Rabu, 10 Januari 2018

Sejarah Barus, Tapanuli (4): Kota Barus Masa Lalu, Natal Masa Kini, Sibolga Masa Datang; Junghuhn, Willer dan Van der Tuuk

*Semua artikel Sejarah Barus, Tapanuli dalam blog ini Klik Disini


Barus adalah kota tertua di Nusantara, Kota Barus berumur lebih dari 1000 tahun. Kota Barus lalu menua dan layu. Kota-kota muda bermunculan di Tapanoeli, umurnya baru beberapa tahun tetapi sudah menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Pada fase pertumbuhan kota-kota baru di Tapanoeli ini ada tiga tokoh awal yang patut dicatat: FW Junghuhn, TJ Willer dan N van der Tuuk.

Peta Baroes, 1906
Ada satu adagium yang muncul di Jawa pada jelang berakhirnya VOC, yakni: Maluku masa lampau, Jawa masa kini, dan Sumatra masa datang. Adagium ini tampaknya berlaku di Pantai Barat Sumatra (Sumatra’s Westkust): Barus masa lampau, Natal masa kini dan Sibolga masa datang.

Tiga tokoh awal tersebut, cukup memberi arti dalam perubahan radikal di pedalaman Tanah Batak. Tiga tokoh ini adalah ilmuwan. FW Junghuhn adalah sarjana, ahli geologi dan botanis; TJ Willer adalah sarjana, ahli geografi sosial; dan N van der Tuuk, sarjana, ahli linguistik. Tiga orang inilah yang boleh dikatakan sebaga pionir dan pembuka pintu masuk ke lingkungan peradaban dan ilmu pengetahuan orang Batak yang selama ini disembunyikan oleh penduduk Batak dari orang asing. Suatu peradaban dan pengetahuan tumbuh berkembang di pedalaman Tanah Batak nyaris tak tersentuh orang luar, meski kota pelabuhan di pantai barat Sumatra di Barus sudah berumur ribuan tahun.

Sarjana pertama yang masuk ke pedalaman Tanah Batak adalah Charles Miller tahun 1772 (lihat William Marsden. The History of Sumatra, 1811). William Marsden sendiri hanya mengumpulkan informasi tentang pedalaman Tanah Batak di Barus dan Natal. Miller memang tidak membuat laporan komprehensif, tetapi dari surat-suratnya yang mengisahkan perjalanan ke pedalaman Tanah Batak di Angkola dan Padang Bolak terungkap bahwa penduduk sangat makmur (sawah dan ternak), hutan-hutan yang kaya (pohon kamper yang besar-besar dan bahkan pohon kulit manis ada yang berdiameter dua meter); sudah memiliki kepandaian memuat senapan dan mesiu dan pakaian perempuan mirip pakaian yang digunakan di tanah Melayu di Semenanjung. Miller memang tidak bisa berjalan sendiri, harus dipandu, tetapi Miller merasa pemandu tersebut telah menyesatkan arah (rute) perjalanan [Miller sendiri merasa ada kesan banyak hal yang disembunyikan oleh penduduk]. Orang Eropa berikutnya yang memasuki Tanah Batak adalah Burton dan Ward (lihat Nacht en morgen op Sumatra door G Warneck, 1873). Setelah melakukan perjalanan dari kampong Sibolga lima hari tiba di Silindoeng. Burton dan Ward selain gagal dalam misinya juga tidak memberi informasi apapun tentang pedalaman Tanah Batak.

Pada saat ilmuwan FW Junghuhn dan TJ Willer memasuki Tapanoeli (1840), ekonomi kopi telah menggantikan ekonomi gula sebagai komoditi primadona di Jawa. Kopi sendiri di Jawa sudah dintroduksi sejak 1710 oleh VOC. Sedangkan kopi di pantai barat Sumatra diintroduksi oleh Inggris. Dalam laporan Raffles yang pernah melakukan ekspedisi ke Minangkabau (1818), kopi penduduk sudah banyak yang menghasilkan.

Ibukota Pertama Sumatra’s Westkust Berada di Tapanoeli, 1821

Selama hampir satu abad, Pantai Barat Sumatra menjadi wilayah pertarungan dan peruntungan tiga negara adikuasa: Belanda, Inggris dan Prancis. Di Batavia, Prancis mengambil kendali dari Belanda dari 1795-1800; lalu kemudian Belanda berkuasa kembali, akan tetapi tidak lama kemudian Inggris mengambil alih kendali dari Belanda 1811 dan menguasai Jawa hingga tahun 1816. Sejak 1816, eskalasi politik tiga negara adikuasa di Pantai Barat Sumatra lebih stabil.

Singkil (lukisan Rosenberg, 1840)
Belanda/VOC telah melakukan kerjasama dengan (pemimpin) penduduk lokal tahun 1866 di Padang, Baros (1668) dan Singkel. Sementara Inggris di Bengkulu pada tahun 1685. Diantara tahun-tahun kemudian muncul Prancis di Pantai Barat Sumatra. Sejumlah pos perdagangan di Pantai Barat Sumatra lalu ditinggalkan oleh VOC dan diambilalih oleh Inggris. Dua pelabuhan yang berhasil dibangun Inggris di Pantai Barat Sumatra adalah pelabuhan Tapanoeli dan pelabuhan Natal. Pelabuhan Padang sendiri sudah sangat jauh berkembang.

Pada tahun 1819 Sumatra’s Westkust diklaim kembali oleh Belanda sebagai wilayahnya. Ini sebagai kelanjutan proses kembalinya Pemerintah Hindia Belanda berkuasa di Hindia Belanda setelah pendudukan Inggris (1811-1816). Pada tahun 1816 komisaris Belanda, Mr. Cornelis Theodorus Elout, Godert Alexander Gerard Philip Baron van der Capellen en Arnold Adriaan Buyskes mengambilalih kembali kekuasaan Inggris. Untuk wilayah Pantai Barat Sumatra, baru pada tahun 1819 Belanda mengakuisisi kembali di bawah kepemimpinan Kommissaris J. du Puy. 

Struktur Pemerintahan di Res. Sumatra's Westkust, 1921
Pada bulan Mei 1819 secara defacto J. du Puy berfungsi sebagai Residen Sumatra's Westkust. Oleh karena eskalasi politik yang masih memanas di Pantai Barat Sumatra (Belanda vs Inggris) maka pembentukan pemerintahan tidak dapat langsung dilakukan. Hal ini juga karena satu wilayah yang masih dikuasai oleh Inggris saat itu Benkoelen (Bengkulu) di (pulau) Sumatra masih dapat dianggap sebagai ancaman. Baru pada tahun 1821 secara dejure di Residentie Sumatra’s Westkust, pemerintahan dapat dibentuk yang mana struktur pemerintahan yang dibentuk dikepalai oleh setingkat Asisten Residen.

Asisten Residen yang diangkat di Residentie Sumatra’s Westkust adalah WJ Waterloo. Namun kedudukan (ibukota) Residentie Sumatra’s Westkust bukan ditetapkan di Padang melainkan ditempatkan di Tapanoeli. Ini mengindikasikan bahwa Padang yang awalnya dinominasikan sebagai ibukota Residentie Sumatra’s Westkust harus dilupakan dan lalu dipindahkan ke tempat yang sesuai di 'kota' Tapanoeli. Dalam Pemerintahan Hindia Belanda yang pertama ini di Sumatra’s Westkust, Asisten Residen didukung oleh tiga komisaris dan tiga pejabat keuangan. Selain itu Asisten Residen dibantu oleh sejumlah pejabat sipil dan komandan militer di sejumlah tempat. Di Padang ditempatkan dua pejabat sipil yakni kepala pelabuhan (havenmeester) dan kepala gudang (pakhuismeester). Pejabat sipil lainnya ditempatkan di Natal yang berfungsi sebagai kepala pelabuhan yang juga merangkap kepala gudang.

Komandan militer tertinggi di Sumatra's Westkust berpangkat Majoor yang ditempatkan di Natal (dekat Tapanoeli). Komandan militer dibawahnya berpangkat Kapitein ditempatkan di Padangsch Bovenlanden. Selain itu ada sejumlah komandan berpangkat Luitenan yang ditempatkan di tempat berbeda, diantaranya Letnan Dua berada di Pariaman dan Letnan Satu di Ajer Bangies.

Beberapa posthouder (kepala kantor dagang) ditempatkan diantaranya di Poeloe Chinco, di Air Hadji (Painan), Tikoe, Poeloe Batoe dan di Baros. Penempatan ‘markas’ militer di Natal dengan pangkat tertinggi mayor besar kemungkinan karena di Natal sejak era VOC sudah didirikan benteng yang setara dengan benteng Marlborough di Bencoolen. Oleh karenanya, penetapan ‘kota’ Tapanoeli sebagai hoofdplaat (ibukota) Residentie Sumatra’s Westkust yang pertama adalah atas dasar pertimbangan bahwa teluk Tapanoeli adalah pelabuhan terbaik di pantai barat Sumatra dan benteng di Natal sebagai benteng terbaik kedua setelah benteng Bencoelen (Inggris). Pemilihan benteng Natal sebagai markas militer utama dengan sendirinya menjadikan ibukota Sumatra's Westkust di Tapanoeli lebih aman dari pihak Inggris yang berada di selatan Sumatra di Bencoelen (Bengkulu).

Padang sendiri pada era VOC belumlah tempat utama (hoofdplaat) di pantai barat Sumatra. Bentuk pemerintah di era VOC yang dibentuk masih sangat sederhana. Sebagaimana diketahui, Padang sempat ditinggalkan sebagai posthiuder karena tidak aman, lalu diambil alih oleh Inggris. Padang saat itu belum dianggap sebagai kota penting, bahkan Air Bangis sendiri masih lebih penting dari Padang. Hal ini terindikasi dalam berita Leydse courant, 04-05-1764 sebagai berikut: ‘Pemerintah VOC menempatkan Residen di (pulau) Chinco, (residen) di Air Bangies dan (residen) di Barros..sedangkan di Padang hanya menempatkan administrator tingkat dua'. Oleh karenanya, pada saat mulai membentuk Pemerintahan Hindia Belanda di Sumatra's Westkust, pilihan kota cukup banyak, salah satu diantaranya 'kota' Tapanoeli.

Pada era Portugis, tiga kota pelabuhan utama di pantai barat Sumatra adalah Baros, Batahan, Pariaman dan Indrapoera. Pada awal era VOC muncul nama-nama pelabuhan baru: Tapanoeli, Natal, Air Bangies, Ticoo, Padang, Chinco dan Air Hadji (Painan). Pelabuhan Tapanoeli menggantikan popularitas pelabuhan Baros, Natal menggantikan Batahan dan Padang menggantikan Indrapoera.

Pelabuhan Tapanoeli berada di Teluk Tapanoeli. Pelabuhan Natal berada di muara sungai Batang Natal dan Pelabuhan Padang berada di muara sungai Batang Arau. Pada awal era VOC, pelabuhan di teluk Tapanoeli berada di Pulau Pontjang. Pada akhir era VOC pelabuhan di teluk Tapanoeli bergeser ke pantai di ‘kota’ Tapanoeli. Kelak nama pelabuhan Tapanoeli ini berubah menjadi Sibogha (Sibolga).

Penetapan Tapanoeli sebagai ibukota Residentie Sumatra’s Westkust diduga karena di pantai barat Sumatra masih bercokol Inggris di Bengkulu (di selatan). Bahkan pada tahun 1818 Raffles masih mengunjungi ke wilayah pedalaman di  Minangkabau. Baru tanggal 17 Mei 1819 Residentie Padang dapat dibebaskan dari Inggris; Air Bangies dibebaskan pada tanggal 3 Oktober 1820. Residenti Natal dibebaskan tanggal 17 Oktober 1820. Inggris sendiri sebelumnya telah mengambil alih wilayah dan properti VOC tanggal 30 November 1795 di Bengkulu, Natal dan Tapanoeli termasuk kantor di Padang, Ajer Bangies dan Poeloe Tjinko. Secara keseluruhan baru terbebaskan (kecuali Bengkulu) pada tanggal 17 Agustus 1921 berdasarkan Resolutie Gouverneur Generaal.

Sementara di sebelah utara terdapat Kesultanan Atjeh yang masih bersifat independen. Ibukota Tapanoeli seakan berada di tengah antara ibukota Atjeh dan ibukota Bengkulu. Kota pelabuhan Padang relatif lebih dekat dengan wilayah Inggris di Bengkulu.

Di era VOC, sejumlah tempat, kota pelabuhan di pantai barat Sumatra beberapa kali berganti tuan diantara Belanda, Inggris dan Perancis. Misalnya VOC (Belanda) pernah berada di Baros, Singkel dan Padang. Inggris pernah berada di Tapanoeli, Natal, Pariaman, Padang dan Bengkulu. Perancis pernah berada di Air Bangies dan Padang.

Kesulitan Belanda (VOC) untuk melakukan ekspansi ke pulau Sumatra adalah karena faktor Atjeh. Dalam buku ‘De nieuwe reisiger; of Beschryving van de oude en nieuwe waerelt’ (1766) disebutkan sebagian besar pulau Sumatra di bawah kekuasaan Kesultanan Atjeh (De Koning van Achem), Kota-kota terkemuka yang berada dibawah pengaruhnya adalah Hooftstad, Pedir, Pacem, Dely, Daya, Labou (Meulaboh), Cirkel (Singkel), Barros, Batahan, Paffaman (Air Bangis?), Ticou, Priaman en Padang, Begitu besar kekuasaan kerajaan Atjeh ini sehingga rajanya disebut Koning der Koningen (King of Kings).

Setelah berakhirnya pendudukan Inggris di Hindia Belanda tahun 1816, semua tempat-tempat yang pernah ‘dikuasai’ oleh Belanda di masa sebelumnya diklaim oleh Belanda (kecuali Bengkulu yang sejak awal tidak pernah dikuasai oleh Inggris). Oleh karenanya, ketika Pemerintah Hindia Belanda memulai pemerintahan di pantai barat Sumatra merasa perlu memilih dan menetapkan dimana ibukota (residentie) berada. Pilihan dan penetapannya jatuh pada Tapanoeli.

Pada tanggal 17 Maret 1824 terjadi perundingan yang diakhiri dengan perjanjian dan penandatanganan antara Belanda dan Inggris yang dikenal sebagai Traktat London. Satu kesapakatan dalam perjanjian ini adalah ‘tukar guling’ antara Bengkulu (Inggris) dan Malaka (Belanda). Sejak perjanjian ini, Bengkulu menjadi wilayah kekuasaan Belanda. Ini dengan sendirinya, Residentie Sumatra’s Westkust bertambah luas menjadi wilayah baru antara Singkel dan Bengkulu. Sejak perubahan wilayah inilah terjadi proses pemindahan ibukota Residentie Sumatra’s Westkust dari kota Tapanoeli ke kota Padang. Pada tahun 1825 Kol. HJJL de Stuers diangkat menjadi residen dan komandan militer di Sumatra’s Westkust. Berdasarkan resolutie van den Gouv.-Gen. 1 November 1825, Majoor Rothmalder, komandan berpangkat tertinggi di Natal en Onderhoorigheden menjadi berada di bawah komando Kol. HJJL de Stuers. Dengan diangkatnya Stuers sebagai residen, status Sumatra’s Westkust ditingkatkan menjadi Residen. Lalu, Padang menjadi ibukota Sumatra’s Westkust yang baru (lihat juga Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde, 1887).   Residen berikutnya adalah Kol. Raaff yang juga merangkap sebagai Militaire commandant hingga 1829. Selanjutnya Residen Sumatra’s Westkust adalah Mac Gillavry sebelum dilanjutkan oleh Kol. AV Michiels.

Perpindahan ibukota di awal pembentukannya tidak hanya di Sumatra’s Westkust. Juga terjadi di di Preanger dan Sumatra’s Oostkut serta di Mandailing dan Angkola. Setelah Belanda berkuasa kembali (mengambil alih dari Inggris) di Preanger dibentuk pemerintahan yang beribukota di Tjiandjoer. Baru tahun 1871 Resientie Preanger ibukotanya dipindahkan dari Tjiandjoer ke Bandoeng. Demikian juga di Sumatra’s Oostkust awalnya ibukota di Bengkali, lalu tahun 1887 dipindahkan ke Medan. Hal serupa juga terjadi di afdeeling Mandailing dan Angkola yang beribukota sejak 1840 di Panjaboengan dipindahkan ke Padang Sidempoean tahun 1870. Bahkan pada tahun 1875 ibukota Residntie Tapanoeli pernah dipindahkan dari Sibolga ke Padang Sidempoean dan kembali lagi ke Sibolga tahun 1880.

Pemilihan Tapanoeli sebagai ibukota Sumatra’s Westkust boleh jadi bukan hanya karena alasan geopolitik saat itu. Akan tetapi teluk Tapanoeli sejak era VOC sudah diakui sebagai pelabuhan terbaik di pantai barat Sumatra. Pantainya yang dalam terlindung oleh Pulau Moersala sehingga kapal-kapal dapat merapat dengan tenang tanpa dihantui oleh badai besar dari samudara India. William Marsden di dalam bukunya The History of Sumatra menyebut teluk Tapanoeli adalah pelabuhan terbaik di pantai barat Sumatra, tapi sayang katanya, penduduk Batak bukan pelaut.

Junghuhn, Willer dan Van der Tuuk

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

3 komentar:

  1. Minta ijin share tentang barus, Admin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Silahkan saja. Terimakasih apresiasinya. Tolong disebut sumbernya ya. Kelabjutan serial artikel Barus belum sempat dipublish, saat ini masih berada di kota-kota lainnya. Suatu saat akan kembali ke Barus.

      Hapus
  2. gambar rumah ,pelabuhan,rumah raja di barus tampilkan

    BalasHapus