Wilayah
Preanger adalah termasuk wilayah kolonial yang paling berat, yang mana pada
sisi luar topografinya bergunung-gunung yang meliputi Tjiandjoer, Sumedang, Limbangan
yang di bagian dalam di area Bandung terbilang area yang relatif datar. Gunung-gunung
yang ada di sekitar Preanger selalu menjadi ancaman bencana alam. Di area
dataran tinggi inilah kelak Kota Bandung berkembang pesat. Kota Bandung sendiri
adalah kota yang relatif muda, dan jauh lebih tua dari Batavia, Cirebon,
Buitenzorg, Tjiandjoer dan Sumedang. Lantas kapan kota Bandung muncul? Dan
bagaimana perkembangan selanjutnya? Mari kita lacak dengan artikel pertama.
Kampong Bandung, 1818 |
Preanger, Suatu Daerah Sunyi di Priangan
Preanger
adalah penyebutan orang Belanda untuk wilayah Priangan. Nama Preanger sudah
muncul di era VOC. Nama itu terus digunakan oleh Inggris (1811-1916) dan
pemerintah Hindia Belanda. Priangan menurut informasi yang diperoleh
orang-orang Belanda adalah daerah kering, sunyi dan dianggap sebagai tempat
pelarian dari petinggi dan penduduk (Hindu) ketika Kerajaan Pakuan Pajajaran
dihancurkan oleh Cirebon dan Banten (Islam).
Boleh jadi yang dimaksud sunyi, karena populasi
(keberadaan penduduk) yang jarang dan area Prenager sendiri terisolasi, akses
yang sulit dan hampir tidak ada interaksi langsung dengan dunia luar
(pelabuhan) seperti Bitenzorg, tempat dimana dulunya adalah pusat kerajaan
Pakuan Pajajaran.
Preanger
semakin dianggap penting ketika pemerintah Hindia Belanda di bawah Gubernur
Jenderal Daendles. Daerah Preanger dianggap daerah potensial setelah
lahan-lahan yang berada diantara Batavia dan Buitenzorg sudah habis dijadikan
sebagai landrein (tanah partikelir).
Sebelumnya, pemerintah VOC telah melakukan
kesepakatan-kesepakatan dengan para pemimpin tradisional di Preanger dengan
kontrak (perjanjian) untuk mengirimkan produk-produk ekspor.
Kesepakatan-kesepakatan ini baru terlaksana setelah Cirebon melepaskan area
Preanger tahun 1705. Kontrak-kontrak tersebut hingga pada akhirnya muncul
introduksi kopi di Preanger.
Perkebunan kopi pertama di Preanger dimulai di Tjiandjor
tahun 1789 sebagai perluasan kopi Buitenzorg dan Soekaboemi. Pada tahun 1785
produksi kopi Buitenzorg dan Soekaboemi telah mencapai 45.000 picols dan pada
tahunn 1789 hanya sekitar 36.000 pikol.
Ketika
lahan-lahan partikelir (landrein) telah meliputi seluruh area Buitenzorg
(bahkan hingga ke Megamendung), istana Buitenzorg mulai dibangun 1745 dan
selesai tahun 1750. Sejak adanya istana Gubernur Jenderal ini di satu sisi
Batavia menjadi lebih dekat dengan Preanger karena keberadaan Buitenzorg yang
dianggap sebagai tempat utama yang penting di pedalaman dan di sisi lain
Prenager semakin menjauhkan diri dari (pengaruh) Cirebon dan Mataram. Interaksi
para pemimpin dan penduduk Preanger (Tjiandjoer, Sumedang dan Bandoeng) semakin
intensif dan mesra dengan Buitenzorg. Afdeeling Buitenzorg (yang dimasa lampau
sebagai eks Pakuan Pajajaran) seakan terjadi unifikasi kembali Preanger dengan
Pakuan Pajajaran.
Pada tahun 1795 Batavia berada di bawah ‘kekuasaan’
Perancis. VOC kemudian lambat laun berada diambang kehancuran. VOC benar-benar
bangkrut tahun 1799 (setelah VOC memulai pendudukan di Batavia tahun 1619).
Situasi dan kondisi kehadiran pengaruh Perancis ini terjadi hingga tahun 1800.
Pada tahun 1799 Kommissaris-Generaal Nederburgh,pemimpin VOC terakhir pulang ke
Belanda (lihat Almanak, 1871). Pada saat yang sama, tahun 1795 Inggris merebut
Ceylon, pantai Malabar, Koromandel , Bengalen, Malaka dan Maluku dan Afrika
Selatan. Pada tahun 1800 Inggris memblokade Batavia dan menghacurkan pulau
Onrust. VOC lantas dibubarkan (lihat Almanak, 1871). Tahun 1802 Belanda damai
dengan Inggris, koloni kembali ke Belanda.
Pada tahun 1808 Marsekal Herman Willem Daendels datang
sebagai Gubernur Jenderal dan mengambil alih pimpinan Belanda pada tanggal 14
Januari. Lalu Daendels membagi Jawa menjadi sejumlah residentie dan mengusir
Sultan. Selanjutnya mulai melakukan program pembangunan jalan pos trans Jawa.
Dalam
keputusan Gubernur Jenderal Daendles jalan pos trans Jawa dimulai dari Anjer
(Bantam) hinggi Panaroekan. Dalam Aturan Umum yang dipublikasikan, nama-nama
tempat utama (hoofdplaats) sebagai pos-pos utama, seperti Bantam, Batavia,
Buitenzorg, Tjisaroa, Baybang, Sumadang, Tjirebon dan seterusnya ke Surabaija.
Di dalam aturan umum ini Jawa hanya dibagi ke dalam empat distrik saja: Bantam,
Batavia, Semarang dan Soerabaja. Dalam aturan umum ini nama Bandong belum disebut
(lihat edisi perdana Bataviasche koloniale courant, 05-01-1810).
Nama-nama tempat yang disebutkan jalan pos trans Jawa hanya
Baybang dan Sumadang. Dengan kata lain nama Tjiandjoer dan Bandong belum dianggap penting atau paling tidak belum diutamakan. Sementara Tjiseroa
sudah disebut karena memang di daerah Tjiseroa sudah ada orang Eropa.
Nama Bandong juga belum baru disebut di era Inggris
(1811-1816). Nama Preanger sendiri sudah sejak lama dikenal yakni daerah di
timur Buitenzorg dan di selatan Chirebon. Siapa yang menjadi pimpinan lokal di
Preanger (distrik Bandong) juga belum teridentifikasi. Pimpinan lokal di
Preanger hanya menyebut bupati di Tjiandjoer dan Sumadang. Antara Tjiondjor dan
Sumadang masih benar-benar belum dianggap penting.
Jalan
pos trans Jawa sendiri waktu itu dari Byabang ke Sumadang melalui daerah yang
lebih tinggi dan kemudian melalui Lembang lalu ke Sumedang. Area yang kita
kenal sekarang sebagai cekungan Bandung yang menjadi pusat kota Bandung
benar-benar tidak tersentuh oleh Belanda alias ‘tidak bertuan’.
Di era Inggris, di Bandong ditempatkan dua orang pengawas kopi, Overseer of the Coffee Culture of the 1st class bernama A. de Wilde dan 2de class bernama Brandenburg..
Dalam
penempatan pengawas kelas 1 di Bandoeng ini, juga bersamaan pengawas dilakukan di
Tjiandjoer, Sumadang dan Parakanmontjang, Limbangan dan Chirebon. Pengawas
kelas 2, selain ditempatkan di Bandung, juga ditempatkan di Tjiandjoer, Galoeh
dan Soekapoera.
Dengan demikian, ini mengindikasikan bahwa di era
Inggris, Bandung sudah mulai dipentingkan, namun masih sebagai suatu tempat
yang paling ujung dari jaringan pengumpulan kopi di ‘West Java’ (Batavia en
Preanger Bovenlanden dan Chirebon en Preanger Bovenlanden). Muara jaringan kopi
ini ada di pelabuhan Batavia dan Chirebon, dimana hubnya ditempatkan pejabat enjaga gudang kopi di Buitenzorg, Chi Kauw,
Carang Sambong dan Indramajoe.
Gunung Guntur Meletus, Isolasi Preanger Mulai Dibuka
Pada tahun 1810 Maluku jatuh ke tangan Inggris dimana di Jokjakarta terjadi pemberontakan. Pada tahun 1811 Daendels digantikan Janssens tetapi kemudian armada Inggris mengepung Batavia dan kemudian Belanda juga menyerahkan Semarang tanggal 18 September. Sir Thomas Stamford Raffles diangkat menjadi Luitenant Gouverneur Generaal (Lord Minto diIndia) dan Sultan Jokja bertahta kembali. Di Jawa diterapkan landrente-stelsel (pajak tanah). Gunung Tambora di Sumbawa meletus (1815) sebagai penanda berakhirnya kekuasaan Inggris di Jawa dan Belanda berkuasa kembali (untuk seterusnya).
Dalam
suatu sketsa wilayah pendudukan Inggris di Batavia 1818 (yang direproduksi pada
tahun 1890) terlihat armada laut merapat di lokasi dekat Tjilentjing yang kini
disebut Tandjong Priok pada tanggal 4 Agustus. Kemudian hari esoknya tanggal 5
Agustus ditempatkan armada laut di muara sungai Ciliwung (dekat casteel
Batavia). Kemudian pasukan merangsek ke Batavia, kemudian Weltevreden dan
Meester Cornelis (26 Agustus). Peta reproduksi 1890 menyajikan sketsa
lokasi-lokasi tempat dimana pasukan Perancis dan Inggris berada.
.
Selama pendudukan Perancis (1795-1799) produksi kopi Preanger ini benar-benar terabaikan. Sejak
Belanda berkuasa kembali (pada era Daendles 1808) kopi Preanger sempat mendapat
perhatian (lihat Algemeen Handelsblad, 04-03-1829). Hal ini yang menyebabkan
jalan pos trans Java (1810) mendahului via Buitenzorg daripada via Karawang. Pada
era Inggris (1811-1816) produksi kopi Preanger mulai dieksploitasi dengan
menempatkan pejabat-pejabatnya hingga ke Bandoeng. Perhatian terhadap kopi
Preanger semakin diintensifikan di era Belanda (sejak 1816) yang menjadi awal penataan
manajemen budidaya kopi di Preanger.
Daerah
Preanger adalah daerah bergunung-gunung. Gunung yang dekat dengan Bandoeng
adalah gunung Malabar dan gunung Guntur. Dua nama gunung ini tampaknya tidak
berasosiasi dengan penduduk Sunda di Preanger. Tidak diketahui nama ini disebut
nama Malabar, apakah terkait dengan nama Tamil dan Malabar di India yang
menjadi sumber induk kopi di Jawa? Demikian juga nama Guntur apakah dikaitkan
dengan suara gemuruh akibat cuaca atau suara dari gunung yang tengah aktif?
Namun
tidak lama kemudian, tahun 1818 gunung Goentoer meletus di Preanger. Bupati
Sumedang banyak membantu penduduk asli di Bandong. Gunung Guntur kembali
meledak pada tahu 1825 yang mengakibatkan kerusakan berat.
Nieuws- en advertentie-blad voor de provincie
Drenthe, 15-11-1825: ‘malam dari 4 Junij merupakan letusan gunung Goentoer, di
distrik Bandong, Preanger Regcntschappen, letusan yang dahsyat. Lebih dari satu
juta pohon kopi rusak ringan sebagian dan sebagian yang lain rusak berat; satu hal
yang terakhir, bagaimanapun, berharap bahwa masih ada sekitar seratus ribu pohon
yang akan tumbuh dengan baik. Pedagang kopi utama kehilangan yang ditaksir nilainya
sebanyak 4.000 pikols. Untungnya, bencana ini tidak ada memakan orang atau
ternak’.
Akibat
bencana ini terjadi kegagalan panen. Pohon-pohon kopi banyak tertutup debu dan
tanah. Priangan saja, pengurangan hasil kopi diperkirakan mencapai 30.000 pikul
atau senilai f3.750.000 (Algemeen Handelsblad, 01-10-1828).
Javasche courant, 07-08-1828: ‘Bupati Sumadang,
Pangeran Kesoemoe Adi Natta, meninggal 2 Juli lalu…Bupati memiliki empat anak.
Bupati ini pada tahun 1791 berhasil mengatasi pemberontakan di Sumedang…Salah
satu anaknya Sura Nagara adalah salah satu pedagang kopi utama di Buitenzorg… Sura
Nagara akan dijadikan kandidat bupati…’.
Di
Preanger tidak hanya persoalan kopi. Sebagaimana di Jawa, di Preanger juga tahun
1828 terjadi kelangkaan beras. Untuk mencegah meunculnya pemberontakan,
pemerintah mendatangkan beras dari Bengal dan Siam (Javasche courant,
07-08-1828).
Untuk distribusinya di Preanger, dilakukan
oleh Residen Preanger yang berkedudukan di Tjiandjor dengan memasang iklan dan
memberitahu terdapat empat gudang yang dapat diakses oleh penduduk Preanger
yakni di gudang untuk Tjiheulang (Tjiandoer), Tjimahie (Bandoeng) dan Gunung Para (Soekabomei)' (Javasche courant, 21-10-1828).
Nama tempat utama yang kini disebut salah satunya adalah Tjimahie, sementara nama tempat yang pernah disebut sebelumnya (Baybang) telah menghilang. Selain itu, nama Bandoeng semakin menonjol. Dengan kata lain, jalur Tjiandjoer-Baybang-Sumedang telah digantikan oleh jalur Tjiandjoer-Tjimahie-Bandoeng-Sumedang. Dalam peta jalan pos trans Jawa tahun 1829, nama Bandoeng sudah disebutkan (yang boleh jadi telah menggantikan nama Baybang).
Koffijstelsel di Preanger, Nama Bandoeng
Muncul
Dampak
dari ledakan Gunung Guntur di Preanger menyebabkan volume kopi ekspor jauh
menurun dan harga kopi di pasar ekspor meningkat pesat. Sisi lain dari
persoalan ini, pemerintah melihat lahan-lahan di Preanger mungkin menjadi subur
dengan meningkatnya tinggi humus. Lalu kemudian muncul program koffij kultuur
di Preanger.
Untuk mendukung program koffijkultuur ini pemerintah
mengangkat seorang asisten residen yang khusus untuk menangani koffikulture
pada tahun 1829. Nama asisten residen yang ditunjuk adalah Fischer (lihat Javasche
courant, 27-01-1829)..
Asisten
residen ini menjadi semacam wakil Residen Preanger di Tjiandjoer. Residen
Preanger yang berkedudukan di Tjiandjoer bernama PWL van Motman (1816-1819).
Pertimbangan dipilihnya residen berkedudukan di Tjiandjoer karena lokasinya
lebih sehat dan lebih dekat dengan pusat (Buitenzorg dan Batavia). Sebaliknya,
Bandoeng, meski lanskapnya sangat bagus tetapi tidak dipilih sebagai ibukota
karena lingkungannnya dianggap tidak sehat, banyak rawa-rawa dan kerap banjir
(lihat Major William Thorn, 1815).
Untuk mempercepat keberhasilan program kopi di Preanger diangkat
controleur di Sumadang (1ste. klass) di Bandong (2de klass)
di Tjiandjoer (2de klass) dan Limbangan (Javasche courant, 06-08-1829). Terlihat
bahwa penempatan controleur klass 1ste di Sumadang menunjukkan bahwa Sumadang lebih
penting (utama) jika dibandingkan dengan Bandong (controleur klas-2).
Pada tahun 1829 Bandong
sudah disebut bagian dari jalan pos trans-Jawa. Padahal pada tahun 1810 jalan
pos hanya menyebut dua nama tempat utama yakni Baybang dan Sumedang. Ini dengan
sendirinya, jalan pos yang dari Padalarang bergeser ke Tjimahi lalu ke Bandoeng
terus ke Sumedang. Hal ini diduga ada kaitannya dengan garnisun militer yang
ditempatkan di Tjimahi dan pengembangan budidaya kopi ke arah selatan, seperti
Pangalengan. Baybang sendiri adalah kampong besar (lihat Major William Thorn,
1815).
Bersamaan
dengan koffijkultuur ini diintroduksi tenaman teh. Pada tahun 1829 Jacobson melakukan penanaman teh dengan hasil yang
baik di Preanger di lingkungan dari Tjisoeroepan, antara Garoet dan Tjikadjang, ditanam di 1.220 meter di atas laut. Pada tahun 1932 Jacobson
membawa beberapa pengrajin teh Cina untuk di Java. Dia juga mengalokasikan
banyak benih teh di Wanajasa, Krawang. Saat terjadi pemberontakan yang gagal,
dia pada 1833 membawa sejumlah biji teh dari Cina, untuk satu eksperimen di
Bandoengsche. Di bawah kepemimpinan Jacobson pemerintah, sementara ditunjuk
sebagai Inspektur Kebudayaan Tea, tes yang dengan budaya ini berhasil berlanjut
di tiga belas residentie di Jawa, yakni Preanger, Krawang, Banten, Cirebon
Tegal, Pekalongan, Semarang, Jepara, Surabaya, Besoeki, Kedoe, Banjoemas dan
Bagelen. Sementara itu, hal itu dianggap produk, karena hal ini oleh perkebunan
berafiliasi pabrik disampaikan itu, belum cocok dalam segala hal untuk pasar,
sehingga diputuskan yang pertama lebih dekat dan diproses di Meester Cornelis
yang didirikan pada tahun 1838.
Introduksi
teh ini di Bandong pada saat ekonomi kopi, kelak terjadi di Deli. Pada saat
ekonomi lada di Deli mengalir ke Penang, pemerintah menempatkan seorang
controleur di Laboehan tahun 1865. Pada tahun dimana controleur ditempatkan,
seorang bernama Nienhuys membuka perkebunan tembakau. Sejak itu Deli berkembang
pesat menjadi pusat perkebunan tembakau.
Pada tahun 1829 Bandong sudah disebut bagian dari jalan pos trans-Jawa. Padahal pada tahun 1810 jalan pos hanya menyebut dua nama tempat utama yakni Baybang dan Sumedang. Ini dengan sendirinya, jalan pos yang dari Padalarang bergeser ke Tjimahi lalu ke Bandoeng terus ke Sumedang. Hal ini diduga ada kaitannya dengan garnisun militer yang ditempatkan di Tjimahi dan pengembangan budidaya kopi ke arah selatan, seperti Pangalengan. Baybang sendiri adalah kampong besar (lihat Major William Thorn, 1815).
Pembentukan Pemerintahan dan Origin Kota Bandung
Pembentukan pemerintahan di Bandoeng dimulai tahun 1829
yang merupakan implikasi proses mempercepat keberhasilan program kopi di
Preanger. Pembentukan pemerintahan ini dimulai dengan penempatan seorang
controleur di Bandong
(Javasche courant, 06-08-1829)..Controleur
adalah pejabat pemerintah paling rendah yang memiliki wilayah kerja yang
relatif kecil (setingkat kecamatan pada masa ini).
Seperti
biasanya, dimana pejabat pemerintah berkedudukan maka tempat itu dengan
sendirinya menjadi ibukota. Letak ibukota atau kota baru Bandung ini dipilih di
satu tempat yang lokasinya berada di dekat Odjoeng Brung. Dalam hal ini Oedjong
Brung adalah patokan dalam pemilihan ibukota karena baru di Odjong Brong
terdapat keberadaan orang Belanda (perkebunan teh).di Preanger. Area
Odjoeng Brong ini diduga awalnya diakses dari sisi timur (Sumadang/Chirebon).
Odjoeng Brung adalah nama tempat yang lebih
awal dikenal karena sudah dijadikan perkebunan. Lahan perkebunan Odjoeng Brung
ini diakses dari timur di jalan pos trans-Jawa Daendles. Sebagaimana diketahui
jalan pos ini dari Tjiandjor melalui Padalarang, lalu ke arah utara dan melalui
Lembang terus ke Sumedang. Jalan pos antara Lembang dan Sumedang inilah pangkal
jalan menuju Odjoeng Brung. Kawasan Bandong sendiri (pusat kota Bandoung yang
sekarang) terbilang sepi dan hanya terdiri dari beberap kampong yang dihuni oleh
beberapa keluarga.
Kota
Bandung berada di suatu area yang relatif kosong di kawasan Bandong di wilayah
Preanger. Pada peta 1818 di area ini kampong ada satu kampong yang dikenal
sebagai kampong Bandong. Daerah sekitar Bandong ini antar kampong masih sangat
berjauhan, Area Bandong ini tampaknya banyak ditumbuhi oleh alang-alang dimana
banyak ditemukan rusa.
Asal mula kota Bandung (baru) bukan kampong Bandoeng (lama) tetapi
Bandoeng (baru) dipilih berada tidak jauh dari Odjoeng Brong tetapi cukup dekat dengan kampong
Bandoeng (lama). Jarak antara Bandoeng (baru) dengan Bandoeng (lama) sekitar 3
paal. Kampong-kampong terdekat dengan Bandong (baru) ini adalah kampong Bodjo
Negara, kampong Tjioemboeloeit dan kampong Tjoroek yang jarak masing-masing
tiga pal.
Pada
tahun 1846 di Bandong diangkat bupati. Jabatan bupati yang ditunjuk adalah Raden
Adipati Wira Nata Koesoema yang diangkat pada tanggal 27 Juli 1846. Bupati
Bandong ini berkedudukan di Dajeh Kolot, suatu kampong yang berada di pinggir
sungai Citarum jika dilihat dari utara menghadap ke selatan tampak Gunung
Malabar.
Di Limbangan bupati sudah diangkat tahun
1833, di Sumedang bupati diangkat sejak 1834, di Soekapora 1855, di Tjiandjoer
1864. Selain bupati dan bawahannya, pejabat penting yang ditunjuk adalah Hoofdpangoeloe.
Hoofdpangoeloe di Sumedang Raden Moehammad Tajib, 20 junij 1852, di Bandong Radèn
Hadji Moehammad АЦП, 26 mei 1856. Disamping itu juga diangkat jaksa: di Bandung
1852, di Lambangan 1856, di Sukapura 1870, di Sumedang 1868, Tjiandjoer 1868.
Bupati
ini kelak pindah ke ibukota Bandong dan istananya dibangun di daerah kampong
Kaoem yang sekarang. Kampong Kaoem ini diduga dulunya adalah kampong Bandoeng (lama)
saat ibukota Bandung mulai dibangun dimana controleur berkedudukan (1829). Oleh
karena itu, pada tahun 1860, I. Groeneman, menyebut salah satu lukisannya
dengan memberi judul ‘Goenong Malabar bij Bandoeng Toewa: gezien van Dajeh
Kolot aan den noordelijken oever van den Tjitaroem;. Judul ini dapat diartikan
secara harfiah sebagai; ‘Goenoeng Malabar di Bandung Tuwa: Dajeh Kolot dilihat dari
utara di tepi sungai Tjitaroem.
Kisah tempat
tinggal Bupati Bandoeng ini mirip dengan kisah Sultan Deli. Pada tahun 1875
controleur di tempatkan di Medan. Sejak kota Medan ditingkatkan menjadi ibukota
residentie Sumatra’s Oostkust, Sultan Deli dipindahkan dari Laboehan ke Medan.
Sultan Deli dibangun istana yang mewah (oleh perhimpunan perusahaan
perkebunan). Residen Sumatra’s Oostkust dengan Sultan Deli adalah dua pemimpin
dalam masa kolonial, sebagaimana Residen Preanger dengan Bupati Bandoeng.
Menempatkan kedua belah pihak di dalam satu tempat dimaksudkan untuk memudahkan
interaksi sehubungan dengan meningkatnya intensitas kegiatan (seiring dengan
perkembangan perusahaan-perusahaan perkebunan).
Perkembangan Bandoeng sebagai suatu kawasan perkebunan yang penting di Preanger, pemerintah mulai mengamankannya dengan menempatkan suatu garnisun di Tjimahi pada awal tahun 1850an (sebagai perluasan garnisun yang sudah ada di Butenzorg di era VOC dan di Tjisaroa di era awal pemerintahan Hindia Belanda). Tjimahi dalam hal ini adalah titik strategis dari berbagai aspek seperti pertahanan dan pengembangan perkebunan. Karena itu, meski Tjimahi bukan kota utama di dataran tinggi Bandoeng, tetapi Tjimahi menjadi ‘pintu gerbang’ Preangeri di wilayah Bandung. Keutamaan Tjimahi lainnya adalah sudah menjadi gudang kopi di area Bandoeng (dan telah menggantikan posisi Buitenzorg). Nama Tjimahi sudah disebut sejak 1828.
Penataan Pemerintahan di Preanger
Pada
awalnya wilayah Preanger terbagi dua: wilayah barat masuk Batavian en Preanger
Bovenlanden dan wilayah timur adalah Chirebon en Preanger Bovenlanden. Saat
itu, asisten residen berkedudukan di Buitenzorg termasuk Preanger Bovenlanden
(Tjiandjoer en Soekaboemi). Kemudian dua wilayah Preanger disatukan dengan
membentuk Residentie Preanger dimana residen berkedudukan di Tjianjoer.
Resident pertama Preanger adalah PWL van Motman (1816-1819), sedangkan Resident
terakhir adalah C van der Moore (1858-1874).
Penataan
pemerintah di Residentie Preanger dilakukan tahun 1871. Residen Preanger
dipindahkan dari Tjiandjoer ke Bandong. Dalam fase perpindahan ini resident
tetap C van der Moore. Bupati Bandoeng juga dipindahkan dari Dajeh Kolot ke
Bandoeng. Setelah reorganisasi Residentie Preanger lengkapnya terdiri dari
Bandoeng, Tjiandjoer, Sumedang, Limbangan dan Soekapora.
Berdasarkan peta 1884 diketahui pemerintahan
di Residentie Preanger terdiri dari (sesuai umur): Regent schappen (kabupaten)
Tjiandjoer berkedudukan di Tjiandjoer, Bandong di Bandong, Limbangan di Garoet,
Sumedang di Sumedang dan Soekapoera di Manondjaja. Kabupaten Tjiandjoer terdiri
dari dua afdeeling, yakni: Tjiandjoer (9 distrik), asisten residen di
Djiandjor; Soekaboemi (7), asisten residen di Soekaboemi. Kabupaten Bandoeng,
dua adeeling, yakni: Bandoeng (9) dimana asisten residen berkedudukan di
Bandong dan Tjitjalengka (6) asisten residen di Tjitjalengka. Kabupaten
Limbangan hanya satu afdeeling Limbangan (4) asisten residen di Garoet;
Kabupaten Sumedang terdiri dari dua afdeeling yakni Sumedang dan Tasikmalaya.
Afdeeling Sumedang (6) asisten residen di Sumedang dan Tasikmalaya (5) asisten
residen di Tasikmalaya. Kabupaten Soekapura dua afdeeling, yakni Soekapora (8)
asisten residen di Manondjaja dan Soekapora Kolot (8) asisten residen di
Mangoenredja. Total terdapat 62 distrik dari 9 afdeeling.
Pada
tahun 1871 kota Bandung telah berkembang pesat sebagai kota besar. Kota
Bandoeng (ibukota Preanger yang baru) lambat laun bahkan telah melampui luas
kota Tjiandjoer (ibukota Preanger yang lama). Bagaimana kota Bandoeng tumbuh
dan berkembang selanjutnya akan dideskripsikan secara tematik dalam serial
artikel lebih lanjut.
Nama-nama
daerah administrasi di Jawa dan Madoera dapat ditemukan dalam daftar nama
daerah administrasi dalam Sensus Penduduk 1930 yakni terdiri dari lima wilayah
(gewest): West Java, Midden Java, Oost Java, Soerakarta dan Djokjakarta. Di wilayah West Java terdapat empat adeeling
(residentie), yakni: Bantam, Batavia, Buitenzorg, West Priangan, Midden
Priangan Oost Priangan, Krawang, Cheribon, dan Indramajoe. Namun berdasarkan Stbl.1931
Nos. 425, 426 en 427 Besl. G.G. 15/10-1931 No. l6, 17 en 18 Priangan Midden
diganti Bandoeng dan Sumedang; Oost Priangan diganti Garoet, Tasikmalaya dan
Tjiamis; dan West Priangan diganti
Soekaboemi dan Tjiandjoer; Bandong, Sumedang, Garoet, Tasikmalaya dan Tjiamis menjadi
satu kesatuan administrasi yakni Priangan; Soekaboemi dan Tjiandjoer menjadi
bagian dari wilayah administrasi Buitenzorg. Dengan demikian, di Priangan terdapat
lima kabupaten (regentschap), yakni Bandong, Sumedang, Garoet, Tasikmalaya dan
Tjiamis. Nama-nama distrik di kabupaten Bandoeng sendiri adalah Bandjaran,
Bandoeng, Lembang, Oedjoeng Broeng, Soerang, Tjikalong Wetan, Tjililin, Tjimahi,
Tjiparai dan Tjitjalengka. Di distrik Bandoeng terdapat tiga onderdistrik dan
satu gemeente (kota): Bodjongloa, Oost Bandoeng dan West Bandoeng serta Kota
Bandoeng (gemeente). Di onderdistrik Bodjongloa terdapat sembila desa yakni Babakan
Tjparai, Batoenoenggal, Bodjongloa, Margahajoe, Pasawahan, Soekamenak,
Soekapoera, Tangkoeng, Tjiteureup; di onderdisrikOost
Bandoeng (7 desa), yakni Bloeboer, Goemoeroeh, Kadjaksan, Kosambi, Lengkong,
Pangerang, Tjikawao; dan di onderdistrik West Bandoeng (7 desa), yakni Andir,
Astanaanjar, Pasar, Regol, Soeniardja, Tjitepoes, Tjitjendo (lihat ALPHABETISCH
REGISTER VAN DE ADMINISTRATIEVE- (BESTUURS-) EN ADATRECHTELIJKE INDEELING VAN NEDERLANDSCH-INDIE.
DEEL I: JAVA EN MADOERA. SAMENGESTELD DOOR W. F. SCHOEL, 1931).
Dalam
hal ini Kota Bandung adalah gemeente Bandoeng, suatu pusat pemerintahan yang di
dalamnya terdapat kantor Residentie, kantor Regentschap, dan kantor distrik.
Gemeente Bandoeng sendiri dibentuk pada tahun 1905.
Bersambung:
Sejarah Bandung (2):Gemeente dan Gemeenteraad Bandoeng
Pada artikel-artikel selanjutnya akan mendeskripsikan sejarah berdasarkan tematik: (1) Gedoeng Besar, Gedung Sate, (2) Kantor Regentschap, (3) Alun-alun Kota di Bandjaran, (4) Hotel Preanger dan Hotel Homann (5) Stasion Bandoeng, (6) Sepakbola, (7) Masjid Bandoeng, (8) Goenoeng Malabar dan sungai Tjitaroem, (9) Lembang dan Tangkoeban Prahoe, (10) Sekolah Pribumi dan sekolah Eropa, (11) De Societeit Concordia, klub social di Bandoeng, (12) Teh dan Kina, (13) Raden Adipati Wira Nata Kesoema, regent van Bandoeng, (14) Kweekschool voor inheemse onderwijzers te Bandoeng, (15) Kopi Preanger, (16) Surat Kabar, (17) Winkelstraat dan Bragaweg, (18) Universiteit van Indonesie di Bandoeng, (19) Gereja Katolik Roma dan Gereja Protestan di Bandoeng, (20) Angkloengorkest, (21) Militairen te Tjimahi, (22) Benteng, (23) Taman Kota Pieterspark, (24) Chinese Kamp, (25) OSVIA, (26) Kanal dan Irigasi di Bandoeng, (27) Fetival Bunga, (28) Inlandse Meisjesschool, (29) Telefooncentrale, (30) School voor M.U.L.O dan HBS te Bandoeng, (31) Races op de Tegallega, (32) Pasar Baroe, (33) Restaurant Kuyl en Versteeg, (34) Radiostation Malabar, (35) Nieuw Bandoeng, (36) Rammengevecht, dan seterusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar