Senin, 09 Oktober 2023

Sejarah Bahasa (68): Bahasa Gayo Populasi Asli di Wilayah Aceh; Dialek Bahasa Gayo Kalul, Gayo Lut, Gayo Linge, Gayo Lues


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Gayo adalah salah satu suku bangsa yang mendiami dataran tinggi Gayo di Provinsi Aceh bagian tengah. Wilayah tradisional suku Gayo meliputi Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Gayo Lues, dan beberapa sebarannya di Kabupaten Aceh Tenggara. Bahasa Gayo adalah bahasa yang dipakai sebagai bahasa sehari-hari oleh masyarakat Gayo. Bahasa ini termasuk kelompok bahasa yang disebut "Northwest Sumatra-Barrier Islands" dari rumpun bahasa Austronesia.


Bahasa Gayo sebuah bahasa dari rumpun Austronesia yang dituturkan oleh Suku Gayo di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues. Ke 3 daerah ini merupakan wilayah inti suku Gayo. Keberadaan bahasa ini sama tuanya dengan keberadaan orang Gayo “Urang Gayo”. Sementara orang Gayo “Urang Gayo” merupakan suku asli yang mendiami Aceh. Mereka memiliki bahasa, adat istiadat sendiri. Daerah kediaman mereka sendiri disebut dengan Tanoh Gayo (Tanah Gayo). Bahasa Gayo termasuk dalam rumpun bahasa Melayo-Polinesia seperti yang disebutkan Domenyk Eades dalam bukunya A Grammar of Gayo: A Language of Aceh, Sumatra: Salah satu dampak dari pesebaran yang terjadi yaitu adanya variasi dialek pada bahasa Gayo. Namun, untuk kosakata tidak menunjukan pengaruh yang begitu besar. Sebagai contoh, bahasa Gayo yang ada di Lokop, sedikit berbeda dengan bahasa Gayo yang ada di Gayo Kalul, Gayo Lut, Linge dan Gayo Lues. Hal tersebut disebabkan karena pengaruh bahasa Aceh yang lebih dominan di Aceh Timur. Begitu juga halnya dengan Gayo Kalul, di Aceh Tamiang. Dialek Gayo Lut terdiri dari sub-dialek Gayo Lut dan Deret. Dialek Gayo Lues terdiri dari sub-dialek Gayo Lues dan Serbejadi. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Gayo, kelompok populasi asli di wilayah Aceh? Seperti disebut di atas, bahasa Gayo berada diantara bahasa Batak dan bahasa Aceh. Dialek Gayo Kalul, Gayo Lut, Gayo Linge dan Gayo Lues. Lalu bagaimana sejarah bahasa Gayo, kelompok populasi asli di wilayah Aceh? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Gayo, Kelompok Populasi Asli di Wilayah Aceh; Gayo Kalul dan Gayo Lut, Gayo Linge dan Gayo Lues

 Pemberian nama tempat (geografis) adalah satu hal, tentang orang (etnik) dan bahasa (budaya) adalah hal lain lagi. Sejumlah nama sulit ditelusuri, semakin tuan ama itu semakin sulit diketahui asal usulnya. Nama Batak dan nama Atjeh sudah diidentifikasi dalam peta-peta Portugis; nama Sumatra dan Jawa jauh lebih tua lagi. Bagaimana dengan nama Gayo?


Dalam karya PJ Veth yang berjudul Achin en zijne betrekkingen tot Nederland, topographisch-historische beschrijving (1860an) tidak ada menyebut nama Gajo. Hanya nama-nama tempat yang sudah teridentifikasi, termasuk di pedalaman (wilayah Gajo). Pada saat ekspedisi militer ke Atjeh (`1873) juga tidak ada yang menginformasikan nama Gajo. Lalu sejak kapan nama Gajo terinformasikan? Namun sudah lama dikenal nama Gajo di Eropa, termasuk salah satu marga orang Portugis.

Nama Gajo paling tidak sudah terinformasikan pada tahun 1875 (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1875). Penyebutan nama Gajo ini terkait dengan perang Atjeh (1874), Disebutkan setelah mengalami kekalahan besar (1874), para pemimpin Atjeh meminta bantuan kepada para pemimpin Oeloe Gajo di pedalaman. Juga para pemimpin Atjeh juga meminta bantuan kepada para pemimpin di daerah vassal Atjeh (Merdoe dan Pedir di pantai utara dan Tonom di pantai barat). Dalam hal ini orang Gajo di pedalaman adalah wilayah independent yang memiliki hoofdplaat (di Takengon?).


Disebutkan lebih lanjut bahwa ‘bentang alam (Oeloe Gajo, wilayah Gajo pedalama) hanya dapat diakses secara nominal dari Atjeh Besar, terletak jauh di pegunungan yang tidak dapat diakses, dengan tidak ada kota utama dan dengan wilayah pesisir hanya di luar Soesoeh di sebelah barat dan Passangan di sebelah barat. masyarakat pantai timur bisa mengakses; sedangkan jarak mencapai kota utama melalui Passangan minimal 14 hari perjalanan (dari Regas) untuk satu pejalan kaki. Jadi bisa dibayangkan apa yang bisa dilakukan oleh permintaan bantuan yang putus asa ini; dan mengapa masyarakat Oeloe Gajo harus peduli dengan pertempuran, padahal itu bukan urusan mereka?’.

Nama Gajo tampaknya sudah lama dikenal, namun kurang terinformasikan. Terbukti bahwa orang Belanda mengetahui keberadaan kelompok populasi di pedalaman Atjeh (disebut sebagai Oeloe Gajo). Lantas mengapa disebut Oeloe Gajo? Tentu saja ada wilayah yang dikenal sebagai Hilir Gajo.


Penamaan (h)ulu dan (h)ilir pada suatu wilayah yang luas lazim digunakan. Wilayah yang berada di hilir/pesisir secara umum oleh orang Belanda disebut benelanden dan wilayah di pedalaman disebut bovenlanden, seperti Padangsche Benelanden dan Padangsch Bovenlanden. Panamaan Padangsche ini merujuk pada hilir (di Padang); sebaliknya di Gajo di wilayah Atjeh merujuk pada hulu (wilayah pedalaman Gajo sendiri). Tipikal wilayah Gayo ini adalah wilayah-wilayah Batak (Karo, Simalungun, Toba, Silindung, Angkola dan Mandailing) dimana terdapat gunung tinggi dan danau pedalaman. Sejauh yang dapat ditelusuri belum ada orang Eropa yang mengunjungi wilayah Gajo di pedalaman Atjeh. Untuk sekadar menambahkan orang Eropa pertama mengunjungi wilayah Batak (di Angkola) pada tahun 1772 oleh seorang batonis Irlandia Charles Miller; pedalaman Minangkabau tahun 1684 oleh Thomas Dias.

Nama Gajo sudah terinformasikan. Bagaimana situasi dan kondisi di wilayah Gajo mulai menarik perhatian para pemerhati dan peneliti. Dalam jurnal/majalah Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1877 ada satu artikel tentang Gajo yang ditulis oleh Prof PJ Veth dengan judul De Gajo's, een volksstam in de binnenlanden van Atjeh. Dalam edisi ini juga terdapat tulisan yang lain dari PJ Veth berjudul ‘Geographische aanteekeningen omtrent de oostkust van Atjeh’.


De Gajo's, een volksstam in de binnenlanden van Atjeh oleh Prof PJ Veth mendeskripsikan Gajo sebagai suatu kelompok populasi (etnik) di (pedalaman Atjeh). Dalam laporan PJ Veth tidak ada indikasi sudah ada orang Eropa mengunjungi pedalaman Gajo. Besar dugaan PJ Veth hanya mendapatkan informasi di wilayah pesisir seperti di Deli dan Singkil. PJ Veth mengutip peta yang dibuat J Smulders dan C Lit yang dikeluarkan pemerintah (1875) dimana di wilayah pedalaman diidentifikasi nama Alas dan Oeloe Gajo. PJ Veth juga menggunakan laporan L de Scheemaker Asisten Residen di Groot Edi (Pidie) bertanggal 28 Februari. 1875 yang dinyatakan bahwa pedalaman pantai timur Sumatera, dari Oeloe Bila hingga Oeloe Langkat, dihuni oleh orang-orang Batak. Sungai Tamiang menjadi batas wilayah pantai timur dan wilayah Batak dengan wulayah Atjeh.

PJ Veth mendeskripsikan Gajo atau Orang Gajo sepertinya merupakan nama umum suku-suku pedalaman Aceh yang kampung halamannya terbentang hingga Tamiang meluas hingga ke sekitar Atjeh Besar dan juga bagian barat daya pedalaman milik wilayah mereka berdasarkan laporan di Journal der Sumatra, bahwa Kedjoeroean dari Keloeat memberikan banyak pengaruh terhadap mereka. Suku Gajo berbeda dengan suku Batak. Suku Gajo menerima Islam dari Atjeh tetapi tidak ada kompromi untuk urusan adat istiadat.


Dalam laporan Scheemaker yang dikutip Veth, “bahwa Gajo adalah wilayah Batak sebelum berabad-abad menjadi wilayah Gajo; tetapi melalui masuknya mereka ke Islam dan hubungan mereka dengan orang lain, mereka berkembang menjadi suatu bangsa yang terpisah.” Bila ada yang datang dari Tamiang ingin mengunjungi negara Gajo, bisa menempuh tiga jalur berbeda, yaitu Kapoe, Sroebo Djadi dan Kalut. Yang pertama terletak di sungei tengah atau tengah sungai sungei kanan dan kiri. Perjalanannya, dilakukan di air membutuhkan waktu dua atau tiga hari seseorang mencapai tanah Gajo. Orang Gajo berada di bawah pimpinan mereka sendiri, yang terpenting adalah: Radja di Boekit, Badja Parit, Radja Patimbang dan Radja Lingga. Yang terakhir ini pasti berada di kawasan yang sangat indah, berdiam di tepi danau bernama Laoet Tawar. Jumlah Orang Gajo semakin bertambah diperkirakan lebih dari seratus ribu jiwa. Pekerjaan utama suku ini adalah Bertani dan peternakan. Tembakau dan gambir diekspor dalam jumlah besar ke kota-kota pesisir. Mereka kaya akan carabao dan area kawanan domba dalam jumlah besar ditemukan di Radja Linga. Juga kuda-kuda yang digunakan di Deli, yang dikenal sebagai kuda Batak.Orang Gajo yang ditemukan di Perlak cukup baik dalam bahasa Melayu namun jika ditanyakan tentang pedalaman mereka lebih cenderung diam.

Tulisan PJ Veth terbilang singkat tetapi sudah cukup menginformasikan sepintar tentang situasi dan kondisi wilayah Gajo. Namun sayangnya PJ Veth belum menyinggung tentang bahasa mereka orang Gajo di pedalaman.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Gayo Kalul, Gayo Lut, Gayo Linge dan Gayo Lues: Antara Bahasa Batak dan Bahasa Aceh

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar