Kamis, 08 Agustus 2019

Sejarah Tangerang (9): Sejarah Serpong dan Transportasi Sungai, Jalan dan Kereta; Fort VOC Sampoera Hingga Perumahan BSD


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Ada tiga tempat terpenting di daerah aliran sungai Tjisadane tempo doeloe: Moeara (de Qual), benteng Tangerang dan benteng Sampoera (Serpong). Dua yang pertama dapat dilihat pada artikel sebelum ini; sedangkan benteng Sampoera di Serpong akan ditinjau lebih lanjut dalam artikel ini. Tiga tempat ini pada era VOC adalah pusat-pusat pertumbuhan wilayah terawal di Tangerang. Dari tiga tempat inilah Tangerang berkembang seperti yang sekarang.

Kabupaten dan Kota Tangerang serta Kota Tangerang Selatan
Pada masa ini wilayah Tangerang telah menjadi tiga wilayah administratif: Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Origin Kota Tangerang Selatan (Tangsel) sejatinya merujuk pada kampong Serpong. Pada era VOC, di kampong inilah benteng (fort) Sampoera dibangun. Pada masa ini Kota Tangerang berbatasan dengan sungai Tjisadane di sebelah barat dan sungai Pesanggrahan di sebelah timur. Kampong Serpong berada di sisi barat sungai Tjisadane.  
  
Lantas apa hebatnya kampong Serpong? Pada masa ini tidak jauh dari kampong Serpong ini dibangun mega perumahan Bumi Serpong Damai (BSD). Perumahan BSD sebagai icon Kota Tangerang Selatan sudah dikenal secara luas. Namun tidak banyak orang mengetahui bahwa area BSD ini di masa lampau adalah pusat perdagangan terpenting di hulu sungai Tjisadane. Dalam hubungan inilah kita perlu meninjau kembali sejarah Serpon sebagai origin Kota Tangerang Selatan. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.  

Jembatan (dan rel kereta) di desa Serpong di atas sungai Tjisadane
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Fort Sampoera: Land Serpong dan Land Lengkong

Bayangkan sungai Tjisadane dari Moeara di dekat pulau Onrust hingga ke pedalaman di Tjiampea (dekat IPB yang sekarang). Diantara dua titik inilah diletakkan dua buah benteng yakni di Tangerang dan Serpong. Bayangkan pula sungai Tjiliwong dari benteng Noordwijk (kini lokasinya Masjid Istiqlal) hingga ke pedalaman di titik singgung terdekat antara sungai Tjisadane dan sungai Tjiliwong dimanan dibangun benteng yakni benteng Padjadjaran (kini lokasinya persis Istana Bogor). Diantara dua benteng ini (Noordwijk dan Padjadjaran) diletakkan dua benteng yakni di Meester Cornelis dan di Tandjoeng (kini Pasar Rebo). Benteng Serpong (Fort Sampoera) dan Fort Tandjoeng (Pasar Rebo) berada dalam garis lurus (bayangkan anda melalui jalan tol antara Pasar Rebo dan BSD). Dalam konteks pertahanan VOC inilah pengembangan perdagangan dimulai di pedalaman dan kemudian diikuti pembangunan pertanian (pada basis tanah-tanah partikelir).

Benteng (fort) Sampoera (Peta 1724)
Sebelum benteng-benteng dibangun, sudah terlebih dahulu dilakukan ekspedisi-ekspedisi ke pedalaman yang dipimpin oleh militer (ahli pertahanan). Setiap ekspedisi yang dipimpin oleh militer disertai oleh para ahli seperti ahli linguistik, ahli geologi, ahli botani dan ahli geografi sosial serta landmeter. Oleh karenanya penempatan dimana benteng dibangun, meski dimana-mana masih belum ada orang Eropa/Belanda dan wilayah dipenuhi oleh hutan-hutan rimba, di sekitar benteng itulah dimulai peradaban Eropa, pusat perdagangan dan pengembangan lahan pertanian. Gambaran ini dapat kita rasakan pada saat dimana kota-kota tumbuh dan berkembang yang dihubungkan oleh jaringan moda transportasi yang diawali dengan moda transportasi air, kemudian diikuti jalan raya dan disusul kemudian moda transportasi kereta api.

Pada era VOC, pedagang-pedagang VOC sudah sampai ke pedalaman. Pusat Eropa/Belanda di pedalaman berada di Buitenzorg. Transportasi yang awalnya melalui sungai (Tjiliwong, Tjisadane dan Bekasi) secara perlahan digantikan transportasi jalan darat. Sementara para pedagang VOC mulai mengeksploitasi lahan, pemerintah membuat program untuk meningkatkan jalan-jalan tradisonal (jalan lama) dengan bentuk jalan baru yang lebih lebar, lebih keras (padat) dan pembuatan saluran drainase.

Situs tua benteng (fort) Sampoera (Peta 1901)
Pada tahun 1745 Gubernur Jenderal van Imhoff membangun villa di dekat benteng Padjadjaran. Area villa ini lambat laun disebut Buitenzorg. Para pedagang yang berhombase di Buitenzorg secara bertahap mulai merintis perdagangan ke wilayah yang lebih jauh bahkan hingga Preanger. Sementara pembukaan lahan juga diperluas hingga ke Megamendoeng dan Tjiampea..  

Di daerah aliran sungai Tjisadane, awal pembukaan lahan hanya terbatas di sekitar benteng Tangerang, namun secara perlahan meluas hingga ke Serpong (dekat benteng Sampoera). Tidak hanya berhenti di Serpong (melalui jalan sungai), wilayah antara sungai Tjiliwong dan sungai Tjisadane juga dikembangkan lahan-lahan baru seperti di Tjinere dan Pondok Laboe (Simplicitas). Lalu akhirnya pembukaan lahan sampai ke Tjiampea (melalui sungai Tjiosadane dari Serpong).

Pedagang VOC yang pertama membuka lahan di Tjiampea adalah (keluarga) Jeremis van Riemsdijk. Sebelum membuka lahan Tjiampea keluarga Riemsdijk telah lebih dahulu membukia lahan di Antjol dan daerah aliran sungai Bekasi.   

Hingga berakhirnya VOC (1799) wilayah pedalaman antara sungai Tjisadane hingga sungai Tjitaroem sudah terbagi ke dalam lahan-lahan partikelir (land) dan antara batas pantai hingga ke hulu sungai Tjisadane (di Tjiampea), hulu sungai Tjiliwong (di Buitenzorg), hului sungai Bekasi/Tjilengsi (di Tjibaroesa) dan hulu sungai Tjitaroem (di Tjikao/Soeang). Pada era Pemerintah Hindia Belanda (sejak Gubernur Jenderal Daendels. 1808) land partikelir ini semakin diperluas hingga ke batas sungai Tjimanoek di sebelah timur dan batas sungai Tjikande di sebelah barat.

Untuk menghubungkan land-land partikelir ini Gubernur Jenderal Daendels mulai membangun jalan utama (Grootepost-weg) dari Batavia ke Soerabaja via Buitenzorg, Tjiandjoer dan Soemedang dan Tjirebon; dan membangun jalan utama dari Batavia ke Anjer (Banten) melalui Tangerang. Pada era pendudukan Inggris (1811-1816) tidak banyak yang dilakukan pembangunan jalan. Baru setelah Pemerintah Hindia Belanda kembali (setelah 1816) membangun jalan baru dimulai. Jalan baru ini yang utama antara Batavia ke Krawang melalui Bekasi; dan dari Buitenzorg ke Djasinga melalui Tjiampea. Pembangunan jalan ini secara perlahan telah menggantikan moda transportasi sungai.

Setelah terhubungnya tempat-tempat utama oleh jalan raya, pemerintah dan juga para pemilik land mulai membangun kanal-kanal baru di pedalaman untuk meningkatkan suplai air untuk kebutuhan pertanian. Kanal di sisi timur sungai Tjiliwong (osterslokkan) selesai ditingkatkan, mulai dirintis pembangunan kanal di sisi barat sungati Tjiliwong (westerslokkan). Kanal-kanal kecil juga dibangun di sekitar Serpong dan di sekitar Tjiampea.

Javasche courant, 30-01-1836
Pada tahun 1836 pemerintah menetapkan kelas jalan (berdasarkan beslit tanggal  28 Januari 1836). Jalan kelas utama (Eersteljk) yakni jalan-jalan yang berada di dalam kota Batavia dan Buitenzorg. Jalan kelas pertama (Eerste Klasse) adalah jalan penghubung yang sebelumnya dikenal sebagai Grootepost-weg. Jalan kelas dua (Twede Klasse) adalah jalan arteri pada tingkat Regentschap yang terhubung dengan jalan kelas pertama; Jalan kelas tiga (Derde Klasse) adalah cabang jalan dari jalan arteri kelas dua. Dalam beslit ini disebut dari Batavia ke Banten via Tangerang masuk jalan kelas pertama; Jalan kelas dua antara lain dari Tangerang ke Serpong; dari Buitenzorg melalui Tjiampea dan Djasinga ke Banten; dan dari Buitenzorg ke Tangerang via Semplak, Koeripan dan Paroeng (dan Tjipoetat).

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar