat De Preanger-bode, 24-04-1915). Dalam daftar tidak ada nama Raden Koento dan Kajadoe (tetapi ada nama Raden Mas Jasir). Akhirnya AA Maramis lulus ujian akhir tepat waktu (sejak dari PHS hingga di KW III) sebagaimana diberitakan Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 27-05-1916.


Dalam berita ini disebutkan dari tim pertama (tim D.) lulus ujian akhir Thung Tjeng Hiang, A Prins Winkler, H Rusting, nona PH Boerma, AA Maramis dan PJ Spiuijt. Tujuh kandidat diberikan her dan dua  ditolak (tinggal kelas). Setelah lulus apa yang dilakukan AA Maramis kurang terinformasikan, Apakah memasuki dunia kerja atau mempersiapkan diri untuk melanjutkan pendidikan ke Belanda. Demikian juga tidak terinformasikan Mohamad Nazir dan Mas Amat Soebardjo.

Di tengah semakin intensnya kegiatan Ver. Oost en West dan gonjang-ganjing tentang perguruan tinggi kedokteran, tiga lulusan KW III berangkat secara terpisah menuju Belanda. Mas Amat Soebardjo berangkat dengan kapal ss Sindoro tanggal 22 Mei dari Batavia dengan tujuan akhir Rotterdam (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 20-05-1919). Sedangkan AA Maramis dan [Mohamad] Nazir [Datoek] Pamoentjak dengan kapal ss Willis dari Padang tanggal 30 Mei (lihat Sumatra-bode, 27-05-1919). Hanya mereka bertiga di dua kapal itu nama pribumi. Keberangkatan mereka bertiga ke Belanda diduga kuat untuk melanjutkan studi. Lalu yang menjadi pertanyaan apa yang mereka lakukan bertiga sejak lulus HBS bulan Mei 1916 (bukankah itu waktu yang cukup lama?).


Pada tahun ini tiga dokter lulusan STOVIA yang telah bekerja pada pemerintah akan melanjutkan studi kedokteran ke Belanda. Mareka bertiga adalah Dr Sardjito (Batavia). Dr Soetomo (Palembang) dan Dr Mohamad Sjaaf (Medan). Catatan: lulusan STOVIA disebut Indisch Arts (hanya berlaku di Hindia), sedangkan lulusan di Belanda dengan gelar Arts (setara Eropa/Belanda). Pada tahun ini (1919) di Belanda Dr Sarwono berhasil meraih gelar doktor (Ph.D) bidang medis.

Kapal yang membawa AA Maramis dan Mohamad Nazir akan merapat pada tanggal 3 Juli di pelabuhan Rotterdam (lihat De Maasbode, 08-07-1919). Siapa yang menjemput mereka? Tentu saja para anggota Indische Vereeniging. Itulah fungsi utama bagi calon mahasiswa pendatang baru.


Soetan Casajangan pada tahun 1905 pernah menulis artikel di majalah Bintang Hindia yang beredar luas di Hindia, yang intinya salah satu fungsi orang Indonesia di Belanda adalah menyambut kehadiran calon mahasiswa baru dan memberi informasi bagi siswa-siswa yang masih duduk di sekolah tentang sekolah-sekolah yang dapat dipilih di Belanda serta tip persiapan selama di tanah air dan selama perjalanan serta selama studi di Belanda. Hal itulah mengapa nama Soetan Casajangan selalu diingat oleh para anggota Indische Vereeniging. Soetan Casajangan tidak hanya memelopori siswa-siswa pribumi di Hindia untuk studi di Belanda, juga Soetan Casajangan yang memelopori didirikannya organisasi mahasiswa Indische Vereeniging (bahkan hingga ini hari masih eksis dengan nama Perhimpunan Indonesia).

Saat AA Maramis tiba di Belanda tahun 1919, jumlah mahasiswa Indonesia sudah ada 100an orang. Setelah kembali ke tanah air bulan Juli 1913, Soetan Casajangan pada awal Januari akan kembali ke Belanda untuk memenuhi undangan Vereeniging Oost en West untuk berpidato (suatu undangan yang pernah diterimanya pada tahuhn 1911, saat Soetan Casajangan lulus dan mendapat gelar sarjana pendidikan). Seperti kita lihat nanti, Soetan Casajangan berangkat dari Batavia tanggal 14 Februari 1920 dengan kapal ss Patria (lihat Sumatra-bode, 12-02-1920). 


AA Maramis di Belanda tidak terinformasikan apa yang tengah dilakukan, apakah sudah langsung masuk kuliah atau sedang mempersiapkan diri untuk memasuki universitas. Berita yang ada adalah Dr Soetomo dan Dr Mohamad Sjaaf berangkat ke Belanda dengan kapal ss Rindjani tanggal 15 November (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 14-11-1919). Dalam manifes kapal tercatat keduanya sama-sama membawa istri. Bagaimana Mas Amat Soebardjo juga tidak terinformasikan. Yang jelas pada bulan April 1920 diketahui bahwa Mas Amat Soebardjo sudah menjadi ketua Indische Vereeniging (lihat Sumatra-bode, 08-06-1920). Disebutkan hari Sabtu, 17 April di Den Haag diadakan pertemuan umum di Indische Vereeniging. Ketua, Mas Soebardjo membuka pertemuan. Berdasarkan majalah Kolonial Weekblad, Mr Z Stokvis memberikan kuliah (presentasi umum). Mr Stokvis menyatakan bahwa Iindische Vereeniging bersimpati padanya, Mr Stokvis adalah Direktur Urusan Pribumi di Hindia. Mr Stokvis membahas topik pendidikan dan kerjasama. Soetan Casajangan dalam pertemuan turut hadir. Soetan Casajangan berpendapat bahwa bahasa Belanda masih tetap diperlukan selama itu diperlukan untuk menggantikan bahasa Belanda dengan bahasa Melayu. Sepuluh tahun yang lalu saya dan Noto Soeroto telah menulis itu yang dimuat pada surat kabar Nieuw Rotterdam Courant. Lebih lanjut dikatakan Soetan Casajangan bahwa ini adalah pertanyaan terbuka apakah orang pribumi yang terceragkan di sini (Belanda, red) tidak mengasingkan diri dari Hindia? Yang lalu dijawabnya bahwa seseorang yang merasa dirinya berada di tempatnya, ia kembali kesana (Hindia, red). Dalam pertemuan ini juga hadir Dahlan Abdoellah (ketua Indische Vereeniging sebelumnya) mengomentasi Stokvis bahwa dia mengakui bahwa terlalu sedikit pekerjaan yang telah dilakukan (dengan bahasa Belanda bagi pribumi), tetapi perbaikan telah terjadi. Namun, apakah orang Hindia itu cukup dipercaya? Pendidikan di Hindia sedang didorong ke pihak Belanda. Mr Stokvis menjawab dan berpendapat bahwa ini soal bagaimana memajukan apa yang disebut mengajar. Pendidikan hanya berjalan kesana ke arah Belanda dimana bahasa Belanda adalah bahasa resmi, sebaliknya di Hindia bukan bahasa Belanda. Saat ini tidak ada perbedaan antara calon mahasiswa Belanda dan Hindia. Tapi sejauh menyangkut mahasiswa bagi Stokvis tempat pertama adalah belajar, setelah itu [Anda] bebas di bidang politik. Terakhir, pada kesempatan itu, Stokvis menjelaskan bahasa dan berpendapat bahwa bahasa di Hindia dapat digunakan untuk tujuan ini, karena bahasa menyesuaikan dengan kebutuhan.

Bagaimana Mas Amat Soebardjo menjadi ketua Indische Vereeniging tentulah sesuatu yang luar biasa. Bukankah Mas Soebardjo masih mahasiswa junior di Belanda. Bandingkan dengan Dahlan Abdoelah yang datang ke Belanda tahun 1913 bersama Sorip Tagor Harahap (yang mana tahun ini Sorip Tagor telah menyelesaikan studi dan mendapat gelar sarjana kedokteran hewan/setara Eropa/Belanda).


Boleh jadi ini suatu regenerasi bahwa yang muda yang mengurus rumahtangga Indische Vereeniging. Namun biasanya, sejak era Soetan Casajangan yang menjadi pengurus adalah mahasiswa yang bersedia sukarela dan bisa membagi waktu antara organisasi dan studi. Hal ini sebenarnya bukan hal baru, Pada saat pembentukan Indische Vereeniging tahun 1908 yang mana sebagai ketua Soetan Casajangan yang menjadi sekretaris adalah Raden Soemitro (lulus HBS Semarang yang baru tahun itu tiba di Belanda).

Lalu, bagaimana studi Mas Soebardjo, apakah dia sudah kuliah dan di fakultas dan universitas mana? Yang jelas AA Maramis baru bulan-bulan ini lulus ujian persyaratan masuk universitas (lihat Nederlandsche staatscourant, 20-10-1920). Disebutkan dalam berita itu sertifikat kompetensi untuk belajar di universitas pada fakultas kedokteran dan matematika dan fisika diberikan antara lain AA Maramis. Dalam daftar ini tidak ada nama Soebardjo dan Mohamad Nazir, yang ada adalah nama-nama Belanda dan Cina.


Sementara itu, Dr Soetomo dan Dr Mohamad Sjaaf yang datang langsung kuliah (lihat Algemeen Handelsblad, 20-11-1920). Disebutkan Raden Soetomo dan Mohamad Sjaaf lulus ujian medis pertama di Universiteit Amsterdam. Sedangkan Dr. Sardjito diketahui dengan kapal ssGoentoer berangkat dari Tandjoeng Priok tanggal 8 Desember 1920 dengan tujuan akhir Rotterdam (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 07-12-1920).

Pada tahun 1920 ini AA Maramis sudah mendapatkan sertifikat masuk universitas pada bidang (fakultas IPA) kedokteran, matematika dan fisika. Ini mengindikasikan AA Maramis akan memasuki sekolah-sekolah IPA seperti kedokteran, kedokteran hewan, pertanian dan teknik. Ujian sertifikat ini hanya ditujukan kepada calon mahasiswa dari luar Belanda seperti Hindia dan Suraame (semacam ujian persamaan) yang akan memilih uiversitas negeri.


Seperti disebutkan di atas, pada saat pertemuan yang diadakan di Indische Vereeniging, Mr Stokvis menyatakan bahwa saat ini calon mahasiswa Belanda dan calon mahasiswa Hindia diperlakukan sama dan memang terbukti dapat diraih oleh calon mahasiswa Hindia seperti AA Maramis tersebut.

Dalam pertemuan Indische Vereeniging juga dihadiri oleh Soetan Casajangan. Soetan Casajangan yang diundang Vereeniging Oost en West akan berpidato. Ini mengindikasikan bahwa Soetan Casajangan di Belanda masih dianggap tokoh terpenting di Indische Vereeniging. Soetan Casajangan berpidato di hadapan para anggota organisasi ahli dan peminat Hindia tersebut pada tanggal 28 Oktober 1920 dengan makalah 19 halaman yang berjudul :'De associatie-gedachte in de Nederlandsche koloniale politiek (modernisasi dalam politik kolonial Belanda). Dalam forum yang diadakan di Amsterdam itu juga dihadiri oleh Sultan Yogyakarta. Soetan Casajangan tetap dengan percaya diri untuk membawakan makalahnya. Berikut beberapa petikan isi pidatonya:


Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).


....saya berterimakasih kepada Mr. van Rossum, ketua organisasi...yang mengundang dan memberikan kesempatan kembali kepada saya...di hadapan forum ini....pada bulan 28 Maret 1911 (sekitar sepuluh tahun lalu)...saya diberi kesempatan berpidato karena saya dianggap sebagai pelopor pendidikan bagi pribumi...ketika itu saya menekankan perlunya peningkatan pendidikan bagi bangsa saya...(terhadap pidato itu) untungnya orang-orang di negeri Belanda yang respek terhadap pendidikan akhirnya datang ke negeri saya..dan memenuhi kebutuhan pendidikan (yang sangat diperlukan bangsa) pribumi. Gubernur Jenderal dan Direktur Pendidikan telah bekerja keras untuk merealisasikannya..yang membuat ribuan desa dan ratusan sekolah telah membawa perbaikan..termasuk konversi sekolah rakyat menjadi sekolah yang mirip (setaraf) dengan sekolah-sekolah untuk orang Eropa..


Sekarang saya ingin berbicara dengan cara yang saya lakukan pada tahun 1911...saya sekarang sebagai penafsir dari keinginan bangsaku..politik etis sudah usang..kami tidak ingin hanya sekadar sedekah (politik etik) dalam pendidikan...tetapi kesetaraan antara coklat dan putih...saya menyadari ini tidak semua menyetujuinya baik oleh bangsa Belanda, bahkan sebagian oleh bangsa saya sendiri...mereka terutama pengusaha paling takut dengan usul kebijakan baru ini...karena dapat merugikan kepentingannya..perlu diingat para intelektual kami tidak bisa tanpa dukungan intelektual bangsa Belanda..organisasi ini saya harap dapat menjembatani perlunya kebijakan baru pendidikan. saya sangat senang hati Vereeniging Moederland en Kolonien dapat mengupayakannya...karena anggota organisasi ini lebih baik tingkat pemahamannya jika dibandingkan dengan Dewan..’.

Sebagai kilas balik pidato Soetan Casajangan pada tahun 1911 yang dapat dibaca dalam makalahnya. Saat itu (1911) baru lulus sarjana pendidikan di Belanda. Jadi dalam hal ini Soetan Casajangan konsisten dari masa ke masa untuk memajukan pendidikan pribumi. Dalam forum yang diadakan pada tahun 1911, Soetan Casajangan, berdiri dengan sangat percaya diri dengan makalah 18 halaman yang berjudul: 'Verbeterd Inlandsch Onderwijs' (peningkatan pendidikan pribumi): Berikut beberapa petikan penting isi pidatonya.


Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).

 

    ..saya selalu berpikir tentang pendidikan bangsa saya...cinta saya kepada ibu pertiwa tidak pernah luntur...dalam memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung mengemukakan yang seharusnya..saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir dalam forum ini). Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku untuk saya dan juga untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang indah. Bukan hanya ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan yang lebih tinggi...hak yang sama bagi semua...sesungguhnya dalam berpidato ini ada konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya (melihat ketidakadilan dalam pendidikan pribumi).

Last but not least. Bagaimana dengan Mohamad Nazir dan Mas Soebardjo. Keduanya baru mendapat sertifikat masuk perguruan tinggi setahun setelah AA Maramis memperolehnya (lihat De Maasbode, 21-07-1921). Disebutkan Ujian Masuk Universitas Negeri di Utrecht 20 Juli. Sebanyak 12 calon fakultas teologi, dll dan 12 calon fakultas kedokteran, dll. Yang lulus diploma B antara lain MN Datoek Pamoentjak dan A Soebardjo,


Masa kepengurusan Mas Amat Soebardjo berakhir. Pada tahun 1921 ini yang menjadi ketua adalah Dr Soetomo (lihat Provinciale Overijsselsche en Zwolsche courant,  28-06-1921). Disebutkan R Soetomo sebagai ketua dan Mohamad Sjaaf sebagai sekretaris Indische Vereeniging. Mas Amat Soebardjo lulus ujian kandidat pada tahun 1922 (lihat Haagsche courant, 24-10-1922). Lantas bagaimana dengan Mohamad Nazir? Mohamad Nazir pada tahun ini disebut lulus ujian kandidat (lihat De Preanger-bode, 22-01-1923). Dalam rekapitulasi kelulusan tahun 1922 ini juga dinyatakan Dr Sardjito lulus ujian arts.

AA Maramis diduga kuat diterima di unversiteit pada tahun 1920, Pada tahun 1925 AA Maramis lulus ujian doktoral (lihat Arnhemsche courant, 20-06-1924). Disebutkan di Universiteit te Leiden, lulus ujian doktoral (Mr) AA Maramis. AA Maramis kembali ke tanah air.


Mohamad Nazir hingga tahun 1928 masih disebut mahasiswa. Demikian juga dengan Achmad Soebardjo (sebelumnya Mas Amat Soebardjo). Mereka ini teta tergabung dalam kepengurusan Mohamad Hatta di PI dalam perjuangan yang menjalin hubungan dengan organisasi internasional. Pada tahun 1929 Achmad Soebaedjo alias Abdoel Manaf masih di Belanda tetapi sudah disebut gelar Mr.

Di tanah air Mr AA Maramis diizinkan pemerintah menjadi advocaat en procureur di wilayah kerja Raad van Justitie di Semarang (lihat De locomotief, 16-02-1925).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Doktor Ekonomi Sastra Widagda dan Mahasiswa Arnold Mononutu di Belanda: Studi ke Belanda Masa ke Masa

AA Maramis lulus ujian dari kelas satu ke kelas dua HBS di PHS Batavia (lihat De expres, 14-05-1912). Teman satu kelasnya antara lain Raden Amat Soebardjo. Pada tahun 1913 AA Maramis lulus ujian naik dari kelas dua ke kelas tiga (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 13-05-1913). Mereka ditransfer ke KW III. Pada tahun 1914 AA Maramis lulus ujian naik dari kelas tiga ke kelas empat di KW III (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 23-04-1914). Dalam daftar ini termasuk diantaranya Mohamad Nazir, Raden Koento, JG Kajadoe, Mas Amat Soebardjo dan Raden Hilman Djajadiningrat.


Sekolah Arnold Mononutu di Batavia adalah sekolah berasrama Gymnasium Willem III. Di sekolah nauangan Koning Willem III School (KW III) setingkat sekolah menengah (MULO) dimana siswa yang diterima harus lulusan ELS. Pada tahun 1912 Arnold Mononutu lulus ujian naik dari kelas satu ke kelas dua (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 02-05-1913). Disebutkan di Gymnasium Willem III lulus ujian dari kelas satu naik ke kelas dua antara lain ZIA Mononoetoe Wilson. Teman-teman sekelas Arnold Mononutu di  GW III antaralain J Latuperisa, Raden Mas Czarwitz, EP Poeteraij, Raden Oetja, Mas Josef Koesoema, JC Lopulisa, Mohammad Masseri, Mas Soepono dan Tadjoedin Hamid serta EWD Matullesija. Yang naik ke kelas tiga antara lain Hilman Djajadiningrat dan P Latuperisa. Pada tahun 1914 A Mononutu naik ke kelas tiga (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 22-04-1914). Pada tahun 1915 A Mononutu naik ke kelas empat (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 21-04-1915). Dalam daftar tersebut hanya A Mononutu dan Raden Mas Chamid serta R Oetja.

Pada tahun 1915 AA Maramis naik ke kelas lima (lihat De Preanger-bode, 24-04-1915). Akhirnya AA Maramis lulus ujian akhir tepat waktu (sejak dari PHS hingga di KW III) sebagaimana diberitakan Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 27-05-1916.


Setelah tahun 1915, nama A Mononutu atau dicatat sebagai ZAI Mononutu atau ZIA Mononutu tidak terinformasikan lagi. Jika A Mononutu lancar dalam belajar diperkirakan akan lulus HBS 5 tahun di KW III Batavia pada tahun 1917.

Pada tahun 1924 AA Maramis lulus ujian doktoral (lihat Arnhemsche courant, 20-06-1924). A Mononutu dengan nama ZAI Wilson tinggal di Den Haag (lihat Algemeen Handelsblad edisi 22-09-1924).


Lantas mengapa A Mononutu mengubah nama belakangnya dari nama Mononutu menjadi Wilson. Nama Wilson sebelumnya digunakan C Ch Wilson sebelum diubahnya menjadi C Ch Mononutu (merujuk nama/marga ayahnya). Lantas kapan A Mononutu dengan nama ZAI Mononutu atau ZAI Wilson berangkat dari tanah air ke Belanda. Atas nama ZAI Wilson diketahui berangkat pada tahun 1920 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indiee, 19-03-1920). Disebutkan kapal ss Vondel pada tanggal 20 Maret 1920 berangkat dari Batavia dengan tujuan akhir Amsterdam. Dalam manifest kapal nama ZAI Wilson dengan tujuan Amsterdam. Mononutu nama belakang sang kakek, Sang ayah awalnya menggunakan nama belakang Wilson (C Ch Wilson) lalu mengubahnya semasa di Gorontalo dengan nama belakang Mononutu (C Ch Mononutu). Idem dito sang anak. Awalnya disebut dengan nama ZAI Mononutu, tetapi kemudian berubah menjadi ZAI Wilson. Ayah ZAI Mononutu atau ZAI Wilson adalah seorang Minahasa, sedangkan ibu seorang Indo-Eropa. Seperti disebut di atas, ZAI Mononutu terakhir bersekolah di KW III naik ke kelas empat pada tahun 1915. Setelah itu tidak pernah terinformasikan Namanya. Bisa jadi ZAI Mononutu tidak menyelesaikan studi di KW III dan pulang kampong dan mulai membangun usaha di Ternate dengan nama Crediet-en Handelsvereeniging Banda (dimana sang ayah bertugas). Untuk meningkatkan keahlian, ZAI Mononutu dengan nama ZAI Wilson berangkat ke Belanda untuk memperdalam pengetahuan (pada tahun 1920). Zai Mononutu atau ZAI Wilson atau kalau digabung Mononutu Wilson pada bulan Sepetember disebutkan kembali ke tanah air (lihat Deli courant, 05-10-1927). Disebutkan Mononutu Wilson atas nama A Wilson tiba tanggal 16 di Singapura dengan kapal Coblenz, lalu dengan nama A Wilson berangkat ke Batavia dengan kapal Plancius yang tiba di Tandjoeng Priok pada 18 September. Lantas apakah benar A Wilson adalah ZAI Wilson atau ZAI Mononutu? A Wilson diberitakan di Batavia beralamat di Djoharlaan 24 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 08-10-1927). Jika mengacu pada saat keberangkatan atas nama ZAI Wilson, hingga kembali ke Batavia tahun 1927, Mononutu Wilson terbilang cukup lama di Eropa/Belanda. Lalu bagaimana dengan pendidikannya?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar