Sejarah pendidikan kita adalah sejarah pendidikan nasional di berbagai tempat. Sejarah pendidikan di Semarang tidak terpisahkan dengan sejarah pendidikan di tempat lain. Bahkan hubungan sejarah pendidikan di Semaramg dan sejarah pendidikan di Padang Sidempoean meski jauh berjarak ribuan kilometer tetapi memiliki visi yang sama: Pendidikan adalah untuk semua.
RA Kartini |
RA Kartini adalah tokoh penting, tetapi bukan
satu-satunya. Banyak perempuan sebayanya di tempat lain yang melakukan
kebajikan yang sama di bidang pendidikan tetapi dengan cara yang berbeda-beda,
seperti Dewi Sartika dan Alimatoe Saadiah. Yang menjadi pertanyaan: Bagaimana
itu semua terhubung satu sama lain. Menarik untuk diperhatikan. Mari kita
lacak.
RA Kartini dan Alimatoe Saadiah
RA Kartini lahir di Jepara pada tanggal 21 April 1879.
Saat itu pendidikan golongan pribumi baru mulai mendapat perhatian serius oleh
pemerintah Nedermadsch Indie (Hindia Belanda). Namun demikian, masih sangat
jarang kaum perempuan yang mendapat pendidikan. Boleh jadi masa-masa inilah
yang dimaksud masa gelap dalam judul buku Habis Gelap Terbitlah Terang.
Peta Kweekschool, 1879 |
RA Kartini memulai pendidikan di sekolah dasar yang
disebut Europese Lagere School (ELS). Sekolah dasar ini adalah sekolah untuk
anak-anak Eropa dan secara terbatas diberikan kepada golongan pribumi. RA
Kartini diperkirakan lulus ELS tahun 1892. Namun RA Kartini tidak melanjutkan
ke sekolah yang lebih tinggi karena alasan budaya. Meski begitu, pengetahuan RA
Kartini sudah jauh memadai jika dibandingkan dengan teman sebanyanya yang
bersekolah di sekolah dasar pribumi. Kemampuan bahasa Belanda RA Kartini cukup
mumpuni karena cukup lama bersekolah di ELS, sekolah Eropa berbahasa Belanda.
Pada saat RA Kartini
lulus ELS, Alimatoe Saadiah masuk sekolah ELS di Padang Sidempoean. Berbeda
dengan RA Kartini, Alimatoe Saadiah setelah lulus ELS melanjutkan studi ke
sekolah yang lebih tinggi, Sekolah Radja (Kweekschool) di Fort de Kock tahun
1899. Setelah lulus sekolah tinggi, Alimatoe Saadiah pada tahun 1903 menikah
dengan seorang dokter muda yang baru lulus bernama Haroen Al Rasjid Nasution
(Leeuwarder courant, 22-06-1903). Haroen Al Rasjid adalah alumni ELS Padang
Sidempoean. Alimatoe Saadiah kelahiran Padang Sidempoean bersekolah di ELS
Padang. Pada saat itu tentu saja tidak mudah bagi orang pribumi masuk sekolah
Eropa (ELS), kecuali ayahnya sebagai orang terpandang, terpelajar dan terkaya.
Ayah Alimatoe Saadiah adalah satu-satunya orang pribumi paling terpandang,
terpelajar dan terkaya tidak hanya di kota Padang, tetapi juga di seluruh
Province Sumatra's Westkust. Ayah Alimatoe Saadiah adalah Dja Endar Moeda,
pensiunan guru, pemilik sekolah dan pemilik surat kabar dan percetakan Pertja
Barat di Kota Padang. Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda adalah alumni
Kweekschool Padang Sidempoean, murid Charles Adrian van Ophuijsen. Ayah Haroen
Al Rasjid adalah seorang shjriver di Padang Sidempoean dan kemudian menjadi
asisten demang di Kebajoran di Batavia.
Sejak lulus ELS, RA
Kartini yang masih berumur 14 tahun tidak melanjutkan studi ke sekolah yang
tinggi. RA Kartini harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit. Namun
demikian, RA Kartini masih memungkinkan berinteraksi dengan para pejabat atau
istri pejabat yang kemudian menjadi teman korespondensinya. Meski hanya sekolah
sampai ELS, kemampuan RA Kartini terus meningkat, karena RA Kartini adalah
seorang pembelajar yang suka membaca dan menulis.
Nama RA Kartini muncul dan menyita
perhatian pada tahun 1902. Ini bermula dari sebuah tulisan Nellie van Kol di Kolonial
Weekblad edisi 19 Juni. Nellie van Kol yang menceritakan tentang seorang gadis
Jawa RA Kartini dan adiknya Roekmini. Isu Kartini ini dilaporkan empat surat
kabar bertiras tinggi di Medan, Batavia, Semarang dan Bandung (lihat De Sumatra post, 15-07-1902;
Bataviaasch nieuwsblad, 21-07-1902; De locomotief: Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 22-07-1902; De Preanger-bode, 25-07-1902). Intinya, RA
Kartini mempunyai pemikiran dan berkeinginan sekolah yang lebih tinggi. Namun
tidak diketahui dengan jelas mengapa itu tidak terwujud.
Bataviaasch nieuwsblad, 17-09-1902 |
Raden Mas Kartono diterima di HBS
Semarang tahun 1891 (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 13-05-1891).
Dalam daftar ini hanya Kartono dari golongan pribumi. RM Kartono naik dari
empat ke kelas lima (Bataviaasch nieuwsblad, 14-05-1895). Raden Mas Pandji
Sosno Kartono lulus ujian HBS (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 11-06-1896). RM Kartono, berangkat ke Batavia untuk
test (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 17-07-1896). RM
Kartono, anak ketiga Bupati Djepara akan melanjutkan studi Indologi ke
politeknik di Delf (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 20-07-1896). Di
antara 63 kandidat untuk Korps Mahasiswa Delft juga ada seorang pangeran Hindia,
Raden Mas Pandje Sono Kartono (Algemeen Handelsblad, 15-09-1896). RM Kartono
melanjutkan ke universitas di Utrech dan diterima di faculteiten der
godgeleerdheid enz/Fakultas Teologi (Algemeen Handelsblad, 25-08-1901).
Namun dalam
perkembangannnya, RA Kartini tidak jadi ke Belanda tetapi RA Kartini dan
Roekmini mendapat beasiswa dari pemerintah untuk mengikuti pelatihan di Batavia
sebesar f200 per bulan dan tidak lebih dari dua tahun (Soerabaijasch
handelsblad, 17-07-1903). RA Kartini tidak jadi mengikuti pelatihan dan
diberitakan akan melangsungkan perkawinan dengan Bupati Rembang (Soerabaijasch
handelsblad, 21-09-1903). Perkawinan ini akhirnya dilangsungkan pada tanggal 12
November 1903 dengan Bupati Rembang KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat.
Residen Semarang Sijthoff ikut menghadiri (Bataviaasch nieuwsblad, 12-11-1903).
Sebagaimana disebutkan bahwa Bupati Rembang mendapat istri yang sangat muda
untuk seorang usianya (lihat De Sumatra post, 27-11-1903). Bupati sudah pernah
memiliki tiga istri.
Harapan RA Kartini yang didukung
oleh ayahnya untuk studi ke Belanda telah sirna. Rencana pelatihan yang
ditawarkan oleh pemerintah juga tidak diwujudkan. Hanya pernikahan yang membuat
RA Kartini berhenti bermimpi. Bagaimana itu bisa terjadi sesungguhnya tidak
sulit dipahami. Umur RA Kartini saat pernikahan sudah kepala dua.
Soerabaijasch handelsblad, 23-09-1904 |
RA Kartini memiliki
seorang anak. RA Kartini melahirkan seorang putra pada tanggal 13 September
1904 (Bataviaasch nieuwsblad, 23-09-1904). Anaknya diberi nama Raden Mas Sienggih. RA Kartini meninggal dunia setelah lima hari
dari hari melahirkan. Raden Mas Sienggih yang kemudian dikenal sebagai Soesalit
Djojo Adhiningrat kehilangan ibu saat berumur baru empat hari. Tidak lama kemudian ayah
RA Kartini, Raden Mas Adipati Arya Sosroningrat meninggal dunia (Bataviaasch
nieuwsblad, 28-02-1905).
Nun jauh di sana, teman sebaya RA Kartini,
Alimatoe Saadiah yang sama-sama menikah tahun 1903 melahirkan seorang putri di
Padang yang diberi nama Ida Loemongga yang lahir pada tanggal 22 Maret 1905.
Ida Loemongga adalah cucu Dja Endar Moeda, pemilik sekolah dan pengusaha media
yang sangat terkenal di Kota Padang.
Pada tahun 1905 seorang guru bernama
Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan berangkat studi ke Negeri Belanda,
Dari Padang Sidempoean, Soetan Casajangan menuju Sibolga dan lalu ke Padang
untuk menunggu kapal layar ke Batavia (dan seterusnya ke Belanda). Di Padang,
Soetan Casajangan bertamu di rumah Dja Endar Moeda yang baru memiliki cucu
bernama Ida Loemongga br Nasution. Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan
adalah sepupu dari Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda. Di waktu masih
bersekolah, Soetan Casajangan adalah adik kelas Dja Endar Moeda di Kweekschool
Padang Sidempoean. Soetan Casajangan melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi
ke Belanda untuk mendapatkan akte kepala sekolah.
Keluarga Alimatoe
Saadiah lalu pindah ke Sibolga. Setelah beberapa tahun di Sibolga, suami
Alimatoe Saadiah, Dr. Haroen Al Radjid Nasution yang telah delapan tahun
berdinas mengajukan cuti dan pindah ke Telok Betoeng Lampoeng. Diantara
kesibukan ikut membantu suami dalam pengembangan klinik kesehatan di Tandjong
Karang dan Bandar Lampoeng, Alimatoe Saadiah tidak lupa untuk mempersiapkan
pendidikan anak-anaknya. Putrinya yang pertama, Ida Loemongga dimasukkan ke
sekolah ELS Tandjong Karang. Lalu pendidikan putrinya dilanjutkan ke Batavia,
di Prins Hendrik School (afdeeling-B/IPA). Setelah lulus tahun 1922, putrinya
Ida Loemongga melanjutkan studi kedokteran ke Belanda. Ida Loemogga lalu meraih
gelar Ph.D pada bidang kedokteran tahun 1930. Ida Loemongga Nasution adalah
perempuan Indonesia pertama bergelar doktor (Ph.D) di Indonesia.
Seandainya, RA Kartini berumur
panjang, boleh jadi raihan pendidikan tinggi Ida Loemongga ini membuat RA
Kartini turut bangga. Telah terwujud harapannya. Kaum perempuan tidak hanya
diizinkan tetapi juga mampu bersekolah setinggi-tingginya bahkan sekolah ke
luar negeri. RA Kartini dan Alimatoe Saadiah (ibu Ida Loemongga) adalah dua
perempuan pertama yang dilaporkan bersekolah di sekolah elit (ELS). Tentu saja
RA Kartini masih punya kebanggaan, anaknya semata wayang Soesalit Djojo
Adhiningrat yang menjadi militer dan berjuang di era perang kemerdekaan di Jawa
Tengah dengan pangkat Kolonel. Rekan sebaya RA Kartini, Alimatoe Saadiah juga
memiliki seorang anak bernama Gele Haroen yang masuk militer dan berjuang di
era perang kemerdekaan di Lampung. Gele Haroen anak keempat Alimatoe Saadiah,
ketika Ida Lomongga tengah mempersiapkan sidang desertasi (Ph.D) datang ke
Belanda untuk studi hukum di Universiteit Leiden dan berhasil meraih gelar
master hukum (Mr). Letnan Kolonel Mr. Gele Haroen Nasution adalah Residen
pertama Lampung (kini sedangkan diusulkan menjadi Pahlawan Nasional dari
daerah Lampung).
Ida Loemongga adalah
peraih gelar doktor (Ph.D) pertama dari kaum perempuan di Indonesia. Peraih
gelar Ph.D pertama Indonesia adalah RM Kartono, kakak kandung RA Kartini. RM
Kartono meraih doktor di bidang de Taal- en Letterkunde van den Oost-Indischen
archipelago (Bahasa dan Sastra Nusantara) pada tahun 1909 di Universiteit
Leiden (Algemeen Handelsblad,
09-03-1909). Peraih gelar
doktor kedua bukan Dr. Abdul Rivai sebagaimana kerap disebut. Dr. Abdul Rivai
alumni Docter Djawa School di Belanda hanya melanjutkan gelar dokter sarjana
lengkapnya (bukan Ph.D). Peraih Ph.D kedua adalah Hussein Djajadiningrat di
Universiteit Leiden pada Mei 1913 di bidang sastra (De Telegraaf, 31-12-1934).
Orang ketiga adalah Mr. Gondokoesoemo pada tahun 1922. Orang keempat bergelar
doktor adalah Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi. Anak Batang Toroe,
Padang Sidempoean ini memperoleh gelar doctor (PhD) di bidang hokum di Leiden
1925 dengan desertasi berjudul: ‘Het grondenrecht in de Bataklanden: Tapanoeli,
Simeloengoen en het Karoland’. Selanjutnya adalah DJ Apituley di Amsterdam
dengan desertasi berjudul: 'Onderzoekingen over de histiogenese van émail en
mambraan van Nasmyth' (lihat De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 10-07-1925).
Berikutnya adalah Poerbatjaraka pada bidang sastra di Universiteit Leiden
dengan desertasi berjudul 'Agastya in den Archipel' (lihat Rotterdamsch
nieuwsblad, 11-06-1926). Orang ketujuh yang meraih gelar doktor adalah Ida
Loemongga. Pada tahun 1931, Ida Loemongga dipromosikan sebagai doktor di bidang
kedokteran dengan desertasi berjudul ‘Diagnose en prognose van aangeboren
hartgebreken’ (Bataviaasch nieuwsblad, 20-01-1931). Orang kedelapan Indonesia
yang meraih gelar doktor adalah Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia
tahun 1933 dalam bidang sastra dan filsafat di Universiteit Leiden dengan desertasi
berjudul: ‘Het primitieve denken in de moderne wetenschap'.
Salah satu doktor Indonesia yang
terkenal lulusan Belanda adalah Masdoelhak. Pada tahun 1943 Masdoelhak lulus
ujian doctoral sebagaimana dilaporkan
Friesche courant, 27-03-1943. Pendidikan ini ditempuh setelah Madoelhak
menyelesaikan sarjana hukumnya (Mr) di Belanda. Masdoelhak Nasoetion berhasil
mempertahankan desertasinya dengan predikat cumlaude di Leiden yang berjudul
‘De plaats van de vrouw in de Bataksche Maatschappij’ (Tempat perempuan dalam
masyarakat Batak). Masdoelhak setelah pulang ke tanah air diangkat Soekarno
menjadi Residen pertama Sumatra Tengah (Sumatra Barat dan Riau) yang
berkedudukan di Bukit Tinggi. Pada fase ibukota RI pindah ke Yogyakarta,
diangkat menjadi penasehat Soekarno dan Hatta di bidang hukum. Masdoelhak
adalah satu-satunya pejabat bergelar doktor di lingkaran inti pemerintahan
Indonesia di Yogyakarta. Pada saat agresi militer kedua, saat Yogyakarta
diserang, Masdoelhak yang pertamakali diculik intelijen/militer Belanda dan
lalu pada tanggal 21 Desember 1948 ditembak. Peristiwa penembakan ini membuat
PBB marah besar karena militer telah membunuh intelektual berbakat. (Masdoelhak
baru diberi gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2006).
Apakah ini serba kebetulan?
Peraih gelar doktor (Ph.D) pertama di Indonesia terkait dengan dua wanita
pertama yang memiliki pendidikan Eropa, yakni: RA Kartini dan Alimatoe Saadiah.
Gelar Ph.D kaum laki-laki pertama diraih oleh kakak kandung RA Kartini dan
gelar Ph.D kaum perempuan pertama diraih oleh anak kandung Alimatoe Saadiah.
Lantas apakah juga kebetulan dari delapan pertama peraih gelar Ph.D terbanyak berasal
dari Afdeeling Mandailing dan Angkola (Afdeeling Padang Sidempoean) Residentie
Tapanoeli sebanyak tiga orang: Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi; Ida
Lomongga Nasution dan Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia. Lima yang
lainnya: Residentie Semarang (2 orang); Residentie Soerabaja (1 orang);
Residentie Banten (1 orang) dan Residentie Manado (1 orang).
Boedi Oetomo dan Medan Perdamaian
Budi Utomo (ejaan van
Ophuijsen: Boedi Oetomo) adalah sebuah organisasi pemuda yang didirikan oleh Dr.Soetomo
dan para mahasiswa STOVIA yaitu Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeraji pada
tanggal 20 Mei 1908. Digagaskan oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo. Organisasi ini
bersifat sosial, ekonomi, dan kebudayaan tetapi tidak bersifat politik.
Berdirinya Budi Utomo menjadi awal gerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan
Indonesia walaupun pada saat itu organisasi ini awalnya hanya ditujukan bagi
golongan berpendidikan Jawa. Saat ini tanggal berdirinya Budi Utomo, 20 Mei,
diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Wikipedia).
Itulah yang kita tahu dalam sejarah
pendidikan nasional selama ini, sejarah pendidikan, sejarah kebangkitan bangsa
dan sejarah awal kemerdekaan Indonesia. Lukisan ini tampaknya hanya sebatas
gambaran di Jawa, tidak menggambarkan lukisan di seluruh Indonesia. Indonesia
doeloe adalah Indonesia masa kini dari Sabang hingga Merauke.
Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 20-02-1900 |
Organisasi sosial Medan Perdamaian
digagas oleh Dja Endar Moeda, ayah dari Alimatoe Saadiah. Direktur pertama
Medan Perdamaian adalah Dja Endar Moeda sendiri (lihat De locomotief:
Samarangsch handels- en advertentie-blad, 21-08-1902). Organisasi multi etnik
ini di Padang kemudian diteruskan oleh Muhamad Safei dan masih eksis di Padang
pada tahun 1912 (lihat De Sumatra post, 26-04-1912). Pada tahun 1907 Medan
Perdamaian juga didirikan di Medan dan Fort de Kock. Organisasi cabang Medan
Perdamaian di Medan ini membentuk klub sepakbola bernama Medan Perdamaian yang
ikut berkompetisi tahun 1908 di Medan. Medan Perdamaian juga didirikan di
Palembang (lihat De Indische courant, 25-09-1922) dan juga eksis di Batavia.
Organisasi sosial Medan Perdamaian Batavia ini dipimpin oleh Mohamad Sjafe'i
dengan wakil Tjik Nang (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 10-07-1926). Dalam perkembangan lebih lanjut organisasi
Medan Perdamaian juga didirikan di Pematang Siantar dan mendapat badan hokum
tahun 1931 (lihat De Sumatra post, 12-02-1931). Pada tahun 1932 Medan
Perdamaian mendapat saingan dari organisasi sosial Taman Persahabatan (lihat De
Sumatra post, 15-12-1932).
Oleh karena itu,
organisasi Medan Perdamaian didirikan jauh sebelum organisasi Boedi Oetomo.
Organisasi Boedi Oetomo dibentuk pada bulan Mei 1908 di Batavia dan melakukan
kongres yang pertama pada bulan Oktober 1908 di Djogjakarta. Ini mengindikasikan
bahwa organisasi Boedi Oetomo bukan yang pertama di Indonesia. Hal ini dapat
diperhatikan berita yang dimuat dalam Soerabaijasch handelsblad, 20-10-1908.
De locomotief: Samarangsch handels-
en advertentie-blad, 21-08-1902: ‘Pada pertemuan asosiasi Boedi Oetomo, yang
diselenggarakan di Djokdjakarta 3 Oktober 1908 (Kongres pertama Boedi Oetiomo,
red) pemerintah menanggapi pertanyaan dari Bupati Temanggoeng bahwa di luar
Djawa sudah ada asosiasi sejenis. (seperti misalnya) Medan Perdamaian di Fort
de Kock yang didirikan 17 Oktober 1907. Organisasi Medan Perdamaian
(sebagaimanai) diketahui bertujuan untuk mewakili kepentingan anggota dan
populasi dalam satu kata: kemajuan. Untuk mencapai tujuan, organisasi Medan
Perdamaian telah diputuskan menerbitkan majalah (maandelijksch) yang akan
dicetak dan diterbitkan oleh penerbit pribumi Dja Endar Moeda di Padang yang
akan berisi ilmu sehari-hari yang berguna dan yang diperlukan di bidang
pertanian, peternakan, industri, pendidikan, kesehatan di kampung, keadilan,
dll. Organisasi (cabang) Fort de Kock ini sudah memiliki anggota 700 orang’.
De Locomotief, 21-08-1902 |
Dari berita ini jelas menunjukkan
bahwa para peserta kongres pertama Boedi Oetomo sendiri sudah mengetahui adanya
Medan Perdamaian (suatu organisasi yang telah didirikan sejak 1900). Organisasi
Medan Perdamaian adalah organisasi yang tidak eksklusif bagi dirinya sendiri. Organisasi
Medan Perdamaian ketika masih dipimpin oleh direktur (ketua) Dja Endar Moeda
pada tahun 1902 sebagaimana dilaporkan De Locomotief (edisi 21-08-1902) bahkan
telah memberi sumbangan bagi peningkatan pendidikan di Semarang sebesar f14.490
yang diserahkan melalui Charles Adrian van Ophuijsen yang saat itu menjabat
sebagai Direktur Pendidikan Province Sumatra;s Westkust (Pantai Barat Sumatra).
Charles Adrian van Ophuijsen adalah guru Dja Endar Moeda di Kweekschool Padang
Sidempoean. Ejaan van Ophujsen akan teringat
nama guru CA van Ophuijsen.
Ini dengan sendirinya menunjukkan
bahwa Medan Perdamaian, organisasi sosial pribumi pertama di Indonesia
membuktikan sifatnya yang memang multi etnik dengan sasaran seluruh populasi
(pribumi) di seluruh Nederlandsch Indie (Hindia Belanda). Sekadar diketahui,
arsitektur organisasi (baru) Boedi Oetomo sesungguhnya adalah copy paste dari
organisasi (lama) Medan Perdamaian. Hanya saja bedanya: Medan Perdamaian tetap
cenderung bersifat multi etnik (nasional), sedangkan Boedi Oetomo cenderung
bersifat terbatas di Jawa (kedaerahan).
Dokumen Pengurus Indische Vereeniging, 1908 |
Melalui Indische Vereeniging, proses
kesadaran berbangsa ditumbuhkembangkan oleh Soetan Casajangan. Organisasi anak
negeri ini dibentuk dengan tujuan untuk memajukan kemakmuran dan peningkatan
pendidikan pribumi. Oleh banyak pihak, para pakar etika di negeri Belanda,
Soetan Casajangan dianggap sebagai pelopor pribumi dan oleh para akademisi
Indonesia, Soetan Casajangan dianggap sebagai peletak dasar kesadaran kebangsaan
Indonesia dan penentu orientasi kesatuan Indonesia.
Kecerdasan dan
keberanian Soetan Casajangan di Belanda dengan cepat diketahui umum, karena itu
Soetan Casajangan diundang oleh Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi
para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) untuk
berpidato dihadapan para anggotanya. Dalam forum yang diadakan pada tahun 1911,
Soetan Casajangan, berdiri dengan sangat percaya diri dengan makalah 18 halaman
yang berjudul: 'Verbeterd Inlandsch Onderwijs' (peningkatan pendidikan
pribumi): Berikut beberapa petikan penting isi pidatonya.
Geachte Dames en Heeren! (Dear
Ladies and Gentlemen).
‘...saya selalu berpikir tentang
pendidikan bangsa saya...cinta saya kepada ibu pertiwa tidak pernah
luntur...dalam memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung
mengemukakan yang seharusnya..saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir
dalam forum ini). Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku
untuk saya dan juga untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang
indah. Bukan hanya ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan
yang lebih tinggi...hak yang sama bagi semua...sesungguhnya dalam berpidato ini
ada konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya (melihat
ketidakadilan dalam pendidikan pribumi).
Pidato ini tentu saja
sangat menyentak para pakar Belanda yang hadir dalam forum itu. Poinnya adalah ketidakadilan
dalam pendidikan semua pribumi antara ‘coklat’ (pribumi) dengan ‘putih’
(Belanda). Kata kuncinya adalah persatuan (semua pribumi) dan pertentangan
(pribumi dan penjajah) yang menjadi awal munculnya kebangkitan bangsa. Persatuan
sudah muncul di Medan Perdamaian tetapi pertentangan belum muncul. Sedangkan pada
Boedi Oetomo baik persatuan dan pertentangan tidak ditemukan. Indische
Vereeniging melalui ketuanya Soetan Casajangan persatuan dan pertentangan ini dipertegas.
Bagaimana pendirian Soetan Casajangan bermula? Surat kabar Telegraaf pernah
mewawancarai Soetan Casajangan di Amsterdam yang dilansir Bataviaasch
nieuwsblad, 02-07-1907 (hanya mengutip beberapa saja di sini).
‘…mengapa anda mengambil risiko jauh
studi kesini meninggal kesenangan di kampungmu, calon koeria, yang seharusnya
sudah pension jadi guru dan anda juga harus rela meninggalkan anak istri yang
setia menunggumu…anda tahu untuk masyarakat saya, masih banyak yang perlu
dilakukan, kami punya mimpi, kami diajarkan dengan baik oleh guru
Ophuijsen….tapi kini masyarakat kami sudah mulai menurun dan melemah pada semua
sendi kehidupan.. saya punya rencana pembangunan dan pengembangan lebih lanjut
dari penduduk asli di Nederlandsch Indie (Hindia Belanda)..saya mengajak
anak-anak muda untuk datang ke sini (Belanda) agar bisa belajar banyak..’
Pendirian Soetan
Casajangan ini tentu saja sudah ada sejak menjadi guru di kampungnya di Padang
Sidempoean. Ketika berangkat ke Belanda tahun 1905, Soetan Casajangan terlebih
dahulu ke Padang menemui Dja Endar Moeda yang baru mendapat cucu Ida Loemongga
dari putri pertamanya Alimatoe Saadiah. Dja Endar Moeda, pendiri Medan
Perdamaian adalah kakak kelas Soetan Casajangan di Kweekschool Padang
Sidempoean. Oleh karenanya, pendirian Soetan Casajangan tidak berdiri sendiri,
tetapi ada yang memulainya, dan ketika cita-cita mulai dirasakan berbelok dalam
pembentukan Boedi Oetomo, Soetan Casajangan cepat memberi reaksi dengan mengikat
mahasiswa dalam persatuan dan kesatuan dalam wujud pendirian Indische
Vereeniging. Inilah awal persatuan dan kesatuan bangsa yang sejatinya menjadi
awal kebangkitan bangsa Indonesia.
Buku Soetan Casajangan, 1913 |
Dalam buku ini
terang-terangan Soetan Casajangan menyinggung Undang-Undang di Hindia Belanda
yang membatasi konsesi untuk warga
pribumi yang mana menurut Soetan Casajangan hanya orang Eropa hak konsesi dapat
diberikan sementara penduduk pribumi asli haknya justru dirampas. Lebih lanjut,
Soetan Casajangan mengutarakan tuntutan yang sangat mendasar bahwa persamaan di
hadapan hukum bagi orang pribumi dan orang Belanda harus dengan segera
diwujudkan. Menurut Soetan Casajangan di
Belanda sendiri tidak semua orang sifat, tabiat dan kebajikannya sama tapi toh
diperlakukan sama di hadapan hukum. Di Hindia Belanda mengapa tidak? Untuk itu,
menurut Soetan Casajangan pemerintah Belanda juga harus menyelenggarakannya di
bidang pendidikan termasuk pengadaan beasiswa. Dalam buku ini, buku yang
pertama ditulis oleh seorang pribumi dengan bernada politis, Soetan Casajangan
juga menuntut kepada pihak pemerintah Belanda hal yang sama di bidang
penerangan pertanian dan penggalakan perdagangan. Dengan kesamaan hukum
tersebut pribumi akan mendapat kemajuan yang sama dengan orang-orang Belanda
baik di bidang pendidikan, pertanian maupun perdagangan. Tulisan Soetan
Casajangan ini juga mengkritik disparitas harga kopi dimana harga jual kopi
lokal hanya dihargai sebesar f40 per pikul sementara harga jual kopi di pasar
Eropa berkisar f70-f90 (rata-rata dua kali lipat per pikul).
Itulah Soetan Casajangan, seorang
guru yang berpendidikan tinggi dengan melakukan metode revolusi diam (smart
revolution) untuk menentang Belanda. Sebaliknya, orang-orang Belanda juga
melakukan revolusi diam umtuk menentang pribumi dengan mengumpulkan (kembali) surat-surat
almarhum RA Kartini dan menjadikannya sebuah buku dengan judul oleh JH
Abendanon dengan judul Door Duisternis Tot Licht yang diterbitkan tahun 1911.
Surat-surat RA Kartini (yang sebagian merupakan surat-surat yang bersifat
rahasia kepada teman-temannya) mengindikasikan tentang impiannya tentang,
hambatan yang dihadapi untuk meraihnya dan berbagai permasalahan sekitar
(lingkungan budaya Jawa). Soetan Casajangan (pribumi) dan Abendanon (Belanda)
pada tahun-tahun itu adalah dua tokoh penting beda ras, dua matahari yang
bertentangan.
RA Kartini dan Willem Iskander hidup dan memiliki
cita-cita di era yang berbeda. Keduanya muncul diantara penduduk dan
mempelopori perlunya pendidikan. RA Kartini meski cita-citanya belum terwujud
sepenuhnya, karena meninggal sebelum waktunya, namun cita-cita RA Kartini
tersebut masih bisa diteruskan oleh pihak yang lain dengan terbentuknya Yayasan
Pendidikan RA Kartini yang menyelenggarakan Kartini School yang idenya dimulai
di Semarang tahun 1912 (Algemeen Handelsblad, 06-12-1912). RA Kartini dianggap
sebagai pelopor pendidikan bagi kaum perempuan karena itu nama sekolahnya
disebut Kartini School.
Kartini School dibuka di sejumlah tempat, seperti di Semarang (Het nieuws
van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07-08-1913); di Batavia (De Sumatra post, 13-01-1914);
di Buitenzorg (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 26-04-1915); di
Malang tahun (lihat De Telegraaf, 20-01-1916); di Chirebon (Het nieuws van den
dag voor Nederlandsch-Indie, 31-01-1916); di Rembang (Het nieuws van den dag
voor Nederlandsch-Indie, 16-08-1917); di Soerabaja (De Preanger-bode, 08-02-1917);
di Kertosono (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 21-07-1919); di
Magelang (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 04-07-1953).
Di Bandoeng sekolah sejenis Kartini School sudah ada sejak 1904 yang dirintis
oleh Dewi Sartika (lihat De Telegraaf, 19-02-1929).
Jauh sebelum RA Kartini mempelopori perlunya pendidikan
bagi kaum wanita, di Afdeeling Mandailing dan Angkola (Residentie Tapanoeli)
seorang siswa bernama Si Satie berkeinginan kuat untuk menempuh sekolah guru ke
Belanda. Si Sati Nasution berangkat ke Belanda pada tahun 1957. Si Satie yang
mengubah namanya menjadi Willem Iskander [kombinasi nama Raja Willem III dan
pemikir terkenal dari Rusia yang bermukim di Inggris, Iskander Hertz] lulus
tahun 1861 dan mendirikan sekolah guru (kweekschool di Tano Bato. Dalam
beberapa tahun sekolah guru yang dirintis oleh Willem Iskander ini menjadi
sekolah guru terbaik di Nederlandsche Indie (baca: Indonesia). Penilaian ini
langsung dari Inspektur Pendidikan JA Van der Chijs di Batavia berdasarkan
laporan pendidikan tahunan.
Saat Willem Iskander mulai membangun sekolah guru di Residentie Tapanoeli
terdapat sebanyak enam sekolah negeri. Jumlah ini bertambah empat menjadi
sepuluh buah pada tahun 1864. Dari sepuluh sekolah negeri tersebut delapan buah
berada di Afdeeling Mandailing dan Angkola (dua yang lainnya di Sibolga dan
Natal). Lihat Hoeven 1864.
Penilaian JA Van der Chijs ini awalnya terungkap di surat
kabar Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels, nieuws- en
advertentieblad, 20-03-1865: ‘Izinkan saya mewakili orang yang pernah ke daerah
ini. Di bawah kepemimpinan Godon daerah ini telah banyak berubah, perbaikan
perumahan, pembuatan jalan-jalan. Satu hal yang penting tentang Godon telah
membawa Willem Iskander studi ke Belanda dan telah kembali kampungnya. Ketika
saya tiba, disambut oleh Willem Iskander, kepala sekolah dari Tanabatoe diikuti
dengan enam belas murid-muridnya, Willem Iskander duduk di atas kuda dengan
pakaian Eropa murid-muridnya dengan kostum daerah….Saya tahun lalu ke tempat
dimana sekolah Willem Iskander didirikan di Tanobato…siswa datang dari seluruh
Bataklanden…mereka telah diajarkan aritmatika, ilmu alam, prinsip-prinsip
fisika, sejarah, geografi, matematika…bahasa Melayu, bahasa Batak dan bahasa
Belanda….saya sangat puas dengan kinerja sekolah ini’.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
14-11-1868 yang mengutip dari surat kabar Soerabayasch Handelsblad edisi 5
November sangat menyentuh: ‘Mari kita mengajarkan orang Jawa, bahwa hidup
adalah perjuangan. Mengentaskan kehidupan yang kotor dari selokan (candu
opium). Mari kita memperluas pendidikan sehingga penduduk asli dari kebodohan’.
Orang Jawa, harus belajar untuk berdiri di atas kaki sendiri. Awalnya Chijs
mendapat kesan (sebelum ke Tanobato) di Pantai Barat Sumatra mungkin diperlukan
seribu tahun sebelum realisasi gagasan pendidikan (sebaliknya apa yang
dilihatnya sudah terealisasi dengan baik). Kenyataan yang terjadi di Mandailing
dan Angkola bukan dongeng, ini benar-benar terjadi, tandas Chijs’
Revolusi diam yang dilakukan oleh Willem Iskander telah
dengan sendirinya menyadarkan sebagian orang-orang Belanda. Willem Iskander
telah berlari jauh meninggalkan cara-cara pemerintah (Belanda) menangani
pendidikan pribumi. Kontras pendidikan di Mandailing dan Angkola membuat
menganga pendidikan di Jawa. Pemerintah mulai digugat. Iskander Effect mulai
bergaung di Jawa.
Arnhemsche courant, 13-11-1869: ‘…Hanya ada 7.000 siswa dari jumlah
populasi pribumi yang banyaknya 15 juta jiwa di Jawa. Anggaran yang
dialokasikan untuk itu kurang dari tiga ton emas. Hal ini sangat kontras
alokasi yang digunakan sebanyak 6 ton emas hanya dikhususkan untuk pendidikan
28.000 orang Eropa… lalu stadblad diamandemen untuk mengadopsi perubahan yang
dimenangkan oleh 38 melawan 26 orang yang tidak setuju’.
Algemeen Handelsblad, 26-11-1869: ‘…kondisi pendidikan pribumi di Java
adalah rasa malu untuk bangsa kita (Belanda). Dua atau tiga abad mengisap
bangsa ini, berjuta-juta sumber daya penghasilan telah ditransfer ke ibu
pertiwi (Kerajan Belanda), tapi hampir tidak ada hubungannya untuk peradaban
pribumi di sini (Hindia Belanda)…’.
Langkah pertama yang akan
dilakukan di Jawa adalah untuk
melanjutkan pengembangan pendidikan di 15 ibukota kabupaten, dimana tidak ada
sekolah berada selama ini. Namun tidak disebutkan nama-nama 15 ibukota
afdeeling tersebut. Jika jumlah ibukota tahun 1865 sebanyak 23 maka baru
delapan ibukota yang memiliki sekolah. Selain itu, adanya kemajuan pendidikan
tak terduga di Mandailing dan Angkola menyadarkan pemerintah untuk segera
membangun sekolah guru di Bandoeng. Tahun 1865 Kweekschool Tanobato sendiri diakuisisi
pemerintah dan dijadikan sekolah guru negeri. Kweekschool Bandoeng mulai dibuka
tahun 1866, Dengan demikian sekolah guru negeri menjadi empat buah: Soerakarta
(1852), Fort de Kock (1856), Tanobato (1865) dan Bandoeng (1866).
Laporan Chijs juga mengindikasikan
sekolah guru di Fort de Kock gagal total. Menurut Chijs sekolah guru Fort de
Kock tidak pantas memakai nama sekolah guru. Sebaliknya sukses besar di
Tanobato. Laporan Chijs menggarisbawahi siswa-siswa Tanobato juga belajar tiga
bahasa sekaligus. Menurut Chijs di sini (maksudnya Tanobato) bahasa Melayu
diajarkan oleh orang non Maleijer, di negara non-Melayu dengan sangat baik.
Buku Braven Hendrik yang terkenal di Eropa telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Mandailing/Angkola.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
25-03-1874: ‘Dengan keputusan tanggal 6 bulan ini, Radja mengambil keputusan
yang diperlukan di bawah otorisasi untuk mengirim kepala sekolah di kweekschool
untuk guru Inlandsche di Tanah-Bato (Sumatera’s Westkust), Willem Iskander, dan
tiga pribumi lainnya, ke Belanda, agar untuk dilatih studi dua tahun lebih
lanjut untuk pendidikan inlandsch. yang dirancang untuk menemani Iskandcr,
pemuda Batak Si Banas, Soendauees mas Ardi Sasmita, sekarang menjadi guru di
sekolah asli Madjalengka (Cirebon) dan Soerono, guru di Soerakarta. Sehubungan
dengan keberangkatan Iskander sementara menutup perguruan tinggi untuk
Tanah-Batoe’.
Pada bulan April 1874
Willem Iskander bersama Banas Lubis, Ardi Sasmita dan Raden Mas Surono bertolak
dari Tandoung Priok ke Negeri Belanda dengan kapal Prins van Oranje. Mereka
tiba di bandar Amsterdam pada tanggal 30 Mei 1874. Namun sangat disayangkan
pionir pembaharu Willem Iskander dan calon pembaharu ini (Banas, Soerono dan
Sasmita) tidak kembali. Satu per satu mereka dilaporkan telah meninggal dunia.
Jika Willem Iskander adalah orang Indonesia pertama studi ke Belanda (1857)
maka tiga guru muda ini adalah yang kedua studi ke Belanda.
Sejak itu tidak ada lagi
orang Indonesia berangkat studi ke Belanda. Orang pribumi yang menyusul
kemudian untuk studi di Belanda adalah Raden Mas Ismangoen Danoe Winoto di
sekolah pelatihan di Delft. Lalu kemudian menyusul Raden Mas Kartono, kakak
kandung RA Kartini yang berangkat tahun 1896 untuk kuliah di politeknik Delf
untuk mempelajari bahasa-bahasa Nusantara (Indologi). Kemudian putra Soeltan
Kutai dan putra Bupati Madioen.
Pada tahun 1879
Kweekschool Padang Sidempoean dibuka (tahun ini bertepatan dengan lahirnya RA
Kartini). Tentu saja Willem Iskander tidak mungkin lagi menjadi direktur
sekolah. Yang menjadi direktur adalah LK Harmsen, sarjana bahasa lulusan negeri
Belanda. Lalu kemudian salah satu guru di Kweekschool Padang Sidempoean CA van
Ophuijsen dipromosikan menjadi direktur sekolah. CA van Ophuijsen diangkat guru
tahun 1881 dan menjadi direktur tahun 1887.
Dua lulusan Kweekschool Padang
Sidempoean adalah Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda (1884) dan Radjioen Harahap
gelar Soetan Casajangan (1887). Dja Endar Moeda pada tahun 1884 ditempatkan
sebagai guru di Batahan, kemudian Air Bangis, dan Singkel. Setelah delapan
tahun mengabdi, Dja Endar Moeda pensiun (1891) dan berangkat haji ke Mekkah.
Dalam perkembangannya Dja Endar Moeda memulai mendirikan sekolah swasta di Kota
Padang dan kemudian pada tahun 1900 mengakuisis surat kabar dan percetakan
Pertja Barat. Tahun inilah Dja Endar Moeda menggagas didirikan perstuan
Indonesia yang disebut Medan Perdamaian. Sementara itu Soetan Casajangan
setelah lulus pada tahun 1887 ditempatkan menjadi guru di Simapil-apil (dekat Padang
Sidempoean). Idem dito: setelah mengabdi sebagai guru (lebih dari 10 tahun)
Soetan Casajangan pensiun dan mulai memikirkan studi ke Belanda. Beberapa tahun
Soetan Casajangan, pada umur 30 tahun pada tahun 1905 Soetan Casajangan berangkat
studi ke Belanda dan kemudian mendirikan organisasi mahasiswa (Indische
Vereeniging) tahun 1908. Saat itu jumlah mahasiswa Indonesia di Belanda baru
berjumlah 20 orang termasuk RM Kartono, kakak kandung RA Kartini.
Pada tahun 1893
Kweekschool Padang Sidempoean. Meski demikian, lulusannya sudah cukup banyak
dan menyebar, selain di Residentie Tapanoeli juga di Residentie Riaouw, Oost
Sumatra, Atjeh dan Djambie. Oleh karena Kweekschool Padang Sidempoean ditutup,
maka siswa-siswa sekolah dasar diarahkan untuk masuk ke Kweekschool di Fort de
Kock. Salah satu siswa yang diterima di sekolah guru ini adalah Alimatoe
Saadiah, putri Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda, seorang guru dan pemilik
sekolah di Kota Padang. Sementara itu, sejumlah anak-anak Mandailing dan
Angkola mulai diterima di ELS (Europessch Lager Onderwijs) Padang Sidempoean.
Sebagaimana RA Kartini memasuki Europessch
Lager Onderwijs (ELS) di Koedoes (Residentie Semarang), anak-anak afdeeling Mandailing
dan Angkola (Residentie Tapanoeli) di ELS Padang Sidempoean banyak yang
diterima. Lulusan ELS Padang Sidempoean ini umumnya melanjutkan pendidikan yang
lebih tinggi,ke sekolah kedokteran,
Docter Djawa School di Batavia. Tiga yang terkenal adalah Si Ahmat yang satu
kelas dengan Dr. Wahidin dan Abdul Hakim dan Abdul Karim yang sekelas dengan
Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Dr. Abdul Hakim Nasution kelak dikenal sebagai wali
kota pribumi pertama di Kota Padang. Satu lagi lulusan ELS Padang Sidempoean
adalah Dr. Radjamin Nasoetion (teman sekelas Dr. Soetomo) di STOVIA (yang nama
Docter Djawa School berubah tahun 1902). Kelak Dr. Radjamin Nasution dikenal
sebagai wali kota pribumi pertama di Kota Soerabaja. Docter Djawa School
sendiri dibuka tahun 1951 di Batavia di Weltevreden (RSPAD yang sekarang). Pada
tahun 1954 dua siswa dari Mandailing dan Angkola bernama Si Asta dan Si Angan
diterima di Docter Djawa School. Dua siswa ini merupakan siswa-siswa pertama
yang diterima di Docter Djawa School yang berasal dari luar Jawa. Si Asta
adalah kakak kelas Willem Iskander di sekolah dasar. Dr. Asta kelak dikenal
sebagai ayah dari Mangaradja Salamboewe, editor pertama surat kabar Pertja
Timor di Medan (1902-1908). Setiap dua tahun berikutnya dua siswa asal
Mandailing dan Angkola diterima di sekolah kedokteran ini hingga ke generasi Si
Ahmat (sejaman dengan Dr. Wahidin).
Sejak ditutupnya ELS
Padang Sidempoean tahun 1905, dan dipindahkan ke Sibolga anak-anak Padang
Sidempoean (Afdeeling Mandailing dan Angkola) harus menempuh pendidikan lebih jauh
ke Sibolga, Medan. Padang dan Batavia (ELS, MULO dan HBS).
ELS hanya terdapat di sejumlah tempat:
Batavia, Buitenzorg, Bandaneira, Soerabaja, Koedoes, Padang Sidempoean dan
Sibolga. Semarang, Koedoes. Padang, Medan, Makassar dan Probolinggo, ELS didirikan di Koedoes
(Res. Jepara) pada tahun 1877 (lihat Het nieuws van den dag: kleine courant, 17-04-1877). Guru-guru
yang mengajar di ELS adalah berlisensi Eropa (Sarjana lulusan Belanda(. Dua
pribumi yang pernah tercatat mengajar di ELS adalah Soetan Casajangan di
Buitenzorg (1914) dan Mr. Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D
(Menteri Pendidikan RI yang kedua setelah Ki Hajar Dewantara), Soetan Goenoeng
Moelia adalah kelahiran Padang Sidempoean, saudara sepupu Amir Sjarifoeddin, anak
seorang guru lulusan Kweekschool Fort de Kock. Lulusan ELS ini umumnya melanjutkan
studi ke HBS. Sekolah HBS terkenal di Batavia Prins Hendrik School dan Willem
School. Ida Loemongga, Ph.D bersekolah di HUB Prins Hendrik School Batavia
(lulus 1918).
Tidak adanya lagi Kweekschool dan ELS
di Padang Sidempoean tidak membuat surut anak-anak Padang Sidempoean untuk
melanjutkan pendidikan tinggi. Salah satu dari generasi ini adalah Pangurabaan
Pane. Setelah lulus Kweekschool Fort de Kock, Pangurabaan Pane ditempatkan di
Moearasipongi, Tapanoeli. Dua orang anak Pangurabaan Pane yang terkenal adalah
Sanoesi Pane dan Armijn Pane. Buku RA Kartini yang terkenal
yang ditulis dalam bahasa belanda diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu (baca: Indonesia)
dengan judul Habis Gelap Timbullah Terang oleh Armijn Pane tahun 1920.
Itulah riwayat sekolah guru di Tano Bato dan di Padang
Sidempeoan di afdeeling Mandailing dan Angkola Residentie Tapanoeli. Itulah
riwayat anak-anak Padang Sidempoean di bidang pendidikan sejak 1854. Tokoh
terkenal dari Kweekschool Tano Bato adalah Willem Iskander (pendiri dan kepala
sekolah alumni Belanda 1861). Dua lulusan Kweekschool Tano Bato yang terkenal
adalah Soetan Abdoel Azis dan Mangaradja Soetan. Abdoel Azis adalah ayah dari
Dr. Haroen Al Rasjid Nasution, kakek dari Ida Loemongga. Abdoel Azis adalah
besan dari Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda. Sementara Mangaradja Soetan
adalah ayah dari Soetan Casajangan.
Peringatan hari lahir Kartini oleh PPI di Belanda, 1939 |
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber
utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman,
foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding),
karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari
sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber
disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar