Jumat, 03 Juni 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (629): Bahasa Melayu Berbeda Bangsa di Malaysia; Beda Bangsa Bersatu Nusa pada Bahasa Indonesia

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Bahasa Melayu adalah lingua franca. Lingua franca internasional adalah bahasa Inggris. Penutur bahasa Inggris tidak selalu orang (bangsa) Inggris, tetapi juga bangsa lain seperti bangsa Amerika Serikat. Bahasa Inggris sebagai bahasa resmi negara terdapat di Singapoera. Demikian juga penutur bahasa Melayu, terdapat di banyak tempat, tetapi berbeda (suku) bangsa yang mengidentifikasi diri sebagai suku-suku bangsa Minangkabat, Betawi, Ambon dan sebagainya. Lalu bagaimana di Riau? Tentu saja berbeda dengan suku bangsa di Malaysia dan Singapoera. Diantara pernutur bahasa Melayu di Riau juga sebenarnya dapat mengindetifikasi diri sebagai Orang (suku) Lingga, Orang (suku) Bintan, Orang (suku) Natuna dan sebagainya. Mengapa? Beda geografi beda dialek.

Orang-orang (suku) di (kepulauan) Riau ke sisi luar mengidentifikasi / diindentifikasi sebagai Orang Riau (jelas bukan Orang Bangka atau Orang Belitung atau Orang Kalimantan. Jadi dalam hal ini suku (orang) adalah suatu afiliasi (ke dalam atau ke luar). Hal serupa juga di Sumatra Utara, orang Batak terdiri dari sub-suku bangsa seperti Angkola, Mandailing, Toba dan Karo. Satu bahasa Batak berbeda dialek juga bisa mengindetifikasi sebagai Orang Angkola, Orang Mandailing dan Orang Toba serta Orang Karo. Hal itulah yang terjadi di tingkat yang lebih luas di eks wilayah Hindia Belanda yang kemudian berbagai suku bangsa (antara lain Batak, Melayu, Jawa, Minangkabau, Sunda) mengidentifikasi diri sebagai Orang (bangsa) Indonesia; berbeda bahasa dan dialek dengan mengakui (bertutur) Bahasa Indonesia. Lalu bagaimana dengan di (negara) Malaysia?

Lantas bagaimana sejarah bahasa Melayu berbeda bangsa di Malaysia dan berbeda bangsa bersatu nusa di Indonesia dalam Bahasa Indonesia. Seperti disebut di atas, nusa, bangsa dan bahasa adalah afiliasi-afiliasi, suatu kesadaran untuk memilih dan mengidentifikasi diri. Lalu bagaimana sejarah sejarah bahasa Melayu berbeda bangsa di Malaysia dan berbeda bangsa bersatu nusa di Indonesia dalam Bahasa Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe..

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Bahasa Melayu Berbeda Bangsa di Malaysia: Integrasi versus Assimilasi

Akhir-akhir ini ‘ramai’ anak-anak Malaysia ‘doyan’ berbahasa Indonesia. Gejala ini membuat orang tua di Malysia resah. Apa yang salah? Tidak yang salah, tetapi mengapa resah. Lalu apakah anak-anak belajar bahasa Inggris orang tua resah? Tentu saja tidak. Lalu apa sebenarnya yang terjadi?

Ada seorang guru besar di Malaysia mempertanyakan apakah ada Bahasa Indonesia. Sang profesor menjawab sendiri bahwa Bahasa Indonesia juga bahasa Melayu. Bukankah anak-anak di Malaysia telah mengikuti anjuran atau pendapat sang guru besar? Bahasa Indonesia juga bahasa Melayu. Tidak hanya itu. Perdana Menteri Malaysia atau para guru besar di Malaysia menyebut penutur bahasa Melayu lebih dari 300 juta, yang mana lebih dari 200 juta berada di Indonesia. Apa yang perlu diresahkan? Bukankah anak-anak di Malaysia telah mengikuti cara berpikir para pemimpin mereka?

Lantas apakah ada anak-anak di Indonesia yang menggunakan bahasa Melayu (Malaysia) di Indonesia? Mungkin ada, tetapi tidak terlalu penting. Oleh karena itu orang tua di Indonesia tidak pernah resah dengan itu. Yang menjadi kerasahan para orang tua di Indonesia adalah bahwa anak-anak di Indonesia belum begitu banyak yang mahir berbahasa Inggris.

Di Malaysia ‘ramai’ orang dewasa yang fasih berbahasa Inggris. Ini menjadikan orang dewasa di Malaysia banyak yang dwibahasa (selain bahasa Melayu, juga bahasa Inggris). Lalu bagaimana di Indonesia? Sangat banyak yang memiliki kemampuan dwibahasa: Bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Bahkan diantara orang Indonesia banyak yang mahir lebih dari satu bahasa daerah. Lalu apakah orang di Inggrsi tidak ada yang dwibahasa? Tentu saja banyak, selain menggunakan bahasa sendiri, prang Inggris banyak yang mahir salah satu bahasa asing (dwibahasa) terutama bahasa Prancis. Sebaliknya orang Belanda hampir semua bisa berbahasa Inggris.  

Apakah orang tua di Malaysia perlu resah jika anak-anak mereka menyukai berbahasa Indonesia? Sebenarnya, permasalahan bukun disitu, tetapi karena orang Indonesia sudah sejak lama menamai bahasanya sendiri dengan nama Bahasa Indonesia. Semakin diresahkan, ketika orang Indonesia menolak Bahasa Indonesia disebut orang Malaysia sebagai bahasa Melayu.

Keresahan orang di Malaysia semakin panjang dari waktu ke waktu. Tidak hanya soal anak mereka menyukai Bahasa Indonesias dan soal nama bahasa Indonesia sendiri, juga soal kemajuan bahasa Indonesi dari soal linguistik juga soal jumlah orang asing peniutur bahasa Indonesia. Kerasahan yang memyebabkan semakin resah lagi adalah Bahasa Indonesia oleh orang Indonesia terus didorong menjadi bahasa internasional (bahasa perantara bangsa). Sebaliknya sikap orang Malaysia yang disikapi oleh orang Indonesia adalah khawatir akan memusuhi Bahasa Indonesia, yang pada gilirannya, anak-anak mereka yang menyukai bahasa Indonesia juga turut dimusuhi. Nah, lho!.

Kerasahan yang terjadi di Malysia, sebenarnya tidak bisa dipukul rata untuk semua warga/ orang Malaysia. Mengapa? Seperti halnya, orang Indonesia, orang Malaysia juga terdiri dari banyak suku bangsa. Tidak hanya Melayu, Cinaa dan India di Semenanjung, juga orang di Serawak dan Sabah yang beragam etnik seperti (Dayak) Iban. Warga negara Malaysia di wilayah Serawak dan Sabah berbahasa Melayu mirip bahasa Indonesia (satu pulau Kalimantan/Borneo). Jadi, yang bermasalh itu hanya orang Malaysia yang terdapat di Semenanjung Malaya.

Celakanya, orang Melayu di Semenanjung Malaya dalam sejarahnya sebagian besar pendatang. Jelas bahwa Cina dan India serta Arab adalah pendatang. Pendatang lainnya tempo doeloe banyak dari Sumatra (Angkola, Mandailing dan Minangkabau), dari Jawa (Jawa, Madura dan Bawean), dari Kalimantan (Banjar) serta Sulawesi (Bugis/Makassar). Mereka yang berasal dari pulau-pulau di Indonesia ini telah lama mengaku atau ‘dipaksa megaku’ sebagai orang Melayu. Oleh karenanya, terutama di Selangor disebut orang Melayu asal Angkola dan Mandailing; di Negeri Sembilan disebut orang Melayu asal Minangkabau. Mereka yang berasal-usul dair pulau-pulau di Indonesia mungkin tidak terbilang yang ikut meresahkan anak-anak mereka menyukai Bahasa Indonesia.

Lantas siapa sesungguhnya, orang Malaysia yang benar-benar meresahkan Bahasa Indonesia? Anak-anak mereka? Orang Malaysia mengakuu atau diakui sebagai orang Melayu asal-usul pulau-pulau di Indonesia? Orang Cina? Orang India? Yang jelas di wilayah (negara) Malaysia berbeda bangsa berbahasa Melayu. Sedangkan di Indonesia, berbeda bangsa berbahasa Indonesia.

Apa yang menjadi perbedaan? Di Indonesia semua orang dari berbagai suku bangsa seperti Melayu, Jawa, Batak, Cina  menggunakan bahasa Indonesia diantara mereka. Di Malaysia tidak semua bangsa, terutama Cina dan India ‘boleh’ berbahasa bahasa (bangsa) Melayu. Orang non bangsa Melayu lebih menyukai bahasa Inggris sebagai bahasa perantara bangsa. Perbedaan keduanya terletak pada konsep politik berbangsa dan berbahasa: di Indonesia konsep yang diterapkan adalah assimliasi (pembauran) persatuan dan kesatuan, sedangkan di Malaysia hanya sebatas integrasi.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Berbeda Bangsa, Bersatu Nusa dalam Bahasa Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar