Jumat, 22 September 2023

Sejarah Bahasa (33): Bahasa Buton Bahasa Cia-Cia; Introduksi Aksara Hangeul Korea di Pulau Buton Pelanggaran Tradisi Aksara?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Suku Buton adalah suku bangsa yang menempati wilayah Sulawesi Tenggara tepatnya di Kepulauan Buton. Suku Buton juga dapat ditemui dengan jumlah yang signifikan di luar Sulawesi Tenggara seperti di Maluku Utara, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Maluku, dan Papua dikarenakan migrasi orang Buton di akhir tahun 1920-an. Seperti suku-suku di Sulawesi kebanyakan, suku Buton juga merupakan suku pelaut.


Bahasa Cia-Cia atau Bahasa Buton Selatan, ialah sejenis bahasa Austronesia yang ditutur di sekitar Kota Baubau di selatan Pulau Buton yang terletak di tenggara Pulau Sulawesi di Indonesia. Pada tahun 2009, bahasa ini menarik perhatian dunia ketika Kota Bau-Bau menerima tulisan Hangeul Korea untuk dijadikan sistem tulisan bahasa Cia-Cia. Pada tahun 2005, ada 80.000 orang penutur bahasa Cia-Cia, 95% di antaranya beragama Islam yang juga berbicara dalam bahasa Wolio. Bahasa Wolio semakin dilupakan sebagai bahasa penulisan kaum Cia-Cia, karena bahasa Indonesia kini diajar dengan abjad Latin di sekolah. Nama bahasa ini berasal dari perkataan cia yang berarti tidak.[1] Cia-Cia juga disebut bahasa Buton, Butung, atau Boetoneezen (dari bahasa Belanda), bersama dengan bahasa Wolio, dan bahasa Buton (atau Butung) Selatan. Keadaan bahasa di pulau Buton rumit sekali dan kurang dipahami secara teliti. Dulunya, bahasa Cia-Cia menggunakan sejenis abjad Arab bernama "Gundul" yang tidak memakai tanda untuk bunyi vokal. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Buton Bahasa Cia-Cia? Seperti disebut di atas, bahasa Buton atau bahasa Cia-Cia di pulau Buton. Introduksi tulisan Hangeul dari Korea di pulau Buton pelanggaran tradisi aksara? Lalu bagaimana sejarah bahasa Buton Bahasa Cia-Cia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Buton Bahasa Cia-Cia; Introduksi Tulisan Hangeul Korea di Pulau Buton Pelanggaran Tradisi Aksara?

Apakah ada bahasa Buton? Apakah ada aksara Buton? Lantas mengapa harus bahasa Cia-Cia? Lalu mengapa harus aksara Hangeul? Okelah, itu satu hal. Dalam hal ini mari kita mulai dari sejarah Buton itu sendiri. Buton adalah nama tempat, suatu tempat di suatu pulau yang kemudian di sebut pulau Buton. Dalam konteks ini nama Buton adalah nama yang sudah sangat tua.


Nama Buton sudah disebut dalam teks Negarakertagama, 1365. Nama-nama lain yang disebut di wilayah Sulawesi yang sekarang adalah Makasar (Makassar), Bantayan (Bantaeng?), Salaya (Selayar?), Butun (Buton?) dan Luwuk (Luwu?) serta Banggawi (Banggai?). Jika nama Butun adalah Buton pada masa sekarang, maka nama Buton sudah berumur tua.

Pada era Portugis nama Buton tetap eksis. Nama Buton baru ditemukan dalam catatan Portugis pada tahun 1575. Disebutkan. Orang Portugis (pelaut/pedaganga) diusir dari Ternate oleh orang (kerajaan) Ternate, lalu terdampar wilayah terumbu karang Toekang Besi, dan kemudian selamatkan diri di Boeton dan kemudian kembali ke Malaka.


Sejak Portugis mencapai tempat Boeton, diduga kuat pelaut/pedagang Portugis menjalin kerjasama dengan orang-orang Buton. Sementara dalam navigasi pelayaran perdagangan pelaut Portugis yang pertama (1511-1513) dari Malaka ke Maluku, nama-nama tempat yang dicatat dalam peta-peta 1511-1513) antara lain Solor dan Timor. Besar dugaan bahwa pelaut Portugis di Solor dan Timor sudah terbentuk kerjasama dengan penduduk. Terdamparnya pelaut Portugis di Buton menjadi pengetahuan navigasi baru. Sebab selama ini jalur navigasi dari Malaka ke Maluku adalah via selatan (pantai utara Jawa, Bali, Sumbawa, Flores, Timor hingga ke Ambon melalui Banda dan Saparua) dan via utara melalui pantai utara Borneo, laut Sulawesi, hingga ke Maluku di Ternate. Penemuan Portugis di Buton diduga menjadi awal terbentuknya jalur navigasi tengah, yang diduga menjadikan nama Buton dikenal dalam navigasi pelayaran perdagangan (terintegrasi dengan Makassar). Sebelumnya, seorang misionaris Portugis membuka stasion di pantai timur Jawa (Banjoewangi). Lalu pada gilirannya misionaris Portugis membuka stasion baru di pulau Solor tahun 1557 di Lahayong. Hal itulah mengapa ajaran Katolik sampai ke Solor (mengikuti jalur perdagangan). Sejak kehadiran misionaris Portugis di pulau Solor, kawasan pulau Solor (perdagangan yang meluas ke pulau Timor), posisi kampong Lahayong (stasion misionaris) menjadi sangat penting. Mengapa? Misionaris Portugis pada tahun 1561 di Lahayong melindungi diri dengan membangun benteng (palisade dari pagar kayu) karena khawatir bisa sewaktu-waktu muncul ancaman dari para budak asal Makassar yang bekerja di Solor dan sekitar (dalam produksi kayu cendana). Benteng kayu ini kemudian diperbarui pada 1565 dengan benteng batu alam. Catatan: Bagaimana Portugis terusir dari Ternate, karena adanya pengaruh Spanyol yang semakin menguat di Ternate dan Tidore.

Buton, Makassar dan Solor/Timor menjadi segitiga perdagangan baru bagi Portugis. Meski Portugis terusir dari Ternate, jalur navigasi pelayaran perdagangan tetap eksis dari pantai utara ke Maluku hingga ke Amboina (saja). Pada tahun 1575 dimana Portugis terusir dari Ternate, pelaut/pedagangan Portugis di Amboina membangun benteng yang lebih besar dan lebih kuat. Dengan demikian, Portugis, selain di Malaka, telah memiliki benteng kedua di Amboina. Dalam konteks inilah kemudian Portugis membangun benteng penghubung di Solor dan Koepang (Timor). Dengan kehadiran Portugis di Kawasan segitiga baru, nama Buton menjadi penting dalam navigasi pelayaran perdagangan, dana kerajaan Buton semakin menguat.


Sebelum Portugis menemukan Buton, nama Buton yang sudah eksis sejak era Majapahit (teks Negarakertagam 1365), Buton sendiri diduga kuat sebagai jalur navigasi pelayaran perdagangan nusantara. Laut Banda sendiri bukan jalur navigasi utama bagi nusanstara, karena ombaknya yang keras dan juga karena tidak adanya kaitan dengan perdagangan. Boleh jadi kapal-kapal besar Portugis yang mampu dengan nyaman melintasi perairan Laut Banda. Jalur navigasi nusantara dari Jawa dan pantai barat Sulawesi ke Maluku via selatan Sulawesi melalui Buton dengan menyisir pantai timur semenanjung tenggara Sulawesi hingga ke Banggai dan seterusnya ke Ternate dan Tidore. Dalam hal ini dapat dipahami nama Buton sebagai nama lama bagi pelaut nusantara, tetapi menjadi nama baru bagi pelaut Eropa/Portugis.

Nama Buton masuk ke Eropa melalui informasi pelaut-pelaut Portugis. Para kartografi di Eropa terus mengembangkan peta dunia, termasuk dalam hal ini peta nusantara yang orang Portugis menyebutnya Hindia Timur. Buton menjadi penting semasa Portugis. Nama Buton pertama kali dipetakan pada tahun 1580 (peta yang dibuat Langren’s dan Evert Gojsberts dengan nama pulau "Cabona" (= Kabaëna) dan pulau "Botton" (= Boeton).


Tidak hanya Hindia Timur, pelaut-pelaut Spanyol telah memperkaya pemahaman peta di lautan Pasifik (antara Amerika Latin dan Filipina), tetapi untuk wilayah selatan pelaut Portugis yang melakukannya yang meliputi pantai barat dan selatan Papua dan seputar dataran Australia. Seperti kita lihat nanti, pelaut Belanda menemukan pulau-pulau di selatan seperti Tasmania dan wilayah Selandia Baru serta pulau Mauritius di timur Madagaskar dan pulau Cocos dan pulau Kalapa di selatan Jawa. Sebagaimana diketahui pelaut-pelaut Belanda hadir di Hindia Timur sejak palayaran pertama yang dipimpin Cornelis de Houtman (1595-1597). Namun de Houtman, meski menggunakan peta-peta Portugis, tetapi tidak melalui jalut pelayaran tradisional Portugis (melalui India di Goa dan Ceylon, Atjeh dan Malaka), tetapi dari Madagaskar melalui lautan India ke pantau barat Sumatra di pulau Enggano, lalu ke Lampong, Banten hingga hanya sampai ke Lombok dan Bali sebelum kembali ke Eropa melalui pantai selatan Jawa ke Afrika Selatan.

Pelaut Belanda yang mengunjungi Buton adalah Wibrand van Warwijck dan Jacob van Heemskerck pada tahun 1599. Mereka berlayar melalui jalur Saleier, sekitar pulau Kambaëna dan Boeton hingga ke Ambon tiba tanggal 3 Maret dan seterusnya ke Ternate (tiba 22 Mei). Tahun 1599 inilah untuk kali pertama pelaut Belanda mencapai Maluku (Amboina dan Ternate). Dengan sendirinya Buton mulai dikenal pelaut-pelaut Belanda. Saat ini kekuatan utama di Maluku (yang terus bersaing) adalah Portugis (di selatan) dan Spanyol di utara.


Orang Portugis sudah lama mengenal Buton. Wilayah perdagangan orang Portugis dari India hingga Papua; dari Malaka hingga jauh ke utara di Makao (pantai timur Tiongkok); dari Papua hingga pantai-pantai daratan Australia. Orang Spanyol hanya terbatas di kepulauan Filipina, plus di Maluku (dimana bersaing ketat dengan orang Portugis). Dalam hal ini Buton adalah wilayah perdagangan pelaut-pelaut Portugis. 

Orang Belanda, pelan tapi pasti mulai memahami situasi dan kondisi navigasi pelayaran perdagagan di Hindia Timur. Melawan Portugis dan Spanyol belum sepenuhnya mampu. Pelaut-pelaut Portugis dan Spanyol begitu selama lebih dari satu abad. Belanda sebagai pendatang baru, dengan teknologi baru (peralatan navigasi dan peralatan persenjataan) mulai menggerogoti Portugis dan Spanyol di Hindia Timur. Tidak dimulai di Malaka dan Maluku (baca: Ternate dan Tidore), tetapi di wilayah yang lemah kekuatan Portogis, yakni di wilayah Portugis yang paling terpencil di Amboina dan di Solor serta di Koepang (Timor).


Dengan kekuatan penuh, pelaut-pelaut Belanda yang dimpimpin oleh Admiral van Hagen, pada tahun 1605 melancarkan serangan ke benteng Portugis di Amboina. Benteng ini dapat dikuasai, orang-orang Portugis terusir dari Maluku. Benteng Portugis tersebut kemudian dinamai pelaut-pelaut Belanda dengan nama Fort Victoria. Jalur navigasi pelayaran Belanda, Afrika Selatan, selat Sunda dan pantai utara Jawa ke Maluku (Ambina) via Bali dan Solor serta Banda, benteng Portugis di Solor dan Koepang menjadi halangan bagi Belanda. Dengan kerjasama yang lama dengan Bali, lalu Belanda menyerang Portugis di Solor dan Koepang pada tahun 1613. Akibatnya orang-orang Portugis di dua tempat itu terusir dan bergeser ke bagian timur pulau Timor dengan tanpa kekuatan (tanpa benteng). Apollonius Schout pimpinnan Portugis di Koepang dengan 70 orang pada tanggal19 Januari 1613 menyingkir ke bagian timur pulau. Sebelum penyerangan ke Solor dan Koepang ini Belanda yang berpusat di Amboina melakukan perjanjian dengan Radja Boeton. Lalu Belanda yang dibantu dengan Ternate berangkat ke Solor tepat berada di depan benteng pada tangga 17 Januari. Pulau Timor bagian timur ini terus eksis oleh orang-orang Portugis hingga ini hari sebagai Timor Leste.

Lantas bagaimana dengan Buton sejak kahadiran Belanda? Masih cukup kuat posisi pedagang Portugis di pulau Sulawesi dan pulau Borneo dengan kekuatan militer di Malaka. Kekuatan Portugis di Malaka menjadi penghalang bagi Belanda/VOC. Berdasarkan laporan Pieter van den Broek (1615) Raja Boeton memiliki pengaruh perdagangan melalui pedagang Arab antara Boeton, Banda dan Amboina (lihat Francois Valentojn 1726).


Pos perdagangan Belanda sejak 1619 telah direlokasi dari Amboina (Fort Victoria) ke muara sungai Tjiliwong dengan membangun benteng Kasteel Batavia (yang didukung keuangan VOC yang kuat). Sementara itu, hubungan VOC dan Bali semakin erat dan juga para pemimpin di Maluku (Amboina). VOC yang semakin kuat di Batavia menyebabkan (kerajaan) Mataram terusik lalu Mataram menyerang Batavia pada tahun 1628. Namun benteng Batavia terlalu kuat sehingga Mataram tidak kuasa untuk menghancurkannya.

Sejak kekuatan Belanda/VOC semakin teruji oleh pihak lawan, local maupun asing, Pemerintah VOC di Batavia mulai melirik kekuatan Portugis di Malaka. Pada tahun 1641 Belanda/VOC menyerang Portugis di Malaka dan berhasil diduduki. Untuk memperkuat posisi VOC di Malaka, sementara Atjeh tidak terikat dengan Portugis, maka Belanda menyerang Portugis di Kamboja pada tahun 1642. Habis sudah kekuatan Portugis di Hindia Timur (kecuali menyisakan di Timor bagian timur) dan di Makao. Dengan sendirinya, kekuatan perdagangan Portugis di Borneo dan Sulawesi khususnya di Makassar dan Buton semakin melemah (karena berkurangnya dukungan militer Portugis). Sebaliknya kerajaan Gowa di Makassar semakin menguat, setelah dipimpin oleh Hasanoedin.


Dengan menghilangnya kekuatan (militer) Portugis di Hindia Timur, Ternate yang selama ini di bawah bayang-bayang kekuatan militer Spanyol di Filipina, mulai melirik Belanda di Amboina. Lalu kolaborasi Belanda dan Ternate berhasil mengusir Spanyol dari Tidore dan Ternate. Tidak cukup disitu, Ternate ingin kembali mengambil Manado lalu Belanda kemudian mengusir Spanyol dari Manado dan kepulauan Sangir dan Talaud. Lalu pada tahun 1657 VOC membangun benteng di Manado. Hilangnya pengaruh Spanyol, dan semakin eratnya Belanda dan Ternate, wilayah (kerajaan) Ternate semakin meluas, tidak hanya di Maluku, juga hingga ke pantai timur Sulawesi (Banggai dan Mori) serta Minahasa hingga ke Kajeli (Paloe) dan Mandar. Sementara itu, di Buton, pengaruh Portugis telah digantikan oleh Belanda/VOC.

Meski kekuatan Portugis melemah, namun para pedagangannya masih intens di Hindia Timur terutama di Banten dan Gowa. Selain Atjeh, dua kerajaan ini dapat dikatakan kerajaan yang diincar VOC untuk menjalin kerjasama perdagangan. Oleh karena diplomasi Portugis masih sangat kuat, VOC tidak bisa berbuat banyak di Gowa dan Banten. Sebaliknya, Gowa di bawah Hasanoedin dapat membebaskan Mandar dari tangan Ternate (yang berkolaborasi dengan Belanda). Belanda di wilayah Nusatenggara semakin kuat, lebih-lebih setelah mengusir pengaruh Gowa dari Sumbawa terutama hubungan yang semakin erat dengan (kerajaan) Bima. Kerajaan Gowa di bawah Hasanoedin menjadi target VOC/Belanda.


Kerajaan Gowa semakin kuat, semakin berjaya dalam perdagangan. Pedagang-pedagang Portugis berlindung di dalamnya. Sebaliknya Gowa semakin banyak musuh yang mengelilinginya. Pembebasan Mandar menyebabkan Ternate kebakaran jengggot. Hubungan erat antara Ternate dan Buton menyebabkan Buton juga kepanasan melihat Gowa.  Sikap bermusihan Buton terhadap Gowa terjadi dalam periode 1623-1640 dimana kepentingan perdagangan dan kepentingan politik (Boeton) jatuh, yang mana Raja Gowa menguasai sebagian besar wilayah Sulawesi dan telah menundukkan dirinya dan memiliki banyak pengaruh pada orang yang berbeda pulau-pulau tempat rakyatnya berdagang. Sedangkan Bone yang selama ini (sejak 1643) di bawah bayang-bayang Gowa (dijadikan budak) kemudian memberontak. Keberadaan pedagang Portugis di Gowa yang terus eksis, membuat Belanda mendapat saingan perdagangan ke Eropa. Lalu dengan situasi dan kondisi itu, VOC membuka luka lama antara VOC dengan Gowa. Terbunuhnya kepala pedagang VOC di Sombaopoe tahun 1644 dijadikan VOC sebagai tuntutan bagi Gowa. Namun Gowa tak bergeming. Gowa juga tidak menyadari musuhnya yang berada di sekitar semakin banyak. Kesombongan Gowa mulai memanaskan VOC di Batavia. Aroe Palaka yang terusir dari Sulawesi dan berdiam di wilayah Batavia mendorong VOC untuk menaklukkan Gowa.

Singkat kata akhirnya kerajaan Gowa dapat ditaklukkan VOC pada tahun 1669. Habis sudah Gowa, habis pula Portugis di Sombaopoe. Andil Aroe Palaka yang besar, dianggap pemilik portofoliotinggi untuk menjadi penguasa local di Makassar (selepas Gowa hancur dan kota Sombaopoe ditinggalkan). VOC kemudian membangun benteng di Makassar (Oedjoeng Pandang).


Lalu bagaimana dengan Mandar? Yang jelas tidak dikembalikan kepada (radja) Ternate, tetapi tetap berada di bawah yurisdiksi Makassar (yang kini dipimpin Aroe Palaka). Namun demikian Ternate tetapi diberikan hak kuasa wilayah utara Sulawesi hingga Kajeli (di teluk Palos).

Lantas bagaiman dengan Buton? Yang jelas Radja Mandarsjah (Ternate) dan Radja Aroe Palaka (Makassar) terlalu kuat. Wilayah yang direbut Gowa tempo doeloe telah dikembalikan, namun Radja Boeton hanyalah kerajaan kecil yang wilayah perdagangannya terbatas (hanya lingkup perdagangan saja) di pantai timur semenanjung tenggara Sulawesi hingga teluk Kendari dan pantai barat hingga ke Kolaka. Sementara Makassar (Aroe Palaka) bahkan meliputi perdagangan jauh di selatan di nusa tenggara (Lombok, Sumbawa dan Flores serta bagian barat Timor).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Introduksi Tulisan Hangeul Korea di Pulau Buton Pelanggaran Tradisi Aksara? Apa Urgensinya?

Kapan nama Sumbawa muncul? Tidak ada nama Sumbawa dalam teks Negarakertagama (1365). Nama-nama yang disebut Taliwang, Dompo, Bima, Sangjang Api da Sapi plus (pulau) Sumba dan pulau Saksak/Lombok. Nama-nama yang disebut diduga terkait dengan kota pelabuhan yang menjadi pusat perdagangan.


Sejak kehadiran orang Eropa, nama Sumbawa baru terindetifikasi. Para pelaut Portugis, dari Malaka ke Maluku (1511-1513) nama Sumbawa sudah diidentifikasi. Pada peta nomor 21 diidentifikasi nama-nama berikut: Ilha de maquacer (eiland Makasser), Borney, Lloutam, Tanhumbagubari, Tanhumpura (Tandjoeng Poera), Pamgun (Poeloe Laoet), Agaci Grissee), ssurubaia, Ilha de Jaoa, Ilha de madura, Bllarain (Bali), Ssabaia (Sapoedi), Savoye, Lamboquo, Ssimbaua dan Aramaram, Nama Sumbawa ditulis Ssimbaua.   

Nama Sumbawa sebagai suatu kerajaan baru terinformasikan sejak 1674 dimana kontrak dibuat (lihat Daghregister,10-07-1674). Ini terjadi pasca perselisihan antara VOC dan kerajaan Gowa (dimana kerajaan Gowa ditaklukkan VOC pada tahun 1669). Pemerintah VOC sendiri melakukan kerjasama dengan (kerajaan) Bima sebelumnya terjadinya Perang Gowa. Seperti kita lihat nanti, kontrak kerjasama kerajaan Soembawa dengan pemerintah VOC kemudian diperbarui dan ditandatangani pada tahun 1677.


Mengapa berbeda situasi dan kondisi kontrak kerjasama antara (kerajaan) Bima dan kerajaan Sumbawa dengan VOC? Bima melakukannnya sebelum perang, sebaliknya Sumbawa setelah perang. Kita harus kembali ke masa lampau (teks Negarakertagama 1365) dimana nama-nama yang disebut di pulau Sumbawa adalah Taliwang, Dompo dan Bima. Apakah ini mengindikasikaan hubungan perdagangan dengan Jawa? Mengapa tidak disebut nama Sumbawa? Apakah Sumbawa belum lahir? Boleh jadi, yang ada adalah Dompo di bagian dalam teluk. Dalam peta awal Portugis (1511-1513) sudah disebut nama Sumbawa dan Aramaram (Alas?), sebaliknya nama Dompo dan Bima tidak diidentifikasi. Dalam peta Portugis ini dimana letak Sumbawa diduga berada di jalur navigasi pelayaran di wilayah pantai (kota Sumbawa Besar yang sekarang?). Sementara Dompu dan Bima tersembunyi di dalam (teluk Dompu dan teluk Bima). Besar dugaan Sumbawa (dan juga Alas) adalah kota-kota baru yang terbentuk dari perdagangan orang asing (Makassar dan Boeton?). Terbukti pada tahun 1541 setelah Portugis terusir dari Ternate/Spanyol, Portugis dengan membentuk kerjasama dengan Boeton dan Makassar. Apakah dalam hal ini Sumbawa dan Alas adalah vassal Makassar?

Lantas mengapa nama pulau disebut Sumbawa? Pelaut-pelaut Portugis yang menamai pulau dengan Sumbawa. Hal ini karena secara navigasi pelayaran Portugis dari Malaka melalui pantai utara Jawa ke Maluku melalui Madura, Bali, Lombok dan Sumbawa, nama (kota) Sumbawa yang ditemui lebih dulu. Laporan-laporan pelaut Portugis ini yang di dalam peta oleh para ahli kartografi mengidentifikasi pulau dengan nama pulau Sumbawa.


Pada tahun 1677 surat dari Radja Soembawa dicatat di Kasteel Batavia yang telah diterjemahkan (lihat Daghregister, 30-10-1677). Dalam bahasa dan aksara surat Radja Sumbawa tidak terinformasikan (terjemahaannya tidak disebut apakah dalam bahasa Belanda atau bahasa Melayu). Sudah barang tentu bukan bahasa Melayu, sebab pejabat VOC umumnya memahami bahasa Melayu. Kontrak kayu gaharu antara pemerintah VOC dengan radja Sumbawa sebanyak 17.000 pikol (lihat Daghregister, 17-12-1677). Dicatat lebih lanjut kontrak tahun 1676 dengan Sumbawa dibuat di Makasar dan sekarang disahkan disini di Batavia (lihat Daghregister, 21-12-1677). Yang memerankan perdagangan antara pemerintah VOC dengan para pemimpin local di pulau Sumbawa (Sumbawa, Domppe, Tambora dan Bima) adalah para pedagang orang-orang Moor. Orang-orang Moor banyak bermukim di Bima. Salah satu pedagang utama orang Moor saat ini adalah Coidja Rouboe) yang bertempat tinggal di Batavia. Seperti kita lihat nanti orang Bima banyak yang tinggal di kampong Kodja di Batavia. Sementara orang Sumbawa (dan juga orang Tambora) bermukim di kampong Tambora, Batavia.

Kerjasama antara Pemerintah VOC dan Radja Sumbawa telah menimbulkan kemarahan pada pangeran Makassar (yang Sebagian melarikan diri dari Gowa setelah perang). Pada tahun 1688 Crain Pomelican merampok dan membakar beberapa kapal milik Raja Sumbawa (Daghregister, 15-10-1688). Lalu untuk mengusir Crain Pomelican dari Soembawa dikirim ekspedisi militer dari Batavia pada tahun 1698 (Daghregister, 30-05-1698). Radja Soembawa yang melarikan diri dari Soembawa dikembalikan pemerintah VOC (Daghregister, 05-08-1698). Surat dari radja Soembawa diterima di Batavia (Daghregister, 21-11-1709). Namun dalam bahasa apa surat ditulis tidak diinformasikan. Baru pada tahun 1721 surat Radja Sumbawa diterima di Batavia dalam bahasa Melayu (Daghrefister, 17-10-1721). Surat-surat Radja Sumbawa yang dikirim ke Batavia dalam bahasa Melayu semakin intens, seperti yang diterima tahun 1725.


Apa yang dapat dipelajari dari penggunaan bahasa Melayu ini, seakan meningindikasikan bahwa bahasa Melayu telah menjadi bahasa pengantar diantara para pemimpin local dengan para pejabat pemerintah VOC. Bahasa Melayu tidak hanya wajib bagi para pejabat/pedagang VOC juga menjadi sangat penting bagi para pemimpin local termasuk para raja-raja.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar