Senin, 07 Maret 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (457): Pahlawan Indonesia dan Perjuangan Kemerdekaan Hindia; Orang Indo Ingin Pisah dari Belanda

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Jauh sebelum pejuang-pejuang Indonesia pada era Pemerintah Hindia Belanda mengusung kemerdekaan Indonesia, orang-orang Belanda sendiri sudah ada yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia (baca: Hindia). Pejuang itu umumnya adalah orang Indo-Belanda (orang Belanda lahir di Hindia). Kita harus ingat kembali nama-nama Indo-Belanda, EFE Douwes Dekker (kelahiran Pasoeroean) dan HJ van Mook (kelahiran Semarang). Jauh sebelum mereka sudah ada antara lain RA Eekhout di Soekaboemi.

Indische Partij (Partai Hindia) adalah partai politik pertama di Hindia Belanda, berdiri tanggal 25 Desember 1912 oleh tiga serangkai EFE Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soejaningrat. Partai ini menjadi organisasi orang-orang pribumi dan campuran di Hindia-Belanda. Sebagai seorang Indo, Douwes Dekker merasa terjadinya diskriminasi yang membeda-bedakan status sosial antara Belanda totok (asli), Indo (campuran), dan Bumiputera (pribumi) oleh pemerintah Hindia-Belanda. Kedudukan dan nasib para Indo tidak jauh berbeda dengan Bumiputera. Indo yang melarat banyak ditemui di Batavia (Kamajoran), Semarang (Karangbidara), dan Surabaya (Kerambangan). Belanda totok memandang para Indo lebih rendah dari pada mereka. Mereka menganggap kaum Indo yang hina tidak pantas menjadi dokter. Menurut Dekker, jika kaum Indo ingin merubah nasib, maka mereka harus bekerjasama dengan Bumiputera untuk mengadakan perubahan. Hindia bukan hanya diperuntukkan untuk Belanda totok, namun untuk semua orang yang merasa dirinya seorang Hindia. Pandangan ini menjadi dasar dari ideologi nasionalisme yang di usung oleh Indische Partij. Seperti yang dilakukan oleh Tjipto Mangunkusumo yang mengkritisi melalui tulisan-tulisannya yang dimuat di surat kabar De Locomotief. menurutnya, masyarakat Jawa sulit untuk maju karena dikungkung oleh foedalisme serta masyarakat secara keseluruhan mengalami eksploitasi yang berlebihan. Hal ini menyebabkan banyaknya kemiskinan dan keterbelakangan sehingga ia berpikir kolonialisme harus di akhiri. Menurutnya, cara untuk mengakhiri kolonialisme ialah dengan perjuangan politik. Hal inilah yang menyebabkan Tjipto Mangunkusumo keluar dari Budi Utomo yang tidak sepemikiran dengannya. Kemudian ia bertemu dengan Dekker dan Suwardi Suryaningrat yang sepemikiran dan membentuk Indische Partij.(Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah orang-orang Indo berjuang untuk kemerdekaan Indonesia? Seperti disebut di atas, jauh sebelum pejuang Indonesia sudah ada orang Indo yang berjuang untuk kemerdekaan Hindia. Lalu bagaimana sejarah orang-orang Indo berjuang untuk kemerdekaan Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Menjadi Indonesia (456): Pahlawan Indonesia dan Semarang Kota Melting Pot; Dinamika Kota Padang dari Masa ke Masa

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Tiga kota pantai, kota-kota besar di (pulau) Jawa pada masa lalu adalah Batavia, Semarang dan Soerabaja. Banyak peristiwa sejarah yang terjadi di tiga kota pantai utara Jawa ini. Namun secara khusus di kota Semarang muncul sejumlah tokoh sejarah yang penting, apakah yang berasal dari golongan orang Eropa/Belanda, golongan Cina maupun golongan pribumi. Boleh jadi itu semua karena kota Semarang lokasinya strategis secara internasional (navigasi pelayaran) dan penduduknya yang sudah sejak jaman lampau bersifat melting pot. Satu kemiripan kota Seamarang di (pulau) Sumatra adalah kota Padang di pantai barat Sumatra.

Kota Semarang adalah ibu kota Provinsi Jawa Tengah. Semarang berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Kabupaten Demak di sebelah timur, Kabupaten Semarang di sebelah selatan, dan Kabupaten Kendal disebelah barat. Kota Semarang merupakan satu dari tiga pusat pelabuhan (Jakarta dan Surabaya) penting pada era Hindia Belanda sebagai pemasok hasil bumi dari wilayah pedalaman Jawa. Seperti kota-kota besar lainya, Sejarah Semarang berawal kurang lebih pada abad ke-6 M, yaitu daerah pesisir yang bernama Pragota (sekarang menjadi Bergota) dan merupakan bagian dari kerajaan Mataram Kuno. Daerah tersebut pada masa itu merupakan pelabuhan dan di depannya terdapat gugusan pulau-pulau kecil. Akibat pengendapan, yang hingga sekarang masih terus berlangsung, gugusan tersebut sekarang menyatu membentuk daratan. Bagian kota Semarang Bawah yang dikenal sekarang ini dengan demikian dahulu merupakan laut. Pelabuhan tersebut diperkirakan berada di daerah Pasar Bulu sekarang dan memanjang masuk ke Pelabuhan Simongan, tempat armada Laksamana Cheng Ho bersandar pada tahun 1435 M. Di tempat pendaratannya, Laksamana Cheng Ho mendirikan kelenteng dan masjid yang sampai sekarang masih dikunjungi dan disebut Kelenteng Sam Po Kong (Gedung Batu). Pada tanggal 15 Januari 1678 Amangkurat II dari Kesultanan Mataram di Kartasura, menggadaikan Semarang dan sekitarnya kepada VOC sebagai bagian pembayaran hutangnya. Dia mengklaim daerah Priangan dan pajak dari pelabuhan pesisir sampai hutangnya lunas. Pada tahun 1705 akhirnya Susuhunan Pakubuwono I menyerahkan Semarang kepada VOC sebagai bagian dari perjanjiannya karena telah dibantu untuk merebut kembali Keraton Kartasura. Sejak saat itu Semarang resmi menjadi kota milik VOC dan kemudian Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1906 dengan Stadblat Nomor 120 tahun 1906 dibentuklah pemerintah Gemeente. Pemerintah kota besar ini dikepalai oleh seorang Burgemeester
(Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah kota Semarang? Seperti disebut di atas, kota Semarang adalah kota tua, kota yang perkembanganyannya menjadi sangat pesat sejak era VOC. Pada era Pemerintah Hindia Belanda, kota Semarang termasuk salah satu kota penting. Kota Semarang yang memiliki penduduk beragam (melting pot) menjadi kota yang sibuk dan melahirkan banyak tokoh sejarah. Hal yang sama pula terjadi di kota Padang di pantai barat Sumatra. Lalu bagaimana sejarah kota Semarang? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Minggu, 06 Maret 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (455): Pahlawan Indonesia - The Sien Tjo, Sekolah Nasional Karangturi; Sejarah Sekolah di Semarang

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Siapa The Sein Tjo? Sejarahnya tidak terinformasikan. Namun demikian, nama The Sin Tjo disebutkan terkait dengan Sekolah Nasional Karangturi di Semarang. Okelah. Akan tetap sejarah tetaplah sejarah. The Sin Tjo tentulah bukan oranng biasa. The Sien Tjo adalah salah satu tokoh dalam sejarah menjadi Indonesia.

Sekolah Nasional Karangturi di Semarang, sekolah yang pada awalnya bernama HCS Chung Hwa Hui ini berdiri pada tanggal 1 Juli 1929 dengan jumlah murid hanya 20 orang. Pendirian sekolah ini diprakarsai oleh The Sien Tjo dan tokoh-tokoh Tionghoa lainnya. Pemerintah kemudian memberikan status dan otoritas yang sama dengan sekolah negeri pada tanggal  1 Agustus 1936. Pada masa pendudukan Jepang, sekolah ini pernah dibagi menjadi dua dan bertempat di lokasi yang berbeda, yaitu Chung Hwa Hui A (di jalan Sidodadi) dan Chung Hwa Hui B (di jalan Karangturi). Selanjutnya, pada tanggal 1 April 1946, Chung Hwa Hui berubah status menjadi sekolah negeri dengan nama Karangturi School (A.L.S Karangturi). Status tersebut berubah lagi menjadi status non-negeri (swasta) pada tanggal 7 Februari 1949 atas permintaan pengurus sekolah yang disetujui oleh pemerintah. Tetapi, pemerintah hanya mengizinkan satu Chung Hwa Hui yaitu yang berada di jalan Karangturi (sekarang jalan Mataram). Untuk lebih meningkatkan kinerja dan manajemen yang lebih baik, didirikanlah Jajasan Sekolah Chung Hwa Hui yang diketuai oleh The Sien Tjo pada tahun 1950. Pada tahun tersebut juga dibuka SMP dengan 5 kelas. Masih pada tahun yang sama, tepatnya tanggal 15 November dibentuklah Chung Hwa Chung Sheng Hui (pada masa sekarang biasa disebut OSIS). Kemudian, Jajasan Sekolah Chung Hwa Hui berganti nama menjadi Jajasan Sekolah Karangturi pada tanggal 30 Juli 1963. Pada tanggal 18 Februari 1970, yayasan ini berubah menjadi Jajasan Sekolah Nasional Karang Turi. Empat tahun berselang, tepatnya tanggal 1 Agustus 1974, nama yayasan ini kembali mengalami perubahan menjadi Yayasan Sekolah Nasional Karangturi. Sesudah mengalami beberapa kali perubahan nama, pada tanggal 14 Maret 1987, diputuskan mengganti nama yayasan menjadi Yayasan Pendidikan Nasional Karangturi hingga sekarang.(https://karangturi.sch.id/sejarah).

Lantas bagaimana sejarah The Sin Tjo? Seperti disebut di atas, nama The Sin Tjo masa kini hanya dihubungkan dengan Sekolah Nasional Karangturi di Semarang. Lalu bagaimana sejarah The Sin Tjo? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Menjadi Indonesia (454): Pahlawan Indonesia dan Ir Thio Thiam Tjong Lulusan Delft; Partai Demokrat Tionghoa Indonesia

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Thio Thiam Tjong berasal dari Semarang. Entah bagaimana begitu banyak tokoh-tokoh sejarah golongan Cina/Tionghoa berasal dari Semarang. Thio Thiam Tjong termasuk salah satu tokoh Cina/Tionghoa dalam awal sejarah menjadi Indonesia. Kota Semarang sebagai kota melting pot sejak era VOC akan dideskripsikan sebagai artikel sendiri.

Thio Thiam Tjong (born on 4 April 1896 – died on 22 September 1969) was an Indonesian politician, community leader and businessman whose public career spanned from the late colonial period to the early decades of Independence. He was a founding board member in 1928 of Chung Hwa Hui, a Chinese-Indonesian, colonial political party, and was President of the group's post-WW II political successor Persatoean Tionghoa, formed in 1948, then renamed Partai Demokrasi Tionghoa Indonesia in 1950. Thio was born in 1896 in Semarang. His father, the wealthy businessman Thio Sing Liong (1871–1940), was a third-generation Peranakan Chinese and the founder of Handel Maatschappij Thio Sing Liong, a leading export-import company. In contrast to his father's business background, Thio's mother – Tan Tien Nio – hailed from the ‘Cabang Atas’ gentry as a granddaughter of Tan Ing Kie, Kapitein-titulair der Chinezen (1835–1895). Through his mother, Thio was therefore a direct descendant of Tan Yok Sing, Kapitein der Chinezen of Semarang (1737–1800) under the Dutch East India Company (V0C). Thio had an entirely Dutch language-based education in Semarang, then at a Hogere Burgerschool (HBS, secondary school) in Leiden in the Netherlands. He studied engineering at Delft University, but left prior to graduating in 1922 to join his father's business. Following his father's retirement in 1933, Thio took over the family business and expanded it. He was also a board member of a number of other companies. Thio emerged as a community leader in the late 1920s, and played an important role in the Chung Hwa Congress of 1927, which led to the founding in 1928 of the political association Chung Hwa Hui (CHH). The influential group was later criticised by left-wing critics as the ‘Packard Club’, a supposed cipher for the interests of the colonial Chinese establishment, most notably the conglomerate Kian Gwan, owned by Thio's in-laws, the Oei family. Thio (first on the left) at part of the Preparatory Commission of the Chung Hwa Congress of 1927. Thio sat on the central board of CHH under the elder statesman HH Kan and became President of the group's Semarang branch in the 1930s. From 1930 until 1934, he acted as Chairman of the Siang Hwee, or Chinese Chamber of Commerce, of Semarang. He also served as a member of the Provincialen Raad van Midden-Java or the Provincial Council of Central Java.

Lantas bagaimana sejarah Thio Thiam Tjong? Seperti disebut di atas, Thio Thiam Tjong adalah salah satu tokoh generasi awal sejarah menjadi Indonesia. Lalu bagaimana sejarah Thio Thiam Tjong? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, 05 Maret 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (453): Pahlawan Indonesia dan Saroehoem, Revolusioner van Padang Sidempuan; Semarang dan Surabaya

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Nama Saroehoem sulit menemukan di internet apalagi di medsos. Nama Saroehoem juga tidak tercatat dalam sejarah nasional, apalagi dalam sejarah Semarang dan sejarah Soerabaja. Tentu saja tidak hanya Saroehoem, banyak tokoh sejarah luput dari perhatian para sejarawan. Padahal Saroehoem adalah seorang tokoh revolusioner yang dapat dikatakan mentor politik pertama Adam Malik. Saroehoem sebagai jurnalis juga aktif dalam sarikat jurnalis pribumi di Semarang dan Soerabaja.

Pada artikel sebelumnya, surat kabar Warna Warta terbit di Semarang (sejak 1902), jauh sebelum surat kabar Medan Prijaji yang didirikan Tirto Adhi Soerjo di Batavia (1908). Surat kabar Warna Warta sangat populer di Semarang. Saroehoem adalah editor surat kabar Warna Warta Semarang sebelum ditutup pada tahun 1931.  Dalam Wikipedia dicatat sebagai berikut: In 1931, a longtime editor Saroehoem left the board of the paper and left Semarang for his native Tapanuli, citing disagreements with his colleagues…In March 1933, Warna Warta renamed itself Djit Po; Ong Lee Soei remained as director and Tan Hoa Bouw became editor. It continued publishing as a daily newspaper. At the end of 1935 it was announced that the former editor Saroehoem was returning to become editor-in-chief of the paper. Saroehoem juga pernah menjadi editor surat kabar Sin Tit Po di Soerabaja. Saroehoem juga menjadi bagian dari kerukunan (persatuan) Sumatra di Soerabaja bersama Radjamin Nasoetion, anggota dewan kota (gemeenteraad) Soerabaja. Saroehoem juga pernah menjadi editor surat kabar Tjit Po (suksesi surat kabar Warna Warta). Pertanyaannya: Mengapa Saroehoem begitu dekat dengan para jurnalis Cina/Tionghoa? Apakah di dalam tubuh Saroehoem asal Padang Sidempoean juga mengalir darah Tionghoa?

Lantas bagaimana sejarah Saroehoem? Seperti disebut di atas, Saroehoem adalah salah satu revolusioner Indonesia yang menjadi mentor politik Adam Malik. Saroehoem van Padang Sidempoean terbilang begitu dekat dengan para jurnalis Cina/Tionghoa. Lalu bagaimana sejarah Saroehoem? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Menjadi Indonesia (452): Pahlawan Indonesia dan Lim Kok Liang; Surat Kabar Sinar Sumatra dan Warna Warta Semarang

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Nama Lim Kok Liang sudah disebut pada artikel sebelumnya. Namun tentu saja itu tidak cukup. Dalam hal ini nama Lim Kok Liang terkait dengan sejarah surat kabar Sinar Sumatra di Padang dan surat kabar Warna Warta di Semarang. Dua surat kabar legendraris pada era Hindia Belanda ini dihubungkan oleh Lim Kok Liang. Tentu saja tidak hanya itu. Lantas mengapa ada relasi kota Padang dan kota Semarang?

Nama surat kabar berbahasa Belanda pada awal mula biasanya menggunakan nama-nama khas seperti Bintang, Pembrita, Tjahaja, Warta dan Sinar. Surat kabar pertama menggunakan nama sinar adalah surat kabar Sinar Terang di Solo (terbit pertama 1885).  Lalu kemudian pada tahun 1905 muncul nama surat kabar Sinar Sumatra di Padang, Lalu pada tahun 1919 di Padang Sidempoean terbit surat kabar Sinar Merdeka yang dipimpin oleh Parada Harahap. Nama surat kabar yang menggunakan nama warta adalah surat kabar Warta Brita di Padang pada tahun 1895. Lalu kemudian muncul surat kabar Warna Warta yang terbit di Semarang pada tahun 1902. Surat kabar Sinar Sumatra dan surat kabar Warna Warta terbilag dua surat kabar yang masa hidupnya lama.

Lantas bagaimana sejarah Lim Kok Liang? Seperti disebut di atas, Lim Kok Liang pernah menjadi editor surat kabar Sinar Sumatra di Padang dan juga pernah menjadi editor surat kabar Warna Warta di Semarang. Bagaimana itu bisa terjadi? Lalu bagaimana sejarah Lim Kok Liang? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.