*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Ibu kota Republik
Indonesia direlokasi dari Djakarta ke Jogjakarta pada tanggal 4 Januari tahun
1946. Ini ditandai dengan berangkatnya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden
Mohamad Hatta dengan menggunakan kereta api dari stasion Manggarai yang didampingi
Menteri Keamanan Rakyat Amir Sjatifoeddin Harahap. Presiden Soekarno baru kembali
ke Djakarta setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda sebagai Republik
Indonesia Serikat (RIS). Keberangkatan Soekarno sebagai Presiden RIS dilakukan
pada tanggal 28 Desember 1949. Bagaimana dengan Jenderal Soedirman sendiri?
Soedirman dan sesama tentara PETA mendirikan cabang BKR di Banyumas akhir Agustus 1945. Pada tanggal 5 Oktober 1945 Soekarno mengeluarkan dekret pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada bulan Oktober, pasukan Inggris tiba di Semarang, dan kemudian bergerak menuju Magelang. Soedirman mengirim beberapa pasukannya untuk mengusir mereka. Soedirman yang membawahi Divisi V, tanggal 12 November 1945, dalam pertemuan pertama TKR, terpilih sebagai pemimpin TKR. Soedirman, saat itu berusia 29 tahun dipromosikan menjadi Jenderal dan dikukuhkan tanggal 18 Desember 1945. Pada tanggal 7 Oktober 1946, Sjahrir dan mantan Perdana Menteri Belanda, Wim Schermerhorn, sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Perundingan ini dimoderatori oleh diplomat Inggris Lord Killearn. Soedirman berangkat ke Jakarta dengan menggunakan kereta tanggal 20 Oktober. Namun, ia diperintahkan untuk kembali ke Yogyakarta setelah tentara Belanda tidak mengizinkan dirinya dan anak buahnya memasuki Jakarta dengan bersenjata. Soedirman berangkat dengan kereta lainnya pada akhir Oktober, dan tiba di Stasiun Gambir tanggal 1 November. Perundingan di Jakarta berakhir dengan perumusan Perjanjian Linggarjati tanggal 15 November 1946 (Wikiepedia)
Lantas bagaimana sejarah saat kali pertama Jenderal Soedirman ke Djakarta? Seperti disebut di atas, Jenderal Soedirman adalah panglima TRI di ibu kota RI di Jogjakarta, harus datang ke Djakarta dalam soal gencatan senjata. Perjanjian gencatan senjata yang ditandatangani Panglima TRI tersebut dipublikasikan Batavia. Lalu bagaimana sejarah saat kali pertama Jenderal Soedirman ke Djakarta? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah
seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan
tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan
imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang
digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Saat Pertama Kali Jenderal Soedirman ke Djakarta; Tanda Tangan Panglima TRI Dipublikasikan Batavia
Hingga tanggal 1 Oktober 1945, Presiden Soekarno dalam membentuk kabinet presidensial belum sepenuhnya lengkap. Mengapa? Yang jelas tanggal 1 Oktober ini Mr Amir Sjarifoeddin Harahap tiba di Djakarta segera setelah dibebaskan dari penjara Jepang di Malang. Di dalam penjara masih ada pemimpin Indonesia lainnya yang anti Jepang seperti Mr Ali Sastroamidjojo.
Pada tanggal 5 Oktober 1945 Pemerintah RI membentuk Tentara Keamanan
Rakjat (TKR). Semua mantan prajurit tentara nasionalis, yang dilindungi oleh
Jepang, telah dipanggil. Tujuan dari pasukan ini adalah untuk mencegah
kembalinya para penindas Belanda. Tentara nasionalis Indonesia sedang
direorganisasi di dekat Batavia (lihat Amsterdamsch dagblad, 09-10-1945). Soekarno
membentuk tentara rakyat. Kemungkinan besar Jepang secara diam-diam mendukung
kaum nasionalis Indonesia. Ada rumor bahwa Jepang memasok senjata dari gudang
senjata Jepang kepada kaum nasionalis di Bandung (lihat De patriot, 10-10-1945).
‘.
Pada tanggal 13 Oktober 1945 surat kabar Het parool memberitakan kabinet Presiden Soekarno. Susunan kabinet tersebut meliputi orang-orang berikut: Raden Adipati Aria Wiranata Koesoema, Dalam Negeri; Achmad Soebardjo, Luar Negeri; prof. mr. Raden Soepomo, Kehakiman; ir. Soerachman, Pekerjaan Sosial; Ki Hadjar Dewantoro, Pendidikan; Dr. Samsi, Keuangan; Dr Boentaran Martoatmodjo, Kesehatan Masyarakat; Iwa Koessoema Soemantri, Bidang Sosial; mr Amir Sjarifoeddin Harahap, Penerangan; Abikoesno Tjokrosoejoso, Perhubungan; Amir, Wachid Hasjim, Sartono, Maramis dan Oto Iskandar Dinata, Negara tanpa portofolio.
Pada tanggal 13 Oktober Tentara Rakyat Indonesia mengeluarkan proklamasi
yang menyatakan perang terhadap Belanda, orang Indo-Eropa, dan Ambon di Jawa.
Proklamasi tersebut memerintahkan orang Indonesia untuk memulai perang gerilya
dan mengatakan: “Ketika matahari terbenam, kita, orang Indonesia, berperang
melawan Belanda. Dengan deklarasi ini kami perintahkan semua orang Indonesia
untuk mencari musuh mereka sendiri — orang Belanda, orang Indo-Eropa, atau
orang Ambon. Senjata perang adalah segala jenis senjata api, juga racun, panah
beracun, pembakaran, dan segala jenis binatang buas—misalnya, ular. Perang
gerilya akan berjalan seiring dengan perang ekonomi: tidak ada makanan yang
boleh dijual kepada musuh mana pun. Pasar-pasar harus dijaga ketat dan siapa
pun yang menjual makanan kepada musuh-musuh kita akan dihukum berat. Pada
tanggal 14 Oktober, kota Batavia ditempatkan di bawah administrasi militer.
Mayor Jenderal DC Hawthorne, panglima pasukan darat Sekutu di Jawa, telah
mengeluarkan proklamasi yang menyatakan bahwa ia mengambil alih kendali atas
hukum dan ketertiban, perusahaan publik, layanan kesehatan, dan persediaan makanan.
Proklamasi tersebut menyebutkan, antara lain, tindakan-tindakan berikut yang
akan dihukum oleh pemerintahan militer: sabotase, penjarahan, pemogokan di
perusahaan-perusahaan milik negara, penolakan menjual kebutuhan pokok karena
alasan-alasan pertentangan rasial dan membawa senjata oleh orang-orang yang
tidak termasuk dalam golongan tersebut. dari Pasukan Sekutu atau kepolisian
berseragam. Semua pertemuan umum yang memicu kerusuhan atau yang menyebabkan
gangguan ketertiban umum dilarang. Sebagian besar layanan publik saat ini
dilakukan oleh orang Indonesia, yang bekerja secara mandiri atau di bawah
pengawasan Jepang. Proklamasi tersebut menyatakan bahwa semua layanan harus
terus dilakukan oleh orang-orang yang sekarang dipekerjakan sampai mereka diambil
alih oleh administrasi militer. Sampai saat itu, layanan akan dikontrol oleh
administrasi sipil Jepang.
Siapa yang menjadi Menteri Pertahanan (baca: BKR) secara definitif belum ada namanya hingga daftar kabinet dimuat surat kabar. Menteri Penerangan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap bersama mantan perwira KNIL Oerip Soemohardjo menyelenggarakan kursus singkat bagi sejumlah pemuda bergelar sarjana di akademi militer yang dibentuk di Jogjakarta. Dalam foto pelantikan kabinet Presiden Soekarno tampak Mr Amir Sjarifoeddin Harahap berseragam tentara. Dalam perkembangannya diumumkan nama Menteri Pertahanan sementara.
Het vrije volk: democratisch-socialistisch dagblad, 22-10-1945: ‘Kementerian baru dalam pemerintahan Soekarno. "Merdeka" tanggal 20 Oktober melaporkan bahwa Pemerintah Republik telah memutuskan untuk membentuk kementerian "Keamanan Dalam Negeri". Menteri sementara departemen ini adalah Moehamad Soeljodikoesoemo. Kepala stafnya adalah Mayor Oerip Soemohardjo yang pernah bertugas sebagai mayor di KNIL. komandan -wasr' garnisun di Poerworedjo’.
Siswa Akademi Militer Jogjakarta angkatan pertama yang lulus diberi pangkat Overste (Letnan Kolonel). Para lulusan dipimpin Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo tersebut dijadikan sebagai tentara pemerintah yang yang jumlahnya sebanyak 17 orang yang kemudian disebarkan ke sejumlah fungsi. Overste Dr Ibnoe Soetowo ke Tjepoe untuk mengamankan instalasi minyak. Sementara Overste Dr Irsan Radjamin dan Overste Drg Moestopo ke Soerabaja untuk menangani logistik dan penanganan kesehatan untuk memback-up pejuang yang terluka. Sedangkan Overste Ir MO Parlindoengan yang awalnya di Bandoeng untuk menangani pabrik senjata dan mesiu kemudian diperbantukan ke Soerabaja untuk penanganan bom-bom eks Jepang yang digunakan dalam pertempuran Soerabaja. Beberapa yang lainnya diperbantukan ke dalam kementerian seperti Overste Mr Arifin Harahap ke Kementerian Penerangan dan Overste Mr Kasman ke Kementerian BKR/Pertahanan. Yang lainnya seperti Overste Dr Ari Sadewo dan Overste Dr Azis Saleh ke Jawa Barat. Overste Dr Willer Hoetagaloeng dan Overste Ir Tarip Abdoellah Harahap tetap di Jogjakarta.
De Volkskrant, 05-11-1945: ‘Menurut juru bicara nasionalis, tentara Republik
Indonesia saat ini terdiri atas enam puluh hingga tujuh puluh ribu orang.
Mereka ingin meningkatkannya menjadi 250.000 orang. Panglimanya adalah Jenderal
Soepriadi, Letnan Jenderal Oerip sebagai kepala staf. Pemimpin yang sebenarnya
konon katanya adalah seseorang yang bernama Kasman (baca: Overste Kasman). Akademi
militer akan didirikan di daerah sekitar Garoet. Akademi ini dibantu oleh
penasihat/instruktur Jepang. Friesch dagblad, 05-11-1945: ‘Pemimpin sebenarnya
dari tentara Indonesia tampaknya adalah Kasman, yang sekarang memegang jabatan
non-militer di Jawa Tengah. Kabinet Soekarno tidak memiliki "menteri
pertahanan" tetapi Soekarno tampaknya ingin memegang kendali di tangannya
sendiri’.
Akademi Militer Jogjakarta sudah barang tentu tidak hanya memberikan materi teknis ketentaraan tetapi sesuai dinamikan saat itu juga diberikan dalam hal strategi menghadapi perang yang sebenarnya (perang yang tengah berlangsung). Untuk memperluas jangkauan calon siswa di sekolah Akademi Militer Jogjakarta diumumkan di surat kabar. Tampaknya siswa yang diprioritas adalah calon yang sudah pernah memiliki pengalaman dalam ketentaraan (ahli tantara). Seperti disebut di atas, lulusannya mendapat pangkat Letnan Kolonel.
Telex, 08-11-1945: ‘Kaum nasionalis daftar ke Akademi Militer! Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo mengeluarkan seruan di semua surat kabar yang pro Soekarno di Jawa, termasuk "Merdeka", kepada semua ahli tentara untuk mendaftar di "Akademi Militer Djoktjakarta". Jenderal Soemohardjo adalah kepala staf umum TKR, nama baru untuk BKR lama, yang didirikan setelah Jepang menyerah oleh anggota lama organisasi militer Jepang dan agen khusus Indonesia dari Gestapo Jepang: "Kempeitai". Pada tanggal 10 dan 11 bulan ini, akan diadakan pertemuan Gerakan Pemuda di Yogyakarta dan kongres Partai Islam akan diadakan di Surakarta. Soekarno akan menghadiri kedua pertemuan tersebut.
Badan Pekerja KNIP yang berpusat di Jogjakarta (yang
dipimpin Soetan Sjahrir) mengajukan tuntutan kepada Presiden Soekarno untuk
membentuk kabinet yang efektif dengan landasan partai pengusung. Presiden
kemudian menunjuk Sjahrir untuk membentuk kabinet baru. Sementara itu pada
tanggal 12 November 1945 di Djogjakarta diadakan pertemuan para komandan TKR.
Hasil pertemuan ini antara lain pembagian wilayah pertahanan Indonesia di Jawa
dan penetapan panglima tertinggi dimana terpilih Soedirman sebagai panglima
tertinggi. Lalu pada tanggal 14 November kabinet baru (kabinet parlementer)
diresmikan yang mana sebagai Perdana Menteri adalah Soetan Sjahrir. Dari
anggota kabinet lama, hanya Mr Amir Sjarifoeddin Harahap yang tetap pada posisinya
sebagai Menteri Penerangan, yang dalam kabinet baru ini juga merangkap sebagai Menteri
Keamanan Rakyat.
Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia,
14-12-1945 Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang setara dengan "WA" Belanda,
yang diakui oleh panglima tertinggi Jepang sebagai pasukan polisi, memegang
kekuasaan atas nama "Republik." Kemudian, di TKR (Tentara Keamanan
Rakyat) yang mana faktanya, banyak diantaranya para
ekstremis‘.
Sementara pemerintah memulai pembangunan militer sendiri (kini di bawah Kementerian Keamanan Rakyat), para pejuang Indonesia yang tergabung dalam tentara rakyat (BKR/TKR) memiliki caranya sendiri dalam melembagakannya. Organisasi-organisasi yang turut terlibat dalam pembentukan ketentaraan sendiri antara lain seperti PNI dengan nama Banteng Negara dan Masjoemi dengan nama Hisbullah. Seiring dengan eskalasi perang yang terus meningkat, jumlah kelaskaran semakin banyak. Seperti disebut di atas, karena ketidakamanan, pada tanggal 4 Januari 1946 ibu kora Republik telah dipindahkan dari Djakarta ke Jogjakarta
Het Parool, 01-02-1946 “Volksfront/Front Rakyat” di Indonesia. Sjahrir Anggap Tak Penting. Menurut "Merdeka", lebih dari empat puluh asosiasi dan organisasi Indonesia telah bergabung untuk membentuk apa yang disebut "front rakyat" dengan program kerja senilai satu juta dolar yang akan segera diajukan kepada pemerintah Sjahrir. Program ini menuntut, antara lain, yaitu pembentukan pemerintahan rakyat dan tentara rakyat, melucuti senjata Jepang, menyelesaikan masalah tawanan perang Eropa/Belanda, dan merebut serta melanjutkan eksploitasi budaya dan industri milik musuh. Soedirman. pemimpin pasukan keamanan Republik (TKR) dan Atmadji, pemimpin pasukan laut TKR, termasuk di antara mereka yang menyusun program ini. Meskipun Sjahrir, menurut ANP/ Aneta, Sjahrir mengakui bahwa dia menganggap kekuatan dan pentingnya front rakyat ini tidak signifikan. Bahwa organisasi Islam juga termasuk di antara 41 organisasi tersebut. Dia menambahkan bahwa beberapa organisasi ini bahkan terwakili dalam Komite Kerja Republik. Meskipun demikian Sjahrir menyatakan bahwa apabila terdapat keraguan mengenai kesetiaan Soedirman dan Atmadji atau pejabat-pejabat republik lainnya yang terkait dengan front rakyat, pemerintah Republik tidak akan ragu-ragu untuk melakukan penyelidikan dan mengambil tindakan-tindakan seperlunya. Catatan: Atmadji adalah seorang PNI. Guru Taman Siswa anggota PNI di Soerabaja (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 30-10-1930). Setelah PNI/Partindo dibubarkan, dibentuk Gerindo (yang diketuai oleh AK Gani dimana di dalamnya terdapat nama Amir Sjarifoeddin Harahap). Atmadji adalah Ketua Gerindo cabang Soerabaja (lihat De Indische courant, 27-07-1938).
Menteri Keamanan Rakyat Mr Amir Sjarifoeddin Harahap
bersama kepala staf (Letnan Jenderal Oerip) dan Kolonel Zulkifli Lubis (kepala intelijen RI) di Jogjakarta mendesain ulang organisasi tentara Indonesia sesuai kebutuhan baru.
Pada tanggal 26 Januari 1946 pemerintah mengubah TKR menjadi Tentara Republik
Indonesia (TRI). Dalam hal ini TRI adalah tentara pemerintah ditambah dengan laskar-laskar
rakyat. Sementara matra angkatan darat dan angkat laut sudah terbentuk, lalu
bagaimana dengan armada udara?
Bredasche courant, 14-02-1946: ‘Armada Republik, Selain pengangkatannya sebagai komandan TRI, Soedirman kini juga telah ditunjuk sebagai "panglima tertinggi angkatan laut Indonesia". Atmadji telah ditunjuk sebagai kepala kantor urusan angkatan laut. Kepala staf angkatan laut saat ini adalah Mohammed Nazir. Hingga saat ini belum ada "laksamana" yang ditunjuk dan ada kemungkinan posisi ini akan tetap kosong’.
Dalam
perkembangannya kemudian, untuk menyempurnakan struktur organisasi tentara
Republik Indonesia seiring dengan semakin menguatnya Belanda/NICA di belakang
Sekutu/Inggris, pemerintah Republik membentuk komite organisasi tentara yang
dipimpin oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Hasil kerja komite tersebut diumumkan
pada tanggal 17 Mei 1946 yang terdiri dari struktur pertahanan (yang dipimpin
oleh Menteri Pertahanan) dan struktur kemiliteran (yang dipimpin Panglima).
Dalam pengumuman ini juga Kolonel Soedirman dipromosikan menjadi panglima
tertinggi dengan pangkat Jenderal, sementara personil militer disesuaikan
dengan situasi dan kondisi yang dihadapi (lihat Nieuwe courant, 29-05-1946).
Nama-nama para pimpinan BKR/TKR (TRI) ditetapkan untuk mengisi jabatan-jabatan
strategis.
Nieuwe courant, 29-05-1946: ‘Perubahan dan penunjukan pada posisi baru TRI telah diterbitkan. Dalam penunjukkan ini terlihat keterlibatan orang-orang muda dan perwakilan dari tentara rakyat di Jawa. Soedirman dipromosikan menjadi panglima tertinggi dengan pangkat Jenderal. Ketua Pengadilan Tinggi Militer ditunjuk Mr. Kasman Singodimedjo. Kepala staf diangkat Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Kolonel Soetjipto diangkat menjadi Kepala Dinas Rahasia; Kolonel TB Simatoepang sebagai Kepala Organisasi; Kolonel Hadji Iskandar sebagai Kepala Departemen Politik; Kolonel Soetirto sebagai Kepala Urusan Sipil; Kolonel Soemardjono sebagai Kepala Hubungan dan Kolonel Soerjo sebagai Kepala Sekretariat. Sudibijo diangkat menjadi Direktur Jenderal Departemen Perang yang mana Didi Kartasasmita adalah Kepala Infantri. Di dalam Departemen Perang juga diangkat: Kepala Departemen Artileri Letnan Kolonel Soerjo Soermano; Kepala Departemen Topografi Soetomo (bukan penyiar radio); Kepala Geni Kolonel Soedirio; Kepala Persenjataan Mayor Jenderal Soetomo (juga bukan penyiar radio) dan Kepala Polisi Militer Mayor Jenderal Santoso (bukan penasihat Dr Van Mook). Mayor Jenderal Abdoel Haris Nasution ditunjuk sebagai Panglima Divisi-1 dengan Letnan Kolonel Sakari sebagai Kepala Staf. Panglima Divisi-2 Mayor Jenderal Abdulkadir (bukan penasihat Dr. Van Mook) dengan Letnan Kolonel Bamboengkoedo sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-3 Mayor Jenderal Soedarsono (bukan menteri) dan Letnan Kolonel Pari sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-4 Mayor Jenderal Sudiro dengan Letnan Kolonel Fadjar sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-5 Mayor Jenderal Koesoemo dengan Letnan Kolonel Bagiono sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-6 Mayor Jenderal Songkono dengan Letnan Kolonel Marhadi sebagai Kepala Staf, dan Panglima Divisi-7 Mayor Jenderal Ramansoedjadi dengan Letnan Kolonel Iskandar Soeleiman sebagai Kepala Staf.
Bagaimana dengan di Sumatra? Sudah terbentuk divisi-divisi. Kolonel Maloedin
Simbolon di Sumatra bagian selatan, Kolonel H Sitompoel di Sumatra bagian utara
(Pematang Siantar) dan Kolonel Langah di Sumatra bagian tengah. Untuk mengkoordinasikan
perjuangan di Sumatra, Pemerintah Republik di Jogjakarta telah menempatkan Mayor
Jenderal Soehardjo sebagai Panglima Sumatra di Fort de Kock/Bukittingi.
Pemerintah Republik juga telah mengirim 5 perwira TRI ke Sumatera untuk melatih tentara di
Akademi Militer di Taroetoeng dan Akademi Militer di Palembang dimana sudah ada
juga instruktur orang-orang Jepang.
Nieuwe courant, 24-06-1946: ‘Dilaporkan dari Sumatra bahwa Jenderal Mayor Soehardjo dari Kabandjahé, mengakhiri pertikaian antar kelompok nasionalis di Sidikalang, Prapat, dan Kabandjahé’. Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 30-07-1946: ‘Mayor Jenderal Soehardjo menyatakan di suatu tempat di Sumatera bahwa pasukan TRI sekarang cukup kuat untuk mempertahankan posisi di Sumatra dari musuh mana pun, tidak peduli seberapa kuatnya, lapor Aneta dari Medan. Namun, Jenderal itu juga menunjukkan pentingnya mengikuti jalur diplomatik dan, sebagai kekuatan tersembunyi, melakukan perang gerilya.
Perang
yang kini pertarungan antara pihak Belanda/NICA (KN dan KNIL) dan pihak Republik
(TRI) dari waktu ke waktu semakin intens. Ada upaya dari berbagai pihak untuk
merundingkan tentang gencatan senjata. Peran Inggris kembali muncul sebagai
mediator.
Algemeen Handelsblad, 07-09-1946: ‘Pembahasan gencatan senjata di Hindia Belanda Lord Killearn sebagai mediator lagi? Kemarin Sjahrir mengadakan pembicaraan di Batavia dengan para perwira Tentara Republik Indonesia mengenai rincian perundingan gencatan senjata yang, sebagaimana dilaporkan, akan segera dimulai. Sjahrir mengatakan kepada Aneta bahwa dirinya sendiri tidak akan ikut serta dalam perundingan gencatan senjata. Tanggal dimulainya konferensi tergantung pada kedatangan Panglima Tertinggi Tentara Republik Indonesia di Sumatera, yaitu Mayor Jenderal Soehardjo, yang harus lebih dahulu berangkat dari Sumatera ke Djokjakarta untuk diskusi awal mengenai perundingan gencatan senjata. Ketika ditanya apakah ia yakin kesatuan-kesatuan militer TRI akan menaati ketentuan-ketentuan gencatan senjata, Sjahrir menjawab bahwa ia yakin akan hal itu. Sjahrir berangkat ke Yogyakarta dengan kereta api hari ini’.
Sementara Mayor Jenderal Soehardjo dijadwalkan berangkat ke Jawa, dari
Sumatra bagian selatan dilaporkan Kolonel M Simbolon yang didampingi Mayor Kartawinata
telah berangkat dengan pesawat ke Jawa untuk menghadiri perundingan gencatan
senjata (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia,
13-09-1946). Dilaporkan dari sumber yang berwenang bahwa pembicaraan gencatan
senjata akan dimulai pada besok hari Jumat di Markas Besar Sekutu. Dari pihak
Inggris akan hadir Jenderal JFR Forman dan Brigadir Jenderal ICA Lauder. Di
pihak Belanda adalah Kepala staf umum DH Buurman van Vreeden dan dari pihak Republik
adalah Mayor Jenderal Soedibyo dan kapten angkatan udara Soeriadanma atas nama
TRI di Jawa, Kolonel Simbolon dan Mayor Kartawinata atas nama.TRI di Sumatera
dan perwira staf umum TRI Letnan Kolonel Soekandar (lihat Nieuw Utrechtsch
dagblad, 19-09-1946).
Foto: Petinggi TRI sebagai delegasi ke Batavia (lihat De Zaanlander, 27-09-1946). Dari kiri ke kanan: Overste Pirngadi (angkatan laut); Mayor Jenderal Soedibijo (angkatan udara); Kapten udara Soeriadarma, Kolonel TB Simatoepang; Mayor Jenderal Soehardjo (Panglima Sumatra), seoang staf TRI, Kolonel M Simbolon (komandan Sumatra Selatan).
Dalam
perkembangannya, di Jogjakarta sudah dibentuk susunan kabinet baru (Kabinet
Sjarir III) yang diresmikan tanggal 2 Oktober 1946. Dalam kabinet ketiga Soetan
Sjahrir ini, posisi Amir Sjarifoeddin Harahap sebagai Menteri Pertahanan pada
waktu kabinet sebelumnya nomenklaturnya diubah menjadi Menteri Keamanan Rakyat.
Perubahan nama kementerian ini besar kemungkinan karena pertahanan sudah
porak-poranda oleh Belanda dan Republik lebih memperhatikan keamanan rakyat sendiri
(dan mengkonsolidasikan laskar-laskar dan pembentukan kesatuan tentara RI yang
utuh).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tanda Tangan Panglima TRI Dipublikasikan Batavia: Mengapa Tanda Tangan Jenderal Soedirman Berbeda Tempo Doeloe dengan Publikasi Masa Kini?
Perundingan gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia dilakukan tanggal 7 Oktober 1946 di Konsulat Inggris di Batavia yang ditengahi oleh Lord Killearn. Perundingan ini berdasarkan kesepakatan antara Killearn, Schermerhorn dan Sjahrir.
De Maasbode, 09-10-1946: ‘Dilaporkan dari Batavia
bahwa Mayor Jenderal Soedibyo dan Kolonel Simbolon akan bertindak sebagai
penasihat militer bagi delegasi Indonesia dalam komite gencatan senjata, yang
sedang bersidang hari ini’. Twentsch dagblad Tubantia en Enschedesche courant, 12-10-1946: ‘Penundaan
perundingan gencatan senjata di Jawa antara Prof Schermerhorn dan Republik
Indonesia. Perundingan tersebut seharusnya dilanjutkan kemarin pagi. Sejumlah
kecil penasehat militer dan angkatan udara Republik, yang akan melakukan
perjalanan dari pedalaman ke Batavia atas permintaan Sjahrir, belum tiba tepat
waktu. Begitu mereka tiba, diskusi akan dilanjutkan. Pesan di atas telah
dikonfirmasi oleh komunike resmi yang dikeluarkan atas nama Lord Killearn.
Dinyatakan lebih lanjut bahwa "pertemuan komite” yang diketuai oleh Lord
Killearn, yang berlangsung kemarin pagi, seharusnya ditunda untuk melanjutkan
perundingan gencatan senjata, berdasarkan kesepakatan antara Killearn,
Schermerhorn dan Sjahrir. Hari dan waktu pertemuan akan diumumkan pada
waktunya. Aneta mengetahui bahwa penasihat Republik yang dimaksud adalah: Komodor
Udara Soeriadarma dan Letnan Jenderal Oerip Soemodihardjo. Mereka diperkirakan
tiba di Batavia besok pagi. Diharapkan mereka akan mengadakan pembicaraan
dengan Sjahrir segera setelah kedatangannya. Sehubungan dengan hal tersebut,
ada kemungkinan pertemuan gencatan senjata akan dilaksanakan pada hari Minggu
mendatang. Menurut laporan dari Batavia di "New York Times" kalangan
atas lebih berharap dari sebelumnya tentang kemungkinan penghentian
pertempuran. Ditambahkan: "Sangat penting bahwa Prof. Schermerhorn pada
hari Senin di sidang pleno Sidang mengatakan bahwa saat ini sedang berlangsung
pembicaraan antara pemerintah Belanda dan Republik Indonesia. Kemudian ia
menunjuk Sjahrir sebagai perdana menteri Republik, dengan demikian mengakui
secara lisan keberadaan Republik Indonesia. Komentar di atas tentang pernyataan
Prof. Schermerhorn tentu saja harus diserahkan sepenuhnya kepada New York
Times. Bukan tidak mungkin pimpinan Komisi Jenderal mengeluarkan pernyataan
sebagaimana diberitakan surat kabar Amerika tersebut di atas. Prof.
Schermerhorn sering mengungkapkan dirinya dengan kurang bahagia, yakni: ketika
dia mengatakan pada pertemuan pertama bahwa Komisi Jenderal mewakili dua partai
terbesar di Belanda. Pernyataan ini sepenuhnya salah, karena Komisi Jenderal
mewakili semua pihak, mewakili pemerintah Belanda. Sementara itu, pilihan kata
yang salah dapat menimbulkan kesalahpahaman dan membuat situasi menjadi lebih
sulit dan rumit daripada sebelumnya’.
Perundingan gencatan senjata lebih lanjut antara Belanda dan Indonesia yang dimediasi Inggris yang dari pihak Republik dipimpin Letnan Jenderal Oerip Soemodihardjo, sementara panglima TRI Letnan Jenderal Soedirman tiba di Batavia untuk membahas gencatan senjata dengan Soetan Sjahrir dan lainnya. Perundingan gencatan senjata yang diadakan di Batavia disetujui pada tanggal 14 Oktober 1946.
Helmondsche courant, 16-10-1946: ‘Sjahrir Setuju dengan Semua Orang
Indonesia. Daftar Keinginan Komisi Jenderal Republik Optimis. Secara resmi
diumumkan bahwa Komisi Jenderal memiliki harapan optimistis mengenai
penyelesaian perjanjian dasar sebelum tanggal 30 November. Dr. de Boer
mengumumkan hal ini atas nama anggota komite lainnya dalam pernyataan resmi
kemarin. Panglima TRI Letnan Jenderal Soedirman, tiba di Batavia dengan pesawat
untuk membahas gencatan senjata dengan Soetan Sjahrir dan lainnya. Soedirman
kembali ke Yogyakarta hari ini, di mana agenda pertemuan dengan seluruh
komandan divisi ada di sana. Soedirman telah memberi perintah agar segala
sesuatunya dilakukan untuk menghindari bentrokan. Ia lebih lanjut menyatakan
harapannya bahwa perintahnya akan dilaksanakan.
Salah satu sisi lain dari hasil perundingan gencatan senjata di Batavia ini adalah keberadaan Pemerintahan Republik Indonesia di Djakarta dikosongkan pada bulan Oktower. Ini berarti ibu kota Republik sepenuhnya berada di Jogjakarta.
Setelah ibu kota dipindahkan ke Jojakarta pada bulan Januari 1946, meksi
demikian masih banyak aparatur pemerintahan yang berkantor di Djakarta. Baru
bulan Oktober1946 ini sepenuhnya dipindahkan ke Jogja. Rombongan terakhir
Pemerintah Republik Indonesia berkumpul di bekas rumah Soetan Sjahrir yang
terdiri dari bagian Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Penerangan dan
Kementerian Perhubungan. Rombongan ini dipimpin Overste Mr Arifin Harahap dari
Kementerian Penerangan. Rombongan terakhir ini berangkat dari Stasion Manggarai
menuju Jogja yang dikawal oleh polisi Belanda (lihat Nieuwe courant,
17-10-1946). Dalam rombongan ini juga termasuk pers republic yang dipimpin oleh
Parada Harahap.
Perjanjian gencatan senjata adalah prakondisi untuk diadakan perundingan lebih lanjut antara dua belah pihak. Perjanjian yang disetujui pada tanggal 14 Oktober 1946 kemudian dituangkan dalam teks perjanjian yang kemudian para pihak menandatangani.
Nieuw Utrechtsch dagblad, 24-10-1946: ‘Timur dan Barat saling menemukan. Ini adalah halaman terakhir perjanjian gencatan senjata: pertemuan ditutup pada tanggal 14 Oktober antara delegasi Belanda dan Indonesia. Para penandatangannya adalah untuk Belanda: Schermerhorn, HJ van Mook, van Pol dan De Boer, untuk Republik: Sjahrir. M Roem dan Letnan Jenderal TRI Oerip dan Jenderal Soedirman, dan akhirnya orang yang kehadirannya memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap perjanjian tersebut: Lord Killearn (Aneto).
Sebelum penandatanganan perjanjian gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda, terjadi suatu kejadian yang unik. Panglima Republik Letnan Jenderal Soedirman dilarang memasuki Batavia dengan pengawalan bersenjata. Lalu bagaimana duduk perkaranya?
De Graafschap-bode: nieuws- en advertentieblad, 25-10-1946:
Pengawal Soedirman tidak diizinkan memasuki Batavia. Mengapa Jenderal TRI
kembali ke Yogyakarta? Senin lalu sebuah
insiden terjadi di Bekasi. Sekelompok tentara Sekutu, termasuk seorang Belanda melakukan
patrol. Mereka menolak panglima tertinggi TRI Jenderal Soedirman, untuk
melakukan perjalanan lebih jauh, ketika ia tiba di sana dengan kereta api dalam
perjalanannya ke Batavia dengan pengawalan 30 orang bersenjata lengkap,
semuanya bersenjata senapan dan pistol. Seorang perwira penghubung AFNEI
(Tentara Sekutu di Hindia) menunjukkan kepada Soedirman bahwa larangan AFNEI
terhadap orang-orang TRI yang bersenjata memasuki Batavia masih berlaku.
Soedirman menjawab bahwa beberapa hari yang lalu, Jenderal Indonesia Oerip
dengan pengawalan 15 orang boleh dan seharusnya diizinkan lewat. Petugas
penghubung mengatakan bahwa kelima belas pengawal tersebut hanya membawa
pistol, dan menambahkan bahwa Oerip hanya diizinkan lewat: untuk mencegah
segala hal yang mungkin dapat merusak perundingan gencatan senjata. Petugas itu
lebih lanjut mengatakan bahwa pengawalan sebanyak 30 orang itu memberikan kesan
seperti pasukan bersenjata dan dia menganggapnya sebagai pintu masuk. Di
Batavia kekuatan seperti itu tidak diinginkan. Soedirman menjawab, kalau saja
ia sudah diberi tahu sebelum keberangkatannya dari Yogyakarta, ia pasti sudah
lebih awal mengirim pengawalnya kembali. Petugas itu lalu menyarankan agar pengawalan
tetap dikirim untuk menariknya, namun Soedirman menolak. Untuk menemukan solusi
yang tepat, petugas kemudian menghubungi kantor pusat AFNEI di Batvia via telepon.
Ia kemudian diberi izin untuk mengizinkan kompi itu melanjutkan perjalanan ke
Batavia, dengan syarat ia sendiri ikut serta guna menghindari insiden dan
memastikan bahwa prajurit TRI segera menyerahkan senjata mereka kepada perwira
penghubung TRI akan diekstradisi ke Batavia. Ketika ia memberitahukan usulan
tersebut kepada Soedirman, lalu Soedirman berkata bahwa ia tidak dapat
menerimanya, karena ia sekarang takut akan terjadi insiden di Batavia. Ia
menambahkan bahwa ia akan kembali ke Yogyakarta dan berangkat ke Batavia
keesokan harinya tanpa pengawalan’.
Jenderal Soedirman diminta untuk menghadiri pertemuan di Markas Besar Sekutu akhirnya tiba. Tujuh pengawalnya yang bersenjata melompat keluar dari mobilnya dan mengambil posisi di pintu masuk. Komandan Inggris bersikeras bahwa mereka harus mundur dan Soedirman meminta maaf. Dalam hal ini panglima tertinggi tentara Republik Jenderal Soedirman hadir untuk pertama kalinya dalam pertemuan Komisi Gencatan Senjata.
Jenderal Soedirman adalah mantan Kepala sekolah yang kini berusia 34 tahun, yang semasa pendudukan Jepang merupakan mayor dalam Heiho yang diorganisasikan oleh Jepang. Keunikan lainnya pasca penandatanganan perjanjian gencatan senjata ini Jenderal Soedirman dikerumunin pers termasuk pers asing. Jenderal Soedirman menggunakan seorang penerjemah ketika berbicara kepada pers: seorang pemuda Indonesia yang pernah bekerja sebagai navigator di RAF yang pernah mengalami penerbangan ke Jerman.
Namun yang menjadi pertanyaan mengapa teks asli isi
perjanjian dimana terdapat tandatangan para pihak dipublikasikan. Ini memang
tidak lazim, namun mengapa? Yang jelas dengan penandatanganan gencatan senjata,
persiapan perundingan lebih lanjut antara para pihak dilakukan. Perundingan seperti
kita lihat nanti akan diadakan di desa Linggarjati, di wilayah Chirebon. Dalam
fase ini meskipun ada "gencatan senjata" formal, meski belum ada perintah
untuk dikeluarkan, namun gencatan senjata tetap berlaku sedikit demi sedikit
dan, kecuali Medan, ketegangan militer di Jawa dan Sumatra telah menurun.
Arnhemsche courant, 04-11-1946 Tidak melanggar posisi Mahkota. Kalangan
Belanda di Batavia, yang memiliki hubungan erat dengan Komisi Jenderal,
mengindikasikan dalam sebuah komunikasi bahwa ada unsur-unsur tertentu dalam
situasi saat ini yang tidak diragukan lagi membenarkan optimisme tertentu.
Namun, dalam menilai perkembangannya, harus diingat bahwa masih ada sejumlah
masalah yang pada prinsipnya penting dan tidak dapat disangkal, tetapi belum
ditemukan rumusan yang tepat. Kalangan yang disebutkan di atas menunjukkan
bahwa ini adalah masalah yang, sejauh menyangkut pihak Belanda, sama sekali
tidak dapat dikompromikan. Kalangan non-Belanda, yang terlibat erat dalam
negosiasi, tidak sepenuhnya memiliki optimisme yang sama. Meskipun mereka tidak
melihat alasan khusus untuk pesimisme, mereka berpendapat bahwa diskusi
tersebut dapat berlangsung selama beberapa hari, terutama karena sifatnya yang
sangat sensitif. Ketika Komisi Jenderal dan delegasi Indonesia bertemu di rumah
Sjahrir pada Jumat malam, beberapa konsesi dibuat, terutama oleh Belanda. Akan
tetapi, kesulitan muncul pada sejumlah poin, khususnya berkenaan dengan
pertanyaan tentang perumusan pernyataan mengenai posisi Mahkota dalam
perjanjian dasar. Posisi Mahkota, diasumsikan, merupakan salah satu poin yang
berkaitan dengan yang mana Komisi Jenderal tidak akan memberikan konsesi apa
pun. Lord Killearn tidak hanya tidak mengambil bagian resmi dalam negosiasi
politik ini, tetapi bahkan secara resmi tidak diberi tahu tentang jalannya
peristiwa oleh kedua belah pihak. Meskipun demikian, kesulitan yang timbul
mengenai posisi Mahkota dibahas dalam pertemuan Sjahrir dan Lord Killearn di
rumah Sjahrir pada Sabtu pagi. Diskusi lebih lanjut terjadi ketika Killearn
mengundang Sjahrir dan beberapa anggota delegasi Indonesia lainnya untuk makan
siang. Setelah berdiskusi selama tiga jam, timbul kesan di kalangan tertentu
bahwa meskipun pihak Indonesia telah memperoleh pemahaman lebih baik tentang
posisi Belanda, pada kenyataannya hanya sedikit kemajuan yang telah dicapai.
Sidang pleno yang seharusnya dilaksanakan hari ini telah ditunda untuk
sementara waktu. Baik delegasi Belanda maupun Indonesia telah meminta hal ini,
karena tidak ada cukup pokok bahasan dalam agenda untuk membenarkan diadakannya
sesi pleno pada tahap ini. Tanggal baru belum ditetapkan. Konsesi dari kedua
belah pihak harapan umum, menurut Associate Press adalah bahwa penyelesaian
perjanjian politik, untuk membentuk dasar yang kuat, tidak akan lama lagi. Sjahrir
dikatakan telah berjanji untuk menjadikan Republik Jawa-Sumatra, yang secara
tidak resmi diakui oleh Belanda, sebagai bagian dari Indonesia Serikat federal.
Negara-negara Indonesia dan juga akan siap, berdasarkan perjanjian terpisah, untuk
bergabung dengan Uni Belanda yang terdiri dari Belanda, Indonesia, Pulau-pulau
Terluar, Curacao, dan Suriname. Pulau Lombok, Sulawesi, dan Maluku akan dapat bergabung
dengan republik di masa mendatang, jika penduduknya menghendakinya. Upaya
gencatan senjata juga terjadi di Sumatera. Seorang koresponden khusus The Times
melaporkan dari Batavia: Kemarin, dalam pertemuan komisi gencatan senjata
gabungan, diputuskan untuk mengirim Dr AK Gani ke Medan untuk mencoba
mengakhiri gencatan senjata. Dalam gencatan senjata yang terjadi di sana, posisi
Inggris dan Belanda terus-menerus ditekan oleh pihak Indonesia dan
kadang-kadang terjadi pertempuran hebat’.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar