*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Bank Negara Indonesia 1946 (BNI 1946) adalah bank negara Indonesia yang didirikan tahun 1946. Lembaga keuangan negara ini adalah satu-satunya lembaga pemerintah yang mematenkan tahun di belakang namanya. Itu bukan hanya karena bank tersebut didirikan tahun 1946 tetapi juga karena tahun itu adalah tahun sangat sulit bagi negara baru Indonesia. Negara harus berutang kepada rakyat untuk membiayai pemerintahan. Berutang kepada rakyat ini termasuk untuk menyediakan modal awal pendirian Bank Negara, bank negara yang kini dikenal sebagai Bank Negara Indonesia (BNI).
Bank Negara Indonesia 1946 (BNI 1946) adalah bank negara Indonesia yang didirikan tahun 1946. Lembaga keuangan negara ini adalah satu-satunya lembaga pemerintah yang mematenkan tahun di belakang namanya. Itu bukan hanya karena bank tersebut didirikan tahun 1946 tetapi juga karena tahun itu adalah tahun sangat sulit bagi negara baru Indonesia. Negara harus berutang kepada rakyat untuk membiayai pemerintahan. Berutang kepada rakyat ini termasuk untuk menyediakan modal awal pendirian Bank Negara, bank negara yang kini dikenal sebagai Bank Negara Indonesia (BNI).
De Volkskrant, 11-11-1946 |
Bagaimana
Bank Negara Indonesia (BNI) bisa
berutang pada saat pendiriannya tahun 1946? Itu pertanyaannya. Fakta ini tidak
ada akan ditemukan dalam sejarah BNI. Sebab Bank BNI saat ini adalah bank yang
sangat kaya. Untuk mengingatkan BNI jangan sampai jatuh menjadi sombong di
tengah masyarakat, kita perlu membangkitkan memory bahwa Bank BNI pernah
berutang saat pendiriannya tahun 1946. Mari kita perlihat sumber-sumber masa
lampau.
Poesat Bank Indonesia
Poesat Bank Indonesia (Centrale
Indonesische Bank) didirikan pada tanggal 14 Oktober 1945 dan memulai
kegiatannya pada bulan November 1945. Pembentukan itu diperlukan karena sistem
perbankan benar-benar terganggu setelah kemerdekaan Indonesia. Pada pertemuan badan
ekonomi pusat (centrale economische organisatie) yang diadakan di Jogjakarta mengumumkan
pendirian Poesat Bank Indonesia (PBI) yang mana Dr. Karim sebagai direktur (Leeuwarder
koerier, 02-03-1946). Disebutkan pendirian PBI ebagai bank sentral Indonesia ini
sangat didukung oleh pemerintah Republik.
Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Djakarta ke
Jogjakarta. Perpindahan ini secara bertahap dimulai sejak awal tahun 1946.
Rombongan terakhir terjadi pada bulan Oktober 1946 (lihat Nieuwe courant,
17-10-1946). Disebutkan rombongan terakhir ini berkumpul di bekas rumah Sutan
Sjahrir yang terdiri dari bagian Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Informasi
dan Kementerian Perhubungan yang mana yang memimpin rombongan terakhir ini
adalah Mr. Arifin Harahap yang berangkat dari Stasion Manggarai menuju Jogja
yang dikawal oleh polisi Belanda.
Sementara RUU sedang disiapkan untuk diajukan
mengenai dasar bank negara, PBI bertanggungjawab untuk mengeluarkan pinjaman
dua kali 500 Juta rupiah. Dari 500 Juta rupiah pertama, sebanyak 100 Juta
rupiah digunakan untuk menutupi defisit anggaran pemerintah, 200 Juta rupiah sebagai
modal bagi Bank Negara yang akan didirikan dan 200 Juta rupiah untuk pekerjaan
umum. Untuk 500 Juta rupiah kedua akan ditempatkan di Sumatra (lihat Algemeen
Handelsblad, 31-05-1946).
Pada bulan Februari 1946 Bank Rakjat Indonesia (BRI)
dibuka (lihat Het nieuws : algemeen dagblad, 10-04-1946). Disebutkan Bank
Rakjat Indonesia telah memiliki tidak kurang dari 70 cabang di Jawa dan Madoera
yang akan mendukung Republik [Indonesia] dalam perjuangan, konstruksi dan
ekonomi. Cabang BRI ini adalah eks Syomin Ginko pada era pendudukan Jepang dan
Volkscredietbank di era kolonial Belanda. Pendirian Bank Negara dalam hal ini
terutama untuk menjadi sirkulasi (bank sentral).
RUU tersebut disahkan sebagai Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 2 tahun 1946 tentang Bank Negara
Indonesia. Perpu ini ditetapkan di Jogjakarta
pada tanggal 5 Juli 1946 yang ditandatangani Presiden Republik Indonesia
Soekarno dan Menteri Keuangan Soerachman. Perpu ini kemudian diumumkan oleh Sekretaris
Negara AG Pringodigdo. Dengan adanya perpu ini maka bank negara Bank Negara
Indonesia mulai melakukan fungsi moneter.
Dalam Perpu Pasal 4 usaha Bank Negara
Indonesia ialah (dua yang pertama): 1.Mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas
Bank; 2.Memberi crediet kepada badan-badan pemerintah, bank-bank Indonesia dan
badan perekonomian rakyat lain.
Setelah disahkannya
perpu, Bank Negara Indonesia didirikan pada tanggal 17 Agustus 1946. Pendirian
bank negara ini dengan sendirinya menggantikan (sebagai kelanjutan) dari PBI,
yang mana PBI sendiri yang telah menerima modal awal 340.000 gulden pendudukan
Jepang dari ‘Dana Kemerdekaan’. Yang menjadi Presiden Bank Negara Indonesia adalah
Margono Djojohadikoesoemo dan sebagai penasehat keuangan Drs Soemitro
Djojohadikoesoemo, Ph.D (lihat Nieuwe courant, 17-10-1946). Disebutkan Bank
Negara Indonesia juga terdiri dari beberapa direktur.
Drs Soemitro
Djojohadikoesoemo, Ph.D adalah anak dari Margono Djojohadikoesoemo. Soemitro Djojohadikoesoemo adalah seorang ekonom yang
meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang ekonomi di Rotterdam tahun 1943
(lihat Algemeen Handelsblad,
13-03-1943). Desertasinya berjudul ‘Het volkscredietwezcn in de depressie’ (lihat
Maandschrift van het Centraal Bureau voor de Statistiek = Revue mensuelle du
Bureau Central de Statistique du Royaume des Pays-Bas, 31-10-1943). Margono
Djojohadikoesoemo sendiri pernah menjadi pejabat di era kolonial Belanda di
Afdeeling Cooperatie en Binnenland. Handel van het departement van Economische
Zaken (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 01-12-1941).
Pada akhir bulan Oktober 1946 BNI dalam
fungsi moneternya mulai mengedarkan uang Republik.
Provinciale Drentsche en Asser courant, 09-11-1946: ‘Sebagian
besar orang Indonesia dan Cina mengembalikan uang Jepang mereka ke Bank Negara
Indonesia. Sementara yang lainnya lebih suka membeli Gulden NICA untuk itu di
pasar gelap. Pedagang pasar gelap dan bisnisnya yang berkembang pesat di Batavia's
Chineesche kwartier’.
Pada awal bulan Desember 1946 menerbitkan
kurs uang Republik versus uang asing dan juga tersiar kabar bahwa di Jogjakarta
akan dibuka sefera bursa efek Indonesia.
Nieuwe courant, 02-12-1946: ‘Uang Republik. Bank Negara
Indonesia menerbitkan kurs uang Republik versus uang asing sebagai berikut: Pound
Australia 7 gulden, Pound Australia 6 guilders republik, Staits Doilar 0,80
guilders republik, Rupee India 0,50 guild republik dan Dolar Amerika 1,50 guild
republik... bursa efek Indonesia akan segera dibuka di Djokjakarta’.
Dua bank yang berada dibawah pengawasan
Pemerintah RI mulai aktif memberikan pinjaman. Bank BNI telah memberikan
pinjaman sebesar 4 Juta rupiah. Sementara Bank BRI telah memberikan pinjaman
hampir senilai 10 Juta rupiah. Pinjaman-pinjaman tersebut terutama kepada
perusahaan milik negara dan perusahaan swasta strategis.
Het nieuws: algemeen dagblad, 25-02-1947: ‘Menurut
laporan resmi oleh Komisi Kredit Indonesia, lebih dari 16 Juta rupiah telah dipinjamkan
kepada Pemerintah dan perusahaan swasta di Jawa hingga akhir Januari tahun ini,
dalam bentuk pinjaman yang diberikan oleh berbagai lembaga perbankan Indonesia.
Jumlah terbesar diberikan oleh Bank Rakjat Indonesia, lebih dari 9,9 Juta
rupiah kepada yakni 5 perusahaan yang digerakkan oleh negara sebesar 8 Juta rupiah
dan sisanya untuk 3 perusahan swasta. Sementara itu Bank Negara Indonesia telah
meminjamkan lebih dari 4 Juta rupiah kepada 7 perusahaan negara’.
Sehubungan dengan sulitnya hubungan antara
wilayah Republik di Jawa dan wilayah Republik di Sumatra dibuat kebijakan untuk
mengeluarkan uang kertas sendiri di Sumatra. Sebelumnya uang kertas OERI (Oeang
Republik Indonesia) hanya terbatas di Jawa.
Provinciale Drentsche en Asser courant, 16-04-1947: ‘Surat
kabar Waspada di Medan melaporkan bahwa uang kertas Republik dikeluarkan di
Sumatra mulai tanggal 10 April 1947. Uang baru ini memiliki nominal seratus
gulden Jepang terhadap satu gulden Republik di samping uang kertas Jepang. Uang
baru dicetak di [Pematang] Siantar, yang bertanda tangan adalah Menteri Keuangan
dan Direktur Bank Negara Indonésia.
Pada tanggal 20 Juli 1947 Belanda melakukan
agresi militer ke wilayah-wilayah Republik di Jawa dan Sumatra. Dalam aksi
militer Belanda ini juga termasuk di ibukota Sumatra di Pematang Siantar. Oleh
karena dalam pertempuran yang dilakukan, Republiken (TRI dan Republiken)
mengungsi ke Tapanoeli. Militer Belanda menemukan jutaan gulden perhiasan di
Bank Negara Indonesia di Pematang Siantar. Brankas Bank Negara Indonesia ini
diduga tidak sempat terselematkan sehingga dapat dijarah oleh militer Belanda.
Provinciale Drentsche en Asser courant, 04-08-1947: ‘Akhir-akhir
ini penyerangan ke wilayah Republik, JJ van de Velde dan komandan teritorial,
Kolonel P. Scholten mengunjungi Siantar. Di Bank Negara Indonesia di [Pematang]
Siantar ditemukan perhiasan dari pemerintahan (RI) yang jumlahnya bernilai
jutaan gulden’.
Laporan Pertama Bank Negara Indonesia: Opium Juga Tidak
Apa!
Bank Negara Indonesia sebagai bank sentral
Indonesia telah menjalankan fungsi moneternya meski situasi Indonesia dalam
perang (dengan Belanda). Bank Negara Indonesia telah didirikan di berbagai
wilayah RI. Dalam situasi perang ini, Bank Negara Indonesia telah menunjukkan
kinerjanya. Ini dapat diketahui dalam laporan keuangannya yang perdana,
Disebutkan Bank Negara Indonesia telah memberikan pinjaman yang meningkat dari
waktu ke waktu. Dalam laporan ini juga Bank Negara Indonesia telah memperoleh
pendapatan yang cukup berarti.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 08-12-1948 |
Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan
agresi militer kembali (Agresi Militer Be;anda II) ke wilayah-wilayah Republik
di Jawa dan Sumatra. Dalam aksi militer Belanda ini juga termasuk di ibukota RI
di Jogjakarta. Agresi militer ini juga meliputi wilayah Tapanoeli dan beberapa
wilayah Republik di Sumatra seperti di Djambi.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 03-01-1949: ‘Dikatakan bahwa
perintah penyerangan dapat diharapkan hari ini untuk komandan pasukan di
Sumatra. Itu juga secara resmi dilaporkan di Sumatra. Di Pekan Baroe, TNI telah
dimurnikan. Tindakan pemurnian juga telah dimulai di pulau-pulau di lepas
pantai Sumatra di Selat Malaka. Wilayah pertambangan batubara di Sawahloento juga
ditempati (militer Belanda). Di Telukbetoeng, setelah pasukan Belanda menduduki
tempat ini, tampaknya tidak ada kerusakan yang terjadi. Oosthaven (pelabuhan
Telok Betong) benar-benar utuh. Sejak awal aksi ini sebanyak 66 tentara tewas
di pihak Belanda menurut data yang diterima sejauh ini, sementara 172 tentara
terluka. Dari sumber-sumber militer juga dilaporkan bahwa dii Djambi sebanyak
70 kg opium ditemukan di Bank Negara Indonesia yang dimaksudkan untuk berfungsi
sebagai mata uang asing bagi otoritas Republik (dalam bertransaksi dengan
asing). Pnduduk yang sebagian telah melarikan diri, sekarang kembali dalam
jumlah besar. Banyak mantan pejabat kembali menyediakan layanan’.
Dari laporan militer Belanda ini terindikasi
bahwa Bank Negara Indonesia telah mentoleransi opium sebagai alat transaksi.
Dalam berbagai laporan seperti opium di Bank Negara Indonesia di Djambi ini
juga ditemukan di Jawa. Kasus di Jawa adalah opium yang dibawa oleh para
pedagang opium ke wilayah Republik untuk didistribusikan ditemukan oleh
militer. Penyitaan opium ini menjadi milik negara. Opium-opium sitaan inilah
yang diduga dimanfaatkan oleh Bank Negara Indonesia untuk bertransaksi dengan
asing di Singapoera (untuk mendatangkan barang impor). Tentu saja dalal hal ini
pihak RI tidak memiliki gulden dan hanya OERI (yang mungkin tidak/belum berlaku
di luar negeri).
Pengembalian Utang Republik Indonesia
Satu butir kesepakatan dalam KMB di Den Haag
adalah bahwa dengan pembentukan negara RIS, Javasche Bank adalah bank sirkulasi
untuk seluruh RIS. Meski demikian, fungsi bank RI masih berajalan sebagaimana
biasanya. Hanya saja soal sirkulasi dan peredaran uang sudah sepenuhnya di
bawah tanggungjawab Javasche Bank.Bank BNI mulai fokus pada perihal perbankan
umum terutama diarahkan untuk bank devisa. Bank BNI akan berubah menjadi Bank (perusahaan)
komersial, Sementara Bank BRI lebih difokuskan untuk peningkatan produksi dan
ekonomi rakyat.
Setelah terbentuknya RIS, Margono melpaskan jabatannya di
Bank BNI dan diangkat sebagai penasehat khusus Perdana Menteri Mohamad Hatta.
Oleh karena Javasche Bank menjadi bank
sirkulasi tunggal, Pemerintah RIS menempatkan seorang wakil pemerintah di dalam
Javasche Bank (sebagai saatu dari direktur). Javasche Bank sendiri adalah bank
swasta Belanda yang mana Presiden Direktur adalah N. Tennissen.
Pemerintah RIS melakukan devaluasi uang. Menteri Keuangan
RIS mengumumkan pada hari Minggu devaluasi mata uang yang beredar sebesar 50
persen (lihat Algemeen Handelsblad, 20-03-1950). Langkah ini mulai berlaku pada
hari Minggu malam pukul 8. Sejak itu, uang kertas dan guilder Indonesia hanya
akan memiliki setengah nilainya. Semua bank dan kantor pembayaran akan ditutup
hingga 22 Maret. Setelah dibuka kembali, uang lama akan dapat ditukar dengan
setengah nilai untuk yang baru sampai 16 April. Menteri Keuangan Sjafruddin
mengatakan dalam pidato radio bahwa setengah dari uang dan setengah dari semua
rekening bank akan dianggap oleh pemerintah sebagai pinjaman publik. Bank harus
mentransfer 60 persen dari semua rekening dengan nilai setengahnya ke rekening
khusus untuk pinjaman ini. Setiap uang kertas dari lima gulden harus dibagi
menjadi dua bagian, separuh akan berlaku hingga 9 April sebagai tender legal
dengan nilai setengahnya. Kemudian harus ditukar dengan uang baru. Setengah
yang tepat dapat ditukar dengan obligasi pemerintah pada setengah dari nilai
nominal pada waktunya. Sjafruddin mengatakan bahwa tindakan cepat dan drastis ini
diperlukan untuk melindungi situasi ekonomi. Menurut pendapat pemerintah, ini
hanya bisa dicapai dengan langkah saat ini, yaitu penerbitan pinjaman nasional
dan penarikan uang dari peredaran, sementara pemerintah dengan mengeluarkan
pinjaman darurat, yang setengah dari jumlah uang yang beredar sekitar
1.500.000.000 gulden, yang akan dibayar 40 persen. Pemerintah mengharapkan
bahwa rencana baru ini - yang telah diadopsi sebagai undang-undang darurat -
sebagian besar akan menebus defisit untuk tahun berjalan tanpa meningkatkan
uang yang beredar atau meningkatkan inflasi’.
Setelah devaluasi, Pemerintah RIS melakukan
kebijakan penyederhanaan jenis-jenis uang yang beredar. Sebelum terbentuknya
RIS, pemerintah RI memiliki kebijakan tersendiri dengan mencetak dan
mengedarkan uang kertas OERI (di Jawa dan Madura) dan pemerintah RI di Sumatra
mengeluarkan jenis uang kertas yang berbeda di sejumlah wilayah seperti
misalnya di Sumatra OERITA di Residentie Tapanoeli, OERIPSOE (Uang Republik Indonesia
Piopinsi Sumatera Oetara).
Trouw, 15-04-1950: ‘Setelah restrukturisasi uang secara
drastis di Indonesia, pertanyaannya adalah apa yang akan terjadi pada banyaknya
jenis uang yang diedarkan oleh semua jenis otoritas. Bahkan dengan perkiraan,
tidak mungkin untuk menentukan berapa banyak uang yang telah dimasukkan ke
dalam sirkulasi. Menteri Keuangan sekarang telah menetapkan nilai tukar dimana
jenis uang yang beredar di luar wilayah federal dapat dipertukarkan...Uang OERI
(Oeang Repoeblik Indonesia) yang beredar di Jawa dan uang OERIPS (Oeang
Repoeblik Indonesia Piopinsi Sumatera) yang dicetak di Pematang Sianter dan Bukittinggi,
OERITA (Oeang Repoeblik Indonesia Tapanoeli); OERIPSOE (Oeang Republik Indonesia
Propinsi Sumatera Oetara. Penukaran dimulai pada 30 Maret di kantor pegadaian
di daerah Renville dan kemungkinan akan diperluas ke kantor pos dan Bank Rakjat
Indonesia (Volksbank Indonesia). Jadi dengan cara ini apa yang diharapkan
meningkatkan daya beli penduduk di wilayah Djokja. Tidak ada data yang
diketahui tentang sejauh mana peredaran jenis uang ini, bahkan perkiraan, yang
didasarkan pada kenyataan.Secara umum harus dinyatakan bahwa tingkat konversi
untuk uang Republik lebih baik dibandingkan dengan harga perdagangan tidak
resmi/
Selain perihal devaluasi dan peredaran uang
kertas, Pemerintah RIS juga mulai melunasi utang yang pernah dibuat Pemerintah
RI. Bagi Pemerintah RI sendiri sudah waktunya pula mengembalikan dana-dana
pinjaman dari masyarakat. Pemerintah RI pernah melakukan pinjaman dari
masyarakat pada tahun 1946 dan pada tahun 1948. Pinjaman tersebut khususnya
pinjaman tahun 1946 salah satu alokasinya untuk pembentukan modal pendirian
Bank Negara Indonesia.
De vrije pers: ochtendbulletin, 11-07-1950: ‘Pinjaman
Nasional RI. Menteri Keuangan RIS, dengan keputusan tanggal 19 Juni 1950,
mengeluarkan peraturan tentang pendaftaran Pinjaman Nasional tahun 1946 dan
Janji Negara tahun 1948. Mereka yang memiliki klaim dengan Pemerintah RI dalam
bentuk Pinjaman Nasional 1946 dan atau Janji Negara tahun 1948 harus mendaftar
untuk ini sebelum tanggal 31 Agustus 1950. Pendaftaran dapat dilakukan: untuk
Pinjaman Nasional 1946 yang dapat dibuktikan oleh penerima di Bank Rakjat
Indonesia terdekat. Untuk Pinjaman Nasional yang dapat dibuktikan dengan
kantong di Bank tempat nota yang bersangkutan diterbitkan pada saat itu; untuk Janji
Negara tahun 1948 di Bank Rakjat Indonesia atau Bank Negara Indonesia terdekat.
Saat mendaftar, bank-bank yang ditunjuk diharuskan untuk memberikan bukti
penerimaan sebagai imbalan atas surat-surat hutang yang dikeluarkan. Jika
kewajiban registrasi ini tidak dipenuhi, hak untuk mengklaim dengan pemerintah
RI akan berakhir’.
Pada tanggal 18 Agustus 1950 RIS dibubarkan dan
kembali ke negara kesatuan (NKRI). Pada tanggal 6 September kabinet baru (NK)RI
dibentuk yang mana sebagai perdana menteri adalah Natsir (menggantikan Mohamad
Hatta). Menteri Keuangan dalam Kabinet Natsir adalah Sjafrodin Prawiranegara.
Segera setelah kabinet baru, Lukman Hakim, mantan Menteri Keuangan Republik
Indonesia di Djogjakarta ditunjuk sebagai (salah satu) Direktur Javasche Bank
(lihat De West: nieuwsblad uit en voor Suriname, 08-09-1950). Selama era RIS,
meski Javasche Bank sebagai bank sentral, tetapi tidak satupun orang Indonesia
yang duduk di jabatan pimpinan. Dalam hal ini, Lukman Hakim adalah orang
Indonesia pertama di Javasche Bank.
Hal pertama yang dilakukan oleh Lukman Hakim sebagai
direktur di Javasche Bank adalah berangkat ke kantor pusat Javasche Bank di Amsterdam
(Het vrije volk : democratisch-socialistisch dagblad, 12-09-1950). Disebutkan Lukman Hakim akan berangkat akhir bulan
September dan bertugas di Amsterdam selama enam bulan untuk mempelajari
berbagai hal terkait dengan Javasche Bank.
Pada tanggal 29 Mei 1951 Dr. A. Houwink mengundurkan
diri sebagai Presiden Komisaris Javasche Bank dan mengembalikan mandat itu kepada
Presiden Soekarno. Lalu kemudian muncul rumor bahwa pemerintah merekomendasikan
yang menggantikannya adalah Sjafroeddin Prawiranegara (lihat De nieuwsgier,
02-06-1951). Boleh jadi ini karena Sjafroeddin Prawiranegara dalam posisi
menganggur setelah Kabinet Natsir dibubarkan.
Pada tanggal 28 Juni Menteri Keuangan (Wibisono)
membentuk komisi untuk mempersiapkan nasionalisasi Javasche Bank. Pada tanggal
4 Juli sidang kabinet menyetujui pengangkatan Mr. Sjafroeddin Prawiranegara
sebagai Presiden Javasche Bank.
Nieuwe courant, 13-07-1951:
‘Dengan keputusan Menteri Keuangan 4 Juli 1951 memutuskan untuk memberikan
semua jenis koin dari Republik Indonesia (OERI, Oeridab, Oerips, Oerita, Oeripsu,
Oeriba, Oerin dan koin lokal di Bengkulen dan Palembang, mulai 1 Agustus hingga
31 Desember 1951 ditahan dan dibekukan dan dapat ditukar di Bank Negara
Indonesia atau Bank Rakjat Indonesia di Jawa dan Suimatra dengan uang yang beredar
saat ini’,
Untuk memperkuat rencana pemerintah terhadap
nasionalisasi Javasche Bank pemerintah telah mengundang seorang pakar keuangan
dari Jerman, Dr. Hjalmar Schacht. Pakar ini tiba di Indonesia pada tanggal 3
Augustus atas undangan pemerintah Indonesia. Dalam kedatangan Dr. Schacht ini,
pemerintah juga mengumumkan bahwa akan membeli saham Javasche Bank dengan harga
120% dari nilai nominal.
Java-bode :
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 14-11-1951: ‘Javasche Bank. Pembelian
saham. Dalam sebuah pertemuan yang berlangsung selama satu setengah jam,
tentang nasionalisasi Javasche Bank, Dewan Menteri membahas beberapa
undang-undang dan melampirkan itikad baik untuk pendirian Kantor Pengawasan
Pasca-Surveilans, saran apa yang akan diberikan kepada Presiden, Dari BRI, Harsoadi
memberitahu Mononutu menyatakan bahwa pembelian seumur hidup Javascne Bank
senilai f 8.800.000 nominal sekitar 97%. Bahwa Indonesia, sebagai bangsa, harus
menjadi bank sentral dengan karakter nasional. properti, kepentingan publik
bank harus menjadi milik negara, yang sejauh ini Javasche Bank telah ada sejauh
ini didanai oleh orang asing, Bahwa untuk mengakhiri posisi Javasche Bank harus
dinationalisasi. Tentang pengangkatan ketua Dewan Pengawas juga Harsoadi dari BRI
terdiri dari anggota: RM Margono Djojohadikusumo, presiden Bank Negara
Indonesia, M. Sutoto, Sekretaris Jenderal Kementerian Koneksi, TB Sabaruddin,
Direktur Foreign Exchange Institute dan N Tennissen, Direktur Javasche Bank’.
Upaya pemerintah untuk menasionalisasi
Javasche Bank mendapat respon positif dari parlemen. Pada tanggal 30 November
1951, parlemen telah menyetujui deklarasi Rancangan Undang-Undang tentang
nasionalisasi Javasche Bank. Dalam situasi dan kondisi inilah Lukman Hakim,
direktur Javasche Bank dan Sjafroeddin Prawiranegara, Presiden (komisaris) yang
baru Javasche Bank saling bahu membahu untuk menasionalisasi Javasche Bank dan
menggantinya dengan nama yang baru, yakni Bank Indonesia.
Nasionalisasi Javasche Bank tentu saja tidak mudah dan
berlangsung setahap demi setahap. Hal ini di satu pihak karena keuangan
Pemerintah Indonesia belumlah kuat dan di pihak lain para investor di Javasche
Bank yang berkedudukan di Amsterdam masih wait en see. Tentu saja ini terkait
dengan masalah politik antara Indonesia dengan Belanda yang mana Pemerintah
Indonesia ingin membatalkan perjanjian KMB sementara Pemerintah Belanda tidak
terlalu meresponnya.
Sejak kepulangan direktur Javasche Bank Mr.
Lukman Hakim dari Belanda, pemerintah dan otoritas bank sentral di Indonesia
(Javasche Bank) terus melakukan konsolidasi. Undang-Undang Pokok Bank Indonesia
telah diberlakukan pada tanggal 1 Juli 1953. Ini sehubungan dengan tuntasnya
upaya nasionalisasi Javasche Bank.
Dengan diberlakukannya undang-undang Bank Indonesia maka
Mr. H. Teunissen, salah satu direktur di Javasche Bank yang merangkap wakil
presiden terhitung tanggal 1 Juli harus mengundurkan diri dari jabatannya,
Susunan pimpinan baru Bank Indonesia telah ditetapkan (Het vrije volk:
democratisch-socialistisch dagblad, 14-07-1953). Disebutkan dewan eksekutif
Bank Indonesia terdiri sebagai berikut: Gubernur: Sjafroeddin Prawiranegara;
direktur adalah Mr. Lukman Hakim yang merangkap sebagai Wakil Gubernur dan Mr.
Indrakoesoema. Sebelumnya berbagai kalangan sempat mengkhawatirkan fungsi bank
sentral akan berantakan setelah pengunduran diri Dr. A Houwink. Namun penunjukkan Sjafroeddin Prawiranegara
untuk menggantikan Houwink secara perlahan mampu menghilangkan persepsi
tersebut.
Javasche Bank tamat sudah setelah beroperasi
di Indonesia (baca: Hindia Belanda) sejak 1824. Tahun 1953, Bank Indonesia
(suksesi Javasche Bank) memulai babak baru dalam kebanksentralan di Indonesia yang
mana semua posisi strategis telah diisi oleh 100 persen orang Indonesia. Bank
Indonesia adalah suksesi Bank Negara Indonesia.
Bank Negara
Indonesia di Tapanoeli, 1946
Pada
tahun 1946 Bank Negara Indonesia didirikan dengan utang dari rakyat. Kantor
Pusat Bank Negara Indonesia berada di Jogjakarta. Sehubungan dengan pendirian
Bank Negara Indonesia ini di sejumlah tempat didirikan cabang termasuk di
Pematang Siantar (ibukota Provinsi Sumatra), Bukittinggi (ibukota Residentie Sumatra
Barat) dan Sibolga (ibukota Residentie Tapanoeli).
Sehubungan
dengan kembalinya Belanda/NICA dan semakin menguatnya posisi mereka di berbagai
kota, pusat pemerintahan RI dipindahkan. Ibukota RI di Djakarta dipindahkan ke
Jogjakarta; ibukota (provinsi) Sumatra dipindahkan dari Medan ke Pematang
Siantar dan ibukota Residentie Sumatra Barat dipindahkan dari Padang ke
Bukittinggi. Ibukota Residentie Tapanoeli tetap di Sibolga (tidak termasuk
sasaran utama Belanda).
Di
Sibolga dibentuk cabang dari Bank Negara Indonesia. Yang diangkat sebagai
kepala cabang Bank Negara Indonesia di Sibolga adalah Djames Harahap. Wakil
Residen Tapanoeli adalah Abdul Hakim Harahap.
Pada era
kolonial Belanda ada sejumlah pribumi yang menjadi pejabat di Kementerian
Ekobnomi (Economisch Zaken). Tiga diantaranya adalah Margono Djojohadikoesoemo,
Soerjaatmadja dan Abdul Hakim Harahap. Sebelum pendudukan Jepang, Margono
sebagai direktur koperasi dan Abdul Hakim Harahap sebagai kepala cabang ekonomi
di Groot Indie (Indonesia Timur) yang berkedudukan di Makassar,
Djames
Harahap bersama Ismail Harahap dan Muslim Harahap adalah tiga pemuda dari
Tapanoeli pada tahun 1938 berangkat studi ke Batavia. Djames Harahap dan Muslim
Harahap masuk sekolah ekonomi sementara Ismail Harahap masuk sekolah apoteker.Setelah
lulus pada tahun 1941 Ismail Harahap ditempatkan di Soerabaja sebagai apoteker.
Sementara Muslim Harahap melamar kerja di Bank Nasional Indonesia di Medan.
Sedangkan Djames Harahap melamar menjadi pegawai di Econemisch Zaken, tempat
dimana Margono dan Abdul Hakim Harahap sebagai pejabat.
Bank Nasional
Indonesia didirikan tahun 1930 di Soerabaja. Bank swasta pribumi di Soerabaja
ini digagas oleh Dr. Soetomo. Bank swasta pribumi pertama Bataksche Bank didirikan
di Pematang Siantar pada tahun 1920 oleh Dr. Mohamad Hamzah Harahap. Bank
Nasional Indonesia dalam perkembangannya membuka cabang di sejumlah tempat
termasuk di Medan.
Pada
saat pendudukan Jepang, Abdul Hakim Harahap dan Djames Harahap pulang kampung
ke Tapanoeli. Sementara Muslim Harahap tetap di Medan. Sedangkan Ismail Harahap
tetap tinggal di Soerabaja.
Setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia, Abdul Hakim Harahap yang menjadi pejabat di
Tapenoeli di era Jepang diangkat Pemerintah RI untuk menjadi Wakil Residen
Tapanoeli bersama dengan Residen Tapanoeli Dr. FL Tobing. Besar dugaan Margono
meminta rekan lamanya Abdul Hakim Harahap untuk membentuk Bank Negara Indonesia
di Sibolga. Untuk menjadi kepala cabang adalah Djames Harahap. Sementara itu di
Medan yang menjadi kepala Bank Nasional Indonesia adalah Muslim Harahap. Pada
tahun 1951 ketika Abdul Hakim Harahap diangkat menjadi Gubernur Sumatra Utara,
kepala BNI Cabang Medan adalah Djames Harahap. Untuk sekadar diketahui Ismail
Harahap di Soerabaja kelak dikenal sebagai ayah dari Andalas Datoe Oloan
Harahap atau Ucok AKA (pionir musik rock Indonesia), sementara Djames Harahap
di Medan kelak dikenal sebagai ayah dari Rinto Harahap dan Erwin Harahap
(pendiri grup musik The Mercy’s).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar