Jumat, 23 Desember 2022

Sejarah Madura (53): Populasi Penduduk Madura Masa ke Masa; Sensus Penduduk Hindia Belanda hingga Republik Indonesia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Madura dalam blog ini Klik Disini

Pada masa ini populasi penduduk yang mengidentifikasi sebagai orang Madura berada pada kelompok penduduk terbesar keempat di Indonesia. Banyaknya adalah 7.179.356 jiwa (3,03 persen). Seperti etnik/suku lainnya, populasi orang Madura telah jauh meningkat dari waktu ke waktu sejak tempo doeloe. Orang Madura tidak hanya di pulau Madura dan pulau sekitar juga di berbagai wilayah seperti di pulau Jawa. 


Sepuluh Suku dengan Populasi Terbanyak di Indonesia, Minangkabau dan Batak Masuk Daftar. KOMPAS.com. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Sensus Penduduk (SP) tahun 2010 mencatat jumlah suku bangsa di Indonesia mencapai 1.300 suku bangsa. Sepuluh suku populasi terbanyak: 1. Suku Jawa populasi 95.217.022 jiwa (40,22 persen jumlah penduduk Indonesia). Dalam data BPS tersebut, Suku Jawa didefinisikan gabungan dari Suku Jawa itu sendiri, lalu Suku Osing, Tengger, Samin, Bawean/Boyan, Naga, Nagaring, dan suku lain di Pulau Jawa. 2. Suku Sunda mendiami Jawa sisi barat atau Tatar Pasundan saat ini wilayah Jawa Barat dan Banten 36.701.670 jiwa (15,5 persen). 3. Suku Batak tercatat 8.466.969 (3,58 persen) merupakan nama kolektif yang mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Pantai Barat dan Pantai Timur Sumatera Utara yang dikategorikan sebagai Batak adalah Angkola, Karo, Mandailing, Pakpak/Dairi, Simalungun, dan Toba. 4. Suku asal Sulawesi 7.634.262 jiwa (3,22 persen) yang dimaksud ini adalah suku di luar Suku Makassar, Bugis, Minahasa, dan Gorontalo. 5. Suku Madura berasal dan mendiami pulau Madura dan sekitarnya, 7.179.356 jiwa (3,03 persen). 6. Suku Betawi berjumlah 6.807.968 jiwa (2,88 persen). 7. Suku Minangkabau berasal dari Provinsi Sumatera Barat 6.462.713 jiwa (2,73 persen). 8. Suku Bugis mencapai 6.359.700 jiwa (2,69 persen). 9. Suku Melayu tersebar di seluruh wilayah Sumatera hingga Kalimantan 5.365.399 jiwa (2,27 persen). 10. Suku asal Sumatera Selatan 5.199.581 jiwa (2,16 persen) (https://regional.kompas.com/). Catatan: agak membingungkan karegori suku 4. Suku asal Sulawesi; 10. Suku asal Sumatera Selatan.

Lantas bagaimana sejarah populasi penduduk Madura dari masa ke masa? Seperti disebut di atas, populasu penduduk Madura adalah penduduk asli di Madura dan pulau-pulau lainnya serta penduduk asal Madura yang telah migrasi ke wilayah lain. Dalam hal ini penting mengumpulkan data statistic penduduk dan hasi pendataan sensus penduduk yang dilakukan sejak era Pemerintah Hindia Belanda. Lalu bagaimana sejarah populasi penduduk Madura dari masa ke masa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Kamis, 22 Desember 2022

Sejarah Madura (52): Rumah Adat Madura dan Warna Tradisi Merah Putih Hitam; Atap Rumah Borobudur dan Bendera Majapahit


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Madura dalam blog ini Klik Disini  

Rumah tradisi penduduk kini dikenal rumah adat. Setiap daerah memiliki bentuk dan arsitektur yang dapat dibedakan. Akibat perubahan budaya, arsitektur rumah tradisi yang diwariskan dapat berubah dari masa ke masa. Hal itu juga beralaku di wilayah Madura. Rumah tradisi di Madura adalah bagian dari sejarah bentuk dan arsitektur nusantara. Di dalam relief candi Borobudur ditemukan dua pola bentuk (atap) rumah bentuk segitiga dan bentuk limas (joglo). Sayang warna tradisi tidak tergambarkan di dalam relief candi.


