Sabtu, 24 Mei 2025

Sejarah Pendidikan (20): Doktor Indonesia Tidak Kalah dari Belanda; Doktor Indonesia Lebih Banyak dari Jumlah Doktor Belanda?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pendidikan dalam blog ini Klik Disini

Pada masa ini gelar doktor (Ph.D) di Indonesia adalah suatu yang biasa. Bagaimana dengan di masa lalu? Doktor sendiri dalam hal ini adalah gelar akademik tertinggi yang dapat dicapai oleh siswa/mahasiswa. Narasi masa kini menyebut Hoesein Djajadinigrat sebagai orang Indonesia pertama yang berhasil meraih gelar doktor (https://www.detik.com/). Itu satu hal. Hal lainnya adalah apakah doktor Indonesia tidak kalah dengan doktor Belanda dan apakah doktor Indonesia lebih banyak dari doktor Belanda? Mari kita telusuri.


Inilah Lima Dokter Hebat Indonesia Pada Zaman Penjajahan Belanda oleh Hans Pols. National Geographic Indonesia. 23-05-2019: ‘Selama 90 tahun (1852-1942) Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie merupakan jurnal kedokteran terpenting di Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia meluncurkan buku yang ditulis oleh dokter Belanda dan sejarawan medis, salah satunya saya sendiri. Dokter-dokter Indonesia beberapa di antaranya pernah belajar di Belanda. Berikut ini lima dokter pada era kolonial yang paling terkemuka: 1. Sardjito; lulus STOVIA, 1915; menyelesaikan skripsi di Universitas Leiden; pada 1924 meraih gelar Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas John Hopkins Amerika Serikat. 2. Sarwono Prawirohardjo; lulus STOVIA, 1929; delapan tahun kemudian lulus dari Batavia Medical School; 1950 ditetapkan profesor di FKUI; ketua pertama LIPI. 3. Sutomo Tjokronegoro; lulus di Batavia Medical School, 1935. 4. Raden Djenal Asikin Widjaja Koesoema; lulus STOVIA, 1914; meraih gelar kedokteran di Universitas Amsterdam, 1925, sebagai profesor di FKUI, 1950. 5. Achmad Mochtar; lulus STOVIA, 1916, menerima gelar kedokteran dari Universitas Amsterdam, 1927; Direktur Lembaga Eijkman era Jepang di Indonesia’ (https://nationalgeographic.grid.id/)

Lantas bagaimana sejarah doktor Indonesia tidak kalah dengan doktor Belanda? Seperti disebut di atas doktor adalah gelar akademik tertinggi yang dapat dicapai oleh siswa/mahasiswa termasuk orang Indonesia. Ada kesan jumlah doktor Indonesia hanya segelintir ketimbang doktor Belanda. Lalu bagaimana sejarah doktor Indonesia tidak kalah dengan doktor Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Doktor Indonesia Tidak Kalah dengan Doktor Belanda; Doktor Indonesia Lebih Banyak dari Doktor Belanda?

Orang Indonesia pertama studi ke Belanda adalah Sati Nasoetion, berangkat tahun 18v57. Sati Nasoetion alias Willem Iskander tahun 1860 lulus studi dengan hulpacte (guru bantu setara lulus SMP). Willem Iskander pada tahun 1862 mendirikan sekolah guru (kweekschool) di Tanobato, Mandailing, Tapanoeli. Pada tahun 1864 Ismangoen Danoe Winoto berangkat studi ke Belanda. Pada tahun 1871 Ismangoen Danoe Winoto lulus ujian ambtenaren Oost Indie (lihat Delftsche courant, 12-07-1871). Ini mengindikasikan Ismangoen telah menyelesaikan sekolah HBS (setara SMA) di Belanda dan kemudian diterima di akademi pemerintahan (setara IPDN sekarang).


Pada tahun 1874 Willem Iskander berangkat studi ke Belanda dengan membawa tiga guru muda (Raden Soerono dari Soerakarta; Raden Sasmita dari Bandoeng dan Barnas Lubis dari Tapanoeli). Mevreka berempat dibiayai pemverintah. Willem Iskander melanjutkan studi keguruan untuk mendapatkan akta guru LO (setara lulusan SPG); sementara tiga guru muda untuk mendapat akta guru bantu (hulpacte).

Tahun 1875 Ismangoen Danoe Winoto lulus studi (lihat De standaard, 15-07-1875). Lulusan akademi ini berhak diangkat sebagai pejabat pemerintah (Ambtenar) di Hindia Belanda. Ismangoen Danoe Winoto dan kawan-kawan diangkat Menteri Koloni sebagai pegawai pemerintah di Hindia Belanda berdasarkan tanggal 28 Agustus (lihat Algemeen Handelsblad, 02-09-1875).


Barnas Lubis meninggal di Belanda. Sementara Raden Soevrono yang sakit dikirim ke Hindia untuk penyembuhan tetapi meninggal di perjalanan dan dikuburkan di Port Said, terusan Suez Mesir (lihat Opregte Haarlemsche Courant, 06-09-1875). Pada akhir tahun 1875 Willem Iskander lulus dan menerima akta guru LO. Raden Sasmita belum selesai studi. Seiring dengan kelulusan Ismangoen Danoe Winoto dan penempatannya di Hindia muncul isu yang mana Ismangoen Danoe Winoto yang berpendidikan lisensi Eropa/Belanda tetapi mendapat resistensi diantara orang Belanda di Hindia Belanda (lihat Bataviaasch handelsblad, 02-12-1875). Disebutkan Ismangoen Danoe Winoto, dianggap, meski memiliki pendidikan lisensi Eropa/Belanda hanya dapat diangkat di pengadilan (Landraad) atau pejabat di lingkungan penduduk pribumi. Dalam hal ini sudah barang tentu Ismangoen Danoe Winoto meradang. Sikap rasialis diantara orang Belanda kini menjadikan Ismangoen menjadi sasaran tembak.

Willem Iskander menikah dengan Maria Jacoba Christina Winter di Amsterdam pada tanggal 27 Januari 1876 (lihat Algemeen Handelsblad, 29-01-1876). Keesokan harinya Ismangoen Danoe Winoto menikah dengan CH van Steeden di Borculo, 28 Januari 1876 (lihat Opregte Haarlemsche Courant, 29-01-1876).


Ismangoen Danoe Winoto bersama istri akhirnya berangkat pulang ke tanah air dengan menumpang kapal Amalia (lihat Het nieuws van den dag: kleine courant, 20-03-1876). Bulan madu Ismangoen Danoe Winoto dan istri akan dilanjutkan di dalam pelayaran dari Belanda ke Hindia. Willem Iskander belum bisa pulang ke tanah air. Boleh jadi guru muda Raden Sasmita yang dibimbingnya belum selesai studi.

Alih-alih mvenunggu Raden Sasmita lulus ujian, Willem Iskander diberitakan telah meninggal dunia. MJC Winter membuat berita duka yang dimuat dalam surat kabar (lihat Algemeen Handelsblad, 21-05-1876). Disebutkan Willem Iskander meninggal dalam usia 36 tahun. MJC Winter yang memasang berita duka tersebut menyebut dirinya sebagai Janda Willem Iskander. Raden Sasvita di Belanda menjadi sorangan (hanya seorang diri). Lalu siapa orang Indonesia yang menyusul studi ke Belanda? Sementara pemerintah masih mengirim guru-guru muda untuk studi ke Belanda, di tanah air Oei Jan Lee mengikuti ujian masuk dan diterima di Gymnasium Willem III School, Afdeeling HBS di Batavia tahun 1878 (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 04-10-1878).


Disebutkan ujian penerimaan untuk Gymnasium Willem III Afd HBS tahap ketiga (terakhir) yang mana yang lulus antara lain ditempatkan di kelas dua. Gymnasium Willem III School, Afdeeling HBS di Batavia dibuka pada tahun 1860. Dalam perkembanganya dibuka akses bagi siswa-siswa non Eropa/Belanda. Pada tahun 1879 Oei Jan Lee lulis ujian transisi naik dari kelas dua ke kelas tiga (lihat Bataviaasch handelsblad, 09-08-1879). Yang lulus ujian trnasisi ke kelas tiga (tanpa syarat) selain Oei Jan Lee antara lain Tan Tjoen Lian, Raden Mas Notodirodjo, Moentadjieb dan Raden Mas Soemito.

Pada tahun 1880 Oei Jan Lee lulus ujian naik dari kelas tiga ke kelas empat (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 11-08-1880). Demikian juga Tan Tjoen Liang lulus tanpa syarat. Pada tahun 1881 dalam daftar kelulusan HBS di G Willem III hanya terdapat nama Tan Tjoen Liang, naik dari kelas empat ke kelas lima (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 07-11-1881). Bagaimana dengan Oei Jan Lee?


Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 07-11-1881: ‘Oei Jan Lee adalah anak dari Letnan Cina di Bandanaira (Maluku) yang mengawali pendidikan di sekolah dasar berbahasa Belanda (ELS) kemudian melanjutkan studi ke sekolah swasta (1875-1877). Lalu di bawah asuhan WG van Krieken dilakukan persiapan untuk masuk ke HBS di GW III S Batavia, seperti disebut di atas, lulus dan diterima tahu 1878 (pada tahun 1881 tidak terinformasikan apakah Oei Jan Lee gagal ujian transisi). Beberapa bulan yang lalu Oei Jan Lee dengan HBS tiga tahun berangkat ke Leiden pada usia 19 untuk belajar untuk menjadi pengacara. Redaksi telah membaca surat pertama Oei Jan Lee dari Belanda untuk orang tuanya di Bandaneira. Dari berita ini terkesan bahwa Oei Jan Lee tidak meneruskan HBS di Batavia setelah lulus kelas tiga (setara SMP) dan meneruskan HBS (setara SMA) di Belanda’.    

Kehadiran Oei Jan Lee di Belanda telah membuat heboh (lihat Algemeen Handelsblad, 13-12-1881). Disebutkan kehadiran Oei Jan Lee adalah orang Cina yang pertama di Belanda yang dikomentavri dengan reaktif yang memberi peringatan bagi siswa-siswa Belanda. Disebutkan jika Oei Jan Lee berhasil menjadi pengacara maka orang-orang Cina akan memilihnya sebagai pengacara dan itu menjadi alarm bagi pengacara Belanda; dan juga jika Oei Jan Lee ini semakin banyak maka itu akan mengurangi peluang mahasiswa dan lulusan hukum Belanda berkarir di Hindia. Dampaknya tidak terasa sekarang, tetapi akan terlihat nanti. Fakta bahwa Oei Jan Lee belum diterima di sekolah hukum di Belanda karena masih menyelesaikan pendidikan HBSnya.


Kehadiran Oei Jan Lee dengan cita-citanya untuk menjadi pengacara sudah mulai terkesan heboh. Ada resistensi dari orang Belanda. Hal itu juga yang diterima oleh Ismangoen Danoe Winoto saat lulus akademi di Belanda pada tahun 1875. Lantas apakah kematian Willem Iskander bulan Mei 1876 juga terkait dengan kelulusan Willem Iskander dan mendapat akta guru LO (guru setara Eropa)?

Sementara Oei Jan Lee diketahui tengah mengikuti atau meneruskan sekolah HBS di Belanda, juga diketahui teman Oei Jan Lee di HBS Batavia, Tan Tjioen Liang sudah berada di Belanda (lihat Delftsche courant, 11-12-1883). Disebutkan di Politeknik di Delft terdaftar Tjoen Liang Tan, seorang Cina, putra kapten Cina di Buitenzorg. Tan Tjoen Liang menyelesaikan HBS lima tahun di Batavia pada tahun ini. Tan Tjoen Liang adalah mahasiswa Indonesia kedua di Belanda setelah Ismangoen Danoe Winoto.


Le courrier de la Meuse, 12-12-1883: ‘Oei Jan Lee sekarang belajar di Gymnasium di Leiden. dengan harapan tahun depan, pada usia 19 tahun, Oei Jan Lee akan diterima di perguruan tinggi untuk mendapatkan gelar sarjana di bidang hukum. Oei Jan Lee putra Letnan Cina di Bandaneira, Oei Soei Tjoan’.

Oei Jan Lee lulus ujian akhir HBS di Leiden (lihat Het nieuws van den dag: kleine courant, 09-07-1884). Disebutkan di Leiden ujian (ujian masuk perguruan tinggi) di Gymnasium diantaranya Oei Jan Lee afdeeling A (bidang hukum). Pada tahun 1885 Oei Jan Lee lulus ujian kandidat di bidang hukum di Rjiksuniversiteit te Leiden (lihat Het vaderland, 19-10-1885). Oei Jan Lee akhirnya lulus ujian dan mendapat gelar sarjana hukum Mr (lihat Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage, 15-10-1888). Oei Jan Lee menjadi sarjana Indonesia pertama.


Diantara guru-guru muda yang dikirim setelah Raden Sasmita, ada yang gagal, ada yang sakit dan kembali ke tanah air dan juga ada yang meninggal di Belanda. Salah satu yang berhasil adalah JH Watimena yang berangkat studi ke Belanda tahun 1881 (lihat Het nieuws van den dag: kleine courant, 16-09-1881). JH Wattimena dikabarkan lulus sekolah guru di Amsterdam dan mendapat akta guru Lager Onderwijs (LO) (lihat Algemeen Handelsblad, 07-04-1884). Disebutkan dari 14 kandidat yang diuji oleh Universiteit Amsterdam empat siswa dinyatakan lulus, salah satu diantaranya JH Wattimena (tinggal di Amsterdam). Setelah semua urusan beres di Belanda, JH Wattimena kembali ke tanah air (lihat Algemeen Handelsblad, 06-09-1884). Sejak tahun 1884 tidak ada lagi guru muda yang dikirim studi ke Belanda. Dalam konteks inilah nama Oei Jan Lee dan Tan Tjioen Liang di Belanda menjadi penting.

Oei Jan Lee tampaknya belum puas dengan pencapaian sarjana hukum. Oei Jan Lee lalu melanjutkan studi ke tingkat doctoral untuk meraih gelar tertinggi dalam akademik. Pada bulan Januari 1889, Mr Oei Jan Lee diberitakan meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang hukum di Leiden (lihat Nieuwe Vlaardingsche courant, 16-01-1889). Lalu bagaimana dengan Tan Tjioen Liang?

Tunggu deskripsi lengkapnya

Doktor Indonesia Lebih Banyak dari Doktor Belanda? Oei Jan Lie (1889) hingga Masdoelhak Hamonangan Nasoetion (1943)

Doktor asal (kelahiran) Belanda bukanlah tandingan doktor Indonesia. Tidak head to head. Doktor Belanda kelahiran Belanda haruslah disandingkan dengan doktor kelahiran Inggris di Inggris atau doktor kelahiran Jerman di Jerman. Yang dapat diperbandingkan adalah doktor Eropa/Belanda kelahiran Hindia (Indo) dengan doktor non Eropa kelahiran Hindia (pribumi dan Cina=Indonesia).


Yang menjadi pertanyaan seberapa banyak orang Belanda kelahiran Hindia yang meraih gelar sarjana di Belanda dan seberapa banyak mereka yang berhasil meraih gelar doktor. Mr Oei Jan Lee, Ph.D, orang Indonesia pertama bergelar doktor menjadi heboh diantara orang Belanda (baik di Belanda maupun di Hindia) pada tahun 1889.

Sejak permulaan Pemerintah Hindia Belanda sudah banyak sarjana Belanda yang datang ke Hindia untuk bekerja. Namun doktor-doktornya jarang yang memilih bekerja permanen di Hindia. Doktor Belanda masih laris manis di Belanda. Orang Belanda kelahiran Hindia (Indo) yang diharapkan akan bekerja permanen di Hindia. Salah satu orang Belanda kelahiran Hindia yang meraih gelar doktor adalah AA Fokker.


AA Fokker kelahiran Kramat (di Batavia) tahun 1862. AA lulus HBS di Amsterdam pada tahun 1882 (lihat Utrechtsch provinciaal en stedelijk dagblad, 30-07-1882). Setelah lulus perguruan tinggi AA Fokker diangkat sebagai pegawai pemerintah di Hindia di Kediri (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 27-01-1886). Pada tahun 1887 diangkat menjadi pegawai di kantor asisten residen (lihat Bataviaasch handelsblad, 26-02-1887). Pada tahun 1888 AA Fokker ditempatkan sebagai aspiran controleur di Soengai Kakap, West Boeneo (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 17-02-1888). AA Fokker aspiran controleur di Bodjonegoro mengajukan cuti dua tahun ke Eropa karena sakit (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 29-06-1889). Namun pengajuan itu tidak terlaksana. Pada tahun 1891 AA Fokker lulus ujian masuk universitas di Belanda (lihat Utrechtsch provinciaal en stedelijk dagblad, 17-07-1891). AA Fokker dinominasikan sebagai guru bahasa Melayu di sekolah Handelschool di Amsterdam (lihat Het nieuws van den dag: kleine courant, 04-04-1892). Disebutkan AA Fokker aspiran controleur di Leiden. AA Fokker menjadi dosen di Universitas Leiden dengan gaji f800 (lihat Rotterdamsch nieuwsblad, 31-05-1893). AA Fokker lulus ujian kandidat bidang sastra di Rijks-universileit te Leiden (lihat De avondpost, 20-04-1894). AA Fokker lahir di Kramat lulus ujian doktor dalam bidang bahasa dan sastra kepulauan Hindia dengan judul disertasi berjudul Malay phonetics (lihat Utrechtsch provinciaal en stedelijk dagblad, 12-07-1895).

