Kota Padang sejak 1834 adalah ibukota Province Sumatra’s Westkust. Secara bertahap Kota Padang juga menjadi ibukota Residentie Padangsche Benelanden, Residentie Padangsche Bovenlanden dan Residentie Tapenoeli. Ini dengan sendirinya Kota Padang akan semakin tumbuh dan berkembang pesat. Ekonomi kopi menjadi ‘garansi’ pembiayaan pembangunan di Province Sumatra’s Westkust. Denyut nadi pembangunan wilayah Pantai Barat Sumatra berpusat di Kota Padang.
Gudang kopi di Kota Padang (foto 1860) |
Koffiecultuur
yang dimulai di Padangsche Bovenlanden, perhatian pemerintah pusat (Batavia)
semakin intens sejak 1834 (dengan meningkatkan status Sumatra’s Westkust dari residentie
menjadi province) yang dengan sendirinya mengangkat seorang gubernur (kali
pertama) . Penerapan koffiestelsel mengikuti program sejenis yang telah
berhasil diterapkan di Preanger (1830). Peningkatan permintaan kopi dunia menjadi
salah satu sebab mengapa Pemerintah Hindia Belanda sangat bernafsu dari West
Java untuk melakukan ekspansi ke Sumatra’s Westkust. Pemerintah Hindia Belanda
telah banyak kehilangan resources akibat Perang Djawa dan mandeknya ekonomi
gula. Singkat kata pemerintah butuh recovery dan membutuhkan sumber pendapatan
baru. Meski ada halangan ketika melirik Sumatra’s Westkust (Padri), itu tidak
menjadi soal lagi. Hal ini karena Perang Jawa sudah mulai mereda. Kekuatan
militer di Jawa sudah dapat dialihkan ke Sumatra’s Westkust untuk membuka ruang
pengembangan ekonomi ekonomi kopi.
Pada
saat mulai ekspansi besar-besaran di Sumatra;s Westkust, dengan menempatkan
seorang gubernur di Kota Padang, situasi dan kondisi Kota Padang sudah sejak
lama tidak mengalami perubahan yang berarti. Kota Padang hanya berpusat di
sekitar muara sungai Batang Arau. Loji yang telah dibangun sejak dua abad
sebelumnya (era VOC) hanya itu-itu saja. Pertambahan bangunan, rumah, kantor,
militer dan situs lainnya hanya berada disepanjang sungai Batang Arau.