Minggu, 27 November 2022

Sejarah Madura (3): P Madura di Kepulauan Madura di Laut Jawa; Pulau Bawean, Pulau Kangean, Pulau Sapudi dan Pulau Sepanjang


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Madura dalam blog ini Klik Disini  

Pulau Madura tidak sendiri. Ada juga pulau-pulau setelit lainnya di sekitar pulau Madura. Pulau Madura adalah satu hal, kepulauan Madura adalah hal lain lagi. Dalam hal ini kita sedang membicarakan keseluruhan (Kepulauan Madura). Kepulauan Madura adalah salah satu dari banyak kepulauan-kepulauan di Kepulauan Indonesia.


Di Madura ada seribu pulau, tetapi di kepulauan Seribu jumlah pulau tidak sampai sebanyak seribu. Meski demikian Namanya disebut Kepulauan Seribu Bagaimana dengan di Madura ada seribu pulau, kita cukup katakana Kepulauan Madura saja. Di Kepulauan Seribu tidak ada pulau yang terbilang besar. Di Kepulauan Madura ada pulau Madura sendiri dan juga ada pulau-pulau yang relative besar seperti Pula Bawean, Pulau Kangean, Pulau Sapudi, Pulau Sepanjang. Ada dugaan kuat pulau Madura tempoe doeloe tidak sebesar (seluas sekarang), bahkan terkesan ramping dari barat ke timur. Lalu apakah pulau Bawean, pulau Kangean, pulau Sapudi, pulau Sepanjang tempo doeloe tidak seramping yang sekarang? Pertanyaan yang sama: apakah tempo doeloe pulau-pulau di Kepulauan Seribu terbilang besar-besar? Kita sedang berbicara Kepulauan Madura.

Lantas bagaimana sejarah pulau Madura di kepulauan Madura di laut Jawa? Seperti disebut di atas memang tidak ada nama Kepulauan Madura, tetapi membeicarakan Kepulauan Madura (Pulau Madura dan pulau-pulau di sekitarnya) tentulah menarik. Pulau-pulau lainnya adalah pulau Bawean, pulau Kangean, pulau Sapudi dan pulau Sepanjang. Lalu bagaimana sejarah pulau Madura di kepulauan Madura di laut Jawa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Madura (2): Geomorfologis Pulau Madura, Pantai Utara versus Pantai Selatan; Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Madura dalam blog ini Klik Disini  

Pulau Madura selalu dilihat dari sisi kondisi geografis. Boleh jadi belum ada yang memperhatikan pulau Madura dari sisi geomorfologis. Apa bedanya? Itulah perbedaannya. Perbedaan antara cara melihat pada era navigasi pelayaran perdagangan zaman kuno dengan era navigasi pencarian data zaman Now. Data permukaan bumi via satelit hanya syarat perlu, masih diperlukan data lain seperti data geologi, baltimeter dan lainnya sebagai syarat cukup. Dalam hal ini kita sedang berbicara secara gemorfologis pulau Madura.


Kondisi geografis pulau Madura dengan topografi yang relatif datar di bagian selatan dan semakin kearah utara tidak terjadi perbedaan elevansi ketinggian yang begitu mencolok. Selain itu juga merupakan dataran tinggi tanpa gunung berapi dan tanah pertanian lahan kering. Komposisi tanah dan curah hujan yang tidak sama di lereng-lereng yang tinggi letaknya justru terlalu banyak sedangkan di lereng-lereng yang rendah malah kekurangan dengan demikian mengakibatkan Madura kurang memiliki tanah yang subur. Secara geologis Madura merupakan kelanjutan bagian utara Jawa, kelanjutan dari pengunungan kapur yang terletak di sebelah utara dan di sebelah selatan lembah Solo. Bukit-bukit kapur di Madura merupakan bukit-bukit yang lebih rendah, lebih kasar dan lebih bulat daripada bukit-bukit di Jawa dan letaknyapun lebih bergabung. Luas keseluruhan Pulau Madura sekitar 5.379 km², atau sekitar 10-12 persen dari luas daratan provinsi Jawa Timur. Adapun panjang daratan pulau ini dari ujung barat di Kamal sampai dengan ujung Timur di Dungkek sekitar 160 kilometer dan lebarnya sekitar 40 kilometer (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah geomorfologis pulau Madura? Seperti disebut di atas ada perbedaan antara pantai utara vs pantai selatan. Kota-kota besar di Madura pada masa kini berada di pantai selatan: Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Lalu bagaimana sejarah geomorfologis pulau Madura? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, 26 November 2022

Sejarah Madura (1): Asal Usul Nama Pulau Madura; Seberapa Dekat Secara Geografis Pulau Madura dan Pulau Jawa Tempo Dulu?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Madura dalam blog ini Klik Disini  

Pada dasarnya, di zaman kuno, nama menunjukkan (nama) tempat. Itu berarti secara geografis mengindikasikan nama tempat (kampong), nama sungai, nama gunung, nama pulau atau nama selat dan nama teluk dan nama tanjong. Bagaimana dengan nama (pulau) Madura? Nama Madura tidak hanya sebagai nama pulau, tetapi nama kelompok populasi (asli) yang mendiaminya. Dalam hal ini secara geomorfologis, apakah pulau Madura adalah pulau yang terpisah dengan pulau Jawa atau sebeliknya pulau yang menyatu dengan pulau Jawa?


Dalam babad tanah Madura dikisahkan pulau Madura pada zaman dahulu hanya terlihat sebagai puncak-puncak tanah tinggi (bukit-bukit, dan beberapa dataran yang ketika air laut surut dataran tersebut terlihat), sedangkan apabila laut pasang dataran tersebut tidak tampak (di bawah permukaan air). Puncak-puncak terlihat tersebut diantaranya disebut Gunung Geger di kabupaten Bangkalan dan gunung Pajudan di kabupaten Sumenep. Sementara itu, disebut sejarah tanah Madura tidak terlepas dengan sejarah yang terjadi di tanah Jawa. Diceritakan suatu masa di pulau Jawa berdiri kerajaan Medang Kamulan, di dalam kotanya ada sebuah keraton bernama Giling Wesi, rajanya bernama Sang Hyang Tunggal (Kerajaan Medang Kamulan terletak di muara sungai Brantas; ibu kotanya bernama Watan Mas). Sedangkan sejarah Madura dimulai dari Arya Wiraraja sebagai Adipati pertama di Madura pada abad 13, diangkat oleh Raja Kertanegara dari Singosari, tanggal 31 Oktober 1269 dimana pusat pemerintahan di Batuputih Sumenep (yang menjadi keraton pertama di Madura). Dalam teks Nagarakertagama terutama pada tembang 15, disebutkan pulau Madura semula bersatu dengan tanah Jawa, ini menujukkan bahwa pada tahun 1365an orang Madura dan orang Jawa merupakan bagian dari komunitas budaya yang sama. Sekitar tahun 900-1500, pulau ini berada di bawah pengaruh kekuasaan kerajaan Hindu Jawa timur seperti Kediri, Singhasari, dan Majapahit. Antara tahun 1500 dan 1624, para penguasa Madura bergantung pada kerajaan-kerajaan Islam di pantai utara Jawa seperti Demak, Gresik, dan Surabaya. Pada tahun 1624, Madura ditaklukkan oleh Mataram dan sesudah itu, pada paruh pertama abad ke-18 Madura berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah asal usul nama Pulau Madura? Seperti disebut di atas, ketersediaan data dapat mempengaruhi narasi sejarah. Jika sejarah adalah narasi fakta dan data pertanyaannya adalah seberapa dekat secara geografis Pulau Madura dan Pulau Jawa pada masa tempo doeloe? Apakah sangat dekat bahkan Bersatu atau sangat berjauhan? Lalu bagaimana sejarah asal usul nama Pulau Madura? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Menjadi Indonesia (806): Belanda vs Indonesia Sejak VOC hingga Kedaulatan Indonesia; Siapa yang Paling Menderita?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Dalam sejarah Indonesia, hubungan antara orang Belanda dengan orang Indonesia sangat intens, jauh melebihi intensitas Portugis, Spanyol, Inggris dan Prancis. Diantara orang Eropa di Indonesia (baca: Hindia), orang Belanda menjadi penguasa. Kekuasaan orang Belanda mulai sejak pelaut-pelaut Belanda menaklukkan benteng Portugis di Amboina pada tahun 1605. Namun jangan lupa, belum lama  pada tahun 1599 pelaut-pelaut Belanda mengalami malapertaka di Atjeh, yang mana Cornelis de Houtman terbunuh.


Dalam narasi sejarah Indonesia, agak terlupakan, dan boleh dikatakan kurang menyadari, bahwa diantara orang Belanda dalam berbagai generasi, orang Indonesia dianggap lemah, seakan selalu terjajah. Narasi yang menyatakan bahwa Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun sesungguhnya tidak berdasarkan. Ini seakan-akan Belanda selalu di atas angin (berkuasa) sementara orang Indonesia selalu di bawah angin (tertindas). Hal itu tidak sepenuhnya benar. Dalam konteks kolonial Belanda di Indonesia harus dibedakan antar wilayah (ruang) dan antar generasi (waktu). Seperti disebut di atas, orang Belanda sangat menderita di Atjeh tahun 1599. Dalam perjalanan sejarah orang Belanda sendiri di Indonesia, orang Belanda banyak menderita, mulai soal kesehatan yang membawa kematian (wilayah tropis yang sesuai bagi orang Indonesia); kekalahan perang dengan kerajaan-kerajaan dimana banyak para pemimpin Belanda terbunuh. Disamping pertempuran diantara sesama Eropa dimana orang Belanda banyak menjadi korban. Riwayat pilu orang Belanda secara masif terjadi pada pendudukan Inggris (1811-1816) dan pendudukan Jepang (1842-1945) dan jangan lupa dalam perang kemerdekaan Indonesia (1845-1949). Orang Indonesia dapat melupakan pengalaman dijajah di negeri sendiri, tetapi mimpi buruk bagi orang Belanda yang selama 350 tahun di Hindia (baca: Indonesia) harus terusir dari Indonesia. Mereka telah kehilangan selamanya, tentang apa yang mereka sangat inginkan: wilayah Indonesia yang kaya raya (jumlah populasi dan potensi sumberdaya alam). Siapa yang paling menderita: orang Belanda atau orang Indonesia? 

Lantas bagaimana sejarah Belanda versus Indonesia sejak era VOC hingga pengakuan kedaulatan Indonesia, siapa paling menderita? Narasi sejarah hanya menyatakan orang Indonesia dijajah orang Belanda selama 350 tahun, namun itu tidak berdasar. Fakta bahwa orang Indonesia pernah dijajah orang Belanda, tetapi bukan berarti selamanya orang Belanda menarik kekuntungan. Fakta bahwa orang Belanda banyak mengalami kerugian bahkan penderitaan. Orang Indonesia telah melupakan penjajahan, apakah demikian dengan orang Belanda. Lalu bagaimana sejarah Belanda versus Indonesia sejak era VOC hingga pengakuan kedaulatan Indonesia, siapa paling menderita? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Jumat, 25 November 2022

Sejarah Bengkulu (36):Perang Kemerdekaan di Wilayah Bengkulu; Hazairin di Bengkulu dan Mr Gele Haroen Nasoetion di Lampung


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bengkulu dalam blog ini Klik Disini  

Perang kemerdekaan adalah perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Pada permulaan Perang Kemerdekaan ini Mr Hazairin menjadi warga Padang Sidempoean. Residentie Tapanoeli dan Mr Gele Haroen Nasoetion warga Tandjoeng Karang, Residentie Lampoeng. Keduanya yang memimpin perang di Bengkoeloe dan di Lampoeng bertemua di Liwa, Residentie Bengkoelen (kini Liwa masuk provinsi Lampaung).


Hazairin lulus Sekolah Tinggi Hukum (Recht Hoge School) di Batavia 1936, dengan gelar doktor. Hazairin mulai bekerja sebagai kepala Pengadilan Negeri (Landraad) Padang Sidempuan (1938-1945). Selama menjabat, Hazairin juga melakukan penelitian terhadap hukum adat Tapanuli Selatan. Di Padang Sidmepoean, Hazairin diberi gelar adat "Pangeran Alamsyah Harahap." Pada April 1946, Hazairin diangkat sebagai Residen Bengkulu, merangkap Wakil Gubernur Militer Sumatra Selatan. Gele Harun belajar hukum di sekolah hakim tinggi di Leiden, Belanda. Setelah lulus kembali ke tanah air dengan gelar Mr (meester in de rechten) lalu membuka kantor advokat pertama di Lampung. Pada tahun 1945, ia memulai perjuangan dari Angkatan Pemuda Indonesia (API) sebagai ketua. Lalu Gele ditugaskan menjadi hakim di Mahkamah Militer Palembang tahun 1947 dengan pangkat letnan kolonel (tituler). Pada 5 Januari 1949, Gele Harun diangkat sebagai acting Residen Lampung (kepala pemerintahan darurat). Pada 18 Januari 1949, Gele Harun memindahkan keresidenan dari Pringsewu ke Talangpadang seiring Belanda memasuki kawasan Pringsewu. Lalu Gele Harun kembali memindahkan pemerintahan ke pegunungan Bukit Barisan di Desa Pulau Panggung, dan terakhir hingga Liwa (kini Lampung Barat). Di Waytenong, putrinya, Herlinawati, usia delapan bulan meninggal dimakamkan di sebuah desa di tengah hutan. Gele Harun dan pasukannya keluar dari hutan Waytenong setelah gencatan senjata antara Indonesia-Belanda 15 Agustus 1949 dan kembali ke Tanjungkarang setelah penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1947. Di Tanjungkarang, Gele diangkat menjadi Ketua Pengadilan Negeri pada 1 Januari 1950 dan diangkat kembali menjadi Residen Lampung "definitif" tanggal 1 Januari 1950 (hingga 7 Oktober 1955). Gele Haroen meninggal 4 April 1973. usia 62 tahun, dimakamkan di TPU Kebonjahe, Enggal, Kota Bandar Lampung (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah perang kemerdekaan di wilayah Bengkulu? Seperti disebut di atas ada dua tokoh yang dikenal luas pada era perang kemerdekaan di wilayah Lampung yakni Mr Hazairin di Bengkoeloe dan Mr Gele Haroen Nasoetion di Lampoeng. Pada saat itu wilayah Kroei masih menjadi bagian wilayah keresidenan Lampung. Lalu bagaimana sejarah perang kemerdekaan di wilayah Bengkulu? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Bengkulu (35): Abdoel Rivai, Warga Hindia vs Warga Negara Kerajaan Belanda; Soetan Casajangan hingga Parada Harahap


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bengkulu dalam blog ini Klik Disini 

Siapa Abdoel Rivai? Tentulah sudah dikenal luas. Bagaimana hubungan Dr Abdoel Rivai dengan wilayah Bengkulu? Tampaknya kurang terinformasikan. Di dalam laman Wikipedia tidak ada indikasi hubungan Dr Abdoel Rivai dengan wilayah Bengkoeloe. Satu yang jelas belum lama ini nama Dr Abdoel Rivai termasuk diantara tokoh yang diusulkan Pemerintah Provinsi Bengkulu untuk mendapat gelar Pahlawan Nasional.


Abdoel Rivai (13 Agustus 1871 – 16 Oktober 1937) adalah dokter dan wartawan. Orang Indonesia pertama menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu dari luar negeri, pribumi Indonesia pertama yang meraih gelar doctor. Ayah Abdul Karim dan ibu Siti Kemala Ria. Ayahnya guru di sekolah Melayu. Pada tahun 1886, usia 15 tahun diterima bersekolah di STOVIA. Setamat 1894, ditugaskan menjadi dokter di Medan. Penghujung 1899, Rivai melanjutkan pendidikan ke Belanda. Rivai merupakan orang Hindia pertama yang bersekolah kedokteran di Belanda, lulus 1907. Ia kemudian melanjutkan studi doktoralnya di Gent, Belgia dan dinyatakan lulus 23 Juli 1908, sebagai pribumi pertama meraih gelar doktor. Rivai terlibat perdebatan dengan AA Fokker, pejabat Belanda yang mengklaim lebih fasih berbahasa Melayu ketimbang orang Melayu sendiri. Dalam perdebatan ini Fokker berang karena ada orang inlander yang berani menantangnya. Akibat kegemilangannya dalam berdebat, Rivai diperbolehkan sekolah di Utrecht. Tahun 1900 Rivai memprakarsai surat kabar Pewarta Wolanda. Selain itu Rivai mengirimkan tulisan ke berbagai media di Belanda maupun Hindia. Bersama Henri Constant Claude Clockener Brousson, Rivai menerbitkan Bendera Wolanda pada 15 April 1901. Juga bersama Brousson, ia mendirikan usaha penerbitan Bintang Hindia pada Juli 1902. Selanjutnya, Rivai memutuskan untuk keluar dari Bintang Hindia pada tahun 1907, hingga akhirnya Bintang Hindia meredup dan akhirnya pada tahun 1910 berakhir. Setibanya dari Belanda pada tahun 1911, Rivai turut mendukung pembentukan Indische Partij (IP) di Sumatra. Tahun 1913 IP dibubarkan karena dianggap membahayakan pemerintah kolonial. Mantan aktivisnya kemudian mendirikan Insulinde. Pada tahun 1918, ia diangkat sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat) mewakili Insulinde. Ia kemudian menetap di Batavia, sebagai pembantu utama surat kabar Bintang Timur. Sementara itu surat kabar Pewarta Deli, Medan menyebutnya Sebagai "Bapak dalam golongan Jurnalistik (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah Abdoel Rivai, penduduk Hindia dan warga negara Kerajaan Belanda? Seperti disebut di atas, sejarah Abdoel Rivai sudah ditulis. Lalu mengapa harus ditulis Kembali. Yang jelas Dt Abdoel Rivai memiliki kedekatan dengan guru Soetan Casajangan dan Parada Harahap. Lantas bagaimana sejarah Abdoel Rivai, penduduk Hindia dan warga negara Kerajaan Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.