Minggu, 04 Maret 2018

Sejarah Semarang (18): Rawa Pening di Ambarawa dan Kejadian Nyata 1838; Fort Willem I, Benteng Penakluk Perang Jawa

Untuk melihat semua artikel Sejarah Semarang dalam blog ini Klik Disini


Danau Rawa Pening adalah danau pegunungan yang berada di Ambarawa. Kini, danau Rawa Pening menjadi salah satu tujuan wisata di wilayah Semarang. Di sebelah barat dekat danau Rawa Pening terdapat benteng VOC yang disebut Fort Willem I. Pada masa doeloe, rawa besar ini menjadi bagian tak terpisahkan dengan benteng besar ini. Fort Willem I diperkuat pada tahun 1869 sehubungan dengan booming kopi dan beroperasinya jalur kereta api pertama (Semarang-Ambarawa). Namun entah darimana asal muasalnya pada masa kini, adakalanya, Rawa Pening dikaitkan dengan suatu legenda.

Peta 1897: Fort Willem dan Rawa Pening
Danau Rawa Pening luasnya sekitar 2.600 Ha. Ada sebanyak empat kecamatan yang memiliki akses ke danau: Ambarawa, Banyubiru, Bawen dan Tuntang. Danau Rawa Pening berada di cekungan tiga gunung: Merbabu, Telomoyo, dan Ungaran. Menurut sebagian warga setempat, danau Rawa Pening memiliki kisah sendiri (legenda) yang diceritakan secara turun temurun. Peta 1897: Fort Willem dan Rawa Pening

Okelah, legenda Rawa Pening adalah hal lain. Dalam hal ini, sejarah danau Rawa Pening tentu saja tetap menarik perhatian. Tidak hanya karena danau ini memang indah tetapi juga keberadaan benteng Fort Willem I di dekatnya. Benteng ini adalah tulang punggung bagi VOC dan Pemerintah Hindia Belanda dalam Perang Jawa. Bagaimana danau Rawa Pening terbentuk dan mengapa benteng Fort Willem I didirikan perlu ditelusuri. Lantas kejadian apa saja yang pernah terjadi di danau Rawa Pening? Mari kita lacak sumber-sumber otentik pada masa lampau.

Sejarah Semarang (17): ‘Lawang Sewu’, Gedung Hoofdkantoor van de Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij Semarang

Untuk melihat semua artikel Sejarah Semarang dalam blog ini Klik Disini


Salah satu warisan era kolonial Belanda yang terbilang sangat terkenal di Semarang adalah Kantor Perusahaan Kereta Api Pemerintah (Het hoofdkantoor van de Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij). Gedung kantor ini kemudian kerap disebut warga sebagai Gedung Lawang Sewu (gedung berpintu seribu). Gedung ini dibangun bukan karena moda transportasi kereta api pertama dibangun di Semarang, dan juga bukan karena trafik lalu lintas kereta trans-Java yang semakin ramai.

Gedung Lawang Sewu eks Kantor NIS (Foto 1909)
Artikel ini merupakan lanjutan artikel Sejarah Semarang (11): Kereta Api Pertama di Indonesia di Semarang; Interchange Jalan Pos Trans-Java dan Djogjakarta-Semarang; Sejarah kereta api selalu menarik perthatian: Lihat juga: Sejarah Bogor (23): Kereta Api Batavia-Buitenzorg via Depok (1873); Rencana Awal Batavia-Bekasi-Buitenzorg (1864); Sejarah Jakarta (9): Kereta Api Batavia-Buitenzorg Dioperasikan 31 Januari 1873; Tanah Partikelir Berkembang; Trem Listrik Batavia, 1899; Sejarah Kota Depok (13): Penumpang Kereta Api Batavia-Buitenzorg Tahun Pertama (1873); Stasion Depok Ketiga Terbanyak; Sejarah Kota Medan (55): Medan dan Binjai, Kota Kembar; Peran Moda Transportasi Kereta Api Perkebunan di Deli dan Langkat; Sejarah Kota Padang (13): Ombilin dan WH de Greve; Batubara Terbaik Dunia Moda Transportasi Kereta Api dan Kapal Laut.

Lantas apa alasan mengapa gedung mewah tersebut dibangun? Itu pertanyaannya. Secara historis pembangunan moda transportasi selalu dipertimbangkan secara kritis yang tidak jarang menimbulkan perdebatan yang sengit. Pertimbangan tersebut mulai dari penetapan jalur (rute) rel, posisi dimana halte (stasion kecil) dan stasion (stasion besar) dibangun. Yang tak kalah serunya adalah siapa yang membiayai pembangunan dan siapa pula yang mengoperasikannya. Dari semua itu, sumber ketegangan pembangunan moda transportasi kereta api terletak pada aspek keekonomian: Ekspektasi penerimaan/pendapatan harus jauh lebih tinggi dari biaya investasi yang dikeluarkan.  

Jumat, 02 Maret 2018

Sejarah Semarang (16): Sejarah Pendidikan; RA Kartini dan Alimatoe Saadiah; Lahirnya Boedi Oetomo dan Medan Perdamaian

Untuk melihat semua artikel Sejarah Semarang dalam blog ini Klik Disini


Sejarah pendidikan kita adalah sejarah pendidikan nasional di berbagai tempat. Sejarah pendidikan di Semarang tidak terpisahkan dengan sejarah pendidikan di tempat lain. Bahkan hubungan sejarah pendidikan di Semaramg dan sejarah pendidikan di Padang Sidempoean meski jauh berjarak ribuan kilometer tetapi memiliki visi yang sama: Pendidikan adalah untuk semua.

RA Kartini
Salah satu tokoh pendidikan terkenal adalah Raden Adjeng (RA) Kartini. Meski masih muda tetapi RA Kartini sudah memiliki visi yang hebat: emansipasi. Banyak membaca adalah kuncinya. RA Kartini juga mendapat inspirasi dari buku-buku karya Edward Douwes Dekker alias Multatuli. Surat-surat korespondesi dengan teman-temannya di Belanda dibukukan dengan judul Habis Gelap Timbul Terang. Tidak hanya itu, banyak pihak yang mendukung riwayat semangat RA Kartini dengan mendirikan Sekolah Wanita di Semarang tahun 1912 yang juga didukung oleh pemerintah.

RA Kartini adalah tokoh penting, tetapi bukan satu-satunya. Banyak perempuan sebayanya di tempat lain yang melakukan kebajikan yang sama di bidang pendidikan tetapi dengan cara yang berbeda-beda, seperti Dewi Sartika dan Alimatoe Saadiah. Yang menjadi pertanyaan: Bagaimana itu semua terhubung satu sama lain. Menarik untuk diperhatikan. Mari kita lacak.

Rabu, 28 Februari 2018

Sejarah Semarang (15): Lasem di Rembang; Bukan Pecinan Tetapi Tiongkok Kecil Tempo Doeloe, Mengapa? Batik Lasem

Untuk melihat semua artikel Sejarah Semarang dalam blog ini Klik Disini


Pada masa ini Pecinan (China Town) ada dimana-mana. Pada masa tempo doeloe, disebut Tiongkok Kecil hanya di satu tempat yakni di Rembang, tepatnya di Kota Lasem. Kota Lasem tidak hanya terkenal tempo doeloe tetapi juga masih terkenal pada masa ini.

Peta Lasem, 1887
Kota Lasem adalah sebuah kota kecamatan di Kabupaten Rembang. Kota Lasem adalah kota kedua terbesar setelah Kota Rembang. Ketika Kota Lasem disebut Tiongkok Kecil namun tidak semua sepakat dan lebih memilih Kota Pusaka. Pada masa ini, Kota Lasem juga dikenal sebagai Kota Santri. Selain itu, Kota Lasem juga terkenal sebagai kota penghasil batik yang disebut Batik Lasem.

Lantas mengapa Lasem disebut Tingkok Kecil? Itu pertanyaannya. Apakah Tiongkok Kecil pada masa lampau merupakan bentuk lain Pecinan (China Town) pada masa kini. Untuk menjawab pertanyaan ini mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Senin, 12 Februari 2018

Sejarah Kota Medan (60): Sejarah PSMS Sebenarnya; Letterzetter VC, Tapanoeli VC dan SAHATA (Abdul Hakim-Marah Halim)

*Semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini. (Artikel 1-56 Klik Disana)


Keliru Hari Lahir PSMS 21 April 1950; Apakah Tanggal 7 Juli 1907?

Baru saja PSMS Medan kalah lagi melawan Persija Jakarta di stadion Manahan Solo dalam semi final (leg-1 dan leg-2) Piala Presiden 2018. Dua pertandingan ini merupakan untuk kesekian kali pertemuan antara PSMS dan Persija sejak kali pertama bertemu tahun 1952 di stadion Ikada Djakarta. Dalam catatan (rekor) pertemuan antar dua tim legendaris ini sepanjang masa (life tme) jumlah kemenangan Persija jauh lebih unggul dibandingkan jumlah kemenangan PSMS. Hasil imbang (draw) antar dua tim (yang tergolong rivalitas) terbilang tinggi (bahkan terbanyak di Indonesia).

Stadion Teladan 'Abdul Hakim Harahap' Medan, 1953
Meski PSMS kalah dua kali dalam selang waktu dua hari, PSMS masih berkesempatan untuk melakukan pertandingan perebutan tempat ketiga melawan salah satu tim yang kalah pada partai semi final yang lain (antara Bali United FC vs Sriwijaya FC). Perebutan juara (Persija) dan perebutan juara ketiga (PSMS) akan dilangsungkan di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) pada hari Sabtu, 17 Februari 2018. Kita tunggu saja.

Bukan itu yang akan dideskripsikan dalam artikel ini. Pertanyaan yang akan diajukan adalah kapan PSMS didirikan? Disebutkan bahwa PSMS berdiri tanggal 21 April 1950. Klaim ini tampaknya sangat diragukan dan tidak berdasar.Hal ini diperparah, ternyata sejarah PSMS tidak pernah ditulis. Artikel ini mendeskripsikan riwayat PSMS yang sebenarnya berdasarkan sumber-sumber primer tempo doeloe. Penulisan sejarah PSMS ini (di era milenial zaman now) dianggap penting karena PSMS sudah dianggap para gibol Indonesia sebagai klub/tim/perserikatan yang tergolong legendaris. Semua ingin tahu bagaimana sejarah PSMS bisa eksis hingga ini hari.

Minggu, 04 Februari 2018

Sejarah Jakarta (21): Rekor Pertemuan Tim Persija vs PSMS dan Pertandingan Klasik; Memori 26 Desember 1954 di Stadion Ikada

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini


Baru saja Persija Jakarta mengalahkan lawannya dengan skor 3-1 dalam perempat final (8 Besar) turnamen Piala Presiden 2018. Dengan kemenangan ini, Persija Jakarta menantang PSMS Medan di partai semi final. PSMS Medan sehari sebelumnya berhasil mengalahkan Persebaya Surabaya. Tiga kesebelasan ini mengingatkan kembali dengan nama-nama tim kesebelasan legandaris di era sepakbola perserikatan. Pertandingan Persija Jakarta vs PSMS akan ditunggu para gibol dengan sangat antusias, karena pertemuan PSMS dengan Persija masuk dalam label El Clasico di sepak bola Indonesia.

Stadion IKADA  Djakarta 1955
Dalam partai semi final Piala Presiden 2018 menggunakan format pertandingan home (leg-1) dan away (leg-2). Format ini pernah diterapkan pada Kejuaraan Antar Perserikatan pada tahun 1967 yang diselenggarakan di Stadion Utama Senayan. Namun kini, PSMS pada leg pertama menjadi tuan rumah dan pada leg-2 Persija menjadi tuan rumah. Masalahnya, Stadion Teladan Medan (yang dibangun 1952) proses renovasinya belum selesai, sementara Stadion Gelora Bung Karno Senayan baru saja selesai direnovasi dan Persija menginngikan menjadi laga kandangnya melawan PSMS. Anehnya, PSMS yang notabene tidak memiliki stadion bersedia memilih kandang di kandang Persija. Jika ini yang terjadi maka akan teringat memori tahun 1967

Disebut pertandingan El Clasico, pertemuan antara Persija dan PSMS sudah terjadi sejak tempo doeloe dan telah dilakukan untuk yang kesekian kali. Pertandingan PSMS vs Persija kali ini akan merecall kembali memori kejadian 26 Desember 1954 di Stadion Ikada Jakarta. Pertandingan ini adalah pertemuan kali kedua antara tim Persija dan PSMS. Pertandingan ini juga merupakan pertandingan terakhir dalam partai 6 Besar Kejuaraan Antar Perserikatan 1953/1954 (partai menentukan untuk mnjadi juara: Persija atau PSMS).

Sabtu, 03 Februari 2018

Sejarah Kota Surabaya (21): Pertandingan Klasik Persebaya vs PSMS Medan; Sejarah SVB Jadi Persebaya, OSVB Berubah PSMS

*Semua artikel Sejarah Kota Surabaya dalam blog ini Klik Disini.


Pertandingan antara Persebaya Surabaya melawan PSMS Medan sore ini dalam perempat final Piala Presiden 2018 adalah kelanjutan, garis continuum pertandingan-pertandingan tim sepak bola Surabaya dengan tim sepak bola Medan sejak tempo doeloe (klasik).  Dengan kata lain jika di masa lampaui gengsinya Kota Surabaya vs Kota Medan, tetapi pada masa kini Persebaya vs PSMS.


Docter Djawa School Voetbal Club di Batavia, 1903
Pertandingan antar kota Surabaya vs Medan, tidak hanya Persebaya vs PSMS, tetapi juga pernah terjadi (pada era kompetisi Galatama) antara Niac Mitra vs Pardedetex. Jauh ke belakang, pada masa lampau (sebelum 1951), juga terjadi pertandingan antara SVB Surabaya vs OSVB Medan. Pada tahun 1938, tim nasional NIVU yang diperkuat banyak pemain Surabaya sebelum menuju Piala Dunia di Prancis melakukan uji tanding dengan tim Medan.

Jelang melihat pertandingan prospektif sore ini antara Persebaya vs PSMS, coba kita kembali ke masa lampau (retrospektif) bagaimana dinamika antara tim-tim Surabaya dengan tim-tim Medan. Dengan cara begitu, kita dapat memahami mengapa pertandingan Persebaya vs PSMS diberi label pertandingan klasik. Satu hal yang perlu dideskripsikan adalah bahwa klub Persebaya Surabaya masa kini merupakan wujud metamorfosis PSV/PSS dan klub PSMS Medan adalah wujud metamorfosis OSVB.  

Kamis, 01 Februari 2018

Sejarah Jakarta (20): Sejarah Nama Jalan; Tan Boen Tjit (Buncit) di Mampang dan Usulan Nama Jalan Abdul Haris Nasution

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini


Hari ini Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Anies Baswedan menunda sosialisasi perubahan nama jalan terusan Rasuna Said, Jalan Mampang Prapatan dan Jalan Warung Jati Barat (Warung Buncit) menjadi Jalan AH Nasution. Usulan ini muncul dari Ikatan Keluarga Nasution tetapi ada penolakan dari pihak tertentu. Gubernur Anies Baswedan disamping masih memerlukan kajian dan juga menginginkan partisipasi sejarawan, budayawan dan ahli tata kota dalam penentuan nama jalan juga ingin meninjau Surat Keputusan Gubernur Nomor 28 Tahun 2009 terkait pedoman penetapan nama jalan.

Peta 1938
Sejarah Jenderal Abdul Haris Nasution sudah diketahui sejak lama dan siapa Abdul Haris Nasution sudah dipahami secara luas oleh rakyat Indonesia. Sementara sejarah Mampang dan sejarah Buncit masih simpang siur. Disebut bahwa Mampang dan Buncit berkaitan dengan memori kolektif warga Betawi. Namun tidak bisa dijelaskan memori kolektif dalam hal apa dan sejak kapan memori kolektif itu terbentuk.

Artikel ini akan mendeskripsikan sejarah perubahan nama-nama jalan di Jakarta, sejak era Batavia hingga Pasca Pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia (1950). Dalam artikel ini juga akan dideskripsikan asal-usul nama Mampang dan asal-usul nama Buncit. Nama Buncit diduga kuat adalah seorang Tionghoa pemilik lahan di Mampang dan sekitarnya yang bernama Tan Boen Tjit. Deskripsi ini diharapkan dapat memperkaya pemahaman para sejarawan (yang belum menemukan data).

Rabu, 31 Januari 2018

Sejarah Jakarta (19): 'Gerhana Bulan Total' 31 Maret 1866 Tempo Dulu Tidak Seheboh 'Super Blue Blood Moon' 31 Januari 2018

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini


Baru saja kita melewati peristiwa alam yang spektakuler, gerhana bulan total yang istimewa yang disebut  Super Blue Blood Moon tepatnya tanggal 31 Januari 2018 yang dimulai pukul 20.00 WIB. Gerhana bulan total ini disebut istimewa karena hanya terjadi sekali dalam 150 tahun. Berita-berita resmi (seperti LAPAN) menginformasikan bahwa peristiwa Super Blue Blood Moon ini terjadi pada tanggal 31 Maret 1866.

Gerhana bulan total istimewa (three lunar events collide)
Gerhana bulan total terjadi saat matahari, bumi, dan bulan berada pada satu garis lurus. Peristiwa ini sedikitnya terjadi dua kali dalam satu tahun. Gerhana bulan istimewa ini tidak hanya gerhana total (total lunar eclips) tetapi juga terjadi fullmoon (a blue moon) dan supermoon. Pada hari ini fullmoon, supermoon, dan eclips terjadi secara bersama-sama (three lunar events collide). Inilah yang disebut Super Blue Blood Moon yang hanya terjadi berulang setiap 150 tahun.

Berita-berita Super Blue Blood Moon yang sekarang begitu heboh. Setiap orang tampaknya mengetahui akan terjadinya peristiwa. Ini terbantu karena setiap orang di ear IT ini sudah terhubung satu sama lain (era zaman now) sehingga informasi dari titik manapun di dunia ini menyebar dan beredar ke semua penjuru secara cepat dan masif. Lantas bagaimana, fenomena alam yang sama ini di masa tempo doeloe. Sebagaimana diyakini Super Blue Blood Moon terjadi pada tanggal 31 Maret 1866. Apakah berita Super Blue Blood Moon kala itu seheboh sekarang? Mari kita lacak!

Sejarah Jakarta (18): Benteng-Benteng VOC di Batavia dan Sekitar; Benteng Terjauh Fort Padjadjaran, Bogor Hulu Sungai Tjiliwong

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini


Benteng Batavia (Casteel Batavia) adalah benteng pertama di Batavia. Benteng Batavia  dibangun seiring dengan penetapan muara sungai Tjiliwong sebagai ibukota (stad) VOC yang baru, sejak 1619. Casteel Batavia tentu saja bukan satu-satunya benteng VOC di Batavia. Benteng sendiri bagi VOC dari sisi luar adalah untuk fungsi pertahanan, tetapi dari sisi dalam benteng juga berfungsi sebagai komplek bangunan untuk berbagai hal: pimpinan, administrasi, gudang komoditi, gudang senjata, barak pekerja, barak tentara dan sebagainya. Benteng Batavia (Casteel Batavia) adalah benteng terbesar VOC di Oost Indie (Hindia Timur).

Stad Batavia dan benteng sekitar Batavia (Peta 1660)
Benteng-benteng VOC tidak hanya terdapat di Batavia. Benteng VOC juga terdapat di Ternate, Tidore dan Amboina dan Macassar. Benteng-benteng VOC lainnya berada di Atjeh, Baros, Singkel dan Padang serta (pulau) Gontong di Riaouw di Sumatra. Benteng-benteng di timur Batavia diantaranya benteng Missier di Tegal, benteng-benteng di Semarang dan sekitar serta benteng-benteng di di Soerabaja dan sekitar. Di sebelah barat Batavia juga ditemukan benteng VOC di Banten. Satu benteng VOC yang berada di selatan Batavia adalah benteng Padjadjaran.   

Benteng di Batavia dan sekitar terbilang cukup banyak. Jumlah benteng VOC di sekitar Batavia diperkirakan sebanyak 20 buah. Benteng-benteng dibangun sesuai dengan situasi dan kondisi wilayah. Lokasi dimana benteng dibangun ditentukan atas pertimbangan potensi (ekonomi) wilayah dan kemungkinan munculnya ancaman (serangan) di wilayah sekitar. Pembangunan benteng adalah investasi pertama VOC di wilayah yang baru.

Selasa, 30 Januari 2018

Sejarah Bogor (24): Sejarah Cibinong dan Scipio Isebrandus Helvetius van Riemsdijk; Land Tjibinong Dipecah Jadi Oost dan West

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disin


Sejak era VOC, lahan-lahan di sepanjang sisi barat dan sisi timur sungai Tjiliwong, dari Tjililitan hingga Buitenzorg (baca: Bogor) sudah dipetakan dan dijual ke pihak swasta. Bahkan van Imhof, Gubernur Jenderal kemudian membeli lahan di Land Kampong Baroe yang sudah dipegang swasta. Di lahan tersebut, van Imhoff tahun 1745 membangun rumah villa untuk tempat peristirahatannya.  Villa milik van Imhoff inilah kelak yang menjadi Istana Buitenzorg (baca Istana Bogor yang sekarang).

Peta Cibinong, 1901
Pada tahun 1809 Pemerintahan Hindia Belanda, Gubernur Jenderal Daendels ingin membangun kota Buitenzorg. Persil-persil lahan di Land Kampong Baroe dibeli dari swasta. Dalam pembelian ini 1/10 menjadi bagian pribadi Daendels. Sejak itulah villa Buitenzorg diubah menjadi Istana Buitenzorg. Sedangkan lahan-lahan pemerintah disekitarnya disewakan kepada swasta. Inilah awal kota Buitenzorg sebagai milik pemerintah minus persil-persil yang menjadi bagian Daendels.

Program lainnya dari Gubernur Jenderal Daendels adalah membangun jalan pos Trans-Java dari Anjer hingga Panaroekan. Jalan pos (groote weg) ini dari Batavia menuju Buitenzorg, lalu melewati Tjisaroea, Tjianjoer, Baybang, Sumadang hingga ke Cheribon. Adanya jalan pos ini aliran komoditi kopi yang sudah menghasilkan di Preanger megalir ke Batavia semakin deras. Sementara itu Daendels membuat kontrak-kontrak baru dengan Bupati Tjiandjoer dan Bupati Bandoeng untuk menghasilkn kopi yang lebih banyak.

Selasa, 23 Januari 2018

Sejarah Kota Depok (44): Jembatan Kuno ‘Indiana Jones’ di Srengseng Sawah Jakarta; Sisa Situs Kuno Ciliwung Era ‘Zaman Now’

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini


Baru-baru ini Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Anies Baswedan menemukan jembatan gantung di Jalan Gardu Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Jembatan ini menghubungan wilayah Jakarta dan Depok di atas sungai Ciliwung. Jembatan gantung ini, menurut Gubernur sungguh sangat mengkhawatirkan bagi pengguna. Ketika coba melewatinya, jembatan gantung di atas sungai Ciliwung ini Gubernur Anies Baswedan menganggapnya bagaikan jembatan ‘ala’ Indiana Jones (dalam film Indiana Jones).

Peta Srengseng Sawah, 1904 (sekitar Jalan Gardu sekarang)
Nun di sana, tidak jauh dari jembatan gantung Srengseng Sawah, di pusat wilayah DKI Jakarta, jembatan-jembatan kota sudah bertaraf milenium di ‘zaman now’, seperti Jembatan Semanggi Baru. Sementara jembatan gantung di Srengseng Sawah yang menghubungan wilayah Depok dan Jakarta masih menggunakan teknologi kuno dengan model jembatan suspensi di era ‘zaman old’. Sebagaimana lazimnya, jembatan yang berlokasi di perbatasan selalu dilupakan karena statusnya selalu dalam posisi ‘status-quo’. Dari penemuan jembatan kuno ini di tengah metropolitan Jakarta itu, muncul inisiatif Gubernur untuk berkoordinasi dengan Wali Kota Depok. Inisiatif pejabat tampaknya mulai menjadi tradisi baru di 'zaman old' untuk melihat kembali situs-situs kuno di 'zaman now'.   

Penerapan teknologi jembatan gantung sendiri sesungguhnya tidak ada salahnya digunakan bahkan di era modern masa kini. Sisi inilah yang menjadi perhatian. Sisi lain jembatan gantung ini berada di wilayah metropolitan Jakarta, di satu pihak terkesan sangat kuno tetapi di pihak lain, karena hanya segitu kebutuhannya (hingga pada masa ini), jembatan kuno ala Indiana Jones ini sejatinya dapat dipermak sebagai situs eksotik yang valuenya tinggi sebagai bagian dari daya tarik wisata di Srengseng Sawah. Persoalan yang masih tersisa pada dasarnya hanya terletak pada kualitas jembatan gantung itu sendiri: sudah sangat mengkhawatirkan karena kualitasnya yang tidak memadai lagi, bahkan pejalan kaki tertatih-tatih menggunakannya dan jelas sulit dilalui oleh sepeda motor. Lantas bagaimana sebaiknya? Apakah merevitalisasi jembatan teknologi zaman kuno atau menggantinya dengan teknologi jembatan modern? Ada plus minusnya.

Minggu, 21 Januari 2018

Sejarah Bandung (41): Pertandingan PSMS Medan vs Persib Bandung Mengapa Disebut Pertemuan El Clasico Sejati di Indonesia?

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bandung dalam blog ini Klik Disini


Beberapa menit lagi akan dilakukan kick-off antara Persib Bandung vs PSMS Medan di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, Bandung dalam babak penyisisihan grup Piala Presiden 2018. Seorang pembaca dari Semarang sore tadi mengirim email menanyakan mengapa akhir-akhir ini pertandingan Persib Bandung va PSMS Medan dinobatkan sebagai pertandingan El Classico di Indonesia? Pembaca tersebut sebelumnya telah membaca Sejarah Sepak Bola di Semarang yang dimuat dalam blog ini.

Persib vs PSMS: Final Kejuaraan Nasional di Stadion Senayan, 1985
Sambil menunggu kick-off dan selama jalannya pertandingan antara PSMS vs Persib saya akan coba mengkompilasi pertemuan kedua tim (sejak era kejuaraan perserikatan) dan pertemuan kedua klub (sejak era liga Indonesia). Mungkin pertanyaan tersebut sedikit dapat dijawab, tetapi semoga itu dapat membantu. Artikel ini seyogianya dilihat sebagai rangkaian sejarah sepak bola di Indonesia. Dalam blog ini juga telah diupload artikel tentang sejarah sepak bola di Medan, di Bandung, di Jakarta, di Semarang, di Surabaya, di Padang dan di Makassar.

Pada malam ini PSMS dan Persib kembali lagi untuk bertemu untuk yang ke-54 kali sejak Persib Bandung dan PSMS Medan bertemu pertama kali pada tahun 1952. Kedua tim perserikatan teresebut bertemu dalam kejuaraan perserikatan. Lantas apa spesialnya pertemuan Persib Bandung dan PSMS Medan pada malam ini. Mari kita lacak sejarah pertemuan kedua tim/klub legendaris ini.

Kamis, 18 Januari 2018

Sejarah Kota Medan (59): Penduduk Melayu [Deli] di Medan; Anomali Distribusi Etnik Melayu [Saja] di Provinsi Sumatera Utara

*Semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini. (Artikel 1-56 Klik Disana)


Penduduk Indonesia terdiri dari 1.338 etnik. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 (SP-2010) penduduk Kota Medan yang banyaknya 2.109.339 jiwa terdiri dari 202 etnik, termasuk etnik Melayu Deli.

Grafik-1. Distribusi etnik Melayu Deli di Sumatera Utara, 2010
Identifikasi etnik Melayu di Indonesia terdiri dari Melayu (kode 107), Melayu Riau (kode 37), Melayu Banyuasin, Melayu Lahat, Melayu Semendo (Lampung), Melayu Asahan (kode 23) dan Melayu Deli (kode 24).

Persentase etnik Melayu di Provinsi Sumatra Utara sebesar 4.42 persen (sekitar 573.219 jiwa). Persentase etnik Melayu Deli adalah 0.69 persen (sekitar  90.258 jiwa). Persentase etnik Melayu Asahan sebesar 0.37 persen (sekitar   48.798 jiwa).

Selain etnik Melayu Deli dan etnik Melayu Asahan, juga diidentifikasi etnik Asahan (kode 13). Persentase etnik Asahan di di Provinsi Sumatera Utara tidak signifikan, hanya sebesar 0,0016 persen.

Dari 90.258 jiwa penduduk etnik Melayu Deli di Provinsi Sumatera separuhnya (45.608 jiwa) berada di Kabupaten Deli Serdang (lihat Grafik-1). Di Kota Medan sendiri yang merupakan populasi terbanyak kedua hanya sebanyak 20.822 jiwa. Populasi terbanyak ketiga etnik Melayu Deli terdapat di Kabupaten Serdang Bedagai sebanyak 7.791 jiwa, kemudian disusul di Kabupaten Langkat (3.749 jiwa) dan Kabupaten Batubara (2.098 jiwa).  Populasi terbanyak etnik Melayu Deli berikutnya bukan di Kota Binjai, juga bukan di Kota Tebingtinggi dan juga bukan di Kabupaten Asahan, akan tetapi justru di Kabupaten Tapanuli Utara (sebanyak 1.185 jiwa).

Minggu, 14 Januari 2018

Sejarah Barus, Tapanuli (6): Kweekschool Tanobato, Kraton dan Masjid Atjeh; Willem Iskander Berani Membela Kesultanan Atjeh

*Semua artikel Sejarah Barus, Tapanuli dalam blog ini Klik Disini


Residentie Tapanoeli secara dejure baru terbentuk pada tahun 1840, segera setelah berakhirnya perang. Pembentukan Residentie Tapanoeli ini untuk mengefektifkan administrasi pemerintahan sipil dan mempercepat proses pembangunan di Tapanoeli. Pembangunan sipil terdiri dari dua bidang: pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan; dan pembangunan pertanian koffiekultuur (budidaya kopi). Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan terutama untuk mengintegrasikan dua sumber produksi di pedalaman di Afdeeling Mandailing dan Angkola dengan pelabuhan kuno di Natal (Mandailing) dan Loemoet (Angkola).

Sibogha, ibukota Residentie Tapanoeli, 1867
Perang Bonjol (Tuanku Imam) berakhir pada tahun 1837 yang kemudian dilanjutkan dengan Perang Pertibie (Tuanku Tambusai) tahun 1838. Komandan Militer Pantai Barat Sumatra (Sumatra’s Westkust) AV Michiels diangkat menjadi gubernur sehubungan dengan pembentukan Province Sumatra’s Westkust. Wilayah administrasi Residentie Tapanoeli mulai dari Natal hingga Singkel (belum termasuk Bataklanden). Pada tahun 1842 Residentie Tapanoeli dibentuk dengan ibukota di Sibolga. Pada tahun 1845, Majoor Alexander van der Hart, anak buah terbaik AV Michiels diangkat menjadi Residen Tapanoeli. Wilayah Residentie Tapanoeli pada tahun 1946 terdiri dari: Afd. Natal, Afd. Mandailing en Angkola, Afd. Baros, Afd. Singkel plus Eiland Nias. Wilayah Baros dan Singkel mengacu pada perjanjian Belanda/VOC di Baroes (1668) dan di Singkel (1672).

Secara historis wilayah pantai barat Sumatra di bagian utara bukanlah wilayah kosong. Paling tidak nama Baroes sudah dikenal sejak jaman kuno. Wilayah ini yang kemudian dieknal sebagai Residentie Tapanoeli pada dasarnya penduduk terbagai ke dalam dua wilayah pemukiman: penduduk di kota-kota sepanjang pantai (melting post); dan penduduk di sisi bagian dalam pantai (penduduk Batak). Tidak pernah ada konflik antara dua wilayah pemukiman, karena masing-masing saling memperkuat dalam proses perdagangan sejak era komoditi kuno (benzoin dan kamper) hingga era komoditi modern (lada). Dalam era perdagangan lada, penduduk yang tinggal di pantai juga terlibat dalam produksi lada.

Jumat, 12 Januari 2018

Sejarah Barus, Tapanuli (5): Perdagangan Atjeh Menurun Drastis Karena Faktor VOC; Pedagang Atjeh Amat Tergantung Tapanoeli

*Semua artikel Sejarah Barus, Tapanuli dalam blog ini Klik Disini


Sejak kehadiran Belanda/VOC di Pantai Barat Sumatra, tidak hanya wilayah kekuasaan Atjeh yang berkurang, tetapi juga sumber-sumber utama perdagangan Atjeh semakin sedikit. VOC melakukan perjanjian dengan (pemimpin) penduduk lokal di Padang (1666), Baros (1668) dan Singkel, secara dejure perdagangan Atjeh hanya tersisa Meulaboh dan Deli.

Kantor Perdagangan VOC di Atjeh (1644)
Belanda/VOC mengalahkan Portugis di Malaka pada tahun 1841. Secara de facto, pedagang-pedagang Atjeh hanya melakukan pelayaran terjauh di Asahan dan Deli. Pada fase ini Kesultanan Siak semakin berkembang, Atjeh mendapat pesaing baru di Pantai Timur Sumatra (Sumatra’s Oostkust).

Penerimaan Atjeh di Padang sangat negatif. Hal ini berlainan dengan di Deli dan Asahan (Pantai Timur) serta di Natal, Tapanoeli, Baros dan Singkel (Pantai Barat Sumatra). Pelabuhan-pelabuhan ini semua berhubungan dengan sumber produksi di pedalaman di Tanah Batak.  Penerimaan terhadap Atjeh di pelabuhan-pelabuhan ini bersifat indeferen (siapapun pedagang yang datang sama pentingnya) karena penduduk Batak berada di pedalaman.

Rabu, 10 Januari 2018

Sejarah Barus, Tapanuli (4): Kota Barus Masa Lalu, Natal Masa Kini, Sibolga Masa Datang; Junghuhn, Willer dan Van der Tuuk

*Semua artikel Sejarah Barus, Tapanuli dalam blog ini Klik Disini


Barus adalah kota tertua di Nusantara, Kota Barus berumur lebih dari 1000 tahun. Kota Barus lalu menua dan layu. Kota-kota muda bermunculan di Tapanoeli, umurnya baru beberapa tahun tetapi sudah menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Pada fase pertumbuhan kota-kota baru di Tapanoeli ini ada tiga tokoh awal yang patut dicatat: FW Junghuhn, TJ Willer dan N van der Tuuk.

Peta Baroes, 1906
Ada satu adagium yang muncul di Jawa pada jelang berakhirnya VOC, yakni: Maluku masa lampau, Jawa masa kini, dan Sumatra masa datang. Adagium ini tampaknya berlaku di Pantai Barat Sumatra (Sumatra’s Westkust): Barus masa lampau, Natal masa kini dan Sibolga masa datang.

Tiga tokoh awal tersebut, cukup memberi arti dalam perubahan radikal di pedalaman Tanah Batak. Tiga tokoh ini adalah ilmuwan. FW Junghuhn adalah sarjana, ahli geologi dan botanis; TJ Willer adalah sarjana, ahli geografi sosial; dan N van der Tuuk, sarjana, ahli linguistik. Tiga orang inilah yang boleh dikatakan sebaga pionir dan pembuka pintu masuk ke lingkungan peradaban dan ilmu pengetahuan orang Batak yang selama ini disembunyikan oleh penduduk Batak dari orang asing. Suatu peradaban dan pengetahuan tumbuh berkembang di pedalaman Tanah Batak nyaris tak tersentuh orang luar, meski kota pelabuhan di pantai barat Sumatra di Barus sudah berumur ribuan tahun.

Minggu, 07 Januari 2018

Sejarah Barus, Tapanuli (3): Kapur Barus Telah Disebut dalam Al Quran dan Injil; Kamper Hanya Ditemukan di Tanah Batak

*Semua artikel Sejarah Barus, Tapanuli dalam blog ini Klik Disini.


Kapur Barus, atau kamper hanya ditemukan di Tanah Batak. Paling tidak hal itu disebutkan dalam buku-buku kuno. Tidak pernah disebutkan kapur Barus berasal dari Tanah Batak. Namun demikian, semua penulis mendeskripsikannya bahwa kapur Barus tersebut diproduksi (sebagai hasil hutan) di daerah antara Batahan dan Singkel (1’10'N-20’20’) dengan ketinggian 1.000-1.200 Meter Dpl. Kota Barus sendiri berada di pantai dengan ketinggian 1-3 meter dengan posisi gps-nya 1.84ZB; 110.43OL. Jika kamper tumbuh di hutan-hutan ketinggian lebih dari 1.000 meter itu berarti daerah yang menjadi kediaman penduduk Batak. Dengan kata lain produsen kapur Barus adalah penduduk Batak.

Kapur Barus dalam Al Qur'an
Buku paling kuno yang menyebutkan kapur barus adalah ‘Den rosegaert van den bevruchten vrouwen. Ghecorrigeert ende…’ terbitan tahun 1560. Dalam buku ini kapur Barus disebut kafura (champora). Sejak tahun itu ratusan buku telah membicarakan komoditi kuno ini. Umumnya, para penulis menyatakan kapur Barus berasal dari Barus (Baroesh). Para penulis juga menyebut kapur Barus dari Sumatra (lihat De Kamferboom van Sumatra, Dryobalanops camphora Colebr. Terbit tahun 1851). Dalam buku The Travels of Marco Polo, a Venetian, in the Thirteenth Century, 1818 disebutkan bahwa nama kafura masuk ke dalam bahasa Persia. Dari bahasa Persia diduga menyebar ke Arab dan kemudian disebutkan di dalam Al Quaran.

Jung Huhn adalah orang pertama Eropa yang memasuki tanah Batak, seorang ilmuwan kali pertama mendeskripsikan secara intensif tentang Tanah Batak. Jung Huhn seorang geolog dan botanis ditugaskan Guberbur Jenderal di Batavia untuk memetakan geologi dan botani Tanah Batak tahun 1840. Dalam satu risalahnya, Jung Huhn  menyebut aliran kapur Barus ini bermula di Loemoet dan Hoeraba (dua wilayah terluar Angkola). Informasi ini seakan membuka penjelasan teka-teki, darimana sesungguhya kamper berasal yang pusat transaksinya sejak dari jaman kuno di Barus.

Sejarah Barus, Tapanuli (2) Benteng Baroes, Awal Mula Kolonisasi Belanda di Tapanoeli; Kekuasaan Kesultanan Atjeh Drastis Redup

*Semua artikel Sejarah Barus, Tapanuli dalam blog ini Klik Disini.


Barus adalah kota tua, jika tidak disebut sebaga kota tertua di Pnatai Barat Sumatra (Sumatra’s Westkust). Sebagai kota tua, keberadaan Kota Barus kita sangat tergantung pada informasi sekunder yang ditemukan di dalam buku dan jurnal. Catatan primer tentang Kota Barus secara eksplist baru ditemukan dalam laporan-laporan Portugis. Selanjutnya keberadaan Kota Barus kemudian diperkaya oleh catatan-catatan primer dari orang-orang Belanda, yang menganggap Barus sebagai pelabuhan penting di Pantai Barat Sumatra.

Benteng Barus (Peta Barus 1695)
Dalam peta kuno, terbitan berbahasa Portugis tahun 1619 kota-kota pelabuhan penting di pantai barat Sumatra adalah Baros, Batahan dan Pariaman. Tiga kota pelabuhan ini besar kemungkinan sebagai simpul perdagangan dari pedalaman di Angkola (Baros), di Mandailing (Batahan) dan di Minangkabau (Pariaman). Di era perdagangan Eropa pelabuhan-pelabuhan untuk pedalaman ini bergeser ke pelabuhan yang lebih besar yang terbentuk kemudian di Sibolga (penggati Baros), Natal (pengganti Batahan) dan Padang (pengganti Pariaman).

Peta kuno ini tidak berbeda jauh dengan sketsa pulau Sumatra hasil ekspedisi Cornelis de Houtman (1595-1597) yang diterbitkan dalam jurnal ‘Journael vande reyse der Hollandtsche schepen ghedaen in Oost Indien, haer coersen, strecking hen ende vreemde avontueren die haer bejegent zijn, seer vlijtich van tijt tot tijt aengeteeckent,...’. Jurnal ini sepenuhnya berisi catatan hari demi hari tentang ekspedisi yang dilakukan oleh Cornelis de Houtman yang dimulai pada tanggal 2 April 1595.

Sabtu, 06 Januari 2018

Sejarah Barus, Tapanuli (1) Barus Titik Nol Islam Nusantara; Kota Barus Telah Terkenal Sebelum Adanya Agama Islam dan Kristen

*Semua artikel Sejarah Barus, Tapanuli dalam blog ini Klik Disini.


Baru-baru ini (tahun 2017), Kota Barus ditetapkan sebagai Titik Nol Islam Nusantara dan telah diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Penetapan Kota Barus sebagai Titik Nol Islam Nusantara dengan sendirinya menambah situs baru tentang peradaban (permulaan, pertumbuhan dan perkembanga) penyiaran agama Islam di masa lampau. Bukan tidak mungkin suatu waktu akan muncul suatu situs baru.

Peta Tapanoeli, 1830
Penetapan Kota Barus sebagai Titik Nol Islam Nusantara ternyata tidak semua pihak sepakat. Lalu, suatu seminar diadakan di Aceh. Satu panelis menyebutkan Kota Pasai adalah Titik Nol Islam Nusantara. Panelis lainnya yang satu panggung menyatakan, bukan Pasai tetapi Peureulak; sedangkan panelis satunya lagi, Titik Nol Islam Nusantara bukan Pasai dan juga bukan Peureulak tetapi Lamuri. Berbeda pendapat dalam satu panggung itu berarti memiliki bukti empiris yang berbeda satu sama lain. Yang jelas ketiga kota itu ada di wilayah administrasi Aceh. Lalu muncul aksioma: Oleh karena ketiga tempat itu ada di Aceh, maka Titik Nol Islam Nusantara ada di Aceh (bukan di Pasai, bukan di Peureulak dan juga bukan di Lamuri). Kalau itu ada di wilayah administrasi Aceh berarti bukan di Kota Barus. Sebaliknya, ada tiga orang ahli mengatakan bahwa secara defacto Titik Nol Islam Nusantara di Barus. Tidak ada beda pendapat diantara ketiganya. Tidak ada pendapat yang mengatakan di Sorkam atau di Tapus. Semua mengatakan di Barus dan juga tidak mengatakan di Tapanuli. Okelah, jika tidakpun di Tapanuli dan juga tidak di Aceh, ya, di Sumatralah.

Serial artikel ini tidak dalam konteks pembuktian Kota Barus sebagai Titik Nol Islam Nusantara. Akan artikel-artikel sejarah Kota Barus berikut lebih pada pembuktian (empiris) bahwa hal apa saja yang terkait (dikaitkan) dengan Kota Barus. Kota Barus sebagai Titik Nol Islam Nusantara sudah dibuktikan oleh pihak yang lain, tetapi masih banyak yang dihubungkan dengan Kota Barus belum teruji (terbuktikan). Mari kita telusuri dengan artikel pertama.

Selasa, 02 Januari 2018

Sejarah Kota Surabaya (20): Sejarah Musik di Surabaya, Musik Qasidah hingga Cadash; Ucok AKA Harahap, Pionir Rock Indonesia

*Semua artikel Sejarah Kota Surabaya dalam blog ini Klik Disini.


Kota Surabaya tidak hanya Kota Pahlawan, tetapi juga Kota Musik. Banyak grup band muncul dari Kota Surabaya, banyak pula ragamnya: ada musik blues dan jazz; ada pula wolrd music dan country music; ada musik dang dan musik funk; ada musik melayu dan ada juga musik jawa; dan tentu saja ada musik qasidah dan musik cadas. Tentu saja syairnya juga banyak ragamnya: ada yang nasionalis dan juga ada yang agamis, misalnya yang bernuansa Islam berjudul RUKUN ISLAM, karya AKA Group. Musik qasidah diaransemen oleh grup musik cadas memang terasa beda. Itulah Kota Surabaya.

Rukun Islam ada lima
Yang harus kita kerjakan
Yang pertama kita ucapkan
Dua kalimat syahadat

Yang kedua harus sembahyang
Lima waktu dalam sehari
Subuh, Lohor, Asyar, Magrib, Isya
Mengerjakan dengan hati rela

Puasa itu yang ketiga
Di dalam bulan Ramadan
Dikerjakan dengan ikhlas
Agar kelak dapat pahala

Yang keempat harus diingat
Memberikan fitrah dan zakat
Fakir miskin harus diingat
Agar kelak kita selamat

Yang kelima itu yang terakhir
Pergi haji ke tanah suci
Rukun Islam sudah dijalani
Itu tanda Islam sejati.

Kota Surabaya ternyata juga memiliki riwayat musik yang cukup long long ago, bahkan sejak era kolonial Belanda. Bagaimana hal itu bisa terjadi. Satu hal bahwa pertumbuhan dan perkembangan musik di Kota Surabaya hingga saat ini adalah garis continuum dari masa lampau. Lantas, sejak kapan (demam) musik bermula di Surabaya dan lalu bagaimana proses perkembangan selanjutnya hingga kita rasakan saat ini. Mari kita telusuri.