Minggu, 07 Januari 2018

Sejarah Barus, Tapanuli (3): Kapur Barus Telah Disebut dalam Al Quran dan Injil; Kamper Hanya Ditemukan di Tanah Batak

*Semua artikel Sejarah Barus, Tapanuli dalam blog ini Klik Disini.


Kapur Barus, atau kamper hanya ditemukan di Tanah Batak. Paling tidak hal itu disebutkan dalam buku-buku kuno. Tidak pernah disebutkan kapur Barus berasal dari Tanah Batak. Namun demikian, semua penulis mendeskripsikannya bahwa kapur Barus tersebut diproduksi (sebagai hasil hutan) di daerah antara Batahan dan Singkel (1’10'N-20’20’) dengan ketinggian 1.000-1.200 Meter Dpl. Kota Barus sendiri berada di pantai dengan ketinggian 1-3 meter dengan posisi gps-nya 1.84ZB; 110.43OL. Jika kamper tumbuh di hutan-hutan ketinggian lebih dari 1.000 meter itu berarti daerah yang menjadi kediaman penduduk Batak. Dengan kata lain produsen kapur Barus adalah penduduk Batak.

Kapur Barus dalam Al Qur'an
Buku paling kuno yang menyebutkan kapur barus adalah ‘Den rosegaert van den bevruchten vrouwen. Ghecorrigeert ende…’ terbitan tahun 1560. Dalam buku ini kapur Barus disebut kafura (champora). Sejak tahun itu ratusan buku telah membicarakan komoditi kuno ini. Umumnya, para penulis menyatakan kapur Barus berasal dari Barus (Baroesh). Para penulis juga menyebut kapur Barus dari Sumatra (lihat De Kamferboom van Sumatra, Dryobalanops camphora Colebr. Terbit tahun 1851). Dalam buku The Travels of Marco Polo, a Venetian, in the Thirteenth Century, 1818 disebutkan bahwa nama kafura masuk ke dalam bahasa Persia. Dari bahasa Persia diduga menyebar ke Arab dan kemudian disebutkan di dalam Al Quaran.

Jung Huhn adalah orang pertama Eropa yang memasuki tanah Batak, seorang ilmuwan kali pertama mendeskripsikan secara intensif tentang Tanah Batak. Jung Huhn seorang geolog dan botanis ditugaskan Guberbur Jenderal di Batavia untuk memetakan geologi dan botani Tanah Batak tahun 1840. Dalam satu risalahnya, Jung Huhn  menyebut aliran kapur Barus ini bermula di Loemoet dan Hoeraba (dua wilayah terluar Angkola). Informasi ini seakan membuka penjelasan teka-teki, darimana sesungguhya kamper berasal yang pusat transaksinya sejak dari jaman kuno di Barus.

Pelabuhan Barus sudah sejak lama dikenal oleh orang-orang Angkola. Informasi ini paling tidak ditemukan di dalam Daghregister, cacatan harian di Casteel Batavia. Disebutkan pada tahun 1703 seorang Tionghoa baru datang dari Angkola. Tionghoa ini berangkat dari Angkola menuju Barus selama 11 hari perjalanan. Tionghoa ini pada mulanya datang dari Singapoera (Pantai Timur Sumatra) melalui daerah aliran sungai (DAS) Baroemoen dan telah berdagang selama 10 tahun di Angkola. Tionghoa yang beristri seorang putri Angkola dengan satu anak perempuan mereka dari Barus menumpang kapal Tionghoa menuju Padang dan selanjutnya berlayar ke Batavia.

Pada tahun 1773 seorang botanis Inggris, Charles Miller melakukan ekspedisi kulit manis ke Angkola. Di dalam ekspedisi ini Miller fokus memetakan sumber produksi kulit manis (di hutan-hutan Angkola bahkan ditemukannya pohon kulit manis ada yang berdiameter lebih dua meter). Charles Miller juga mengabadikan temuannya di Angkola pohon Andalimon yang digunakan oleh penduduk (suatu komoditi yang belum tersebar luas). Dalam perjalanannya, Miller menemukan sejumlah pohon kamper di hutan-hutan dekat Loemoet.

Informasi sentra produksi kapur Barus ini semakin mulai terbuka sejak Charles Miller dan Jung Huhn. Seorang penulis Belanda, Joustra dalam bukunya Batak Spiegel (1920) menyebut pohon kamper (Dryobalanops Camphora Colebr.) terbaik berasal dari Singkil, suatu pelabuhan di sisi luar Pakpak. Jika informasi terdahulu digabung, sentra produksi kapur Barus antara Singkil (di utara) dan Batahan (di selatan) dan pelabuhan yang berada di tengah adalah Barus, maka sentra produksi kapur Barus berada di Tanah Batak mulai dari Mandailing di selatan dan Alas. Gayo dan Pakpak di utara. Empat pelabuhan ini terhubungan dengan pedalaman: pelabuhan Singkel ke Pakpak, Gayo dan Alas; pelabuhan Barus ke Toba dan Silindoeng; pelabuhan Loemoet ke Angkola; dan pelabuhan Batahan ke Mandailing. Pelabuhan Barus adalah pelabuhan utama yang merupakan hub internasional. Pelabuhan Batahan, Lomoet dan Singkil menjadi pelabuhan feeder (pelabuhan pendukung Barus).

Daerah Angkola

Pendapat FW Junghuhn bahwa aliran kapur Barus bermula di Loemoet dan Hoeraba tentu bukan tanpa alasan. Charles Miller memasuki Tanah Batak melalui pelabuhan Pontjang hanya ke Angkola dan Padang Lawas (1773). FW Junghuhn (dan Rosenberg) pada tahun 1840 tidak hanya memulai ekspedisi ke Angkola (mengikuti rute Miller), tetapi juga melakukan ekspedisi ke Mandailing (hingga gunung Ophir/Talamau di perbatasan Pasaman) di selatan, juga ke timur hingga ke Biela (muara sungai Baroemoen) serta ke tempat lainnya: ke Sipirok, Silindoeng dan Toba. Rosenberg melakukan ekspedisi ke Singkel dan pulau-pulau di pantai Barat Sumatra terutama Nias dan Mentawai. Gabungan data/informasi ini yang besar kemungkinan dasar utama pendapat FW Jinghuhn bahwa aliran kapur Barus bermula di Loemoet dan Hoeraba (daerah Angkola).

Miller (1773) dan Junghuhn (1840) melalui rute Pontjang ke muara sungai Loemoet hingga ke (pelabuhan) Loemoet di pedalaman. Dari Loemoet ke Angkola via (jembatan rotan sungai) Batangtoru. Rute ini juga yang digunakan oleh (pedagang) Tionghoa dari Angkola menuju Baroes (via Loemoet). Berdasarkan peta Marga Batang Toru adalah Poeloengan, Anggoli adalah Pohan serta Loemoet, Hoeraba, Marancar dan Sipirok adalah marga Siregar. Enam daerah marga ini lingkuran terluar dari hutan rimba Batangtoroe yang kelesatariannya masih terjaga hingga hari ini (telah menjadi hutan lindung). Hutan-hutan (jungle) yang lebat ini yang menjadi habitat berbagai pohon raksasa seperti kamfer, kemenyan dan damar yang juga baru-baru ini telah diidentifikasi sebagai habitat Orang Utan Tapanuli (yang memiliki genetik yang berbeda dengan Orang Utan di Kalimantan).

Loemoet dan Hoeraba adalah wilayah Angkola. Jika memperhatikan orang Tionghoa yang berada di Angkola selama 10 tahun yang datang dari timur di Panai (Pantai Barat Sumatra) dan pulang dari barat di Barus (Pantai Barat Sumatra), ini mengindikasikan bahwa Angkola (boleh jadi yang pertama) adalah koridor timur dan barat Sumatra yang sudah sejak lama terhubung (sejak jaman kuno). Boleh jadi daerah Angkola satu-satunya wilayah yang sudah terbuka sejak jaman kuno. Daerah Angkola dalam banyak hal sangat menarik perhatian bagi geolog maupun botanis Eropa (setelah Miller dan Junghuhn).

Daerah Angkola sudah terbuka sejak jaman kuno ini dapat ditunjukkan dengan keberadaan candi Simangambat di Angkola dekat Siabu (yang diduga sudah ada pada abad ketujuh). Daerah Siaboe ini tidak memproduksi kamper dan kemenyan tetapi sentra produksi emas (hingga ini hari). Lalu percandian Padang Lawas yang situsnya sudah ada pada abad ke-11. Pusat percandian Padang Lawas ini besar kemungkinan pelabuhan sisi timur (selain Barus) keluarnya produksi emas, kamper, kemenyan dan lain sebagainya. Satu-satunya koridor dari pantai barat Sumatra (katakanlah dari Barus) hanya melalui Lomoet, Batangtoroe dan Hoeraba.

Sebagaimana diketahui Belanda sudah melakukan kontak dagang dengan Barus tahun 1663 dan Singkel 1668. Ini masuk akal memulai kontak dagang di dua tempat tersebut karena lebih populer dan Barus sendiri sudah sejak lama menjadi kota dagang utama. Ketika Inggris datang untuk mengambil peruntungan dengan memprovokasi Atjeh agar pelabuhan Baroes tetap independen. Namun anehnya, setelah Belanda meninggalkan Baroes dan Singkel pindah ke Padang, Inggris bukannya membangun pos dagang di Baros tetapi lebih memilih di teluk Tapanoeli, persisnya di Pulau Pontjang. Dari pelabuhan inilah kelak Miller (1773) dan Junghuhn (1840) masuk ke pedalaman Tanah Batak (sebagaimana jauh sebelumnya tahun 1703 pedagang Tionghoa dari Angkola ke Loemoet lalu dilanjutkan dengan perahu ke Baroes.

Pelabuhan Loemoet adalah pelabuhan kecil di hulu sungai Lomoet. Sedangkan pelabuhan Baroes adalah pelabuhan besar di hilir sungai Baroes. Inggris tidak memilih keduanya, tetapi membangun pelabuhan baru di Pontjang (antara Baroes dan Loemoet). Mengapa? Marsden (1787) dalam bukunya The History of Sumatra (yang dirilis kembali 1811) menyebut teluk Tapanoeli adalah pelabuhan terbaik di pantai barat Sumatra (terhalang oleh pulau Moersalla). Marsden menyebut, meski teluk Tapanoeli adalah terbaik tetapi orang Batak disebutnya bukan pelaut, tetapi lebih menekuni pertanian dan eksploitasi hasil-hasil hutan yang sungguh kaya luar biasa. Ini masuk akal, tidak perlu menjadi pelaut karena toh dari lahan yang subur sudah mencukupi (yang mana para pedagang yang berdatangan). Boleh jadi ini alasan Inggris memilih teluk Tapanoeli dibandingkan dengan Baros: pelabuhan yang baik, pintu keluar produk komoditi alami seperti emas, kamper dan kemenyan. Hal yang sama juga dilakukan Inggris dengan membangun pelabuhan baru di Natal (menggantikan pelabuhan kuno di Batahan).

Traktat London (1824) mengakhiri kekuasaan Inggris di teluk Tapanoeli dan wilayah Angkola di Tanah Batak. Dengan adanya tukar guling Bengkulu (Inggris) dan Malaka (Belanda) maka seluruh pantai barat dan pantai timur Sumatra berada di bawah yurisdiksi Belanda (dan Inggris di Semananjung yang berpusat di Penang). Namun anehnya, pasca Inggris pindah ke Semenanjung, Belanda bukan membangun pos di Baros (pos mereka yang sudah ada sejak 1663), namun lebih memilih pulau Pontjang sebagaimana Inggris. Belanda kemudian pada tahun 1840 memindahkan pelabuhan dari (pulau) Pontjang ke pantai di sebuah kampung kecil namanya Sibalga (yang kelak menjadi ibukota Residentie Tapanoeli di Sibolga). Sejak era Belanda kedua ini, Sibolga berkembang pesat dan Baroes mulai ditinggalkan. Hub internasional berpindah dari Baros ke Padang yang mana Sibolga menjadi pelabuhan yang bersama-sama Baros aliran produksi menuju Padang. Dengan demikian, apa yang menjadi pendapat Junghuhn bahwa Lomoet adalah pintu keluar komoditi kuno sedikit banyak ada benarnya, tidak hanya Lomoet menjadi pelabuhan feeder bagi Baroes sejak jaman kuno tetapi sejak Inggris dan Belanda Lomoet tetap menjadi penting sebagai pintu keluar komoditi dari Angkola.

Kekayaan Angkola, Kemakmuran Baroes

Untuk mengenal spasial kota (pelabuhan) Barus janganlah terlalu dekat (sempit) dan juga jangan terlalu jauh (luas), Jika terlalu dekat, kita akan terjebak bahwa kota Barus adalah produsen kamper untuk seluruh dunia. Ini sangat naif. Sebab, kenyataanya, di Barus tidak terdapat vegetasi pohon kamper yang ada hanya pelabuhan transaksi komodi kamper. Oleh karena pelabuhan ini sangat sentral dan ramai lalu disebut pelabuhan Barus. Sebaliknya, melihat spasial Barus jangan terlalu jauh dan luas, sebab pintu keluar produk dagangan kamper dari pedalaman hanya ditemukan di muara-muara sungai berikut: sungai Baros, sungai Sorkam, sungai Tapoes, sungai Singkel, sungai Loemoet, sungai Batangtoroe, sungai Batang gadis, sungai Natal dan sungai Batahan. Semua muara sungai ini ada di pantai barat Sumatra. Sedangkan pintu keluar produk kamper di pantai timur Sumatra ada di muara sungai-sungai berikut: Tamiang, Deli, Asahan, Baroemen dan Rokan.

Wilayah vegetasi hutan pohon kamper di Tapanoeli
Muara-muara sungai tersebut, itu berarti dari Batahan di selatan hingga Singkel di pantai barat Sumatra dan mulai dari Rokan di selatan hingga Tamiang di utara di panta timur Sumatra. Oleh karenanya, perdagangan kamper dalam perkembangannya, tidak hanya di Baroes, tetapi hingga ke Indrapoera di selatan dan Lamuri di utara pantai barat Sumatra; dan hingga Palembang di selatan dan Pasai di utara di pantai timur Sumatra. Empat muara pintu keluar kamper di pantai timur Sumtra yang terpenting adalah Tamiang, Deli, Asahan dan Baroemoen.

Vegetasi hutan pohon-pohon kamper (dan kemenyan) tidak ditemukan di kota-kota pantai di pantai timur Sumatra. Vegetasi pohon kamper (dan kemenyan) hanya ditemukan di pedalaman di sepanjang pegunungan Bukit Barisan yang sekarang. Hal yang sama juga vegetasi hutan pohon kamper tidak ditemukan di kota-kota Singkel, Tapoes, Baroes, Sorkam, Tapanoeli, Natal dan Batahan tetapi justru di wilayah-wilayah hulu kota-kota tersebut di pedalaman di dalam hutan-hutan rimba yang merupakan bagian dari topografi pegunungan Bukit Barisan yang sekarang. Wilayah vegetasi pohon kamper (dan kemenyan) ini tidak lain berada di wilayah penduduk Batak dari Gunung Talamau (Ophir) di selatan hingga Gunung Leuser di utara.

Mengapa lalu kemudian Palembang menjadi pusat perdagangan kamper (dan kemenyan) yang baru di pantai timur Sumatra, dan telah beralih dari Baroes di pantai barat Sumatra? Palembang menjadi hub internasional ke Tiongkok. Produk kamper (dan kemenyan) dari pedalaman di Tanah Batak di sepanjang Bukit Barisan mengalir ke pantai timur Sumatra melalui sungai-sungai di Tamiang, Deli, Asaahan dan Baroemoen. Peta distribusi kamper (dan kemenyan) inilah yang membuat Kerajaan Chola di India menyerang Sriwijaya di Palembang dan kemudian membangun pelabuhan baru di hulu sungai Baroemoen. Situs peninggalan percandian Padang Lawas (abad ke-11) adalah salah satu situs peninggalan Kerajaan Chola di Sumatra. Sejak Padang Lawas ditinggalkan oleh koloni-koloni India, muncul kerajaan-kerajaan besar (keseultanan) di Atjeh yang meneruskan siklus perdagangan kamper (dan kemneyan). Semakin menguatnya kesultanan-kesultanan di Atjeh (terutama Kesultanan Atjeh), pelabuhan Baroes menjadi sangat ramai kembali. Aliran produk kamper (dan kemenyan) pada era baru ini adalah pelabuhan Loemoet di Angkola yang diteruskan ke Baroes. Aliran produk kamper (dan kemneyan) yang lain di pelabuhan Singkel di Taroemon. Oleh karenanya, ketika VOC melakukan ekspansi dan membuka pos dagang di pantai barat Sumatra ditetapkan di Baroes (1668) dan di Singkel (1672).

Satu-satunya sumber informasi terawal tentang wilayah pedalaman (penghasil kamper dan kemneyan) adalah Daghregister di Casteel Batavia tahun 1703 yang mencatat riwayat seorang pedagang Tionghoa yang telah berdagang selama 10 tahun di Angkola. Pedagang Tionghoa ini datang dari Singapoera melalui muara sungai Baroemoen (1693) dan kembali ke Batavia (1703) dari Angkola melalui Baroes setelah menempuh perjalanan dengan istrinya putri Angkola dengan satu putri mereka selama 11 hari. Dari Baroes keluarga ini melanjutkan perjalanan ke Padang dan lalu berlayar ke Batavia.   

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar