*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini
Suku
Buton adalah suku bangsa yang menempati wilayah Sulawesi Tenggara tepatnya di
Kepulauan Buton. Suku Buton juga dapat ditemui dengan jumlah yang signifikan di
luar Sulawesi Tenggara seperti di Maluku Utara, Kalimantan Timur, Kepulauan
Riau, Maluku, dan Papua dikarenakan migrasi orang Buton di akhir tahun 1920-an.
Seperti suku-suku di Sulawesi kebanyakan, suku Buton juga merupakan suku
pelaut.
Bahasa Cia-Cia atau Bahasa Buton Selatan, ialah sejenis bahasa Austronesia yang ditutur di sekitar Kota Baubau di selatan Pulau Buton yang terletak di tenggara Pulau Sulawesi di Indonesia. Pada tahun 2009, bahasa ini menarik perhatian dunia ketika Kota Bau-Bau menerima tulisan Hangeul Korea untuk dijadikan sistem tulisan bahasa Cia-Cia. Pada tahun 2005, ada 80.000 orang penutur bahasa Cia-Cia, 95% di antaranya beragama Islam yang juga berbicara dalam bahasa Wolio. Bahasa Wolio semakin dilupakan sebagai bahasa penulisan kaum Cia-Cia, karena bahasa Indonesia kini diajar dengan abjad Latin di sekolah. Nama bahasa ini berasal dari perkataan cia yang berarti tidak.[1] Cia-Cia juga disebut bahasa Buton, Butung, atau Boetoneezen (dari bahasa Belanda), bersama dengan bahasa Wolio, dan bahasa Buton (atau Butung) Selatan. Keadaan bahasa di pulau Buton rumit sekali dan kurang dipahami secara teliti. Dulunya, bahasa Cia-Cia menggunakan sejenis abjad Arab bernama "Gundul" yang tidak memakai tanda untuk bunyi vokal. (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah bahasa Buton Bahasa Cia-Cia? Seperti disebut di atas, bahasa Buton atau bahasa Cia-Cia di pulau Buton. Introduksi tulisan Hangeul dari Korea di pulau Buton pelanggaran tradisi aksara? Lalu bagaimana sejarah bahasa Buton Bahasa Cia-Cia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.