Taneyan Lanjhang, Rumah Adat Masyarakat Madura. KOMPAS.com. Rumah adat di Madura dikenal dengan Taneyan Lanjhang. Taneyan dalam bahasa Indonesia adalah halaman, sedangkan Lanjhang adalah panjang. Jadi Taneyan Lanjhang adalah halaman yang panjang. Taneyan Lanjhang adalah permukiman tradisional masyarakat Madura yang berupa kumpulan rumah dengan ata letak bangunannya yang mengelilingi suatu halaman yang bentuknya memanjang. Rumah pertama inilah yang disebut sebagai rumah induk (roma tongghu), yaitu rumah yang menjadi awal mula suatu keluarga. Dilengkapi dengan langghar atau surau di sebeleh barat, kandheng di sebelah selatan, dan dapur. Rumah induk biasanya ditandai dengan jengger ayam di atapnya. Rumah induk ditempati orang tertua pada keluarga tersebut, di mana disebut kepala somah. Susunan pada rumah di Madura disusun berdasarkan hirarki dalam keluarga. Barat-timur adalah arah yang menunjukkan urutan tua muda. Sistem yang demikian mengakibatkan ikatan kekeluargaan menjadi sangat erat, sedangkan hubungan antar kelompok sangat renggang karena letak permukiman yang menyebar dan terpisah. Bentuk rumah adat di Madura secara umum didasarkan pada bentuk atap yang dipengaruhi oleh arsitektur Jawa. Rumah tipe trompesan atapnya mirip dengan rumah Jawa tipe Srotongan diberi cukit/teritis di kedua sisinya. Rumah tipe bangsal atapnya mirip dengan rumah Jawa tipe joglo yang sisi kiri dan kanannya dipotong dengan puncak dihiasi bentuk seperti kapal atau ular naga. Rumah tipe pegun atapnya mirip dengan bentuk rumah Jawa tipe limasan pacul-gowang. Bangunan Madura merupakan bentuk tertutup yang mempunyai sedikit lubang bukaan pada dinding dan lantai yang ditinggikan dari permukaan tanah
(https://www.kompas.com/) 

Lantas bagaimana sejarah rumah adat di Madura dan warna tradisi merah putih hitam? Seperti disebut di atas, wujud rumah tradisi nusantara tergambar di dalam relief candi dalam dua bentuk pola atap. Namun warna tradisi tidak terinformasikan. Lalu bagaimana sejarah rumah adat di Madura dan warna tradisi merah putih hitam? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Madura (51): Industri Manufaktur di Madura, Introduksi Teknologi Baru; Garam di Sumenep dan Genteng di Karang Penang


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Madura dalam blog ini Klik Disini 

Produk barang manufaktur tentu saja sudah banyak dan beragam yang dihasilkan di Madura. Produk apa saja yang bertahan sejak tempo doeloe menjadi menarik untuk diperhatikan karena bagian dari sejarah Madura. Ada dua jenis produk maufaktur yang diduga sudah sejak lama eksis (sejak era Pemerintah Hindia Belanda) di Madura dan masih bertahan pada masa ini yakni garam berbahan air laut dan genteng berbahan tanah liat.   


Gerabah Madura, Karya Budaya yang Sangat Tua dan Dilupakan. Gerabah merupakan warisan budaya sangat tua, luas persebarannya dan mampu bertahan hingga sekarang. Gerabah dari tanah bakar dibuat secara tradisional. Gerabah Madura dibuat oleh pengrajin Madura serta mempunyai fungsi-fungsi umum maupun khusus bagi kehidupan masyarakat Madura. Jenis-jenis gerabah Madura berfungsi sebagai benda pakai, benda hias, barang mainan, bahan bangunan dan bernilai ekonomis, sosial, magis dan lain-lain. Madura kaya akan pembuatan gerabah yakni sejenis tanah liat yang berwarna kuning dengan pasir halus. Tanah liat hitam dapat juga dipergunakan tetapi kualitasnya kurang baik. Semua Kabupaten di Madura bahkan sampai di kepulauan terdapat pengrajin gerabah seperti di Mandala Andulang, Duko Ru baru, Angkatan Kangean, Baragung, Pademawa Barat, Dalpenang Pakaporan, Blega, Konang, Geger dan lain-lain. Diantaranya yang sangat terkenal adalah Karangpenang Sampang dan Andulang Sumenep. Diantara daerah-daerah ini ada semacam perjanjian kerja untuk membuat barang-barang yang sudah ditentukan secara turun temurun atau spesialisasi. Dengan spesialisasi ini persaingan dapat dicegah. Gerabah Madura juga memaki kekhasan lokal yang disebabkan oleh keahlian/ketrampilan pengrajin, tersedianya bahan, teknik pembuatan dan teknik pembakaran (https://www.maduracity.com/2021/).

Lantas bagaimana sejarah industri manufaktur di Madura, introduksi teknologi baru? Seperti disebut di atas, produk garam dan genteng di Madura diduga sidah eksis sejak tempo doeloe yang kini masih bertahan. Selain produk lain ada brand yang cukup dikenal luas yakni garam Sumenep dan genteng Karang Penang. Lalu bagaimana sejarah industri manufaktur di Madura, introduksi teknologi baru? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Rabu, 21 Desember 2022

Sejarah Madura (50): Karapan Sapi Madura dan Tradisi Ketangkasan Khas di Nusantara; Lomba Pacuan Kuda Era Hindia Belanda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Madura dalam blog ini Klik Disini  

Dalam KBBI, karapan/ka·ra·pan/ yang artinya pacuan (sapi atau kerbau di Madura atau Sumbawa): di Madura ada karapan sapi, di Sumbawa ada karapan kerbau. Tidak disebutkan ada karapan kuda. Tentu saja masih ada karapan yang lainnya di nusantara. Karapan dalam hal ini menjadi semacam tradisi adu ketangkasan. Karapan sapi di Madura sangat menarik karena menjadi karapan khas di Madura. Pada era Pemerintah Hindia Belanda di berbagai kota ditemukan pacuan kuda dengan membangun race yang bagus..


Karapan sapi (Madura: Kerrabhân sapè) merupakan istilah untuk menyebut perlombaan pacuan sapi yang berasal dari pulau Madura. Pada perlombaan ini, sepasang sapi yang menarik semacam kereta dari kayu (tempat joki berdiri dan mengendalikan pasangan sapi tersebut) dipacu dalam lomba adu cepat melawan pasangan-pasangan sapi lain. Trek pacuan tersebut biasanya sekitar 100 M dan lomba pacuan dapat berlangsung sekitar sepuluh detik sampai satu menit. Beberapa kota di Madura menyelenggarakan karapan sapi pada bulan Agustus dan September setiap tahun, dengan pertandingan final pada akhir September atau Oktober di eks Kota Karesidenan, Pamekasan untuk memperebutkan Piala Bergilir Presiden. Awal mula kerapan sapi dilatarbelakangi oleh tanah Madura yang kurang subur untuk lahan pertanian, sebagai gantinya orang-orang Madura mengalihkan mata pencahariannya sebagai nelayan untuk daerah pesisir dan beternak sapi yang sekaligus digunakan untuk bertani khususnya dalam membajak sawah atau ladang. Maksud awal diadakannya Karapan Sapi adalah untuk memperoleh sapi-sapi yang kuat untuk membajak sawah. Orang Madura memelihara sapi dan menggarapnya di sawah-sawah mereka sesegera mungkin. Gagasan ini kemudian menimbulkan adanya tradisi karapan sapi. Karapan sapi segera. Karapan sapi dikritik berbagai pihak seperti Majelis Ulama Indonesia dan pemerintah daerah di Madura karena tradisi kekerasan rekeng yang dilakukan pemilik sapi. MUI Pamekasan sudah memfatwakan haram mengenai tradisi rekeng karena dinilai menyakiti sapi, dan Gubernur Jawa Timur melalui Instruksi Gubernur sudah menyatakan pelarangan tradisi rekeng. Namun tradisi ini masih berlanjut di kalangan pelaku karapan sapi (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah karapan sapi di Madura dan tradisi adu ketangkasan khas Nusantara? Seperti disebut di atas, karapan adalah pacuan. Ada karapan sapi, karapan kerbau dan pacuan kuda. Karapan sapi dan karapan kerbau adalah khas nusantara, apakah dalam hal ini (pertandingan) pacuan kuda eksis era Hindia Belanda. Lalu bagaimana sejarah karapan sapi di Madura dan tradisi adu ketangkasan khas Nusantara lainnya? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Madura (49): Kuliner Asli Madura, Penganan dan Makanan Khas Nusantara; Lemang Bika Lumpia Rendang Soto Sate


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Madura dalam blog ini Klik Disini 

Apa saja jenis kuliner di pulau Madura dan jenis kuliner apa yang menjadi khas penganan dan makanan di Madura? Tentu saja banyak dan juga ada yang khas Madura. Penganan dan makanan (plus minuman) khas Madura adalah bagian dari kuliner asli Indonesia. Penganan dan makanan khas Nusantara sungguh sangat banyak dan beragam pula variasnya. Beberapa penganan dan makanan khas berbagai nama daerah di Indonesia adalah lemang (Tebing Tinggi), bika (Ambon), lumpia (Semarang), rendang (Padang), soto (Makassar) dan sate (Madura)..


Sate atau satai adalah makanan terbuat dari daging dipotong kecil-kecil dan ditusuk dengan lidi atau bambu, dipanggang menggunakan bara api. Sate disajikan dengan berbagai macam bumbu yang bergantung pada variasi resep sate. Sate diketahui berasal dari Jawa, dan dapat ditemukan di mana saja di Indonesia dan dianggap sebagai salah satu masakan nasional Indonesia. Sate juga populer di Belanda karena dipengaruhi masakan Indonesia yang dulu merupakan koloninya. Sate adalah hidangan yang sangat populer di Indonesia, di berbagai suku bangsa dan tradisi seni memasak. Di Indonesia, sate dapat diperoleh dari pedagang sate keliling, pedagang kaki lima di warung tepi jalan, hingga di restoran kelas atas, serta kerap disajikan dalam pesta formal dan non-formal. Resep dan cara pembuatan sate beraneka ragam bergantung variasi dan resep masing-masing di tiap daerah. Hampir segala jenis daging dapat dibuat sate. Sebagai negara asal mula sate, Indonesia memiliki variasi resep sate yang banyak. Biasanya sate diberi saus, bisa berupa bumbu kecap, bumbu kacang, atau yang lainnya, biasanya disertai acar dari irisan bawang merah, mentimun, dan cabai rawit. Sate dimakan dengan nasi hangat atau bisa juga disajikan dengan lontong atau ketupat ataupun hanya sate saja. Indonesia memiliki koleksi jenis sate paling kaya di dunia. Variasi sate di Indonesia biasanya dinamakan berdasarkan tempat asal resep sate tersebut, jenis dagingnya, bahannya, atau proses pembuatannya seperti Sate Ambal; Sate Babat, Sate Blora, Sate Kambing, Sate Kulit, Sate Madura, Sate Padang (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah kuliner asli di Madura, penganan dan makanan khas Nusantara? Seperti disebut di atas banyak jenis dan variasi penganan dan makanan dari berbagai daerah di Indonesia yang menjadi khas nusantara seperti lemang, bika, lumpia, rendang, soto dan sate. Lalu bagaimana sejarah kuliner asli di Madura, penganan dan makanan khas Nusantara?  Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Selasa, 20 Desember 2022

Sejarah Madura (48): Haji di Madura, Orang Madura Naik Haji; Orang Batak Naik Haji dan Sejarah Perjalanan Haji Tempo Doeloe


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Madura dalam blog ini Klik Disini 

Orang Madura Naik Haji. Demikian judul buku yang ditulis Abdul Mukti Thabrani diterbitkan Diva Press, 2017. Haji sendiri adalah rukun Islam. Buku tersebut telah menambah daftar buku terdahulu: Orang Jawa Naik Haji (1983) dan Orang Batak Naik Haji (2002). Buku Orang Batak Naik Haji ditulis oleh Baharuddin Aritonang yang sekampong dengan saya di Padang Sidempuan. Saya belum pernah bertemu dengan beliau secara langsung, tetapi kami berdua pernah menyampaikan materi dalam satu seminar online (webinar) tanggal 28 Oktober 2021 dalam memperingati Sumpah Pemuda dengan tema: ‘Sejarah Pergerakan Pemuda Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel) di Kancah Nasional’. 


Naik Haji di Masa Kolonial menutip buku Hadji Tempo Doeloe: Kisah Klasik Berangkat Haji Zaman Dahulu oleh Emsoe Abdurrahman. MCP Publishing, 2016. Buku ini mencatat sejarah tragis jamaah haji di masa tersebut. RAA Wiranatakusuma, salah seorang pencatat fenomena haji saat itu, melakukan ibadah haji adalah penderitaan hidup yang sangat mungkin berujung pada kematian (hlm. 197). Apa yang dikatakan Wiranatakusuma didukung oleh data arsip pemerintah Belanda bahwa dari jumlah jamaah haji Hindia Belanda (Indonesia), lebih separo yang tidak pulang ke kampung halamannya (hlm. 21). Mereka boleh jadi meninggal dunia karena kelelahan, kehabisan bekal, dibunuh para perampok di pedalaman Hijaz atau dijual sebagai budak. Snouck Hurgronje menulis bahwa dia pernah bertemu dengan seorang haji asal Jawa yang menghabiskan waktu 3 tahun perjalanan ke Makkah (hlm. 17). Pada awal abad 19, persoalan transportasi bisa diatasi. Namun, belum tuntas menyelesaikan tragedi jamaah haji sepenuhnya banyak jamaah haji yang ditipu sehingga bekal mereka habis sebelum sampai di Makkah (hlm. 29). Sebagian lagi sampai ke Makkah, namun tidak sempat pulang karena semua harta mereka diperas habis-habisan oleh syekh tersebut, paling tragis, mereka dirampok, dibunuh atau dijual sebagai budak di pedalaman Hijaz (hlm. 196). Pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan agar semua jamaah haji memiliki pas perjalanan yang ditandatangani pemerintah Belanda dan konsulat Belanda yang ada di Jeddah. Buku ini tidak hanya menyajikan data-data historis yang diambil dari arsip dan buku yang ditulis penulis Belanda serta peneliti Indonesia, namun juga menyertakan gambar penting kapal uap serta penampilan jamaah haji saat itu (https://radarmadura.jawapos.com/).

Lantas bagaimana sejarah haji di Madura, dan orang Madura naik Haji? Seperti disebut di atas, haji adalah rukun Islam. Oleh karenanya menjadi kewajiban setiap pribadi. Dalam hal ini buku dan sejarah perjalanan haji menjadi menarik dimana orang Madura, orang Batak dan orang Jawa naik haji menjadi judul buku. Dalam hal ini kita tidak sedang membicarakan buku-buku tersebut tetapi tentang sejarah haji dan perjalanan haji itu sendiri. Lalu bagaimana sejarah haji di Madura, dan orang Madura naik Haji? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.