*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Manado dalam blog ini Klik Disini
Gunung api meletus, gempa dan tsunami adalah kejadian alam sangat berbahaya yang dapat menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yang menyebabkan kerugian besar bagi penduduk. Kejadian-kejadian tersebut tidak pernah berhenti sejak doeloe. Kejadianya berulang, kapan waktunya terjadi tidak terduga. Pada masa ini tingkat kesiapan menghadapinya lebih teliti jik dibandingkan pada masa lampau. Namun kejadian tetaplah peristiawa sejarah. Mungkin tidak ada salahnya untuk mendokumentasikannya karena masih dapat dijadikan pedoman untuk menghindari bahaya yang ditimbulkannya di masa datang.
Lantas bagaimana sejarah gunung api meletus, gempa dan tsunami di bagian utara Sulawesi? Yang jelas tercatat dan terdokumentasikan namun kurang terinformasikan pada masa ini. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Beberapa catatan tertua gempa besar di Sangir dan Manado terjadi pada tahun 1695 dan 1707 (lihat Daghregister 6 Desember 1695 dan 28 Juni 1707). Namun catatan gempa yang terbilang lengkap yang termasuk awal dan paling mengerikan terjadi pada tahun 1856 dimana gunung Awu melatus di pulau Sangir yang membawa korban tewas lebih dari 2.800 jiwa (lihat De Oostpost: letterkundig, wetenschappelijk en commercieel nieuws- en advertentieblad, 19-06-1856). Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Gunung Awu Meletus di Sangihe 1856
Sejarah letusan gunung api, gempa dan tsunami di Residentie Manado (Sulawesi bagian utara) adalah bagian dari sejarah letusan gunung api, gempa dan tsunami di Indonesia sejak era Hindia Belanda. Letusan gunung api Awoe di pulau Sangir tahun 1856 beritanya sampai ke Ternate yang di bawa oleh para pelaut, kemudian dikirim satu ekspedisi ke Taroena untuk mendapatkan gambaran situasi dan kondisi yang sebenarnya.
Gunung Awoe di pulau Sangir melatus pada bulan Maret 1856, berdasarkan keterangan dari para pelaut yang dikumpulkan oleh Residen Manado diteruskan ke Ternate pada bulan April. Untuk melihat situasi dan kondisi di Sangir, suatu ekspedisi dikirim dari Ternate dengan kapal Sr MS (kapal perang) ss Semarang pada tanggal 2 Mei 1856. Kapal tersebut mencapai teluk Taroena pada hari ketiga. Pejabat yang menjadi pemimpin ekspedisi itu berhasil mengumpulkan para kepala suku (radja-radja) untuk mendapatkan keterangan dan menyusun rencana aksi. Bagaimana gambaran kejadian pada hari-hari letusan adalah sebagai berikut:
Gambaran letusan gunung Awoe sangatlah dahsyat. Ledakan besar, lapa pijar mengalir dengan kecepatan tinggi yang mencapai laut mebuat air laut mendidih. Goncangan pada air laut telah menyebabkan tsunami yang menghantam pantai dan menghanyutkan penduduk yang membawa kepada kematian. Hujan batu dimana-mana bahkan jatuhannya sampai ke pulau Mindanao menurut keterangan orang yang baru pulang dari Mindanao. Penduduk pada tanggal 17 Maret masih dikejutkan oleh letusan yang sejak itu tidak pernah terdengar lagi namun penduduk masih menemukan uap keluar dari rekan-retakan tanah. Aliran lahar belum sepenuhnya mendingin sehingga penduduk tidak berani bergerak lebih jauh dari teluk Taroena. Kampong utama Taroena menderita abu dan batu yang merusak rumah dan melukai penduduk. Kampong Taroena sedikit tertolong karena aliran lahar yang mengalir ke selatan menemui hambatan di lereng bukit, yang di sisi selatannya di teluk Taroena terletak kampung, dari sana ke arah barat lahar mengalir ke laut.
Desa Kolongan, tempat aliran lahar besar menuju ke laut, yang tertutup abu dan batu, telah hancur total. Seperti di Taroena, masyarakat Kandhar menderita abu dan batu, apalagi air panas yang mengalir dari segala sisi. Untungnya, bagaimanapun, mereka sedang berada di pemukiman selama letusan. Tetangga kampong besar Tariang, di kampong Pembalarain, Labakassin, Fatoen dan Hilang, telah hancur total oleh api. Negori Sawan dan Naha hanya sedikit menderita karena kondisi medan. Negori terakhir adalah perbatasan kehancuran di sisi Taboucan, yang mana negori utamanya (Taboekan) sedikit atau tidak terpengaruh. Secara keseluruhan setelah dilakukan pendataan oleh radja-radja di lanskap Taroena korban tewas sebanyak 722 laki-laki, perempuan dan anak-anak; di lanskap Kandhar korban tewas sebanyak 45 orang dan di lanskap Taboekan sebanyak 2.039 orang yang dengan demikian total 2.806 laki-laki, perempuan dan anak-anak.
Peristiwa letusan gunung api Awoe yang disertai gempa dan menyebabkan tsunami terbilang sangat dahsyat dan menimbulkan banyak kerugian materi dan korban jiwa. Beberapa tahun sebelumnya kejadian gempa (aardschok atau aardbeving) terjadi di Manado pada tanggal 8 Februari 1845 (lihat Javasche courant, 27-08-1845).
Keterangan ini tidak bersifat langsung, karena kejadiannya sudah berlalu lebih dari enam bulan. Pada tanggal-tanggal di sekitar kejadian pada bulan Februari tidak ada surat kabar yang memberitakan. Disebutkan gempa dahsyat yang terjadi di Manado ini telah memporak-porandakan banguaan dan rumah penduduk termasuk gereja. Keteranga yang dikutip Javasche courant, 27-08-1845 tentang kejadian gempa di Manado sehubungan dengan peresmian gereja baru untuk menggantikan gereja yang roboh.
Di pulau Sangir terjadi bencana alam pada tahun 1892 (lihat Het vaderland, 30-08-1892). Bencana alamnya bukan gunung Awoe meletus tetapi gempa yang dahsyat yang dikirimkan berita dari Taroena pada tanggal 21 Juni melalui telegram yang diterima Residen Manado. Tidak disebutkan gempa ini apakah tektonik atau vulkanik, Hanya disebutkan bagian dari pulau dari seputar gunung Awoe hingga barat laut Taboekan hancur total. Sementara sisa pulau sangat menderita tetapi dalam enam bulan ke depan dapat dipulihkan.
Disebutkan lebih lanjut secara keseluruhan, sejauh ini diketahui, 2.000 orang tewas; 1.500 nama sudah dikenal sementara 500 orang masih hilang. Sekitar 100 korban luka masih menjalani perawatan di berbagai tempat. Untuk mencegah kelaparan dengan segera mengirimkan beras dan garam. Dalam 4 bulan pertama, kebutuhan tersebut masih harus dipenuhi. Bahan bangunan, tikar dan selimut dll akan diusahakan panitia bantuan untuk Sangir semaksimal mungkin. Kapal ss Zeemeeuw berangkat hari ini ke Menado untuk mengambil apa yang paling dibutuhkan dan kemudian segera kembali ke Taroena.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar