Sabtu, 23 Juli 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (729): Melanau di Serawak, Malinau di Indonesia; Apakah Ada Hubungan Populasi Zaman Kuno?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Negara Serawak (kini masuk Federasi Malaysia) di pantai utara Borneo beragam etnik yang mana populasi dominan adalah etnik Iban yang hampir separuh populasi (negara) Serawak. Sementara etnik Melanau termasuk lima besar penduduk asli yang jumlahnya sekitar enam persen. Di wilayah tetangga Serawak di bagian wilayah Indonesia terdapat nama (wilayah) Malinau yang secara toponimi sama. Dalam hal ini apakah etnik Melanau di Serawak dan nama Malinau di (provinsi) Kalimantan Utara memiliki hubungan propulasi?


Melanau merupakan bangsa penduduk asli Sarawak dan dikategorikan Austronesia. Kaum Melanau juga merupakan penduduk pedalaman Sarawak terawal. Morris (1991) menyebutkan mereka mempunyai hubungan linguistik dan sosial dengan etnik dari kawasan hulu yang bertetangga dengan etnik Kayan, Kenyah, Kajang, Bidayuh. Etnik Melanau bermigrasi ke hilir di masa lampau melalui sungai Batang Mukah dan Oya. Di wilayah hilir Sebagian etnik Melanau Bergama Islam. Kaum Melanau dikategorikan sebagai Austronesia berdasarkan penggunaan bahasa yang tergolong dalam Malayo-Polynesian, sama seperti kaum Kayan, Kenyah, Bidayuh, Iban, Melayu dan lain-lain. Perkampungan orang Melanau kebanyakannya dibangun di tepi sungai dan berdekatan dengan pantai. Pada masa kini hampir keseluruhan masyarakat Melanau menganuti agama Islam dan Sebagian kecil menganuti agama Kristen namun terdapat juga yang mempercayai tuhan laut iaitu "inah'' ataupun juga dikenali sebagai "ipok". Etnik -ektnik Melanau berkumpul di kawasan persisiran pantai seperti kawasan lembah utara sungai Rajang, Igan, Roban, Kabong, Matu-Daro, Pulau Bruit, Mukah, Gua Niah, Taman Negara Mulu, Dalat, Oya, dan Bintulu, tetapi terdapat juga populasi mereka di kota-kota lain seperti Kuching, Sibu dan Miri. (Wikipedia). 

Lantas bagaimana sejarah etnik Melanau di Serawak dan apakah ada hubungan populasi dengan nama Malinau di Indonesia? Seperti disebut di atas, secara linguistic Bahasa etnik Melanau di pesisir Serawak berkerabat dengan Bahasa-bahasa di pedalaman termasuk di wilayah bagian Indonesia di Malinau. Lalu bagaimana sejarah etnik Melanau di Serawak dan apakah ada hubungan populasi dengan etnik Malinau di Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Melanau di Serawak, Malinau di Indonesia: Catatan Sejarah Etnik Dayak dan Melayu di Pulau Kalimantan

Fakta bahwa wilayah populasi (orang) Melayu berada di wilayah pesisir, di berbagai tempat di Nusantara. Terbentuk. Ini mengindikasikan bahwa populasi yang berbahasa Melayu memiliki tipologi yang sama. Populasi ini diduga kuat adalah mix population antara pendarang dengan penduduk asli. Populasi berbahasa Melayu yang kerap diidentifikasi orang (budaya) Melayu, tetapi faktanya bahwa populasi yang disebut Melayu antara satu dengan yang lain terdapat variasi yang lebih besar jika dibandingkan dengan populasi (orang asli) di belakang pantai (di pedalaman). Populasi Melayu di pesisir memiliki hubungan dekat dengan populasi asli di pedalaman seperti halnya di wilayah Serawak.