 

AA Fokker tidak segera kembali ke Hindia. Kompetensinya sebagai sarjana bahasa Melayu di Belanda sangat dibutuhkan. Lantas apakah AA Fokker orang Belanda pertama yang lahir di Hindia yang meraih gelar doktor? Yang jelas Mr Oei Jan Lee, Ph.D, orang Indonesia pertama bergelar doktor (tahun 1889) bekerja membuka kantor pengacara di Batavia. Bagaimana sarjana Indonesia selanjutnya? Yang jelas Oei Jan Lee van Banda adalah sarjana dan doktor Indonesia pertama.

 

Sejak Mr Oei Jan Lee, Ph.D meraih gelar doktor tahun 1889 tidak ada lagi orang Indonesia yang terinformasikan. Yang jelas, setelah sempat cuti kuliah, pada tahun 1894 Tan Tjoen Liang meraih gelar sarjana Insinyur Mesin di Delft. Dua tahun kemudian pada tahun 1896, lulusan HBS Semarang Raden Kartono melanjutkan studi di Delft.

Pada tahun 1899, Abdoel Rivai, lulusan sekolah kedokteran (Docter Djawa School) di Batavia melanjutkan studi ke Belanda. Sementara itu, Raden Kartono tidak lagi di di sekolah tekni di Delft, tetapi sudah di Leiden (studi bahasa dan sastra) seperti halnya dulu AA Fokker. Pada tahun 1903 dua guru asal Hindia melanjutkan studi ke Belanda, Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan lulusan sekolah guru (Kweekschool) Padang Sidempoean dan guru muda Baginda Djamaloedin lulusan kweekschool di Fort de Kock.


Pada tahun 1905 Soetan Casajangan di Belanda menulis di majalah dwimingguan di Amsterdam yang isinya ajakan siswa asal Hindia untuk studi ke Belanda. Soetan Casajangan juga memberikan gambaran sekolah dan universitas yang dapat dimasuki dan tip untuk bagaimana persiapan ke Belanda, selama perjalanan dan setelah tiba di Belanda. Soetan Casajangan dkk siap menyambutnya di Belanda. Soetan Casajangan lulus sekolah guru dengan akta LO pada tahun 1907 dan akan melanjutkan studi lagi untuk akta MO (sarjana Pendidikan). Pada tahun 1908 siswa dan mahasiswa asal Hindia di Belanda terus bertambah menjadi 20-an orang. Pada tanggal 25 Oktober 1908 di tempat kediamannya di Leiden, Soetan Casajangan menginisiasi organisasi siswa/mahasiswa asal Hindia yang diberi nama Indisch Vereeniging. Soetan Casajangan dalam rapat umum itu secara aklamasi diangkat sebagai ketua dan Raden Soemitro sebagai sekretaris. Untuk komisi penyusunan statute (AD/ART) diangkat Soetan Casajangan, Raden Soemitro. Raden Kartono dan Hoesein Djajadiningrat (keempatnya tinggal di Leiden).

Raden Kartono belum selesai studinya. Namun sudah ada beberapa mahasiswa yang telah menyelesaikan studi seperti Raden Mas Soemardi (di sekolah pertanian Wageningen), Asmaoen di sekolah kedokteran Amsterdam. Nama-nama yang lulus sarjana pada tahun 1908 ini antara lain O SiauDhai di Leiden (lihat De Maasbode, 26-01-1908) dan Abdoel Rivai di bidang kedokteran di Amsterdam (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 10-07-1908). Dr Abdoel Rivai yang lulus dokter di Amsterdam ingin melanjutkan studi ke tingkat doctoral.


Dr Abdoel Rivai tidak diizinkan untuk ke tingkat doktoral. Disebutkan bahwa untuk studi doctoral di Belanda hanya dibatasi kepada orang Belanda saja. Aturan ini tampaknya baru, boleh aturan ini dibuat setelah memperhatikan keberhasilan Oei Jan Lee dapat meraih gelar doktor di Belanda. Dr Abdoel Rivai tampaknya meradang. Namun semangat Dr Abdoel Rivai tak terbendung dan kemudian hijrah melanjutkan studi doktoral ke Belgia (lihat Het vaderland, 24-07-1908).

Setelah Oei Jan Lee, lalu Dr Abdoel Rivai adalah yang kedua orang Indonesia yang meraih gelar doctor (tidak di Belanda tetapi di Belgia). Raden Kartono kemudian berhasil meraiuh gelar sarjana bahasa dan sastra pada tahun 1909. Pada tahun ini juga lulus Soetan Casajangan lulus akta guru MO (sarjana pendidikan). Pada bulan Januri 1910 lulus dokter HJD Apituley dan R Tumbelaka. Hoesein Djajadiningrat menyelesaikan studinya bulan Oktober (lihat De Maasbode, 19-10-1910). Disebutkan di Leiden lulus ujian akhir pada bidang letterkunde van den OI Archipel, Raden Mas Hoesein Djajadiningrat. Seperti pada ujian kandidat, hingga pada ujian akhir ini Hoesein Djajadiningrat juga mendapar predikat cum laude (lihat Land en volk, 20-10-1910).


Hoesein Djajadiningrat tidak segera kembali ke tanah air. Tampaknya belum puas sampai di situ, lalu melanjutkan studi ke tingkat doktoral. Hal ini karena aturan mahasiswa non Eropa/Belanda tampaknya telah dicabut dan dimungkinkan (kembali) untuk melanjutkan studi ke tingkat doctoral. Pada tahun 1910 Ö-Siau-Dhai berhasil meraih gelar doctor (Ph.D) di bidang kedokteran di Amsterdam dengan disertasi berjudul Over Clasvochtstof (lihat De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 28-10-1910). O-Siau-Dhai geboren te Djokjakarta.

Pada bulan Mei 1913 Hoessein Djajadiningrat diberitakan telah berhasil meraih gelar doktor (PhD) dalam bidang bahasa dan sastra di Leiden (lihat Het nieuws van den dag: kleine courant, 03-05-1913). Disebutkan promosi Hoesein Djajadiningrat di Universitas Leiden sebagai PhD dalam bidang linguistik dan sastra Nusantara dengan desertasi berjudul ‘Critiscke beschouwing van de Sadjarah Banten: Bijdragen ter kenschetsing van de Javaansche geschiedschrijving’. Hoesein Djajadiningrat geboren te Kramat Watoe (Bantam). Hoesein Djajadiningrat telah mengembalikan marwah orang Indonesia di Belanda setelah Oei Jan Lee pada tahun 1889. Ada jarak 25 tahun antara doktor Indonesia pertama di Belanda dengan yang kedua. Bagaimana selanjutnya? Mari kita catat.


Hingga berakhirnya Pemerintah Hindia Belanda/Proklamasi Kemerdekaan Indonesia terdapat sebanyak 81 doktor Indonesia. Jumlah ini tidak sedikit untuk negara yang baru mendapatkan kemerdekaannya (1945). Seperti disebut di atas, doktor Indonesia pertama adalah Oei Jan Lee (Leiden, 1899) dan yang terakhir adalah Masdoelhak Nasoetion (Utrecht, 1943). Dari semua doktor tersebut sebanyak 81 diperoleh di berbagai bidang (kedokteran, teknik, hukum, bahasa dan sastra, ekonomi, sastra dan filsafat, kedokteran hewan, perdagangan dan pertanian). Ada sebanyak 11 doktor diperoleh di Batavia/Jakarta (hukum dan kedokteran). Sementara ada 2 doktor yang diperoleh di Ghent (Belgia) dan di Wina (Austria). Diantara doktor Indonesia tersebut ada yang mendapat predikat (suma) cumlaude. Dari 81 doktor Indonesia tersebut hanya satu perempuan yakni Ida Loemongga Nasoetion di bidang kedokteran di Amsterdam (1932).  

Sebanyak 81 doktor Indonesia semasa Hindia Belanda bukanlah jumlah yang sedikit di era itu. Sejauh yang diketahui pada rentang waktu yang sama di Malaysia (Inggris) tidak terinformasikan satupun orang Malaysia yang meraih gelar doctor. Tentu saja yang cukup mengherankan bahwa fakta sejauh yang dapat ditelusuri, di Hindia Belanda jumlah doktor Indonesia jauh lebih banyak dari doktor Belanda. Nah, lho!


Ke dalam daftar doktor Indonesia semasa era Hindia Belanda masih dapat ditambahkan orang Indonesia yang meraih gelar doktor, tetapi sudah menjadi warga negara Suriname. Orang Indonesia tersebut adalah AHM Tjin Kon Fat lahir Paramaribo meraih gelar doctor di bidang kedokteran di Amsterdam tanggal 29 Juni 1926 dengan disertasi berjudul De Therapeutische Waarde der Verschillende Behandelingen van den Lupus.

Tunggu deskripsi lengkapnya



*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar