*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Kota Bekasi dalam blog ini Klik Disini
Satu pertanyaan penting tentang sejarah Bekasi adalah sejak kapan penduduk Bekasi mendapatkan pendidikan. Pertanyaan ini sangat sederhana, tetapi tidak mudah untuk menjawabnya jika itu soal masa lampau (sejarah). Sejarah pendidikan di suatu wilayah boleh dikatakan sejarah kualitas penduduk di wilayah. Dalam hal ini, wilayah Bekasi di satu sisi sangat dekat dengan Batavia (kini Jakarta), tetapi pertanyaannya, apakah sedekat itu penduduknya akrab dengan pendidikan?
Satu pertanyaan penting tentang sejarah Bekasi adalah sejak kapan penduduk Bekasi mendapatkan pendidikan. Pertanyaan ini sangat sederhana, tetapi tidak mudah untuk menjawabnya jika itu soal masa lampau (sejarah). Sejarah pendidikan di suatu wilayah boleh dikatakan sejarah kualitas penduduk di wilayah. Dalam hal ini, wilayah Bekasi di satu sisi sangat dekat dengan Batavia (kini Jakarta), tetapi pertanyaannya, apakah sedekat itu penduduknya akrab dengan pendidikan?
Kweekschool Sidempoean, Dir. Normaalschool, Meester Cornelis |
Lalu pertanyaan berikutnya adalah sejak kapan adanya sekolah di Bekasi? Untuk
sekadar diketahui, saat ini Kota Bekasi adalah kota metropolitan yang telah memiliki
ratusan sekolah dasar negeri dan puluhan sekolah menengah pertama dan juga
puluhan sekolah menegah atas. Tentu saja itu semua dimulai dari awal. Jika
akhirnya begini, lalu begitu seperti apa awalnya? Satu yang penting Mr Radjioen
Harahap gelar Soetan Casajangan membangkitkan semangat penduduk Bekasi untuk
mendapatkan hak bersekolah. Untuk itu mari kota telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.
Sumber
utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Prinsip Pendidikan dan Sekolah Pertama di Bekasi
Wilayah Afdeeling Bekasi, bukanlah lahan kosong,
tetapi tanah dan air dengan penduduk yang secara statistik cukup padat. Sebaliknya,
penduduk Bekasi terbilang sebagai penduduk terawal berinteraksi dengan orang
asing (Eropa, Tionghoa dan Arab). Tentu saja yang terpenting, penduduk Bekasi
memiliki satu kelebihan jika dibanding dengan penduduk di wilayah yang lain
yakni akses mudah dan cepat ke pusat pendidikan di Batavia (ibukota
pemerintahan kolonial Belanda). Akumulasi keutamaan penduduk di wilayah Bekasi
seharusnya menjadi keunggulan komparatif dengan wilayah lain. Namun semua itu
menjadi ‘gelap gulita’ ketika kita berbicara tentang pendidikan penduduk.
Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 14-11-1868: ‘Mari
kita mengajarkan orang (di pulau) Jawa,
bahwa hidup adalah perjuangan. Mengentaskan kehidupan yang kotor dari selokan
(candu opium). Mari kita memperluas pendidikan sehingga penduduk asli (pribumi)
dari kebodohan’. Orang Jawa, harus belajar untuk berdiri di atas kaki sendiri.
Awalnya Chijs mendapat kesan (sebelum ke Tanobato) di Pantai Barat Sumatra mungkin
diperlukan seribu tahun sebelum realisasi gagasan pendidikan (sebaliknya apa
yang dilihatnya sudah terealisasi dengan baik). Kenyataan yang terjadi di
Mandailing dan Angkola bukan dongeng, ini benar-benar terjadi, tandas Chijs’.
Arnhemsche
courant, 13-11-1869: ‘Hanya ada 7.000 siswa dari jumlah populasi pribumi yang
banyaknya 15 juta jiwa di (pulau) Jawa. Anggaran yang dialokasikan untuk itu
kurang dari tiga ton emas. Hal ini sangat kontras alokasi yang digunakan
sebanyak 6 ton emas hanya dikhususkan untuk pendidikan 28.000 orang Eropa(.Belanda)…
lalu stadsblad diamandemen untuk mengadopsi perubahan yang dimenangkan oleh 38
melawan 26 orang yang tidak setuju’.
Algemeen
Handelsblad, 26-11-1869: ‘Kndisi pendidikan pribumi di (pulau) Java adalah rasa
malu untuk bangsa kita (Belanda). Dua atau tiga abad mengisap bangsa ini,
berjuta-juta sumber daya penghasilan telah ditransfer ke ibu pertiwi (Kerajan
Belanda), tapi hampir tidak ada hubungannya untuk peradaban pribumi di sini
(Hindia Belanda)’.
Hingga tahun 1870 belum ditemukan suatu
keterangan yang menyatakan di Afdeeling Bekasi sudah terdapat sekolah.
Kenyataan ini tampaknya bersesuaian dengan berita-berita yang dapat dibaca pada
surat kabar sebelumnya. Persoalan pendidikan di Bekasi bukan sendiri, tetapi
gambaran umum yang terjadi di seluruh pulau Jawa. Para pegiat pendidikan kala
itu, terang-terangan menyindir pemerintah dan juga melecut penduduk pribumi.
Pendidikan adalah pendidikan. Para pegiat pendidikan tidak pandang bulu: Mereka
mendukung yang benar dan mengkritisi yang salah. Moralitas manusia (apapun
warna kulitnya) adalah inti prinsip pendidikan itu sendiri. Para pegiat
pendidikan, sejauh ini, meski mereka adalah bagian dari orang-orang kolonial,
mereka tetap konsisten dengan ide (prinsip) pendidikan itu sebagai elemen
universal.
Seperti
halnya para penyiar agama (Islam) atau para misionaris (Kristen)
menyebarluaskan moral agama (ketuhanan), para pegiat pendidikan juga memperluas
jangkauan pendidikan. Mereka pegiatan pendidikan ini adalah orang-orang humanis
yang berbeda dengan rekan sebangsanya yang cenderung rasial. Meski mereka ini
berada di dalam kelompok orang-orang kolonial Belanda tetapi dari sudut pandang
penduduk pribumi, mereka para pegiat pendidikan ini harus dipandang sebagai
pejuang kemanusiaan. Pemerintahan Hindia Belanda pada hematnya tidak tutup mata
tentang pendidikan bagi pribumi, tetapi upaya yang dilakukan sangat lamban.
Masalah inilah yang diserang oleh para pegiat pendidikan. Para pegiat
pendidikan melihat kenyataan pendidikan penduduk pribumi masih jauh dari
normanya.
Orang Belanda di satu sisi memiliki adagium penjajah
adalah penjajah, di sisi lain para pegiat pendidikan merujuk pada gagasan
pendidikan bahwa pendidikan adalah pendidikan. Setelah kelompok rasialis alva
sekian abad, para pegiat pendidikan Eropa/Belanda baru menyadari bahwa apa yang
mereka lakukan tidak ada artinya jika dibandingkan dengan normanya. Mereka
terkejut ketika Inspektur Pendidikan Hindia Belanda ( A van der Chjis) melaporkan
ke publik telah menemukan fakta kenajuan pendidikan di wilayah Mandailing en
Angkola (kini Tapanuli Bagian Selatan). Chjis tidak membayangkan sebelumnya.
Nieuwe
Rotterdamsche courant: staats-, handels, nieuws- en advertentieblad,
20-03-1865: ‘Izinkan saya mewakili orang yang pernah ke daerah ini. Di bawah
kepemimpinan Godon daerah ini telah banyak berubah, perbaikan perumahan,
pembuatan jalan-jalan. Satu hal yang penting tentang Godon telah membawa Willem
Iskander studi ke Belanda dan telah kembali kampungnya. Ketika saya tiba,
disambut oleh Willem Iskander, kepala sekolah dari Tanabatoe diikuti dengan
enam belas murid-muridnya, Willem Iskander duduk di atas kuda dengan pakaian
Eropa, murid-muridnya dengan kostum daerah….Saya tahun lalu ke tempat dimana
sekolah Willem Iskander didirikan di Tanobato…siswa datang dari seluruh
Bataklanden…mereka telah diajarkan aritmatika, ilmu alam, prinsip-prinsip
fisika, sejarah, geografi, matematika…bahasa Melayu, bahasa Batak dan bahasa
Belanda….saya sangat puas dengan kinerja sekolah ini’.
Setelah isu pendidikan ini mengemuka (hingga
tahun 1870), lalu seperti apa perubahan yang terjadi di wilayah Bekasi. Sulit
membayangkan. Hal ini karena baru-baru ini telah terjadi kerusuhan di Bekasi.
Terhadap pelaku kerusuhan proses peradilan masih berlangsung. Namun demikian
ada peluang akan terjadi peningkatan pendidikan bagi penduduk pribumi di
wilayah Bekasi. Ini sehubungan dengan sekolah guru (kweekschool) Bandoeng sudah
menghasilkan lulusan. Para lulusan sekolah guru di Bandoeng cepat atau lambat
akan berdampak positif pada pendidikan di Bekasi.
Sesungguhnya
introduksi pendidikan modern (aksara Latin) belum lama di Afdeeling Mandailing
en Angkola. Itu baru dimulai tahun 1851 (saat mana sekolah guru dididirkan di
Soerakarta). Asisten Residen AP Godon dan atas partisipasi pemimpin lokal
memperkerjakan seorang guru di Afdeeling Mandailing en Angkola. Dua siswa lulusan
dari angkatan pertama ini diterima di sekolah kedokteran di Batavia tahun 1854.
Lulusan berikutnya, ketika sekolah guru didirikan di Fort de Kock (sekolah guru
kedua), Si Sati dari Afdeeling Mandailing dan Angkola justru berkeputusan
melanjutkan sekolah guru ke Belanda tahun 1857. Ternyata Si Sati alias Willem
Iskander berhasil di Belanda dan kembali ke Mandailing tahun 1861 dan
mendirikan sekolah guru di Tanobatoe tahun 1862. Pada tahun 1864 ketika sekolah
guru Tanobato ini belum menghasilkan lulusan, kualitasnya sudah tersiar di
surat kabar. Berita itu berdasarkan laporan Gubernur Sumatra’s Westkust. Pegiat
pendidikan Preanger merespon positif dengan mendirikan sekolah guru di Bandoeng
yang dibuka tahun 1866 (sekolah guru keempat). Setelah pendirian sekolah guru
di Bandoeng inilah Inspektur Pendidikan Hindia Belanda Mr van der Chijs ke Afdeeling
Mandailing en Angkola untuk melihat kemajuan sekolah guru yang didirikan Willem
Iskander. Laporan perjalanan Mr van der Chijs publikasikan di surat kabar. Isi
laporan ini menjadi heboh di (pulau) Jawa. Mulailah bermunculan kritik dari
para pegiat pendidikan terhadap kebijakan pemerintah di bidang pendidikan.
Adanya kegiatan pendidikan di wilayah Bekasi baru
terdeteksi pada tahun 1917. Hal ini sehubungan terbitnya beslit penempatan
seorang guru kelas dua untuk sekolah umum pemerintah bagi pribumi di Bekasi
(lihat Bataviaasch nieuwsblad, 29-01-1917). Yang dimaksud guru kelas dua adalah
untuk membedakan dengan guru kelas tiga. Guru kelas dua berarti merujuk pada sekolah
yang lamanya sekolah adalah dua tahun (sekolah yang hanya mendidik siswa hingga
dua tahun).
Sekolah
untuk orang Eropa/Belanda dibedakan dengan sekolah untuk orang pribumi dan
orang Tionghoa. Sekolah dasar untuk orang Eropa/Belanda disebut Europeechs
Lager School (ELS), sementara untuk pribumi disebut Openbare Inlandsche School.
ELS didirikan di tempat-tempat utama (hoofdplaats) dimana ditemukan banyak
orang Eropa/Belanda. Jika di suatu tempat tidak ada ELS, orang-orang
Eropa/Belanda cenderung memberi pelajaran sendiri kepada anak-anak mereka atau
menggaji guru-guru Eropa dalam pelajaran privat atau mengirimkan anak-anak
mereka ke sekolah berasrama. Dimana terdapat sekolah ELS berbeda dengan apa
yang kita bayangkan pada masa ini. Di Tjibadak terdapat sekolah ELS, sementara
di Soekaboemi tidak ada (lihat De Preanger-bode, 25-12-1918). Sekolah ELS
terdekat dari Bekasi terdapat di Meester Cornelis. Untuk orang Tionghoa juga
mendirikan sekolah sendiri, jika tidak ada sekolah para orang tua yang mampu
mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah berasrama. Sejak 1890 pemerintah juga
membuka slot untuk siswa pribumi (umumnya adalah anak-anak pemimpin lokal atau
pejabat (pegawai) pemerintah.
Selain sekolah yang didirikan oleh pemerintah, di
suatu kota atau kampong juga ditemukan sekolah yang dibangun swadaya oleh
masyarakat (sekolah swasta). Namun hal itu tidak mudah karena keterbatasan jumlah
guru lulusan sekolah guru (kweekschool). Sekolah yang ada di Bekasi, seperti
yang diberitakan tahun 1917 adalah sekolah dasar pemerintah (dua tahun).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar