Kamis, 02 Juni 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (628): Beragam Pendapat Sejarah, Soal Ketidaktahuan; Ilmu Pengetahuan Hanya Butuh Jawaban Tunggal

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Sejarah adalah narasi fakta dan data. Lalu mengapa muncul beragam pendapat tentang hal sejarah? Permasalahan senderhana karena ketidaktahuan (data). Permasalahan rumitnya pada tingkat pertama adalah kesalahan interpretasi dan pada tingkat paling buru mengubah fakta dan data serta mengkonstruk data. Saya menemukan banyak kasus dalam hal ini. Seperti disebut di atas, sejarah adalah narasi fakta dan data, oleh karena sejarah adalah ilmu pengehuan maka hanya satu fakta dan data yang sebenarnya dan setiap beragam pertanyaan dalam sejarah hanya membutuhkan jawaban tunggal. Lalu mengapa narasi sejarah di Indonesia berbeda-beda?

Ilmu dan pengetahuan adalah dua hal yang berbeda. Pengetahuan dicerna berdasarkan panca indra (mata, hidung, telinga, kult dan lidah). Sedangkan ilmu adalah cara atau metode (yang dipilih) untuk mengetahui dan untuk menghasilkan pengetahuan. Dalam hubungan ini, di laman Wikipedia disebutkan: Ahli-ahli sejarah terkemuka yang membantu mengembangkan metode kajian sejarah antara lain: Leopold von Ranke, Lewis Bernstein Namier, Geoffrey Rudolf Elton, G. M. Trevelyan, dan A. J. P. Taylor. Pada tahun 1960an, para ahli sejarah mulai meninggalkan narasi sejarah yang bersifat epik nasionalistik, dan memilih menggunakan narasi kronologis yang lebih realistik. Ahli sejarah dari Prancis memperkenalkan metode sejarah kuantitatif. Metode ini menggunakan sejumlah besar data dan informasi untuk menelusuri kehidupan orang-orang dalam sejarah. Ahli sejarah dari Amerika, terutama mereka yang terilhami zaman gerakan hak asasi dan sipil, berusaha untuk lebih mengikutsertakan kelompok-kelompok etnis, suku, ras, serta kelompok sosial dan ekonomi dalam kajian sejarahnya. Dalam beberapa tahun kebelakangan ini, ilmuwan posmodernisme dengan keras mempertanyakan keabsahan dan perlu tidaknya dilakukan kajian sejarah. Menurut mereka, sejarah semata-mata hanyalah interpretasi pribadi dan subjektif atas sumber-sumber sejarah yang ada. Dalam bukunya yang berjudul In Defense of History (terj: Pembelaan akan Sejarah), Richard J. Evans, seorang profesor bidang sejarah modern dari Universitas Cambridge di Inggris, membela pentingnya pengkajian sejarah untuk masyarakat. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah beragam pendapat sejarah karena soal ketidaktahuan dan ilmu pengetahuan hanya butuh jawaban Tunggal? Seperti disebut di atas, pengetahuan sejarah semakin dibutuhkan, namun yang kerap bermasalah adalah soal narasi sejarah. Metode atau ilmu sejarah semakin ditingkatkan. Lalu bagaimana sejarah beragam pendapat sejarah karena soal ketidaktahuan dan ilmu pengetahuan hanya butuh jawaban Tunggal? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe..

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Beragam Pendapat Sejarah, Soal Ketidaktahuan: Ilmu Pengetahuan Hanya Butuh Jawaban Tunggal

Mengapa satu peristiwa sejarah, narasinya berbeda-beda. Perbedaan narasi menimbulkan pertanyaan (5 w 1 h): apa yang benar, siapa yang benar dan yang mana yang benar, kapan yang benar. Pertanyaan-pertanyaan itu diikuti penjelasan mengapa terjadi suatu peristiwa dan bagaimana peristiwa itu terjadi. Untuk mengetahui kebenaran, haruslah bisa mendeskripsikan mengapa itu terjadi dan bagaimana itu terjadi. Dua pertanyaan terakhir ini kurang diperhatrikan. Jika tidak bisaa menjelaskan mengapa dan bagaimana, itulah sebab terjadi perbedaan narasi.

Seperti disebut di atas, sejarah adalah narasi fakta dan data, artinya mendeskripsikan perihal fakta apa adanya (reliabel) dan data yang akurat (valid). Fakta dan data harus dikumpulkan. Fakta harus bisa diketahui (melalui panca indra) sebagai informasi dan bisa diukur. Hasil pengukuran dapat djadikan data (primer). Data kemudian dapat dianalisis. Hasil analisis adalah informasi baru. Yang dapat kemudian dijadikan data lagi (sekunder).

Sumber perbedaan dalam narasi sejarah pada dasarnya adalah ketidaktahuan. Seperti disebut di atas, jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis (data), setiap orang akan menciptakan imajinasi sendiri; jika sejarawan gagal menganalisis data, setiap orang akan berusaha membuktikan sendiri.

Sumber ketidaktahuan pertama adalah tidak adanya data. Cerita, hikayat dan mitos tidak sepenuhnya memberikan bukti data. Sumber ketidaktahun kedua adalah adanya data pembanding (perbedaan data). Untuk menentukan yang mana yang benar (valid) harus dilakukan analisis untuk menjawab pertanyaan 5w1h. Adanya data berbeda, mengindikasikan adanya data palsu (pemalsuan data). Penyataan salah yang diulang-ulang menjadi kebenaran, sejatinya adalah data palsu (memang bukan pemalsuan data). Sumber ketidaktahuan ketiga adalah ketidaktahuan metode analisis yang sesuai. Tidak sumber ketidaktahuan tersebut ditemukan dalam berbagai narasi sejarah. Dalam jangka panjang, jangan khawatir, ilmu pengetahuan tidak pernah berhemyi: upaya pencarian data dan pilihan-pelihan metode analisis yang sesuai. Dalam hal ini harus disadari fakta sejarah sudah berhenti (di masa lalu, history), tidak berubah karena suatu peristiwa sudah berlalu, tetapi ilmu sejarah (data dan anlisis) terus bekerja sepanjang narasi sejarah masih menimbulkan pertanyaan.  

Tunggu deskripsi lengkapnya

Ilmu Pengetahuan Hanya Butuh Jawaban Tunggal: Mengapa Ada Narasi Sejarah Tidak Sesuai Fakta dan Data?

Dalam narasi sejarah, seharusnya tidak ada perbedaan pendapat. Dalam narasi sejarah hanya satu jawaban yang benar terhadap setiap pertanyaan yang muncul. Hanya satu data yang benar dan hanya satu metode analisis yaang sesuai. Dengan demikian, menjadi benar apa yang dikatakan para ahli tempo doeloe bahwa sejarah adalah narasi fakta dan data.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar