Senin, 05 Agustus 2019

Sejarah Tangerang (8): Bendungan di Pasar Baroe dan Sluis di Mookervaart; Jalan Tol Sungai Hingga Bendungan Irigasi Pertanian


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Di Kota Tangerang, salah satu situs tua yang penting adalah bendungan Tangerang di sungai Tjisadane. Tentu saja jangan dilupakan situs kono di Kota Tangerang yakni kanal Mookervaart. Dua situs ini saling terhubung bagaikan bapak-anak: kanal Moekervaart adalah ayah dan bendungan Tangerang adalah anak. Oleh karenanya membicarakan yang satu, juga harus membicarakan yang satunya lagi. Itulah dua situs tua di Tangerang yang masih eksis hingga ini hari.

Kanal dan dam di sungai Tjisadane, Tangerang (Foto udara 1940)
Bendungan Tangerang memiliki banyak nama. Pada masa kini bendungan di Tangerang ini adakalanya disebut bendungan Pintu Sepuluh. Juga sering namanya disebut sebagai bendungan Pasar Baru. Bendungan Tangerang juga dulu ada yang menyebut namanya sebagai bendungan Tjisadane. Namun nama bendungan Tjisadane menghilang karena duplikasi dengan bendungan yang lain di Bogor yang juga disebut bendungan Tjisadane. Untuk sekadar catatan sungai Tjisadane mengalir di kota Buitenzorg (kini Bogor). Lambat laun nama bendungan Tjisadane menghilang apakah yang di Buitenzorg atau yang di Tangerang. Bendungan Tjisadane di Buitenzorg kemudian dikenal dengan nama bendungan Empang (di kampong Empang) dan bendungan Tjisadane di Tangerang disebut bendungan Pasar Baroe (di kampong Pasar Baroe). Ketika nama bendungan Tangerang dan bendungan Tjisadane (meng) hilang, belakangan ini muncul nama lain: Sangego. Nama ini aneh dan tidak ditemukan dalam catatan sejarah. Ada-ada saja.

Lantas seperti apa kisah situs tua ‘bapak-anak’ ini di Tangerang? Tentu saja sejauh ini belum pernah ada yang menulis hubungan kedua situs legendaris ini. Dalam hubungan inilah mengapa sejarah bendungan Pasar Baroe dan kanal Mookervaart disatukan dalam satu artikel. Kanal Mookervaart sendiri selesai dibangun tahun 1687 dan bendungan Pasar Baroe mulai digagas pada tahun 1925. Usia mereka berjarak sekitar dua setengah  abad. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Bendungan Pasar Baroe, Batoe Tjeper dan Tjengkareng di Tangerang

Sluis (pintu air), suatu pintu untuk mengatur aliran air di sungai atau bendungan. Sluis terkenal di dekat benteng Noordwijk (kini area Juanda sekarang). Di atas sluis ini terdapat jalan/jembatan yang kemudian disebut Sluisbrug (jembatan pintu air). Sluis lainnya ditemukan di banyak tempat. Salah satu sluis terkenal adalah Sluis Tangerang. Sluis ini adalah pintu air kanal Mookervaart di sungai Tjisadane.

Bataviasche courant, 21-12-1816
Tidak diketahui kapan sluis Tangerang ini dibuat. Sementara kanal Mookervaart atas inisiatif Cornelis Vincent van Mook selesai dibangun tahun 1687. Kanal ini digunakan untuk menghububungkan Tangerang ke Angke (Batavia) agar pelayaran menjadi lebih pendek jika sebelumnya harus melalui muara sungai Tjisadane. Setiap perahu yang melintas di kanal Mookervaar di Tangerang dari dan ke sungai Tangerang dipungut bayaran (retribusi). Oleh karena itu kanal Mooekervaart menjadi jalan tol sungai. Dalam perkembangannya, di muara kanal ini dibangun sluis, untuk mengatur air yang melalui Mookervaart yang jatuh ke kanal Angke di Batavia. Meski begitu, kanal Mookervaart dari dan ke sungai Tjisadane tetap dibuka untuk pelayaran. Pasca pendudukan Inggris (811-1816) Sluis Tangerang termasuk salah satu properti pemerintah Hindia Belanda yang disewakan kepada swasta (lihat Bataviasche courant, 21-12-1816). Properti lain yang juga disewakan adalah Tollbrug di Pesing.

Setelah hampir satu abad, kanal Mookervaart terindikasi sudah terlalu dangkal karena endapan lumpur. Akibat pendangkalan kanal Mookervaart jika terjadi luapan sungai Tjisadane, area di dua sisi kanal Mookervaart terjadi banjir. Atas dasar penyelidikan ini kanal Mookervaart termasuk salah satu kanal yang akan dinormalisasi (lihat Het rapport van den heer Stieltjes, over verbeterde vervoermiddelen op Java, 1864).

Sejak normalisasi dan revitalisasi kanal Mookervaart ini tidak pernah terjadi sesuatu yang khusus. Sementara jalan yang berada di sisi kanal Mookervaart dari waktu ke waktu terus ditingkatkan kualitasnya. Lalu lintas transportasi air di kanal oleh perahu-perahu bersaing dengan lalu lintas transportasi darat oleh gerobak dan pedati. Fungsi kanal Mookervaart sebagai lalu lintas air (jalan tol) lambat laun semakin berkurang seiring dengan intensitas lalu lintas jalan darat. Meski demikian, kanal Miookervaart masih vital, karena masih menjadi tulang punggung untuk menjaga ketinggian air di kanal-kanal di seputar Batavia untuk lalu lintas transportasi air (terutama di musim kemarau).  Peta 1899

Peta distribusi lahan di district Tangerang, yang sebelumnya didominasi oleh orang Eropa/Belanda telah bergeser kepemilikannya dan umumnya jatuh ke tangan orang-orang Tionghoa. Land Tangerang en Grendeng dan land Karawatji serta land Tjikoja masih dimiliki oleh orang Eropa/Belanda. Sedangkan land-land lainnya umumnya telah dimiliki oleh orang Tionghoa. Land Kampong Malajoe en Dadap dimiliki oleh Luitenant der Chinezen Khouw Oen Djoe (lihat  Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 02-04-1890). Land Tjihoenie dimiliki oleh Tan Keng Hong (lihat  Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 15-07-1890). Land Batoe Tjeper oleh Khouw Jau Hoen (lihat  Bataviaasch nieuwsblad, 20-10-1890). Land Balaradja oleh Khouw Oen Djoe (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 05-11-1890).  Sejumlah lahan dimiliki oleh Ong Hok Tiang dan janda Kipitein Oeij Tjong Piauw yang meliputi land-land di Poris, Tiga Raksa, Panoenggangan, Gondrong, Pondok Kosambi, Pakoelonan dan Babakan Noord (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 22-02-1893). Land Selapadjang Oost oleh Han Hoaij Djin (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 03-07-1894). Land Radjek oleh Lie Chian Siou (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 16-02-1895). Demikian seterusnya.

Pada tahun 1925 muncul suatu memorandum (pemerintah) yang menyoal tentang ekonomi di barat Batavia (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 26-05-1925). Dalam memorandum ini terdapat catatan mengenai permasalahan yang dihadapi di wilayah Tangerang dimana terdapat land-land yang secara perlahan-lahan menghadapi situasi dan kondisi ekonomi yang dilematis dan telah menurun ke tingkat terendah. Jalan yang buruk telah meningkatkan ongkos angkut dan produktivitas pertanian yang tidak menentu karena kerap terjadi banjir. Lalu lintas perdagangan melalui kanal maupun laut yang semakin tidak memadai menambah persoalan. Sementara lahan-lahan di Tangerang masih banyak yang dimiliki oleh para tuan tanah (landheer) dimana pemerintah tidak memiliki hak intervensi.

Satu solusi untuk pembangunan ekonomi di barat Batavia dalam mmorandum ini adalah meingkatkan nilai dari setiap bidang lahan melalui intervensi pemerintah dengan membangunan kanal-kanal baru untuk fungsi drainase dan irigasi yang terintegrasi antara sungai Tjisadane dan kanal Mookervaart. Ini juga akan membantu mengakhiri dampak banjir di sepanjang hilir Sungai Angké dekat Pesing di perbatasan barat ibu kota Batavia. Untuk merealisasikannya, pemerintah perlu membeli land-land yang dimiliki swasta. Namun itu tidak mudah dan akan memerlukan negosisiasi yang lama. Untuk tetap mencapau tujuan tersebut pemebelian land dapat diprioritaskan untuk land-land yang kemungkinan terkena program, yakni land-land yang akan dilewati oleh kanal-kanal baru.

Singkatnya, memorandum 1925 ini telah menginisiasi tentang perlunya pembangunan bendungan di sungai Tjisadane dan sungai Tjidoerian. Pembelian sejumlah land dan pembangunan bendungan dan kanal-kanal ditaksir akan menelan f1 Juta dan diharapkan pada tahun keempat nilai ekonomi yang diperoleh mencapai f2.75 Juta. Bendungan Tjisadane akan mampu mengairi persawahan seluas 57 ribu bau dan bendungan Tjidoerian seluas 17 ribu bau.

Disebutkan dalam memorandum bahwa bedungan Tjisadané harus dilakukan tepat di bawah mulut Mookervaart, dan sehubungan dengan itu harus ditutup dengan sluis. Untuk leperluan irigasi dan perahu, sluis juga harus dibangun di kanal Mookervaart di dekat Batoetjeper dan Tjengkareng, sementara di samping itu kanal harus diperlebar dan diperdalam. Sehubungan dengan drainase dan area yang akan diairi diperlukan standarisasi dan pelebaran bagian hilir sungai Tjisadané, Tjimantjeri dan Tjidoerian sementara bendungan juga perlu diperbaiki. Oleh karena land sudah dibeli di bagian barat Tangerang pelaksanaan irigasi dan drainase di sisi itu dapat segera dimulai. Secara keseluruhan program multi year ini nantinya akan membutuhkan biaya total f10 Juta yang akan dialokasikan dalam 10 tahun. Pada tahun 1926 akan dialokasikan sebesar f500 ribu dan pada tahun 1927 sebesar f750 ribu dan pada tahun-tahun berikutnya sebesar f 1 Juta atau lebih per tahun.

Pembangunan mega proyek irigasi Tangerang menurut memorandum tahun 1925 belum sepenuhnya menyelesaikan masalah jika hanya melihat di hilir. Satu persoalan yang diperhitungkan di masa depan adalah soal kelangsungan debit air sungai Tjisadane. Dalam hal ini, keberhasilan irigasi dataran rendah Tangerang dapat terancam oleh meningkatnya sodetan-sodetan sungai Tjisadane di wilayah hulu. Sejauh ini, sebagian besar daerah tangkapan air di wilayah hulu ditempati oleh land-land partikelir di wilayah Tjiampea yang terletak di sebelah barat Buitenzorg dengan hamparan 50.000 bau termasuk 17.000 bau sawah dengan konstruksi irigasi. Untuk dapat mengantisipasi risiko di masa depan, sejumlah areal hutan hidrologi di land-land di Tjiampea perlu dibeli. Selain itu, bagaimanapun, dari sudut pandang tata kelola juga sangat penting bahwa land-land tersebut di hulu sungai Tjisadane segera berada di bawah pengaruh langsung administrasi pemerintah.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

2 komentar:

  1. Yth admin.
    Terkait memorandum 1925, bolehkah saya mendapatkannya? atau dimana saya harus dapatkan?
    Terima kasih.

    BalasHapus