Secara teoritis, populasi berbahasa Melayu harus dibedakan antara populasi (menggunaan) berbahasa Melayu yang terbentuk di suatu tempat (wilayah/area) dengan populasi berbahasa Melayu yang melakukan perpindahan tempat dari satu tempat ke tempat lain (migrasi). Perpindahan populasi juga terjadi di pedalaman, tetapi karena hambatan geografis hanya bergerak dalam jarak pendek (cenderung tidak jauh dari tempat asal). Perbedaan tempat dari populasi asal membentuk populasi baru dengan dialek/aksen yang sedikit berbeda. Oleh karena itu populasi di suatu wilayah besar yang terdiri dari berbagai dialek/aksen masih dengan mudah dikelompokkan apakah masih merupakan ciri populasi awal (etnik tertentu) yang dapat dibedakan dengan kelompok populasi yang lain (bertetangga). Hal itu berbeda dengan berbagai populasi di pesisir yang satu sama lain terdapat persamaan linguistic (Bahasa Melayu) tetapi secara atropologis berbeda. Interaksi dan pembauran dengan penduduk asli di pedalaman dan pendatang dari arah lautan populasi berbahasa Melayu di suatu tempat akan membentuk dialek Bahasa dan budaya sendiri-sendiri. Dalam hal ini yang ingin diregaskan adalah bahwa populasi Melayu (karena berbahasa Melayu) dapat dibedakan antara kelompok Melayu yang terbentuk dan kelompok Melayu yang berpindah tempat. Dalam sejarahnya, banyak populasi-populasi asli yang dekat di belakang pantai yang kemudian berbahasa Melayu dianggap atau mengidentifikasi diri sebagai orang Melayu. Proses Melayunisasi juga terjadi wilayah pantai utara Borneo, dalam hal ini di wilayah Serawak. Juga secara teoritis wilayah yang memiliki populasi kecil jika terbentuk Bahasa Melayu (karena pendatang) akan hilang Bahasa asli (menjadi Melayu), sebaliknya wilayah dengan populasi besar relative terhadap pendatang (yang berbahasa lingua franca Bahasa Melayu) Bahasa asli tidak punah (tetap menjadi etnik yang terus eksis, seperti Batak di Sumatra dan Jawa di Jawa). Dalam hal ini etnik Melanau tetap Melanau (yang dapat dibedakan dengan etnik Melayu).

Di wilayah pantai/persisir Serawak terdapat berbagai etnik pada masa ini, antara lain Iban, Melanau, Melayu dan lainnya. Jelas dalam hal ini antar satu etnik di wilayah ini bisa membedakan diri dengan yang lain. Pengelompokkan ini tampaknya didasarkan pada elemen pertama yang memiliki Bahasa yang sama (atau mirip satu sama lain) dan elemen budaya lainnya seperti kebiasaan dan bentuk hubungan sosial. Dalam hal ini populasi di wilayah tersebut dapat dibedakan pada dua populasi besar yakni kelompok yang termasuk Melayu dan kelompok yang termasuk Dayak yang mana etnik Melanau termasuk kelompok (etnik) Dayak.


Umumnya populasi Dayak cenderung berada di pedalaman pulau Borneo/Kalimantan. Sebaliknya Melayu cenderung berada di pesisir. Sangat jarang populasi Dayak berada di wilayah pesisir. Namun harus diingat sebelun berada di pedalaman, awalnya berada di pesisir tetapi kemudian ‘terdesak’ bertempat tinggal ke pedalaman (semakin lama semakin jauh ke pedalaman). Jika etnik Melanau adalah etnik Daya, maka populasi tersebut bukan bagian Melayu. Akan tetapi seperti diijelaskan teori di atas, ada etnik Dayak yang terus berada di pesisir tetapi dalam perkembangannya berbahasa Melayu atau tetap dengan Bahasa asalnya (Bahasa Dayak). Percampuran yang intens dengan pendatang, yang lalu berbahasa Melayu, telah bertrasformasi menjadi Melayu (meski secara geografis tidak pernah berpindah). Kelompok Melayu yang mana diantara yang berada di wilayah pesisir Serawak tidak diuketahui lagi (karena sudah berlkangsung sejak lama, bahkan di jaman kuno). Etnik Iban dan etnik Melanau yang sebagian atau umumnya berada di wilayah pesisir dapat dikelompokkan etnik Dayak karena secara linguistic atau elemen budaya lainnya dapat dilihat persamaannya dengan etnik lainnya yang berada di pedalaman.

Seperti dikutip di atas, bahwa etnik Melanau memiliki kedekatan budaya dengan etnik Kayan, Kenyah, Kajang dan Bidayuh di (wilayah) pedalaman. Lantas bagaimana dengan etnik Malinau di wilayah pedalaman? Apakah antara etnik Melanau dan nama Malinau memiliki hubungan budaya, atau hanya sekadar kedua nama tersebut memiliki kemiripan (Melanau-Malinau).


Etnik Kayan adalah etnik Dayak dari rumpun Kayan atau Orang Ulu yang berasal dari wilayah hulu sungai Baram, Sarawak. Etnik Kayan juga ditemukan di wilayah Kalimantan Utara di daerah Apau Kayan tepatnya di daerah aliran sungai Kayan, dikarenakan alasan perang antar suku dan mencari daerah yang lebih subur. Pada masa ini etnik Dayak Kayan tersebar di Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sabah dan Sarawak. Etnik Kenyah adalah etnik Dayak yang termasuk rumpun Kenyah-Kayan-Bahau yang berasal dari dataran tinggi Usun Apau, daerah Baram, Sarawak. Dari wilayah tersebut suku Kenyah memasuki Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara melalui sungai Iwan di Sarawak terpecah dua sebagian menuju daerah Apau Kayan yang sebelumnya ditempati suku Kayan dan sebagian yang lainnya menuju daerah Bahau. Pergerakan etnik ini menuju ke hilir akhirnya sampai ke daerah Mahakam dan akhirnya sebagian menetap di Kampung Pampang Samarinda Utara. Sebagian lagi bergerak ke hilir menuju Tanjung Palas (etnik Kenyah merupakan 2,4% penduduk Kutai Barat). Orang Ulu atau etnik-etnik yang termasuk dalam kelompok Orang Ulu yang berada di sepanjang perbatasan Serawak dan Kalimantan Utara/Barat/Timur adalah Kayan, Kenyah, Bahau, Seputan/Uheng Kereho, Aoheng/Penihing, Kajang, Kejaman, Punan, Ukit, Bukat, Penan, Lun Bawang, Lun Dayeh, Murut, Berawan, dan Kelabit. Kelompok etnik berada di Kabupaten Kapuas Hulu, Mahakam Ulu, Malinau, dan Nunukan. Di Sarawak kelompok etnik ini tidak disebut Dayak, karena hanya disebut Dayak Laut (Iban/Malayik) dan Dayak Darat (Bidayuh) dan Dayak hanya dikaitkan dengan Bidayuh (Dayak Darat). Etnik Bidayuh merupakan sub-etnik dari etnik Dayak rumpun Klemantan yang merupakan sub-bagian dari kelompok Ribunic/Jangkang yang terdiri atas etnik Dayak Ribun, Dayak Pandu, Dayak Pompakng, Dayak Lintang, Dayak Pangkodatn, Dayak Jangkang, Dayak Simpakng, Dayak Bisomu dan Dayak Simpakng. Secara keseluruhan dari gambaran tersebut tampaknya ada kaitan antara etnik Melanau (di Serawak) dan nama Malinau (di Kalimantan Utara).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Melanau di Serawak, Malinau di Indonesia: Apakah Ada Hubungan Populasi Zaman Kuno?

Nama (etnik) Melanau di Serawak adalah nama tunggal untuk mewakali berbagai etnik/subetnik yang populasinya satu dengan yang lain terbilang kecil. Sementara Malinau adalah nama wilayah dimana terdapat berbagai etnik yang diduga memiliki hubungan populasi dengan etnik Melanau di Serawak. Populasi terbesar di wilayah (kabupaten) Malinau adalah penduduk berbahasa Punan dan Bahasa Lundayeh. Juga terdapat pengguna Bahasa Kayan dan Bahasa Kenyah serta Bahasa Tidung.


Pada masa ini nama Malinau adalah nama wilayah. Di kabupaten Malinau (Kalimantan Utara) tidak ada nama kampong yang ada adalah nama-nama kecamatan (barat, utara dan selatan). Dimana awal nama tempat (kampong) pada masa lampau tidak diketahui lagi.Dalam peta-peta masa lalu, Malinau diidentifikasi sebagai nama tempat di pedalaman Kalimantan (Utara). Nama Melanau juga diidentifikasi di dalam peta-peta lama di wilayah Serawak yang sekarang. Peta 1601

Pada peta-peta Portugis nama Melanau sudah diidentifikasi sebagai nama Malano sebagai suatu tempat (kerajaan) yang setara dengan Brunai (lihat Peta 1601). Pada Peta 1657 nama kerajaan besar hanya Sambas. Sementara pada Peta 1724 teridentifikasi nama Brunai sebagai kerajaanb besar, sedangkan Malano/Melanau hanya sebagai kerajaan kecil di sisi barat sugai Passara yang berseberang dengan kerajaan Passara di sisi lain sungai.


Sungai Passara pada peta-peta Hindia Belanda didientifikasi sebagai sungai Redjang, sungai besar yang berhulu di pedalaman, yang tidak jauh dari hulu sungai Kayan (yang juga disebut sungai Boeloengoen di hilir). Ada dua sungai besar yang melalui Malinau yakni sungai Bahau dan sungai Kayan yang bermuara ke pantai timur laut (di Tanjung Selor). Nama Malinau sendiri baru terpetakan pada peta-peta Hindia Belanda sebagai nama tempat di pedalaman Kalimantan di hulu sungai Kayan/Boeloengan (kini menjadi nama desa/keluarahan di Kota Malinau.

Lantas apakah ada hubungan populasi yang spesifik antara etnik Melanau di Serawak dengan nama Malinau di wilayah hulu sungai Kayan? Dari aspek lingusitik kosa kata elementer Bahasa Melanau untuk ibu adalah ‘tina’ (t-ina) dan ayah adalah ‘yama’ (y-ama). Dua kosa kata elementer tersebut jelas bukan masuk Bahasa Melayu, dan juga bukan kosa kata yang ditemukan dalam Bahasa Dayak di pedalaman. Besar dugaan bahwa ‘ina/tina’ dan ‘ama/yama’ adalah kosa kata baru dalam populasi yang berasal dari Bahasa di wilayah lain. Sementara itu di wilayah Malinau di sungai Kayan etnik dominan adalah etnik/Bahasa Punan dan etnik/Bahasa Lundayeh. Juga terdapat etnik Tidung.


Di wilayah Malinau juga terdapat etnik Tidung yang populasinya lebih banyak berada di hilir di sekitar pantai. Kosa kata elementer Tidung untuk ibu adalah ‘ina’ dan ayah adalah ‘yama’ (y-ama). Hanya kosa kata elementer ‘ina’ dan ‘yama’ sebagai satu-satunya Bahasa di Malinau yang mirip dengan kosa kata elementer Bahasa Melanau. Kosa kata elementer ‘ina’ dan ‘ama’ tidak ditemukan secara geografis (populasi besar) di pedalaman melaninkan di wilayah pesisir. Kosa kata elementer ‘ina’ dan ‘ama; ini ditemukan di berbagai wilayah seperti di Sabah, Minahasa, pulau-pulau di Filipina dan di Serawak (Melanau) dan di wilayah Sumatra bagian utara (etnik Batak). Jelas dalam hal ini etnik-etnik yang memiliki kosa kata elementer ‘ina’ dan ‘ama’ di satu pihak bukan Melayu dan di pihak lain juga bukan termasuk etnik Dayak di pedalaman. Dalam hal ini etnik Melanau di Serawak dan etnik Tidung di Kalimantan Utara adalah etnik diantara kedua etnik besar tersebut di pulau Kalimantan. Etnik Melanau maupun etnik Tidung sebagai penduduk asli (Dayak) diduga telah bercampur dengan penduduk pendatang, tetapi tidak menjadi Melayu. Sebagai catatan: nama gunung tertinggi di Kalimantan adalah gunung Kinabalu yang merujuk pada ‘kina’ dan ‘balu’. Gunung sebagai penanda navigasi pelayaran perdagangan di zaman kuno menjadi awal penamaan dari pendatang (dari laut) bukan oleh penduduk asli (Dayak). Kosa kata ‘kina’ yang sangat mirip ditemukan dalam Bahasa etnik-etnik Batak di pulau Palawan (Filipina) sebagai ‘qinak’. Untuk ‘balu’ sendiri sebagai gunung hanya ditemukan dalam Bahasa etnik Batak sebagai ‘bulu’ atau ‘balu’ dan juga diartikan ‘balu’ sebagai perempuan yang ditinggal suami karena meninggal. Nama gunung Kinabalu dihubungkan dengan pemujaan leluhur pada zaman kuno.

Dalam hal ini diduga bahasa etnik Melanau di Serawak dan bahasa etnik Tidung di Kalimantan Utara setengah Melayu dan setengah Dayak dengan unsur pendatang yang diduga berasal dari Sumatra bagian utara. Itu terjadi di zaman lampau. Hal itu terjadi sebelum era Portugis yang mana dalam buku Mendes Pinto (1537) disebutkan Kerajaan Aru Batak Kingdom di pantai timur Sumatra adalah salah satu kerajaan kuat yang memiliki kekuatan 15.000 pasukan dimana sebanyak delapan ribu orang Batak dan sisanya didatang dari Minangkabau, Jambi, Idragiri, Brunai dan Luzom. Wilayah pelayaran perdagangan Kerajaan Aru sebelum era Portugis yang dibantu oleh para pedagang Moor beragama Islam mencapau Borneo Utara, pulau-pulau di Filipina, Sulawesi hingga pulau-pulau du Maluku.


Dalam Wikipedia disebutkan suku Tidung merupakan suku yang tanah asalnya berada di bagian utara Pulau Kalimantan (Kalimantan Utara). Suku ini juga merupakan anak negeri di Sabah, jadi merupakan suku bangsa yang terdapat di Indonesia maupun di Sabah). Suku Tidung semula memiliki kerajaan yang disebut Kerajaan Tidung. Tetapi akhirnya punah karena adanya politik adu domba oleh pihak Belanda. Bahasa Tidung dialek Tarakan merupakan bahasa Tidung yang pertengahan karena dipahami oleh semua warga suku Tidung. Beberapa kata bahasa Tidung masih memiliki kesamaan dengan bahasa Kalimantan lainnya. Kemungkinan suku Tidung masih berkerabat dengan suku Dayak rumpun Murut (suku-suku Dayak yang ada di Sabah). Karena suku Tidung beragama Islam dan mengembangkan kerajaan Islam sehingga tidak dianggap sebagai suku Dayak, tetapi dikategorikan suku yang berbudaya Melayu (hukum adat Melayu) seperti suku Banjar, suku Kutai, dan suku Pasir. Suku Melanau, sama seperti suku kaum Iban, tinggal di dalam rumah panjang (yang dibuat dengan tinggi). Namun, masyarakat Melanau pada masa kini telah mengubah cara kehidupan mereka dengan tinggal di dalam rumah kampung yang mengikut corak orang Melayu. Masyarakat Melanau yang bukan beragama Islam mempercayai makhluk ghaib yang dipanggil Ipok. Suku etnik Melanau berkumpul di persisiran pantai seperti kawasan lembah utara Sungai Rajang, Igan, Mukah, Oya, dan Bintulu. Masyarakat yang terawal di Sarawak menetap di Mukah. Bahasa Melanau mempunyai tata bahasanya sendiri dan tidak begitu sukar untuk dipelajari. Sebagai satu bahasa yang mempunyai banyak dialek, bahasa Melanau memiliki tata bahasa yang serupa. Oleh itu apa yang perlu diperhatikan ialah kosakata yang unik untuk dialek itu saja.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

 *Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar