Minggu, 15 Januari 2017

Sejarah Bandung (1): Saat Bandung Masih Kampung, Cianjur Sudah Menjadi Kota; Ini Faktanya

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bandung dalam blog ini Klik Disini

Wilayah Preanger adalah termasuk wilayah kolonial yang paling berat, yang mana pada sisi luar topografinya bergunung-gunung yang meliputi Tjiandjoer, Sumedang, Limbangan yang di bagian dalam di area Bandung terbilang area yang relatif datar. Gunung-gunung yang ada di sekitar Preanger selalu menjadi ancaman bencana alam. Di area dataran tinggi inilah kelak Kota Bandung berkembang pesat. Kota Bandung sendiri adalah kota yang relatif muda, dan jauh lebih tua dari Batavia, Cirebon, Buitenzorg, Tjiandjoer dan Sumedang. Lantas kapan kota Bandung muncul? Dan bagaimana perkembangan selanjutnya? Mari kita lacak dengan artikel pertama.

Kampong Bandung, 1818
Serial artikel Sejarah Bandung ini merupakan suatu upaya menunaikan permintaan seorang teman lama yang asli Bandung dua tahun lalu (2015) ketika itu saya tengah membicarakan beberapa artikel saya tentang sejarah sepakbola Bandung di blog saya di detik com. Kebetulan pada saat yang bersamaan dengan penulisan sejarah Bandung ini saya sudah mulai menulis beberapa artikel sejarah Bogor dan sejarah Jakarta. Oleh karena sejarah Jakarta, sejarah Bogor dan sejarah Bandung adalah satu kesatuan sejarah, maka untuk memahami sejarah Bandung juga harus parallel memahami sejarah Jakarta dan sejarah Bogor. Saya sendiri, terus terang saya nyaris tidak mengenal Kota Bandung karena hanya beberapa kali dalam hidup saya pernah ke Bandung dan itupun selalu sesat di tengah Kota Bandung. Saya tidak sendiri, karena orang Bogor sendiri bahkan masih banyak yang sama sekali belum pernah ke Bandung (ibukota Provinsi Jawa Barat) tetapi sangat mengenal kota Jakarta. Saya juga, terus terang saya nyaris tidak mengenal Kota Medan karena hanya beberapa kali dalam hidup saya pernah ke Medan dan itupun selalu sesat di tengah Kota Medan. Oleh karena saya sudah menulis sejarah Kota Medan (baru 54 artikel yang diupload), maka dengan latar keingintahuan ingin mengenal lebih jauh Kota Bandung, maka semangat untuk menulis sejarah Kota Bandung muncul sekaligus untuk menunaikan permintaan teman dari Bandung.    

Preanger, Suatu Daerah Sunyi di Priangan

Preanger adalah penyebutan orang Belanda untuk wilayah Priangan. Nama Preanger sudah muncul di era VOC. Nama itu terus digunakan oleh Inggris (1811-1916) dan pemerintah Hindia Belanda. Priangan menurut informasi yang diperoleh orang-orang Belanda adalah daerah kering, sunyi dan dianggap sebagai tempat pelarian dari petinggi dan penduduk (Hindu) ketika Kerajaan Pakuan Pajajaran dihancurkan oleh Cirebon dan Banten (Islam).

Boleh jadi yang dimaksud sunyi, karena populasi (keberadaan penduduk) yang jarang dan area Prenager sendiri terisolasi, akses yang sulit dan hampir tidak ada interaksi langsung dengan dunia luar (pelabuhan) seperti Bitenzorg, tempat dimana dulunya adalah pusat kerajaan Pakuan Pajajaran.

Preanger semakin dianggap penting ketika pemerintah Hindia Belanda di bawah Gubernur Jenderal Daendles. Daerah Preanger dianggap daerah potensial setelah lahan-lahan yang berada diantara Batavia dan Buitenzorg sudah habis dijadikan sebagai landrein (tanah partikelir).

Sebelumnya, pemerintah VOC telah melakukan kesepakatan-kesepakatan dengan para pemimpin tradisional di Preanger dengan kontrak (perjanjian) untuk mengirimkan produk-produk ekspor. Kesepakatan-kesepakatan ini baru terlaksana setelah Cirebon melepaskan area Preanger tahun 1705. Kontrak-kontrak tersebut hingga pada akhirnya muncul introduksi kopi di Preanger.

Perkebunan kopi pertama di Preanger dimulai di Tjiandjor tahun 1789 sebagai perluasan kopi Buitenzorg dan Soekaboemi. Pada tahun 1785 produksi kopi Buitenzorg dan Soekaboemi telah mencapai 45.000 picols dan pada tahunn 1789 hanya sekitar 36.000 pikol.

Ketika lahan-lahan partikelir (landrein) telah meliputi seluruh area Buitenzorg (bahkan hingga ke Megamendung), istana Buitenzorg mulai dibangun 1745 dan selesai tahun 1750. Sejak adanya istana Gubernur Jenderal ini di satu sisi Batavia menjadi lebih dekat dengan Preanger karena keberadaan Buitenzorg yang dianggap sebagai tempat utama yang penting di pedalaman dan di sisi lain Prenager semakin menjauhkan diri dari (pengaruh) Cirebon dan Mataram. Interaksi para pemimpin dan penduduk Preanger (Tjiandjoer, Sumedang dan Bandoeng) semakin intensif dan mesra dengan Buitenzorg. Afdeeling Buitenzorg (yang dimasa lampau sebagai eks Pakuan Pajajaran) seakan terjadi unifikasi kembali Preanger dengan Pakuan Pajajaran.   

Pada tahun 1795 Batavia berada di bawah ‘kekuasaan’ Perancis. VOC kemudian lambat laun berada diambang kehancuran. VOC benar-benar bangkrut tahun 1799 (setelah VOC memulai pendudukan di Batavia tahun 1619). Situasi dan kondisi kehadiran pengaruh Perancis ini terjadi hingga tahun 1800. Pada tahun 1799 Kommissaris-Generaal Nederburgh,pemimpin VOC terakhir pulang ke Belanda (lihat Almanak, 1871). Pada saat yang sama, tahun 1795 Inggris merebut Ceylon, pantai Malabar, Koromandel , Bengalen, Malaka dan Maluku dan Afrika Selatan. Pada tahun 1800 Inggris memblokade Batavia dan menghacurkan pulau Onrust. VOC lantas dibubarkan (lihat Almanak, 1871). Tahun 1802 Belanda damai dengan Inggris, koloni kembali ke Belanda.

Pada tahun 1808 Marsekal Herman Willem Daendels datang sebagai Gubernur Jenderal dan mengambil alih pimpinan Belanda pada tanggal 14 Januari. Lalu Daendels membagi Jawa menjadi sejumlah residentie dan mengusir Sultan. Selanjutnya mulai melakukan program pembangunan jalan pos trans Jawa.

Dalam keputusan Gubernur Jenderal Daendles jalan pos trans Jawa dimulai dari Anjer (Bantam) hinggi Panaroekan. Dalam Aturan Umum yang dipublikasikan, nama-nama tempat utama (hoofdplaats) sebagai pos-pos utama, seperti Bantam, Batavia, Buitenzorg, Tjisaroa, Baybang, Sumadang, Tjirebon dan seterusnya ke Surabaija. Di dalam aturan umum ini Jawa hanya dibagi ke dalam empat distrik saja: Bantam, Batavia, Semarang dan Soerabaja. Dalam aturan umum ini nama Bandong belum disebut (lihat edisi perdana Bataviasche koloniale courant, 05-01-1810).

Nama-nama tempat yang disebutkan jalan pos trans Jawa hanya Baybang dan Sumadang. Dengan kata lain nama Tjiandjoer dan Bandong belum dianggap penting atau paling tidak belum diutamakan. Sementara Tjiseroa sudah disebut karena memang di daerah Tjiseroa sudah ada orang Eropa. Nama Bandong juga belum baru disebut di era Inggris (1811-1816). Nama Preanger sendiri sudah sejak lama dikenal yakni daerah di timur Buitenzorg dan di selatan Chirebon. Siapa yang menjadi pimpinan lokal di Preanger (distrik Bandong) juga belum teridentifikasi. Pimpinan lokal di Preanger hanya menyebut bupati di Tjiandjoer dan Sumadang. Antara Tjiondjor dan Sumadang masih benar-benar belum dianggap penting.

Jalan pos trans Jawa sendiri waktu itu dari Byabang ke Sumadang melalui daerah yang lebih tinggi dan kemudian melalui Lembang lalu ke Sumedang. Area yang kita kenal sekarang sebagai cekungan Bandung yang menjadi pusat kota Bandung benar-benar tidak tersentuh oleh Belanda alias ‘tidak bertuan’.

Di era Inggris, di Bandong ditempatkan dua orang pengawas kopi, Overseer of the Coffee Culture of the 1st class bernama A. de Wilde dan 2de class bernama Brandenburg..

Dalam penempatan pengawas kelas 1 di Bandoeng ini, juga bersamaan pengawas dilakukan di Tjiandjoer, Sumadang dan Parakanmontjang, Limbangan dan Chirebon. Pengawas kelas 2, selain ditempatkan di Bandung, juga ditempatkan di Tjiandjoer, Galoeh dan Soekapoera.

Dengan demikian, ini mengindikasikan bahwa di era Inggris, Bandung sudah mulai dipentingkan, namun masih sebagai suatu tempat yang paling ujung dari jaringan pengumpulan kopi di ‘West Java’ (Batavia en Preanger Bovenlanden dan Chirebon en Preanger Bovenlanden). Muara jaringan kopi ini ada di pelabuhan Batavia dan Chirebon, dimana hubnya ditempatkan pejabat  enjaga gudang kopi di Buitenzorg, Chi Kauw, Carang Sambong dan Indramajoe.

Tentang deskripsi Baybang dan Sumadang dapat dilihat dalam Memoir of the Conquest of Java, with the Subsequent Operations of the Bristish Forces in The Oriental Archipelago. by Major William Thorn, Late Deputy Quarter-Master-Gencral to the Forces serving in Java, 1815). Disebutkan, Tjiandjoer adalah suatu tempat pertama di dataran tinggi,  Baybang adalah kampong besar setelah Tjiandjoer. Bandoeng sendiri disebut suatu kampong yang sekitarnya banyak rawa-rawa, Sumedang adalah tempat yang banyak penduduk namun areanya bergunung dan tidak datar.

Gunung Guntur Meletus, Isolasi Preanger Mulai Dibuka

Pada tahun 1810 Maluku jatuh ke tangan Inggris dimana di Jokjakarta terjadi pemberontakan. Pada tahun 1811 Daendels digantikan Janssens tetapi kemudian armada Inggris mengepung Batavia dan kemudian Belanda juga menyerahkan Semarang tanggal 18 September. Sir Thomas Stamford Raffles diangkat menjadi Luitenant Gouverneur Generaal (Lord Minto diIndia) dan Sultan Jokja bertahta kembali. Di Jawa diterapkan landrente-stelsel (pajak tanah). Gunung Tambora di Sumbawa meletus (1815) sebagai penanda berakhirnya kekuasaan Inggris di Jawa dan Belanda berkuasa kembali (untuk seterusnya).

Dalam suatu sketsa wilayah pendudukan Inggris di Batavia 1818 (yang direproduksi pada tahun 1890) terlihat armada laut merapat di lokasi dekat Tjilentjing yang kini disebut Tandjong Priok pada tanggal 4 Agustus. Kemudian hari esoknya tanggal 5 Agustus ditempatkan armada laut di muara sungai Ciliwung (dekat casteel Batavia). Kemudian pasukan merangsek ke Batavia, kemudian Weltevreden dan Meester Cornelis (26 Agustus). Peta reproduksi 1890 menyajikan sketsa lokasi-lokasi tempat dimana pasukan Perancis dan Inggris berada.
.
Selama pendudukan Perancis (1795-1799)  produksi kopi Preanger ini benar-benar terabaikan. Sejak Belanda berkuasa kembali (pada era Daendles 1808) kopi Preanger sempat mendapat perhatian (lihat Algemeen Handelsblad, 04-03-1829). Hal ini yang menyebabkan jalan pos trans Java (1810) mendahului via Buitenzorg daripada via Karawang. Pada era Inggris (1811-1816) produksi kopi Preanger mulai dieksploitasi dengan menempatkan pejabat-pejabatnya hingga ke Bandoeng. Perhatian terhadap kopi Preanger semakin diintensifikan di era Belanda (sejak 1816) yang  menjadi awal penataan manajemen budidaya kopi di Preanger.

Daerah Preanger adalah daerah bergunung-gunung. Gunung yang dekat dengan Bandoeng adalah gunung Malabar dan gunung Guntur. Dua nama gunung ini tampaknya tidak berasosiasi dengan penduduk Sunda di Preanger. Tidak diketahui nama ini disebut nama Malabar, apakah terkait dengan nama Tamil dan Malabar di India yang menjadi sumber induk kopi di Jawa? Demikian juga nama Guntur apakah dikaitkan dengan suara gemuruh akibat cuaca atau suara dari gunung yang tengah aktif?

Namun tidak lama kemudian, tahun 1818 gunung Goentoer meletus di Preanger. Bupati Sumedang banyak membantu penduduk asli di Bandong. Gunung Guntur kembali meledak pada tahu 1825 yang mengakibatkan kerusakan berat.

Nieuws- en advertentie-blad voor de provincie Drenthe, 15-11-1825: ‘malam dari 4 Junij merupakan letusan gunung Goentoer, di distrik Bandong, Preanger Regcntschappen, letusan yang dahsyat. Lebih dari satu juta pohon kopi rusak ringan sebagian dan sebagian yang lain rusak berat; satu hal yang terakhir, bagaimanapun, berharap bahwa masih ada sekitar seratus ribu pohon yang akan tumbuh dengan baik. Pedagang kopi utama kehilangan yang ditaksir nilainya sebanyak 4.000 pikols. Untungnya, bencana ini tidak ada memakan orang atau ternak’.

Akibat bencana ini terjadi kegagalan panen. Pohon-pohon kopi banyak tertutup debu dan tanah. Priangan saja, pengurangan hasil kopi diperkirakan mencapai 30.000 pikul atau senilai f3.750.000 (Algemeen Handelsblad, 01-10-1828).

Javasche courant, 07-08-1828: ‘Bupati Sumadang, Pangeran Kesoemoe Adi Natta, meninggal 2 Juli lalu…Bupati memiliki empat anak. Bupati ini pada tahun 1791 berhasil mengatasi pemberontakan di Sumedang…Salah satu anaknya Sura Nagara adalah salah satu pedagang kopi utama di Buitenzorg… Sura Nagara akan dijadikan kandidat bupati…’.

Di Preanger tidak hanya persoalan kopi. Sebagaimana di Jawa, di Preanger juga tahun 1828 terjadi kelangkaan beras. Untuk mencegah meunculnya pemberontakan, pemerintah mendatangkan beras dari Bengal dan Siam (Javasche courant, 07-08-1828).

Untuk distribusinya di Preanger, dilakukan oleh Residen Preanger yang berkedudukan di Tjiandjor dengan memasang iklan dan memberitahu terdapat empat gudang yang dapat diakses oleh penduduk Preanger yakni di gudang untuk Tjiheulang (Tjiandoer), Tjimahie (Bandoeng) dan Gunung Para (Soekabomei)' (Javasche courant, 21-10-1828).

Nama tempat utama yang kini disebut salah satunya adalah Tjimahie, sementara nama tempat yang pernah disebut sebelumnya (Baybang) telah menghilang. Selain itu, nama Bandoeng semakin menonjol. Dengan kata lain, jalur Tjiandjoer-Baybang-Sumedang telah digantikan oleh jalur Tjiandjoer-Tjimahie-Bandoeng-Sumedang. Dalam peta jalan pos trans Jawa tahun 1829, nama Bandoeng sudah disebutkan (yang boleh jadi telah menggantikan nama Baybang).

Koffijstelsel di Preanger, Nama Bandoeng Muncul

Dampak dari ledakan Gunung Guntur di Preanger menyebabkan volume kopi ekspor jauh menurun dan harga kopi di pasar ekspor meningkat pesat. Sisi lain dari persoalan ini, pemerintah melihat lahan-lahan di Preanger mungkin menjadi subur dengan meningkatnya tinggi humus. Lalu kemudian muncul program koffij kultuur di Preanger.

Untuk mendukung program koffijkultuur ini pemerintah mengangkat seorang asisten residen yang khusus untuk menangani koffikulture pada tahun 1829. Nama asisten residen yang ditunjuk adalah Fischer (lihat Javasche courant, 27-01-1829)..

Asisten residen ini menjadi semacam wakil Residen Preanger di Tjiandjoer. Residen Preanger yang berkedudukan di Tjiandjoer bernama PWL van Motman (1816-1819). Pertimbangan dipilihnya residen berkedudukan di Tjiandjoer karena lokasinya lebih sehat dan lebih dekat dengan pusat (Buitenzorg dan Batavia). Sebaliknya, Bandoeng, meski lanskapnya sangat bagus tetapi tidak dipilih sebagai ibukota karena lingkungannnya dianggap tidak sehat, banyak rawa-rawa dan kerap banjir (lihat Major William Thorn, 1815).

Untuk mempercepat keberhasilan program kopi di Preanger diangkat controleur di Sumadang (1ste. klass) di Bandong (2de klass) di Tjiandjoer (2de klass) dan Limbangan (Javasche courant, 06-08-1829). Terlihat bahwa penempatan controleur klass 1ste di Sumadang menunjukkan bahwa Sumadang lebih penting (utama) jika dibandingkan dengan Bandong (controleur klas-2).

Pada tahun 1829 Bandong sudah disebut bagian dari jalan pos trans-Jawa. Padahal pada tahun 1810 jalan pos hanya menyebut dua nama tempat utama yakni Baybang dan Sumedang. Ini dengan sendirinya, jalan pos yang dari Padalarang bergeser ke Tjimahi lalu ke Bandoeng terus ke Sumedang. Hal ini diduga ada kaitannya dengan garnisun militer yang ditempatkan di Tjimahi dan pengembangan budidaya kopi ke arah selatan, seperti Pangalengan. Baybang sendiri adalah kampong besar (lihat Major William Thorn, 1815).

Bersamaan dengan koffijkultuur ini diintroduksi tenaman teh. Pada tahun 1829 Jacobson melakukan penanaman teh dengan hasil yang baik di Preanger di lingkungan dari Tjisoeroepan, antara Garoet dan Tjikadjang, ditanam di 1.220 meter di atas laut.  Pada tahun 1932 Jacobson membawa beberapa pengrajin teh Cina untuk di Java. Dia juga mengalokasikan banyak benih teh di Wanajasa, Krawang. Saat terjadi pemberontakan yang gagal, dia pada 1833 membawa sejumlah biji teh dari Cina, untuk satu eksperimen di Bandoengsche. Di bawah kepemimpinan Jacobson pemerintah, sementara ditunjuk sebagai Inspektur Kebudayaan Tea, tes yang dengan budaya ini berhasil berlanjut di tiga belas residentie di Jawa, yakni Preanger, Krawang, Banten, Cirebon Tegal, Pekalongan, Semarang, Jepara, Surabaya, Besoeki, Kedoe, Banjoemas dan Bagelen. Sementara itu, hal itu dianggap produk, karena hal ini oleh perkebunan berafiliasi pabrik disampaikan itu, belum cocok dalam segala hal untuk pasar, sehingga diputuskan yang pertama lebih dekat dan diproses di Meester Cornelis yang didirikan pada tahun 1838.

Introduksi teh ini di Bandong pada saat ekonomi kopi, kelak terjadi di Deli. Pada saat ekonomi lada di Deli mengalir ke Penang, pemerintah menempatkan seorang controleur di Laboehan tahun 1865. Pada tahun dimana controleur ditempatkan, seorang bernama Nienhuys membuka perkebunan tembakau. Sejak itu Deli berkembang pesat menjadi pusat perkebunan tembakau.

Pada tahun 1829 Bandong sudah disebut bagian dari jalan pos trans-Jawa. Padahal pada tahun 1810 jalan pos hanya menyebut dua nama tempat utama yakni Baybang dan Sumedang. Ini dengan sendirinya, jalan pos yang dari Padalarang bergeser ke Tjimahi lalu ke Bandoeng terus ke Sumedang. Hal ini diduga ada kaitannya dengan garnisun militer yang ditempatkan di Tjimahi dan pengembangan budidaya kopi ke arah selatan, seperti Pangalengan. Baybang sendiri adalah kampong besar (lihat Major William Thorn, 1815).

Pembentukan Pemerintahan dan Origin Kota Bandung

Pembentukan pemerintahan di Bandoeng dimulai tahun 1829 yang merupakan implikasi proses mempercepat keberhasilan program kopi di Preanger. Pembentukan pemerintahan ini dimulai dengan penempatan seorang controleur di Bandong  (Javasche courant, 06-08-1829)..Controleur adalah pejabat pemerintah paling rendah yang memiliki wilayah kerja yang relatif kecil (setingkat kecamatan pada masa ini).

Seperti biasanya, dimana pejabat pemerintah berkedudukan maka tempat itu dengan sendirinya menjadi ibukota. Letak ibukota atau kota baru Bandung ini dipilih di satu tempat yang lokasinya berada di dekat Odjoeng Brung. Dalam hal ini Oedjong Brung adalah patokan dalam pemilihan ibukota karena baru di Odjong Brong terdapat keberadaan orang Belanda (perkebunan teh).di Preanger. Area Odjoeng Brong ini diduga awalnya diakses dari sisi timur (Sumadang/Chirebon).

Odjoeng Brung adalah nama tempat yang lebih awal dikenal karena sudah dijadikan perkebunan. Lahan perkebunan Odjoeng Brung ini diakses dari timur di jalan pos trans-Jawa Daendles. Sebagaimana diketahui jalan pos ini dari Tjiandjor melalui Padalarang, lalu ke arah utara dan melalui Lembang terus ke Sumedang. Jalan pos antara Lembang dan Sumedang inilah pangkal jalan menuju Odjoeng Brung. Kawasan Bandong sendiri (pusat kota Bandoung yang sekarang) terbilang sepi dan hanya terdiri dari beberap kampong yang dihuni oleh beberapa keluarga.

Kota Bandung berada di suatu area yang relatif kosong di kawasan Bandong di wilayah Preanger. Pada peta 1818 di area ini kampong ada satu kampong yang dikenal sebagai kampong Bandong. Daerah sekitar Bandong ini antar kampong masih sangat berjauhan, Area Bandong ini tampaknya banyak ditumbuhi oleh alang-alang dimana banyak ditemukan rusa.

Asal mula kota Bandung (baru) bukan kampong Bandoeng (lama) tetapi Bandoeng (baru) dipilih berada tidak jauh dari  Odjoeng Brong tetapi cukup dekat dengan kampong Bandoeng (lama). Jarak antara Bandoeng (baru) dengan Bandoeng (lama) sekitar 3 paal. Kampong-kampong terdekat dengan Bandong (baru) ini adalah kampong Bodjo Negara, kampong Tjioemboeloeit dan kampong Tjoroek yang jarak masing-masing tiga pal.

Pada tahun 1846 di Bandong diangkat bupati. Jabatan bupati yang ditunjuk adalah Raden Adipati Wira Nata Koesoema yang diangkat pada tanggal 27 Juli 1846. Bupati Bandong ini berkedudukan di Dajeh Kolot, suatu kampong yang berada di pinggir sungai Citarum jika dilihat dari utara menghadap ke selatan tampak Gunung Malabar.

Di Limbangan bupati sudah diangkat tahun 1833, di Sumedang bupati diangkat sejak 1834, di Soekapora 1855, di Tjiandjoer 1864. Selain bupati dan bawahannya, pejabat penting yang ditunjuk adalah Hoofdpangoeloe. Hoofdpangoeloe di Sumedang Raden Moehammad Tajib, 20 junij 1852, di Bandong Radèn Hadji Moehammad АЦП, 26 mei 1856. Disamping itu juga diangkat jaksa: di Bandung 1852, di Lambangan 1856, di Sukapura 1870, di Sumedang 1868, Tjiandjoer 1868.

Bupati ini kelak pindah ke ibukota Bandong dan istananya dibangun di daerah kampong Kaoem yang sekarang. Kampong Kaoem ini diduga dulunya adalah kampong Bandoeng (lama) saat ibukota Bandung mulai dibangun dimana controleur berkedudukan (1829). Oleh karena itu, pada tahun 1860, I. Groeneman, menyebut salah satu lukisannya dengan memberi judul ‘Goenong Malabar bij Bandoeng Toewa: gezien van Dajeh Kolot aan den noordelijken oever van den Tjitaroem;. Judul ini dapat diartikan secara harfiah sebagai; ‘Goenoeng Malabar di Bandung Tuwa: Dajeh Kolot dilihat dari utara di tepi sungai Tjitaroem.

Kisah tempat tinggal Bupati Bandoeng ini mirip dengan kisah Sultan Deli. Pada tahun 1875 controleur di tempatkan di Medan. Sejak kota Medan ditingkatkan menjadi ibukota residentie Sumatra’s Oostkust, Sultan Deli dipindahkan dari Laboehan ke Medan. Sultan Deli dibangun istana yang mewah (oleh perhimpunan perusahaan perkebunan). Residen Sumatra’s Oostkust dengan Sultan Deli adalah dua pemimpin dalam masa kolonial, sebagaimana Residen Preanger dengan Bupati Bandoeng. Menempatkan kedua belah pihak di dalam satu tempat dimaksudkan untuk memudahkan interaksi sehubungan dengan meningkatnya intensitas kegiatan (seiring dengan perkembangan perusahaan-perusahaan perkebunan).

Perkembangan Bandoeng sebagai suatu kawasan perkebunan yang penting di Preanger, pemerintah mulai mengamankannya dengan menempatkan suatu garnisun di Tjimahi pada awal tahun 1850an (sebagai perluasan garnisun yang sudah ada di Butenzorg di era VOC dan di Tjisaroa di era awal pemerintahan Hindia Belanda). Tjimahi dalam hal ini adalah titik strategis dari berbagai aspek seperti pertahanan dan pengembangan perkebunan. Karena itu, meski Tjimahi bukan kota utama di dataran tinggi Bandoeng, tetapi Tjimahi menjadi ‘pintu gerbang’ Preangeri di wilayah Bandung. Keutamaan Tjimahi lainnya adalah sudah menjadi gudang kopi di area Bandoeng (dan telah menggantikan posisi Buitenzorg). Nama Tjimahi sudah disebut sejak 1828.

Penataan Pemerintahan di Preanger

Pada awalnya wilayah Preanger terbagi dua: wilayah barat masuk Batavian en Preanger Bovenlanden dan wilayah timur adalah Chirebon en Preanger Bovenlanden. Saat itu, asisten residen berkedudukan di Buitenzorg termasuk Preanger Bovenlanden (Tjiandjoer en Soekaboemi). Kemudian dua wilayah Preanger disatukan dengan membentuk Residentie Preanger dimana residen berkedudukan di Tjianjoer. Resident pertama Preanger adalah PWL van Motman (1816-1819), sedangkan Resident terakhir adalah C van der Moore (1858-1874).

Penataan pemerintah di Residentie Preanger dilakukan tahun 1871. Residen Preanger dipindahkan dari Tjiandjoer ke Bandong. Dalam fase perpindahan ini resident tetap C van der Moore. Bupati Bandoeng juga dipindahkan dari Dajeh Kolot ke Bandoeng. Setelah reorganisasi Residentie Preanger lengkapnya terdiri dari Bandoeng, Tjiandjoer, Sumedang, Limbangan dan Soekapora.

Berdasarkan peta 1884 diketahui pemerintahan di Residentie Preanger terdiri dari (sesuai umur): Regent schappen (kabupaten) Tjiandjoer berkedudukan di Tjiandjoer, Bandong di Bandong, Limbangan di Garoet, Sumedang di Sumedang dan Soekapoera di Manondjaja. Kabupaten Tjiandjoer terdiri dari dua afdeeling, yakni: Tjiandjoer (9 distrik), asisten residen di Djiandjor; Soekaboemi (7), asisten residen di Soekaboemi. Kabupaten Bandoeng, dua adeeling, yakni: Bandoeng (9) dimana asisten residen berkedudukan di Bandong dan Tjitjalengka (6) asisten residen di Tjitjalengka. Kabupaten Limbangan hanya satu afdeeling Limbangan (4) asisten residen di Garoet; Kabupaten Sumedang terdiri dari dua afdeeling yakni Sumedang dan Tasikmalaya. Afdeeling Sumedang (6) asisten residen di Sumedang dan Tasikmalaya (5) asisten residen di Tasikmalaya. Kabupaten Soekapura dua afdeeling, yakni Soekapora (8) asisten residen di Manondjaja dan Soekapora Kolot (8) asisten residen di Mangoenredja. Total terdapat 62 distrik dari 9 afdeeling.

Pada tahun 1871 kota Bandung telah berkembang pesat sebagai kota besar. Kota Bandoeng (ibukota Preanger yang baru) lambat laun bahkan telah melampui luas kota Tjiandjoer (ibukota Preanger yang lama). Bagaimana kota Bandoeng tumbuh dan berkembang selanjutnya akan dideskripsikan secara tematik dalam serial artikel lebih lanjut.

Nama-nama daerah administrasi di Jawa dan Madoera dapat ditemukan dalam daftar nama daerah administrasi dalam Sensus Penduduk 1930 yakni terdiri dari lima wilayah (gewest): West Java, Midden Java, Oost Java, Soerakarta dan Djokjakarta.  Di wilayah West Java terdapat empat adeeling (residentie), yakni: Bantam, Batavia, Buitenzorg, West Priangan, Midden Priangan Oost Priangan, Krawang, Cheribon, dan Indramajoe. Namun berdasarkan Stbl.1931 Nos. 425, 426 en 427 Besl. G.G. 15/10-1931 No. l6, 17 en 18 Priangan Midden diganti Bandoeng dan Sumedang; Oost Priangan diganti Garoet, Tasikmalaya dan Tjiamis; dan  West Priangan diganti Soekaboemi dan Tjiandjoer; Bandong, Sumedang, Garoet, Tasikmalaya dan Tjiamis menjadi satu kesatuan administrasi yakni Priangan; Soekaboemi dan Tjiandjoer menjadi bagian dari wilayah administrasi Buitenzorg. Dengan demikian, di Priangan terdapat lima kabupaten (regentschap), yakni Bandong, Sumedang, Garoet, Tasikmalaya dan Tjiamis. Nama-nama distrik di kabupaten Bandoeng sendiri adalah Bandjaran, Bandoeng, Lembang, Oedjoeng Broeng, Soerang, Tjikalong Wetan, Tjililin, Tjimahi, Tjiparai dan Tjitjalengka. Di distrik Bandoeng terdapat tiga onderdistrik dan satu gemeente (kota): Bodjongloa, Oost Bandoeng dan West Bandoeng serta Kota Bandoeng (gemeente). Di onderdistrik Bodjongloa terdapat sembila desa yakni Babakan Tjparai, Batoenoenggal, Bodjongloa, Margahajoe, Pasawahan, Soekamenak, Soekapoera, Tangkoeng, Tjiteureup; di onderdisrikOost Bandoeng (7 desa), yakni Bloeboer, Goemoeroeh, Kadjaksan, Kosambi, Lengkong, Pangerang, Tjikawao; dan di onderdistrik West Bandoeng (7 desa), yakni Andir, Astanaanjar, Pasar, Regol, Soeniardja, Tjitepoes, Tjitjendo (lihat ALPHABETISCH REGISTER VAN DE ADMINISTRATIEVE- (BESTUURS-) EN ADATRECHTELIJKE INDEELING VAN NEDERLANDSCH-INDIE. DEEL I: JAVA EN MADOERA. SAMENGESTELD DOOR W. F. SCHOEL, 1931).

Dalam hal ini Kota Bandung adalah gemeente Bandoeng, suatu pusat pemerintahan yang di dalamnya terdapat kantor Residentie, kantor Regentschap, dan kantor distrik. Gemeente Bandoeng sendiri dibentuk pada tahun 1905.

Bersambung:
Sejarah Bandung (2):Gemeente dan Gemeenteraad Bandoeng

Pada artikel-artikel selanjutnya akan mendeskripsikan sejarah berdasarkan tematik: (1) Gedoeng Besar, Gedung Sate, (2) Kantor Regentschap, (3) Alun-alun Kota di Bandjaran, (4) Hotel Preanger dan Hotel Homann (5) Stasion Bandoeng, (6) Sepakbola, (7) Masjid Bandoeng, (8) Goenoeng Malabar dan sungai Tjitaroem, (9) Lembang dan Tangkoeban Prahoe, (10) Sekolah Pribumi dan sekolah Eropa, (11) De Societeit Concordia, klub social di Bandoeng, (12) Teh dan Kina, (13) Raden Adipati Wira Nata Kesoema, regent van Bandoeng, (14) Kweekschool voor inheemse onderwijzers te Bandoeng, (15) Kopi Preanger, (16) Surat Kabar, (17) Winkelstraat dan Bragaweg, (18) Universiteit van Indonesie di Bandoeng, (19) Gereja Katolik Roma dan Gereja Protestan di Bandoeng, (20) Angkloengorkest, (21) Militairen te Tjimahi, (22) Benteng, (23) Taman Kota Pieterspark, (24) Chinese Kamp, (25) OSVIA, (26) Kanal dan Irigasi di Bandoeng, (27) Fetival Bunga, (28) Inlandse Meisjesschool, (29) Telefooncentrale, (30) School voor M.U.L.O dan HBS te Bandoeng, (31) Races op de Tegallega, (32) Pasar Baroe, (33) Restaurant Kuyl en Versteeg, (34) Radiostation Malabar, (35) Nieuw Bandoeng, (36) Rammengevecht, dan seterusnya.

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo Doeloe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar