*Untuk melihat semua artikel Sejarah Indonesia Jilid 1-10 di blog ini Klik Disini
Pada hari ini perayaan kemerdekaan Indonesia 17
Agustus 2025 ada baiknya ditanyakan AI, apakah semasa penjajahan ada tokoh
humanis Belanda. Disebut sejumlah nama: Edward
Douwes Dekker menulis novel "Max Havelaar" mengkritik sistem tanam
paksa dan penindasan terhadap rakyat. Conrad Theodore van Deventer pengacara
dan penulis, salah satu tokoh Politik Etis. Selain itu, Pieter Brooshooft,
seorang jurnalis dan sastrawan, turut menyuarakan penderitaan rakyat akibat
tanam paksa. Fransen van de Putte politikus yang menentang sistem tanam paksa. HH
van Kol politikus dan anggota parlemen Belanda yang aktif dalam gerakan Politik
Etis.
Eduard Douwes Dekker dikenal dengan nama pena Multatuli. Ia adalah seorang penulis Belanda yang terkenal karena novel satirnya, Max Havelaar, yang mengkritik perlakuan buruk penjajah terhadap penduduk pribumi di Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Herman Neubronner van der Tuuk, disingkat H.N. van der Tuuk, adalah seorang ahli bahasa berkebangsaan Belanda yang lahir pada 24 Oktober 1824 di Malaka. Ia dikenal sebagai peletak dasar linguistik modern untuk beberapa bahasa di Nusantara, seperti bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Batak Toba, Lampung, Kawi (Jawa Kuno), dan Bali. Alexander Philippus Godon lahir di Utrecht 8 Januari 1816. Saat berusia 20 tahun Ia pergi ke Hindia Belanda dan tiba di Batavia 1836. Di Hindia Belanda ia berkenalan dengan Eduard Douwes Dekker atau Multatuli, Mereka memulai kariernya sebagai Kontrolir di Natal, Mandailing Natal, dan menjadi sahabat. AP Godon dan Multatuli dikenal sebagai orang yang humanis. Charles Adriaan van Ophuijsen lahir 31 Desember 1854 adalah seorang linguis Belanda kelahiran Solok. Ia berperan dalam perumusan Ejaan van Ophuijsen yang digunakan di Hindia Belanda sebelum digantikan dengan Ejaan Republik (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah Edward Douwes Dekker, HN van der Tuuk, AP Godon dan Charles Adrian van Ophuijsen? Seperti disebut di atas hanya ada beberapa saja yang tercatat sebagai orang Belanda yang humanis. Siapa mereka? Lalu bagaimana sejarah Edward Douwes Dekker, HN van der Tuuk, AP Godon dan Charles Adrian van Ophuijsen? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. Dalam hal ini saya bukanlah penulis sejarah, melainkan hanya sekadar untuk menyampaikan apa yang menjadi fakta (kejadian yang benar pernah terjadi) dan data tertulis yang telah tercatat dalam dokumen sejarah.
Edward Douwes Dekker, HN van der Tuuk, AP Godon dan Charles Adrian van Ophuijsen; Siapa Mereka?
Edward Douwes Dekker dan Alexander Philippus Godon berada dalam satu generasi. Sedangkan Herman Neubronner van der Tuuk dan Charles Adrian van Ophuijsen datang berturut-turut pada generasi selanjutnya. Edward Douwes Dekker dan Alexander Philippus Godon mengawali karir sebagai pejabat pemerintah. Pada akhir karir Edward Douwes Dekker menjadi penulis yang produktif termasuk novel Max Havelaar; sementara Alexander Philippus Godon menjadi politisi di kampong halamannya. Bagaimana dengan Herman Neubronner van der Tuuk dan Charles Adrian van Ophuijsen? Keduanya adalah ahli bahasa yang begitu memahami apa yang diinginkan penduduk.
Karena pengetahuannya tentang bahasa Batak, Herman Neubronner van der Tuuk menganggap perlu untuk menjaga hubungan rahasia dengan orang Batak; akibatnya, Herman Neubronner van der Tuuk menemukan banyak penyalahgunaan yang tetap disembunyikan dari pemerintah, atau yang mereka abaikan. Herman Neubronner van der Tuuk tak pernah ragu untuk melontarkan kritik pedas terhadap kebijakan pemerintah maupun kebijakan Lembaga Alkitab. Herman Neubronner van der Tuuk tak pernah menganggap masalah bahasa terpisah dari kehidupan sosial dan budaya. Dari tahun 1857 hingga 1868, ia berada di Belanda untuk mengembangkan bahan bangunan. Selama tahun-tahun itu, penerbitan karyanya yang ekstensif. Selama tahun-tahun tersebut, Herman Neubronner van der Tuuk menerbitkan kamus bahasa Batak yang ekstensif, buku bacaannya (dalam empat jilid), dan tata bahasa Batak yang terdiri dari dua jilid, yang kini menjadi klasik (lihat “De pen in gal gedoopt: Een keuze uit brieven en documenten” disusun oleh Rob Nieuwenhuys. Em. Querido's Uitgeverij, Amsterdam 1982).
AP Godon diangkat sebagai eerste
klerk di marine department di Gouverneur van Sumatra's Westkust (lihat Javasche
courant, 03-11-1841). AP Godon berangkat dari Batavia
ke Padang (lihat (lihat Javasche courant, 06-11-1841). Di kapal yang sama juga
terdapat JAW van Ophuijsen yang turun di Bengkoelen.
Segera setelah berakhirnya Perang Bondjol (1838) dibentuk Residentie Air Bangis yang terdiri beberapa afdeeling termasuk Afdeeling Mandailing dan Angkola. Seiring dengan pembentukan residentie baru ini, wilayah Bengkoeloe dipisahkan dari Gouverneur van Sumatra's Westkust dan kemudian dibentuk sebagai satu residentie tersendiri.
Pada tahun 1842 Edward Douwes
Dekker diangkat sebagai kontroleur van de tweede klasse (lihat Javasche courant,
13-07-1842). Tanggal 21 Edward Douwes Dekker berangkat ke Padang dengan kapal
Louisa yang penumpangnya tentara dan LA Galle dan E Douwes Dekker (lihat Javasche
courant, 24-09-1842). Edward
Douwes Dekker ditempatkan di (afdeeling) Natal, Residentie Air Bangis.
Penerapan koffiestelsel di Afdeeling Angkola Mandailing kemudian mendapat resistensi yang berakhir dengan kerusuhan (yang dianggap sebagai pemberontakan). Para pemimpin local yang melakukan aksi, sebagian ditangkap dan sebagian yang lain melarikan diri ke Natal (untuk mengungsi ke Semenanjung). Saat inilah Controleur Natal Edward Douwes Dekker menampung mereka dan memberikan advokasi (semacam pencerahan hukum tentang hak dan kewajiban). Antara ‘terdakwa’ dan ‘advocaat’ tampaknya meiliki pemahaman yang sama. Cara yang dilakukan Edward Douwes Dekker tidak lazim apalagi sebagai bagian dari pemerintah. Foto: Rumah Controleur Natal di Natal 1842-1842 (foto 1910).
Advokasi Edward Douwes Dekker terhadap para pemimpin Mandailing menyebabkan dirinya dipanggil ke Padang. Akan tetapi Edward Douwes Dekker tidak kembali ke Natal. Edward Douwes Dekker telah menjadi tahanan kota di Padang. Istri Edward Douwes Dekker yang tinggal di Batavia tak pernah diizinkan datang ke Padang (sekitar setahun).
De Sumatra post, 18-03-1931: ‘Surat-surat dari Eduard Douwes Dekker. Telah ditemukan dari arsip Negara untuk disimpan, controleur di Natal, Eduard Douwes Dekker menulis surat dari 30 November 1842 hingga 25 Agustus 1843. Meskipun isi dari surat-surat ini tidak signifikan dan mengingat hal ini tidak ada kaitannya dengan literatur serius yang telah muncul di dalam tahun perjalanan Multatuli, tapi pasti akan disambut, sebab di dalam surat-surat itu dapat diperhatikan tentang kepribadian (ED Dekker) yang luhur di wilayah kerjanya (di Natal)’ Foto: Eduard Douwes Dekker (foto 1853)
Setelah kerusuhan di Angkola dan Mandailing dan dicopotnya Eduard Douwes Dekker sebagai Controleur di Natal, Gubernur Pantai Barat Sumatra di Padang Kolonel AV Michiels tampaknya mulai khawatir eskalasi politik meningkat di Pantai Barat Sumatra khususnya di bagian utara di Residentie Tapanoeli. Asisten Residen Tapanoeli (di Sibolga) yang sebelumnya seorang sipil diangkat seorang militer yakni majoor der inf. A van der Hart (lihat Algemeen Handelsblad, 28-12-1843). TJ Willer yang sebelumnya Asisten Residen Tapanoeli dipindah ke afdeeling Angkola Mandailing sebagai asisten residen. Yang menjadi Controeleur di Natal untuk menggantikan Eduard Douwes Dekker adalah H Diepenhorst. Dengan demikian di wilayah Pantai Barat Sumatra terdapat dua pejabat pemerintahan sebagai militer aktif: Kolonel AV Michiels di Padang (Gubernur), Majoor A van der Hart di Tapanoeli (Asisten Residen).
Kolonel AV Michiels dan Majoor A van
der Hart sudah
lama saling kenal. AV Michiels yang masih berpangkat Majoor berpartisipasi
dalam Perang Jawa (Perang Diponegoro 1825-1830). Dalam Perang Djambi, AV
Michiels dengan pangkat Letnan Kolonel pada tahun 1834 memimpin ekspedisi militer ke
hulu sungai Musi (karena adanya perlawanan Sultan Djambi). Salah satu komandan detasemen
adalah Luitenant A van der Hart. Sukses ekspedisi kolom
pimpinan Letnan Kolonel AV Michiels kembali ke Jawa. A van
der Hart
mendapat kenaikan pangkat menjadi Kapten. Selanjutnya Perang Padri di Pantai
Barat Sumatra yang terus meningkat eskalasinya menyebabkan Luitenant
Kolonel CPJ Elout harus digantikan dengan yang lebih kuat. Letnan Kolonel AV Michiels
dikirim dari Jawa ke Pantai Barat Sumatra. Letnan Kolonel AV Michiels menyertakan
Kapten A van der Hart sebagai salah satu komandan
detasemen. Pada akhir penyerangan ke benteng Bondjol tahun 1837 (yang dipimpin
oleh Toeankoe Imam Bondjol), yang maju menusuk ke jantung pertahanan Bondjol
adalah detasemen yang dipimpin Kapten A van der Hart. Toeankoe
Imam Bondjol sempat melarikan diri kemudian berhasil ditangkap. Tamat sudah
Perang Padri di Bondjol. Toeankoe Imam Bondjol diasingkan. Kapten A van
der Hart kembali
ke Jawa dengan kenaikan pangkat menjadi Majoor, sementara Letnan Kolonel AV
Michiels diangkat menjadi Gubernur Pantai Barat Sumatra yang pertama dengan
pangkat Kolonel. Dalam konteks inilah, ketika ada kerusuhan di Angkola Mandailing
dan dicopotnya Edward Douwes Dekker sebagai Controleur Natal, Gubernur AV
Michiels memanggil Majoor A van der Hart
untuk ditempatkan sebagai pejabat di Sibolga (Residenti Tapanoeli).
AV Michiels dan A van der Hart adalah dua militer Pemerintah Hindia Belanda yang dianggap tegas dan pemberani. Namun keduanya untuk urusan sipil menjadi sedikit lebih lembut. Mengapa? Majoor A van der Hart di dalam pemberitaan disebut tentara professional. A van der Hart masih lajang di usia 36 tahun, tidak minum minuman keras, tidak berjudi dan sangat menghormati wanita. Selain AV Michiels sudah mengenalnya, figur tentara serupa inilah tampaknya yang diinginkan AV Michiels untuk ditempatkan di Tapanoeli setelah terjadi kerusuhan hebat di Angkola Mandailing dan ditahannya Edward Douwes Dekker.
Pada tahun 1845 Residentie Air Bangis
dilikuidasi. Hal ini karena secara definitive telah dibentuk Residentie
Tapanoeli. Afdeeling Natal dan Afdeeling Angkola Mandailing dimasukkan ke
Residentie Tapanoeli. Seementara itu district-district di Bondjol dan
sekitarnya yang dimasukkan ke Afdeeling Agam (ibu kota di Fort de Kock) yang
kemudian dibentuk menjadi satu afdeeling dimana ditempatkan pejabat dengan
status Conroleur. Yang diangkat sebagai Controleur di Bondjol adalah AP Godon.
Sebagai pejabat pemerintah ini untuk kali pertama ditempatkan di Bondjol.
Mengapa? Bukankah Bondjol sebagai pusat terakhir Padri di wilayah Minangakabau?
Apakah AV Michiels juga membutuhkan figur seperti AP Godon di Bondjol
sebagaimana A van der Hart di Tapanoeli?
Setelah status Residentie Tapanoeli ditingkatkan pada tahun 1845, posisi dan jabatan A van der Hart juga ditingkatkan. Asisten Residen A van der Hart diangkat menjadi Residen Tapanoeli. Pangkat militer A van der Hart juga mendapat kenaikan menjadi Letnan Kolonel sebagaimana sebelumnya di Padang pangkat AV Michiels dari Kolonel menjadi Majoor Generaal.
Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-,
nieuws-en advertentieblad, 04-08-1845: ‘Asisten residen dari Mandheling en
Ankola (Sumatera Westkust), C Rodenburg, Controleur kelas-1 dalam pendapatan
dan budaya nasional. Sementara diberhentikan dengan hormat, asisten residen
dari Mandheling en Ankola, TJ Willer, yang merupakan untuk pertama kalinya
tinggal di wilayah itu yang menjadi gouvernement Sumtra’s Westkust’. Sedangkan
LA Galle diberhentikan dengan hormat untuk mengurangi redundansi, sebagai
sekretaris Residen Tapanoeli (Sumatra’s Westkust)’.
Praktis pada tahun 1845 seluruh wilayah (residentie) Tapanoeli sementara ini dapat terkendali dengan baik. Raja Belanda kemudian mengirim utusan khusus Jenderal von Gagern ke wilayah Tapanoeli pada tahun 1846. Ini tampaknya tidak lazim. Mengapa? Yang jelas, Jenderal von Gagern benar-benar datang ke Tapanoeli. Ini dapat dibaca dari surat pembaca surat kabar di Batavia yang ditulis di Padang Sidempoean.
Kita memiliki garnisun kecil disini, itu biasanya
sangat tenang (tidak ada gangguan keamanan). Jarang seseorang dari Padang atau
Tappnoelie (Sibolga) untuk mengunjungi kami, dan itu sudah beberapa bulan sejak
kami telah dikunjungi beberapa fisikawan disini (geolog). Sekarang, ada yang
dapat dilakukan. Sebulan lalu, yang di posting (pos) ini bagaimanapun, bahwa
kita rasanya kerusuhan atau perang dengan kami, oh tidak; justru kita hidup
seperti dalam pangkuan Abraham, senyuman kita tersungging seperti di sudut
Eropa. Hal itu terkait dengan Jenderal von Gagern, Yang Mulia dengan beberapa
pejabat Staf Umum, dikirim dari Belanda ke koloni di Hindia Belanda dengan
segala sesuatu yang berkaitan dengan sistem militer dan pertahanan di Jawa dan
setiap pulau besar lainnya, untuk mengecek langsung (inspeksi) baik terhadap
pelanggaran sesuai amanat dengan Gubernur Jenderal, untuk tindakan menghapuskan
dan mengusulkan perbaikan yang diperlukan di sana sini dan segalanya, dan
sekembalinya ke Eropa untuk melapor ke Raja. Sangat gewigtig adalah misi
Jenderal von Gagern seorang Jerman anak yang terkenal. Setelah benar-benar
melewati Jawa dan kekuatan utama telah mengunjungi, Jenderal memulai ke
Sumatera dan telah tiba di Padang. Pada pertengahan Juni (1846), ia telah
ditemani Jenderal Michiels, Gubernur Militer Sumatra’s Weskust, dalam
perjalanan dimulai inspeksi melalui pulau. Anda bisa membayangkan betapa besar
jumlah kami di sini dalam kunjungan pejabat tinggi ini, dan kami menjadi tergesa-gesa,
menyediakan anggur, minuman, gula, selai, dan makanan ringan lainnya dan juga
provisien dari Padang dipanggil untuk menyambut tamu kami. Rumah dan Kazernen,
gebraiji ordo dan semuanya dipoles atau diperbaharui. Pada bulan Juli (1846)
kedua jenderal itu di sini (Padang Sidempoean), dengan rombongan, empat
asisten, tiga ambtenaren sipil, dan pegawai dan operator, waarvar. Lebih dari
dua ratus operator telah diperlukan untuk membawa.pakkagie (perbekalan) yang
dibawa melalui pegunungan dan lembah. Kuda-kuda diberi makan hanya rumput, di
sini setiap hari harus dipotong. Sekarang, untuk memastikan agar kuda-kuda
Lords terdapat seratus Melayu dalam layanan harian. Satu kemudian membayangkan yang
sulit dimengerti dan banyaknya kerumunan di kami sehingga sangat ramai di
Sidimpoewang. Dari semua sisi para pemimpin Batta, datang dengan sejumlah
pengikut, semua datang dengan di atas kuda, banyak peningkatan harian, mereka
untuk menyaksikan Pak Gubernur dan rombongan. Untuk menampung tamu kami, secara
substansial tidak mudah. Tentu saja, bagi dua jenderal, rumah yang dipilih
adalah rumah terbaik untuk mereka tinggal; ini adalah gouvernemenlsgebouw, dan
untuk ini kamar dan ruangan harus sangat rapi dan tersedia rak baru yang luas.
Gubernur, itu mendiami, harus mencari tempat yang aman; Aku, dan tuan-tuan lain
dari posting ini (yang berdiam di sini), memiliki yang terbaik untuk
meninggalkan penguasa sipil dan pembantu berperan besar. Dengan saya tinggal Mr
L dan teman saya, R. Meskipun para jenderal telah berkunjung dan selesai di
tempat di pelosok-pelosok disini, namun mereka lebih dari empat hari mereka
tinggal di sini--dua kali dari yang direncanakan. Ini bukti bahwa hal itu
menyenangkan mereka dengan kami. Sekarang disini adalah benar-benar lingkungan
yang sangat menyenangkan dan untuk menawarkan banyak variasi; dan udara yang
kita hirup dalam bergslreken ini, sangat sehat. Semuanya telah ditinjau disini,
bahkan rumah sakit dan apotek kami dan tentang segala sesuatu memberi kesan
bahwa Jenderal von Gagern menyatakan kepuasannya. General memulau kita, juga di
mana-mana, berdasarkan cara sederhana dan pidato yang ramah. Dia juga tooude ke
percakapan sebagai manusia beradab, yang pikirannya diperkaya dengan banyak
keterampilan. Setiap orang memiliki natuurlyk seragam setiap hari dalam jumlah
besar kemana ia pergi. Kita yang berada jauh di sini kita dinyatakan dalam
pengasingan kami cukup sering menyerah, karena tidak ada orang yang datang.
Kini, semua Eropa Scheeren amble hamba dan petugas setiap hari. Sebuah meja
buat jenderal diperintahkan tampak kemegahan yang di atasnya itu dari perak
yang kristal untuk wadah makanan dan anggur berkualitas yang sangat aneh jika
kita berada di sini. Pada saat makan diperintahkan satu sama lain menahan diri,
sopan dan keseriusan kami.
A van der Hart tampaknya telah berhasil menenangkan hati penduduk Tapanoeli. Namun tidak lama kemudian muncul riak-riak permusuhan di wilayah (residentie) Padangsche Bovelanden, Residen Tapanoeli A van der Hart pada tahun 1848 ditempatkan di Residentie Padangsche Bovenlanden (Fort de Kock). Sementara pada waktu yang sama, Gubernur Pantai Barat Sumatra AV Michiels menempatkan Controleur AP Godon di (afdeeling) Singkil, Residentie Tapanoeli dipromosikan menjadi Asisten Residen di (afdeeling) Angkola Mandailing, Residentie Tapanoeli.
Dalam pesannya Gubernur Pantai Barat
Sumatra AV Michiels kepada
AP Godon untuk lebih hati-hati dan bijaksana (lihat Nederlandsche
staatscourant, 28-07-1848). Disebutkan di Sumatra’s Westkust, Asisten-Residen
Mandheling en Ankola, Controleur kelas-1, AP Godon, diminta melibatkan kepada
siapa, (para) Radja, persepsi yang sudah ditetapkan. Mengapa AV
Michiels mewanti-wanti AP Godon?
Tampaknya AV
Michiels ingin semuanya berakhir di Angkola
Mandailing yang menjadi jantung Residentie Tapanoeli dan menjadi damai untuk
seterusnya. Seperti disebut di atas, kerusuhan di Angkola Mandailing (1843)
menjadi awal kebijakan baru Gubernur AV Michiels di Residentie Tapanoeli. Lantas
apakah AP Godon dapat mengaplikasikan semua pesan AV Michiels?
Pada tahun 1849 Gubernur Pantai Barat Sumatra di Padang Majoor Generaal AV Michiels dipanggil pusat untuk memimpin ekspedisi ke Bali dimana terjadi gejolak. Pengganti Majoor Generaal AV Michiels adalah Kolonel Jan van Swieten. Boleh jadi keberadaan Letnan Kolonel A van der Hart di Fort de Kock dan Kolonel Jan van Swieten di Padang sudah dianggap cukup untuk pengendalian keamanan di seluruh provinsi Pantai Barat Sumatra (Padangsche Benelanden, Padangsche Bovenlanden dan Tapanoeli).
Dengan situasi dan kondisi yang semakin kondusif
di Mandailing en Ankola, Residentie Tapanoeli situasi dan kondisi di Natal juga
turut kondusif. Pada tahun 1853 controleur yang ditempatkan di afdeeling Natal,
Residentie Tapanoeli adalah JAW van Ophuijsen. Seperti disebut di atas, AP
Godon dan JAW
van Ophuijsen sama-sama pertama kali ke Pantai Barat Sumatra satu kapal pada
tahun 1841.
Seperti halnya tahun 1849 Gubernur Pantai Barat Sumatra di Padang Majoor Generaal AV Michiels dipindahkan ke Bali, pada tahun 1853 ini berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal, dari April 1853, Luitenant Kolonel van der Hart ditunjuk menjadi Gubernur Sulawesi dan juga bertindak sebagai komandan militer Celebes. Letnan Kolonel A van der Hart lalu dipromosikan menjadi Kolonel, berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal Juli 1853.
Andreas Victor Michiels dan Alexander van der Hart
adalah dua diantara tentara Pemerintah Hindia Belanda yang memulai dari bawah
dan sukses hingga di akhir karir. Tidak ada lagi musuh mereka di Pantai Barat
Sumatra. Namun diantara petinggi militer tampaknya ada (faksi) yang merasa iri
dan memusuhi. Sukses AV Michiels di Pantai Barat Sumatra (Perang
Padri) Pemerintah Hindia Belanda membangun monument besar AV
Michiels di Padang. Saat di Bali tahun 1849, Majoor Generaal AV Michiels
terbunuh di rumahnya tanggal 25 Mei 1849. Pembunuhnya bukan lawan, dan juga
bukan lawan politiknya sesame militer. Majoor Generaal AV Michiels terbunuh
oleh seorang pembantunya di rumah. Tentu ini tidak lazim. Namun bagaimanapun Pemerintah
Hindia Belanda tetap menghargai reputasinya Majoor Generaal AV Michiels
dengan membangun monument besar AV Michiels di markas besar militer Hindia
Belanda di Weltevreden. Idem dito dengan AV Michiels. Setelah dua
tahun di Makassar Kolonel A van der Hart juga mati terbunuh.
Disebutkan pada tanggal 25 malam tanggal 26 Mei 1855 salah satu dari pembantunya
yang sudah lama tidak bekerja lagi di malam hari sudah di rumah tuannya
bersembunyi untuk melakukan pembunuhan. Kedua komandan militer yang pemberani
dan tegas mati konyol hanya oleh orang yang bersahaja dari penduduk biasa.
Habis sudah komandan militer Pemerintah Hindia Belanda yang humanis. Apakah
keduanya benar-benar terbunuh oleh penduduk biasa? Fakta bahwa keduanya
terbunuh pada tanggal yang sama (25 Mei). Apakah itu suatu
kode?
Pada tahun 1856 AP Godon masih pada posisinya sebagai Asisten Residen Angkola Mandailing (sejak 1848). Itu adalah waktu yang lama untuk seorang pejabat pada waktu itu. Ini menunjukkan bahwa AP Godon sangat diterima di afdeeling Angkola Mandailing. Uniknya, yang menjadi penulis AP Godon beberapa tahun terakhir adalah orang pribumi Si Satie lulusan sekolah rakyat di Panjaboengan. Ini juga tidak lazim. Hal ini tentu semua rahasia pejabat dan pemerintah diketahui orang pribumi. Apakah AP Godon, sesuai pesan AV Michiels tempo dulu, telah menerapkan pemerintahan yang jujur dan transparansi di wilayah Angkola Mandailing? Satu yang jelas pejabat yang jujur AV Michiels dan A van der Hart telah mati konyol pada tanggal yang sama. Catatan: A van der Hart di Sibolga menjadi menantu AV Michiels (Anna Carolina Elisa Michiels).
Residen CPC Steinmetz pada tahun 1846 memperkenalkan
pendidikan bagi pribumi di Fort de Kock. Dalam laporan masa akhir jabatan TJ
Willer sebagai Asisten Residen Angkola Mandailing pada tahun 1846
direkomendasikan untuk pengadaan Pendidikan di Angkola Mandailing. Usul itu
tampaknya baru direalisasikan oleh Asisten Residen yang baru AP Godon. Pada
tahun 1855 mantan Controeleur Natal JAW van Ophuijsen dipromosikan menjadi Residen
Padangsche Bovenlanden tempat dimana dulu Letnan Kolonel A van der Hart berkedudukan.
Pada tahun 1856 JAW van Ophuijsen menginisiasi
pendirian sekolah guru (kweekschool) bagi pribumi di Fort de Kock. Sekolah guru
di Fort de Kock ini menjadi sekolah guru di Hindia Belanda. Yang pertama adalah
di Soeracarta yang dipimpin oleh Dr Palmer van der Broek (sejak didirikan tahun
1852).
Pada tahun 1857 AP Godon setelah bertugas sejak 1841 diberikan cuti dua tahun ke Eropa. Uniknya, pada saat keberangkatan AP Godon ke Eropa turut serta Si Sati. Boleh jadi banyak penduduk yang menangisi AP Godon tetapi mungkin lebih banyak yang menangisi dengan cara manganggoek godang kepada Si Sati. Mengapa? Apakah Si Sati yang masih berusia 15 tahun, putra Radja Tinating dari Pidoli itu bisa kembali pulang? Yang jelas, Si Sati ikut serta karena ingin melanjutkan studi keguruan di Belanda untuk mendapatkan akta guru. Namun penduduk segera sadar, bahwa AP Godon bukan seorang tiran.
AP Godon saat mulai menjabat sebagai Assisten
Residen di Angkola Mandailing pada tahun 1848 usianya sudah 32 tahun. Masih
lajang. AP Godon dan Si Sati bagaikan abang dan adik. Sejak tiba di Belanda.
keberadaan Willem Iskander tidak terlaporkan. Yang terlaporkan adalah kabar
bahwa AP Godon menikah dengan Sophia Louisa Thiensma pada bulan April 1858
(lihat Utrechtsche provinciale en stads-courant: algemeen advertentieblad,
23-04-1858). AP Godon sendiri lahir tahun 1816. Ini berarti AP Godon menikah
pada usia tinggi (41 tahun). Menjelang berakhir masa cuti di Belanda, AP Godon mengajukan
pensiun dini tahun 1859. AP Godon tampaknya tidak akan kembali ke Hindia.
Akhirnya Si Sati terinformasikan telah lulus sekolah keguruan di Haarlem dengan akta guru bantu (hulpacte). Namun namanya telah diubahnya sendiri dengan nama Willem Iskander. Mengapa? Willem Iskander paling tidak sudah lulus tahun 1860. Ini terlihat nama Willem Iskander termasuk salah satu lulusan sekolah guru di Kerajaan Belanda. Di dalam daftar itu disebutkan sebagai berikut: ‘Iskander, Willem, geb. in 1841, geëxam. in Noordholland, kweekeling te Amsterdam’ (lihat majalah Nieuwe bijdragen ter bevordering van het onderwijs en de opvoeding, voornamelijk met betrekking tot de lagere scholen in het Koningrijk der Nederlanden, voor den jare ...., Volume 30, D. du Mortier en zoon, 1860.
Informasi inilah yang kali pertama
memberitahukan bahwa Si Sati mengganti
namanya sendiri dengan nama Willem Iskander. Nama Willem
sendiri sejak lama dikenal di Belanda dan pada masa ini di Belanda adalah nama
umum untuk orang Belanda. Nama Willem ini saling dipertukarkan dengan nama
William (yang juga nama Raja Belanda, Radja Willem III). Bagaimana dengan nama
Iskander? Iskander pada masa ini adalah nama depan seorang sastrawan Rusia saat
ini yang melarikan diri ke London. Nama Iskander tidak ditemukan di Belanda,
tetapi di Hindia nama Iskander merujuk pada nama Alexander. Pada tahun 1860 ini
di Belanda heboh dengan terbitnya karya Edward Douwes Dekker berjudul Max Havelaar.
Edward Douwes Dekker menggunakan nama samara (alias) dalam bukunya sebagai
Multatuli. Dalam buku ini juga termasuk tentang kisahnya di Natal. Pada saat
itu sudah lazim menggunakan nama pena, nama samara atau nama alias termasuk Willem Iskander.
Willem Iskander setelah lulus tidak langsung pulang ke tanah air. Willem Iskander di Belanda di luar studi keguruan, juga ingin meningkatkan pengetahuan umumnya dengan mempelajari berbagai pengatahuan dan mengunjungi sejumlah tempat tertentu seperti pabrik, surat kabar, pelabuhan dan sebagainya. Willem Iskander baru kembali ke tanah air pada tahun 1861. Pada tahun ini di Belanda, AP Godon sebagai pejabat di Hindia Belanda yang berhasil diberikan bintang Officier der Orde van de Eikenkroon.
AP Godon adalah warga negara Belanda keturunan Prancis. Pada tahun 1862 AP Godon terinformasikan telah mendaftar sebagai anggota tetap dari Indisch Genootschap (Masyarakat/Perhimpunan Hindia) di Utrecht (lihat Algemeen Handelsblad, 17-04-1862). Di dalam berita ini yang juga menjadi anggota tetap yang baru adalah Jan Douwes Dekker yang merupakan abang Edward Douwes Dekker. AP Godon dan Jan Douwes Dekker sama-sama lahir tahun 1816. Pada tahun 1862 ini AP Godon termasuk salah satu pendiri perusahaan (NV) yang cukup besar di Den Haag (lihat Nederlandsche staatscourant, 25-10-1862).
Willem Iskander adalah pribumi pertama asal Hindia yang studi ke Belanda. Di kampong halamannya di Mandailing, Willem Iskander mendirikan sekolah guru di kampong Tanobato (di sisi kiri jalan dari Panjaboengan ke Natal).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Siapa Mereka? Pieter Brooshooft, Fransen van de Putte, HH van Kol dan Conrad Theodore van Deventer
Pada tahun 1860 Willem Iskander lulus ujian dan mendapat akta guru di Haarlem. Pada tahun 1860 buku karya Eduard Douwes Dekker (Multatuli) diterbitkan berjudul Max Havelaar of de Koffij-Veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij Deel (Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Perdagangan Belanda). Buku tersebut diterbitkan oleh penerbit J De Ruyter di Amsterdam (lihat Algemeen Handelsblad, 15-05-1860).
Si Sati Nasoetion alias Willem Iskander seakan mewakili personifikasi perjuangan pribumi untuk mencerdaskan bangsa; Eduard Douwes Dekker seakan mewakili personifikasi perjuangan orang Belanda yang membela pribumi dalam praktek penjajahan Belanda di Hindia. Orang Belanda lainnya yang melawan bangsanya sendiri adalah Isaäc Dignus Fransen van de Putte yang juga pada tahun 1860 menerbitkan buku berjudul De Regeling eu Uitbesteding van de Suiker-Contacten op Java (lihat Nieuw Amsterdamsch handels- en effectenblad, 02-01-1860).
Buku Eduard Douwes Dekker dan buku Isaäc Dignus Fransen
van de Putte hadir sebagai koreksi terhadap praktek penjajahan Belana di
Hindia. Kedua buku ini tentu menjadi perhatian di Belanda, orang Belanda di
Eropa dapat menyimak apa yang sesungguhnya terjadi di Hindia Belanda. Eduard
Douwes Dekker dan Isaäc Dignus Fransen van de Putte menjadi golongan humanis di
Belanda.
Isaäc Dignus Fransen van de Putte lahir di Goes, Zeeland, 22 Maret 1822. Ibunya Digna Johanna Luteyn meninggal tanggal 24 Juli di Utrecht tahun 1849 sebagaimana diberitakan oleh ayahnya J Fransen van de Putte (lihat Algemeen Handelsblad, 03-09-1849). Johannes Fransen van de Putte adalah mantan seorang bankir dan pengusaha di Goes, Belanda. Isaäc Dignus Fransen van de Putte di Bezoeki, Java menikah dengan Lucie Henriette Cornets de Groot (lihat Middelburgsche courant, 04-04-1850). Setelah lama di Jawa, Hindia Isaäc Dignus Fransen van de Putte kembali ke Belanda di Goes (lihat Middelburgsche courant, 27-08-1859). Isaäc Dignus Fransen van de Putte ikut pemilihan di Goes (lihat Rotterdamsche courant, 02-09-1859). Disebutkan dalam pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Negara Bagian di daerah pemilihan utama Goes, BPG van Digirelen terpilih dengan 505 suara, sementara ID Fransen van de Putte memperoleh 201 suara; sisa 80 suara dibagi di antara beberapa orang.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar