Sabtu, 05 Maret 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (452): Pahlawan Indonesia dan Lim Kok Liang; Surat Kabar Sinar Sumatra dan Warna Warta Semarang

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Nama Lim Kok Liang sudah disebut pada artikel sebelumnya. Namun tentu saja itu tidak cukup. Dalam hal ini nama Lim Kok Liang terkait dengan sejarah surat kabar Sinar Sumatra di Padang dan surat kabar Warna Warta di Semarang. Dua surat kabar legendraris pada era Hindia Belanda ini dihubungkan oleh Lim Kok Liang. Tentu saja tidak hanya itu. Lantas mengapa ada relasi kota Padang dan kota Semarang?

Nama surat kabar berbahasa Belanda pada awal mula biasanya menggunakan nama-nama khas seperti Bintang, Pembrita, Tjahaja, Warta dan Sinar. Surat kabar pertama menggunakan nama sinar adalah surat kabar Sinar Terang di Solo (terbit pertama 1885).  Lalu kemudian pada tahun 1905 muncul nama surat kabar Sinar Sumatra di Padang, Lalu pada tahun 1919 di Padang Sidempoean terbit surat kabar Sinar Merdeka yang dipimpin oleh Parada Harahap. Nama surat kabar yang menggunakan nama warta adalah surat kabar Warta Brita di Padang pada tahun 1895. Lalu kemudian muncul surat kabar Warna Warta yang terbit di Semarang pada tahun 1902. Surat kabar Sinar Sumatra dan surat kabar Warna Warta terbilag dua surat kabar yang masa hidupnya lama.

Lantas bagaimana sejarah Lim Kok Liang? Seperti disebut di atas, Lim Kok Liang pernah menjadi editor surat kabar Sinar Sumatra di Padang dan juga pernah menjadi editor surat kabar Warna Warta di Semarang. Bagaimana itu bisa terjadi? Lalu bagaimana sejarah Lim Kok Liang? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pahlawan Indonesia dan Lim Kok Liang; Surat Kabar Sinar Sumatra dan Warna Warta Semarang

Surat kabar Warta Hindia di Sibolga dengan editor Lim Soen Hin yang juga (masih) editor surat kabar Sinar Sumatra di Padang, tersandung delik pers. Lim Soen Hin dituntut di pengadilan. Lim Soen Hin kelahiran Padang Sidempoean adalah editor surat kabar Sinar Sumatra sejak kali pertama terbit tahun 1907. Sejak 1917 Lim Soen Hin tidak lagi menjadi editor surat kabar Sinar Sumattra. Dalam kasus delik pers yang dialami oleh Lim Soen Hin, seorang tokoh Cina terkenal di Padang Sidempoean, Tjioe Tjeng Liong membelanya, banding di pengadilan daerah di Padang. Tjioe Tjeng Liong adalah seorang peranakan Cina yang mana ibunya adalah seorang wanita Padang Sidempoean. Darah ibunya mengalir di dalam semangat juang Tjioe Tjeng Liong. Untuk meneruskan surat kabar Sinar Sumatra, sebagai penganti Lim Soen Hin di surat kabar Sinar Sumatra adalah Lim Kok Liang. Lim Kok Liang yang juga kerabat dekat Lim Soen Hin adalah kelahiran Padang Sidempoean.

Keberadaan orang Cina di Padang Sidempoean sudah sejak masa lampau. Paling tidak keterangan itu dapat dibaca dalam catatan hariam Kasteel Batavia Daghregister tanggal 1 Maret 1701. Di dalam catatan ini dijelaskan bahwa seorang Tionghoa pada tahun 1691 berangkat dari Batavia ke Malaka dan dari Malaka ke Panai (di muara sungai Baroemoen). Setelah membeli garam untuk menambah dagangannya (mangkuk tembaga dan kain biru) pedagang tersebut berangkat ke Angkola yang dibantu oleh beberapa kuli angkut dengan jalan darat (melalui Kota Pinang, Goenoengtoea, Batangonang hingga Pijorkoling di Angkola). Selama di dalam perjalanan dan di Angkola pedagang ini menukarkan barang dagangannya dengan kemenyan (benzoin) dan bahan lilin. Setelah barang dagangan yang dibawanya habis, pedagang ini kembali ke Panai untuk mendapatkan garam. Perdagangan ulang-alik antara Panai dengan Angkola oleh pedagang Tionghoa itu berlangsung selama 10 tahun. Setelah lima tahun di Angkola menikah dengan seorang gadis dengan adat kebiasaan Angkola. Sang mertua memberikan bantuan uang sebesar 50 ringgit. Pasangan ini memiliki seorang anak perempuan. Pada tahun 1701, keluarga kecil ini meninggalkan daerah yang indah ini dimana penduduk hidup dari bercocok tanam (sawah) dan mengumpulkan hasil-hasil hutan (seperti kamper, kemenyan dan getah puli) hijrah ke Batavia (anak mereka sudah berumur lima tahun). Pedagang Tionghoa ini menyebutkan di dalam catatan Batavia tersebut, bahwa orang-orang di Angkola ramah terhadap orang asing, bahkan terhadap orang-orang Eropa yang pernah berkunjung ke Angkola. Penduduk Angkola disebutnya, meski sangat banyak jumlahnya tetapi juga surplus beras. Penduduk laki-laki dan perempuan mengenakan sarung dan baju panjang. Penduduk kerap menggunakan garam sebagai alat tukar bagaikan uang untuk berbelanja. Keluarga Tionghoa ini ke Batavia ke Batavia pada tahun 1701 (melalui Barus). Pedagang Tionghoa ini menyebut di dalam laporan tersebut, jarak antara Angkola dengan Barus sekitar 10 hingga 11 kali hari perjalanan. Pernikahan awal Tionghoa-Angkola yang terawal ini diduga yang menjadi hal yang menyebabkan orang-orang Tionghoa pendatang ada yang melakukan pernikahan setempat. Boleh jadi Lim Kok Liang adalah keturunan dari generasi Tionghoa pertama di Angkola.

Pada tahun 1919 surat kabar Sinar Sumatra terkena lagi delik pers (lihat Sumatra-bode, 26-02-1919). Editor Lim Kok Liang dituntut di pengadilan di Padang. Penuntutan ini berawal pada bulan Agustus 1918 Sinar Sumatra menurunkan artikel berita yang membuat seorang pejabat pemerintah keberatan dengan isinya (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 12-08-1918). Jaksa penuntut menuntut satu bulan penjara bagi Lim Kong Liang.

Sampai sejauh ini kasus delik pers di Jawa yang mendakwa jurnalis Cina tidak pernah terjadi. Selama ini yang menjadi langganan delik pers adalah jurnalis pribumi seperti Dja Endar Moeda pada tahun 1905 di Padang. Tuntutan terhadap Lim Kok Liang tidak dapat dihalangi dan Lim Kok Liang divonnis satu bulan penjara (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 04-04-1919).

Setelah menyelesaikan hukuman penjara satu bulan di Padang, Lim Kok Liang merantau ke Jawa dan berdonmisili di Semarang. Sebagai seorang jurnalis, Lim Kok Liang kemudian menjadi editor surat kabar di Semarang Warna Warta.

Sementara itu pada bulan September 1919 di Padang Sidempoean, seorang jurnalis muda yang baru pulang dari Medan, Parada Harahap menerbitkan surat kabar yang diberi nama Sinar Merdeka. Motto surat kabar Parada Harahap ini adalah Oentoek Menegakkan Keadilan dan Menoedjoe Kemerdekaan. Parada Harahap jurnalis revolusioner di Medan, kini di kampongnya di Padang Sidempoean menerbitkan surat kabar yang lebih revolusioner lagi. Lim Soen Hin sudah lama tidak terdengar beritanya setelah kasus delik pers yang menimpanya. Sementara Lim Kok Liang asal Padang Sidempoeanm sudah hijrah ke Semarang. Lantas mengapa Tjioe Tjeng Liong dan Lim Soen Hin menentang kehadiran kapitalisme di Angkola (Batang Toroe dan Padang Sidempoean)? Apakah mereka mereka sudah menganggap Angkola sebagai kampong halaman (lelihur) sendiri? Boleh jadi. Inilah yang membedakan Cina di Angkola dibanding di tempat lain di Hindia Belanda. De Nederlander, 06-05-1920 mencatat Lim Soen Hin menyebut Tapanoeli negara asalnya (Lim Soen Hin noemt Tapanoeli zijn geooorteland)… Tjioe Tjeng Liong adalah peranakan di Padang Sidempoean, lahir dari penduduk asli Padang Sidempoean (de Heer Tjioe eveneens een peranakan is en te Padang Sidempoean, geboren uit een te Padang Sidempoean geborene). Nama Lim Soen Hin sendiri masih bergaung di Tapanoeli yang dalam beberapa artikelnya menentang kapitalisme di surat kabar Warta Hindia, pengaruhnya sekarang masih terasa di Tapanoeli dan ingin dilawan oleh masyarakat (lihat De Nederlander, 06-05-1920).

Di Semarang, Lim Kok Liang kembali terkena delik pers karena sebuah artikelnya di surat kabar Warna Warta (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 23-09-1919). Lim Kok Liang sempat tidak menghiraukan panggilan pengadilan malah kembali ke Pantai Barat Sumatra dan berdiam di Poelo Tello. Namun kemudian Lim Kok Liang berhasil dipaksa untuk dibawa ke Semarang dan ditahan (selama satu bulan penjara).

Parada Harahap di Padang Sidempoean dengan surat kabarnya Sinar Merdeka kerap terkena delik pers yang mana Parada Harahap beberapa kali harus masuk bui. Pada tahun 1922 surat kabar Sinar Merdeka dibreidel. Seperti halnya Lim Kok Liang hijrah dari Padang ke Semarang, Parada Harahap dari Padang Sidempoean hijrah ke Batavia dan pada tahun 1923 mendirikan surat kabar Bintang Hindia di Batavia. Pada tahun 1925 di Batavia, Parada Harahap mendirikan kantor berita Alpena dengan editor WR Soeprratman.

Setelah kasus delik pers yang menimpa Lim Kok Liang di surat kabar Warna Warta di Semarang, selepas bebas hukuman penjara satu bulan, Lim Kok Liang tidak aktif lagi di media. Lim Kok Liang bergeser haluan menjadi pebisnis. Namun itu tidak mudah. Pada tahun 1925 diberitakan Lim Kok Liang di Depok Semarang sempat pailit (lihat De locomotief, 17-04-1925).   

De Sumatra post, 29-09-1925: ‘Atas penangkapan editor Warna Warta, sebelumnya Keng Po, di Batavia, didirikan Asosiasi wartawan pribumi. Pertemuan diadakan di gedung kantor berita Alpena (pimpinan Parada Harahap) di Weltevreden, dipimpin oleh editor Hindia Baru Tabrani. Hasil pertamuan ini mengusulkan dewan agar mengirimkan utusan ke Jaksa Agung. Parada Harahap, redaktur Bintang HIndia meminta menahan diri karena kasusnya masih dalam penyelidikan dan menunggu hingga pengadilan. Yang penting menurut Parada Harahap kita menyusun manifesto dulu. Setelah pertemuan ditutup kemudian dihasilkan manifesto, isinya: 1. Keluhan dari masyarakat pribumi dan China terhadap aksi bagian dari Pejabat pemerintah di seluruh wartawan membuat, termasuk sehubungan dengan penangkapan Mr Lauw Giok Lan, 2 Mengirim utusan kepada Jaksa Ge Jenderal (dalam advokasi selama masa penahanan) ditambah untuk lebih menahan diri dari tulisan-tulisan yang mengandung penuh kebencian)’.

Lim Kok Liang kembali bangkit, masih tetap di bidang bsinis. Dunia media benar-benar telah dilupakan Lim Kok Liang. Pada tahun 1927 kembali Lim Kok Liang pailit di Kranggan Semarang (lihat Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 10-12-1927).

Nama Lim Kok Liang cukup lama tenggelam. Namun upaya Lim Kok Liang di bidang bisnis tampaknya berhasil dan mungkin sudah waktunya pulang kampung di Padang Sidempoean. Pada tahun 1937 diketahui Lim Kok Liang dengan kapal ms Op ten Noort dari Batavia dengan tujuan akhir Belawan Medan (lihat Deli courant, 22-09-1937). Dalam manifes kapal Lim Kok Liang bersama dua orang anak. Moda transportasi dari Medan ke Padang Sidempoean dengan bus sudah ada sejak lama. Boleh jadi Lim Kok Liang ingin memperkenalkan kepada anak-anaknya tentang kampong halaman mereka di Padang Sidempoean. Lim Kok Liang kembali dari Semarang via Batavia ke Medan dengan kapal ss Placius dengan dua anak (lihat Deli courant, 23-11-1939).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Lim Kok Liang: Pengusaha di Semarang

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar