*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini
Pendidikan yang kita miliki sekarang, pendidikan modern dimulai sejak era Hindia Belanda. Di (pulau) Bali pendidikan modern tersebut dimulai pada tahun 1873 dengan membuka sekolah dasar di Singaradja, Boeleleng. Pendidikan modern dalam hal ini adalah penggunaan aksara Latin. Sebelum pendidikan modern ini diintroduksi di Bali sudah lebih dahulu pendidikan serupa berkembang di Jawa dan Sumatra. Lantas mengapa pengenalan pendidikan modern yang indah ini sedikit terlambat di Bali?
Pendidikan yang kita miliki sekarang, pendidikan modern dimulai sejak era Hindia Belanda. Di (pulau) Bali pendidikan modern tersebut dimulai pada tahun 1873 dengan membuka sekolah dasar di Singaradja, Boeleleng. Pendidikan modern dalam hal ini adalah penggunaan aksara Latin. Sebelum pendidikan modern ini diintroduksi di Bali sudah lebih dahulu pendidikan serupa berkembang di Jawa dan Sumatra. Lantas mengapa pengenalan pendidikan modern yang indah ini sedikit terlambat di Bali?
Sesungguhnya sekolah baik
untuk anak-anak Eropa/Belanda
maupun pribumi sudah diintroduksi awal Pemerintahan Hindia Belanda pasca
pendudukan Inggris seperti di Batavia, Soerabaja dan Padang. Guru-guru Belanda
didatangkan, guru yang bisa berbasa Melayu mengajar di sekolah pribumi. Namun
program pendidikan (sekolah) kurang berhasil di kalangan pribumi. Pemerintah
Hindia Belanda pada tahun 1848 mulai menginisiasi pendidikan dengan pengadaan
guru pribumi melalui kurus. Guru-guru ini kemudian disebar ke berbagai tempat. Untuk
memenuhi guru yang banyak, pada tahun 1851 di Soerakarta Residen mendirikan
sekolah guru (kweekschool). Lalu pada tahun 1856 Residen JAW van Ophuijsen
mendirikan sekolah guru di Fort de Kock. Pada tahun 1857 siswa lulusan sekolah
dasar di Afdeeling Mandailing en Angkola (Residentie Tapanoeli) Sati Nasoetion bersama
Asisten Residen berangkat studi ke Belanda. Sati Nasoetion alias Willem
Iskander lulus sekolah guru di Haarlem dan mendapat akte (beslit) guru pada
tahun 1861 dan kembali ke kampong halaman dan mendirikan sekolah guru
(kweekschool) di Tanobato tahun 1862. Sekolah guru di Tanobato (Afdeeling
Mandailing en Angkola) ini kemudian diakuisisi pemerintah menjadi sekolah guru yang
ketiga di Hindia Belanda. Willem Iskander adalah kakek buyut Prof. Dr, Ir. Andi
Hakim Nasoetion (Rektor IPB 1978-1987).
Banyak faktor munculnya inisiatif pendidikan. Ada
karena faktor kepedulian pemerintah (Asisten Residen atau Residen) dan juga ada
karena faktor dorongan penduduk (pemimpin lokal). Setiap daerah cara merespon
pendidikan ini juga berbeda, ada yang antusias, ada yang gamang dan juga ada
yang tidak mau tahu. Di daerah Tapanoeli, kebutuhan pendidikan (aksara Latin)
ini memiliki kesesuaian antara pemerintah (Belanda) dengan penduduk (pribumi).
Bagaimana dengan di Bali yang dimulai di Singaradja pada tahun 1873? Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan
wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sumber
utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Pendirian Sekolah di Singaradja
Surat Menteri Koloni 13 Juni 1871 diterima di
Buitenzorg pada tangga 19 Agustus 1871 yang berisi tentang pendirian sekolah
pribumi (inlandsche School) di Boeleleng, pulau Bali Residentie Banjoewangi
(lihat Bataviaasch handelsblad, 23-08-1871). Disebutkan dalam surat ini sekolah
ini akan dibuka pada tanggal 7 Januari 1872. Sekolah ini akan dipimpin seorang
guru (onderwijzer) dengan gaji f600 per tahun dan dibantu seorang calon guru (kweekwling)
dengan gaji f120 per tahun dan sebesar f200 setahun untuk pembelian
perlengkapan sekolah. Surat ini diumumkan oleh Sekretaris Jenderal di
Buitenzorg.
Pendirian
sekolah pemerintah di suatu tempat banyak pertimbangan. Oleh karena sifatnya
pengusulan, maka usulan dapat dilaksanakan jika di wilayah setempat terdapat
kemauan orang tua dan pemimpin lokal untuk didirikan sekolah (sama seperti
sekarang). Pertimbangan yang menentukan adalah pendapatan daerah setempat
(semacam PAD masa kini). Berbeda dengan pendirian sekolah swasta yang didirikan
penduduk dan dikelola penduduk atas biaya sendiri dengan mendatangkan guru.
Sekolah pemerintah, standarnya diawasi oleh pemerintah dengan pembentukan komisi
sekolah (semacam kanwil pendidikan pada masa ini).
Persiapan pembukaan sekolah pemerintah di
Boeleleng baru rampung pada akhir tahun 1873 dan akan dibuka awal tahun 1874. Yang
akan menjadi guru diketahui bernama Hiranta (lihat Bataviaasch handelsblad, 14-02-1874).
Disebutkan berdasarkan Direktur Onderwijs. Eeredienst en Nijverheid diangkat
sebagai guru pemerintah di sekolah pribumi di Boeleleng, Hiranta, seorang
lulusan sekolah guru (kweekschool) di Bandoeng. Pada tanggal 29 April 1874
sekolah pemerintah di Boeleleng resmi dibuka (lihat Java-bode : nieuws,
handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 10-06-1874). Jumlah siswa
sebanyak enam orang (lihat Algemeen Handelsblad, 25-07-1874).Bahasa pengantar yang digunakan bahasa Melayu.
Pada
tahun 1863 Gubernur Pantai Barat Sumatra menulis di surat kabar pembukaan
sekolah guru di Tanobato Afdeeling Mandailing en Angkola, Residentie Tapanoeli
yang dipimpin Willem Iskander berjalan sukses. Para murid diajarkan bahasa
Melayu, bahasa Batak dan bahasa Belanda. Kurikulum sekolah mengikuti sekolah di
Eropa diajarkan geografi, matematikan, fisika dan ilmu alam.
Mendengar
berita itu Inspektur Pendidikan di Batavia Mr. A van der Chijs segera bergegas
ke Tapanoeli dan sangat kaget sebagaimana pernyataan Chijs yang dikutrip surat
kabar Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels, nieuws- en
advertentieblad, 20-03-1865: ‘Izinkan saya mewakili orang yang pernah ke daerah
ini. Di bawah kepemimpinan (Asisten Residen) Godon daerah ini telah banyak
berubah, perbaikan perumahan dan pembuatan jalan-jalan. Satu hal yang penting
tentang Godon telah membawa Willem Iskander studi ke Belanda dan telah kembali
kampungnya. Ketika saya tiba, disambut oleh Willem Iskander, kepala sekolah
dari Tanabatoe diikuti dengan enam belas murid-muridnya, Willem Iskander duduk
di atas kuda dengan pakaian Eropa, murid-muridnya dengan kostum daerah….Saya
tahun lalu ke tempat dimana sekolah Willem Iskander didirikan di Tanobato…siswa
datang dari seluruh Bataklanden…mereka telah diajarkan aritmatika, ilmu alam,
prinsip-prinsip fisika, sejarah, geografi, matematika…bahasa Melayu, bahasa
Batak dan bahasa Belanda….saya sangat puas dengan kinerja sekolah ini’. Berita
ini telah menggembarkan di Jawa. Para pengusaha (planter) di Preanger segera
merespon dengan membangun sekolah guru di Bandoeng yang dimotori oleh KF Holle.
Sekolah guru Tanobato diakuisisi pemerintah pada tahun 1865 dan kemudian di
Bandoeng sekolah guru yang baru dibuka pada tahun 1866 (juga diakuisisi oleh
pemerintah sebagai sekolah guru keempat di Hindia Belanda). Dari sekolah guru
di Bandoeng inilah guru Hiranta direkrut menjadi guru pemerintah di Boeleleng.
Heboh
tentang pendidikan di Afdeeling Mandailing en Angkola, memunculkan pro-kontra
di Jawa dan di Belanda sebagaimana dapat dibaca pada surat kabar Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 14-11-1868 yang
mengutip dari surat kabar Soerabayasch Handelsblad edisi 5 November: ‘Mari kita
mengajarkan orang Jawa, bahwa hidup adalah perjuangan. Mengentaskan kehidupan
yang kotor dari selokan (candu opium). Mari kita memperluas pendidikan sehingga
penduduk asli dari kebodohan’. Orang Jawa, harus belajar untuk berdiri di atas
kaki sendiri. Awalnya Chijs mendapat kesan (sebelum ke Tanobato) di Pantai
Barat Sumatra mungkin diperlukan seribu tahun sebelum realisasi gagasan
pendidikan (sebaliknya apa yang dilihatnya sudah terealisasi dengan baik).
Kenyataan yang terjadi di Mandailing dan Angkola bukan dongeng, ini benar-benar
terjadi, tandas Chijs’. Algemeen Handelsblad, 26-11-1869: ‘…kondisi pendidikan
pribumi di Java adalah rasa malu untuk bangsa kita (Belanda). Dua atau tiga
abad mengisap bangsa ini, berjuta-juta sumber daya penghasilan telah ditransfer
ke ibu pertiwi (Kerajan Belanda), tapi hampir tidak ada hubungannya untuk
peradaban pribumi di sana (Hindia Belanda)…’.
Sementara guru Hiranta baru mulai mengabdi dalam
pendidikan penduduk di Bali, untuk meningkatkan kualitas guru di Hindia
Belanda, pemerintah mengirim tiga guru muda untuk studi ke Belanda. Tiga guru
muda ini adalah Banas Loebis, guru di Mandailing, Adi Sasminta guru di
Madjalengka dan Raden Soerono guru di Soerakarta. Untuk mendampingi tiga guru muda ini di
perjalanan dan selama studi dibimbing oleh guru Willem Iskander yang juga
diberikan beasiswa oleh pemerintah untuk meningkatkan studinya di Belanda
(lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 27-03-1874).
Mereka berempat berangkat dari Batavia pada bulan April 1874.
De locomotief : Samarangsch handels blad, 27-03-1874 |
Tunggu deskripsi lengkapnya
Perkembangan Pendidikan di Bali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar