Senin, 27 Maret 2023

Sejarah Banyumas (5): Gajah di Pulau Jawa di Wilayah Banyumas, Mengapa Punah? Gajah Indonesia Hanya Tersisa di Sumatera


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Banyumas dalam blog ini Klik Disini

Gunung Gajah, sebagaimana dalam artikel sebelum ini, tidaj hanya menarik, juga menjadi penting untuk diperhatikan. Mengapa? Banyak nama geografis di pulau Jawa disebut gunung gajah, tetapi semuanya hanya terletak di wilayah Jawa bagian tengah. Lalu apakah di pulau Jawa pada masa lampu terdapat gajah, dan gajah-gajah itu hanya ditemukan di wilayah Jawa bagian tengah? Gajah termasuk hewan purba, yang mana di Indonesia kini hanya tersisa di pulau Sumatra.


Gajah Jawa (Elephas maximus sondaicus) diusulkan Paules Edward Pieris Deraniyagala tahun 1953, berdasarkan ilustrasi ukiran pada monumen Buddha candi Borobudur. Dia mengira gajah Asia (Elephas maximus) memang pernah ada di pulau Jawa tetapi telah punah. Fosil gajah Asia telah ditemukan pada endapan Pleistosen di Jawa. Kapan gajah punah di Jawa tidak terjawab. Kronik Cina mencatat bahwa raja-raja Jawa menunggangi gajah, dan Jawa mengekspor gading ke Cina. Ada kemungkinan bahwa gajah di Jawa pada masa pengaruh Hindu didatangkan dari India. Sebuah tradisi di bagian timur laut Kalimantan menyatakan bahwa gajah Kalimantan yang saat ini hidup di alam liar disana adalah keturunan gajah dari Jawa yang dihadirkan oleh "Raja Jawa" kepada Rajah Baguinda dari Sulu pada akhir abad ke-14. Tradisi lain menyatakan gajah diberikan kepada Sultan Sulu oleh East India Company tahun 1750. Fernando, et al., menemukan bahwa gajah-gajah di Kalimantan terisolasi secara genetik dari populasi gajah Asia lainnya selama 300.000 tahun, menyimpulkan bahwa gajah di Kalimantan adalah asli. Earl of Cranbrook, dkk. menyimpulkan bahwa introduksi baru-baru ini dari Jawa, masuk akal untuk asal usul gajah Borneo. Jika gajah Kalimantan adalah keturunan dari gajah Jawa, apakah gajah Jawa juga secara genetik berbeda dari populasi gajah Asia lainnya. (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah gajah di pulau Jawa di wilayah Banyumas, mengapa punah? Seperti disebut di atas keberadaan gajah di pulayu Jawa terus menjadi perhatian dan terus menunggu penyelidikan lebih lanjut. Apakah dalam hal ini populasi gajah pernah eksis di wilayah Banyumas? Yang jelas populasi gajah masa kini di Indonesia hanya tersisa di Sumatera. Lalu bagaimana sejarah gajah di pulau Jawa di wilayah Banyumas, mengapa punah? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*. Peta 1753

Gajah di Pulau Jawa di Wilayah Banyumas, Mengapa Punah? Populasi Gajah di Indonesia Hanya Tersisa di Sumatera

Apakah benar-benar pernah ada gajah di pulau Jawa. Pertanyaan ini sudah lama muncul, dan terus menjadi pertanyaan hingga ini hari. Boleh jadi itu muncul merujuk pada ada harimau di Sumatra, ada harimau di Jawa dan ada harimau di Bali, akan tetapi kemudian punah dan hanya tersisa di Sumatra. Pada masa ini populasi gajah ditemukan di banyak tempat di Sumatra. Apakah dalam hal ini pernah eksis populasi gajah di Jawa?


Seperti dikutip di atas, pertanyaan soal ada atau tidak populasi gajah di Jawa mulai dihubungkan dengan penemuan wujud gajah pada relief candi Borobudur (di Magelang, Jawa Tengah). Juga adanya laporan tua berasal dari Tiongkok yang mengindikasikan ada koneksi (perdagangan produk) gajah berupa gading dengan pulau Jawa. Keberadaan gajah sebagai pembawa beban juga disebutkan dalam teks Negarakertgama (1365 M). Pada permulaan kerajaan Mataram Islam, juga disebutkan. Soeltan Padjang jatuh dari gajahnya saat mundur dan jatuh sakit. Pertanyaan tentang keberadaan gajah ini sendiri dalam dunia penyelidikan masuh terbilang baru, belum lama, pertanyaan itu baru muncul pada era Pemerintah Hindia Belanda awal aba ke-20.

Sejatinya keberadaan gajah di Jawa sudah terdeteksi di Jawa pada awal kehadiran pelaut-pelaut Belanda. Dalam laporan Cornelis de Houtman tidak terinformasikan. Dalam laporan-laporan dan peta-peta Portugis sebelumnya juga tidak ada indikasi ke arah itu. Keberadan gajah di Jawa muncul dalam peta yang dibuat Livre.


Dalam Peta 1599 (peta pelayaran Prancis yang dipimpin Livre) membuat sketsa, kota Tuban dimana dalam satu sketsa mengindikaasikan gajah sebagai kendaraan perang di dalam kota. Inilah informasi keberadaan gajah di era orang Eropa di Hindia. Tanpak dalam sketsa gajah yang dilukiskan adalah gajah dewasa yang sangat besar. Satu yang penting perlu dipahami, gajah itu didatangkan tidak jauh dari suatu tempat di Jawa. Tentu saja pada saat itu tidak ada kepentingannya dalam perdagangan dimana gajah diperdagangan antar pulau apalagi antar benua. Tonase kapal saat itu tidak sesuai untuk ukuran gajah yang besar dan berat. Lagi pula nilai pada gajah hanya ditujukan pada gadingnya (perdagangan gading).

Keberadaan gajah di Jawa semakin meyakinkan ketika (kerajaan) Mataram menyerang Batavia pada tahun 1628 dimana di dalam satu sketsa yang menggambarkan serangan ke benteng (Kasteel) Batavia, pasukan Mataram membawa dua gajah besar. Dengan demikian, keberadaan gajah diduga sudah sejak lama adanya bahkan sejak era Borobudur hingga kehadiran orang Eropa di Jawa (Hindia Timur).


Seperti kita lihat nanti, nama-nama geografi di Sumatra dan Jawa banyak yang mengindikasikan yang dihubungkan dengan gajah. Di pantai barat Sumatra ada nama kota/pelabuhan Oedjoeng Gading. Pada era VOC/Belanda, nama gunung Gajah sudah diidentifikasi di wilayah/district Tegal. Tentu saja di Jawa ada nama tempat Poh Gading (konon nama ini sudah ada sejak era Madjapahit—lihat teks Negarakertagama 1365). Namun yang menyisakan pertanyaan adalah mengapa jarang, jika tidak mau disebut tidak ada penemuan fosil gajah di Jawa? Boleh jadi itu karena jarang gajah mati terkubur kecuali tetap bangkainya berada di atas permukaan tanah (yang mudah menjadi terurai, lapuk dan menghilang sama sekali).

Keberadaan gajah dan adanya populasi gajah di Jawa (seperti di Sumatra) sebenarnya cukup menyakinkan. Jika demikian, sejak kapan gajah pulah di pulau Jawa? Namun yang lebih penting dari itu adalah di wilayah mana populasi gajah di Jawa ditemukan terakhir. Kawasan dimana populasi gajah pada fase terakhir sangat penting untuk melakukan penyelikan lebih lanjut pada masa ini. Ini agar pertanyaan tentang keberadaan gajah di Jawa dapat dibuktikan.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Populasi Gajah di Indonesia Hanya Tersisa di Sumatera: Apakah Populasi Gajah Benar Terdapat di Wilayah Banyumas?

Sumber sejarah berbeda setiap masa, setiap zaman. Hal itu juga disesuaikan dengan masa kejadian sejarah. Pada era Hindoe Boedha sumber yang valid difunakan adalah prasasti dan bentuk/relief candi-candi. Sumber ini dapat digabungkan dengan catatan tertulis dari Eropa atau Tiongkok serta lainnya. Pada era kehadiran orang Eropa, sumber-sumber tertulis Portugis dan sumber Belanda/VOC hingga Pemerintah Hindia Belanda. Diantara sumber tertulis, tidak hanya teks tetapi juga peta dan sketsa.


Diantara peta-peta yang diterbitkan pada era VOC/Belanda, satu sumber peta yakni Peta 1753 tidak hanya mengidentifikasi nama-nama geografis, tetapi juga mengidentifikasi wilayah dimana ditemukan populasi hewan besar seperti gajah, banteng, badak dan tapir. Pada pulau Jawa Peta 1753 wilayah populasi gajah hanya diidentifikasi di wilayah barat laut Banjoemas dan di tenggara wilayah Chirebon. Dua wilayah ini berdekatan yang boleh jadi satu kesatuan wilayah habitat populasi gajah. Di wilayah Banjoemas tampaknya habita populasi gajah yang diidentifikasi di sisi timur arah hulu daerah aliran sungai Tjitandoey. Kawasan ini yang ke arah utara lahan kering dan ke arah selatan lahan basah, suatu wilayah yang sesuai dengan habitat gajah (seperti di Sumatra).

Berdasarkan Peta 1753 habitat populasi gajah hanya ditemukan di wilayah bagian tengah pulau Jawa di sekitar perbatasan wilayah Banjoemas dan wilayah Chirebon. Lantas apakah di Kawasan itu menjadi habitat terakhir dari gajah di pulau Jawa. Pada masa lampau, atau bahkan di zaman kuno kawasan dimana habitat gajah di pulau Jawa ditemukan di banyak tempat. Dalam sumber kuno, ditemukan wujud gajah di candi Borobudur di Magelang (abad ke-9); penggunaan gajah dalam perang pada teks Negarakertgama di Majokerto (1365); awal Mataram Islam di Padjang/Soerakarta (abad ke-16); kerajaan Tuban di Tuban (awal abad ke-17) dan Peta 1753 di wilayah Banjoemas/Tjirebon.


Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 02-09-1911: ‘Fossiele dieren. Sur. Hbl. Memberitakan dari Modjokerto bahwa potongan kerangka fosil dari mamalia besar, mungkin seekor gajah, telah ditemukan di tempat dimana berada pabrik gula Perning.  Java-post; weekblad van Nederlandsch-Indie, 912 No. 45: ‘Di afdeeling Mojokerto, fosil gajah raksasa ditemukan dan digali dengan hati-hati. Diharapkan untuk menemukan lebih banyak fosil.

Tampaknya wilayah (afdeeling) Modjokerto yang pertama menunjukkan adanya fosil diduga gajah. Ini tentunya tidak mengagetkan, karena di dalam teks Negarakertagama (1365) dinyatakan keberdaan gajah sebagai pengangkut beban. Bagaimana hasil penyelidikan di Modjokerto kita lihat nanti. Bagaimana dengan di wilayah lain, terutama di wilayah Banjoemas/Chirebon tentu saja diperlukan penyelidikan lebih lanjut.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar