Rabu, 09 Agustus 2023

Sejarah Mahasiswa (7): Tehupelory Dokter di Belanda dan Guru JH Wattimena Studi ke Belanda;Pendidikan di Ambon Sejak Doeloe


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Mahasiswa dalam blog ini Klik Disini

WK Tehupelori dan JH Tehupelori adalah dokter lulusan sekolah Docter Djawa School di Batavia. Dua nama diantara lulusan sekolah kedokteran di Jawa yang melanjutkan studi kedokteran ke Belanda adalah WK Tehupelori dan JH Tehupelori. Dua dokter bersaudara ini adalah bagian dari generasi pelajar-pelajar Ambon dalam dunia pendidikan dari masa ke masa.


Vereeniging van Inlandshe Geneeskundiga: Cara dokter pribumi mendongrak status profesionalisme dalam tatanan kesehatan kolonial. Siti Hasanah. Historia, volume 5 Nomor 1, Juli 2022. Abstrak. Profesi kedokteran penting dalam tatanan Kesehatan, bisa mengintervensi dan lokomotif kebijakan diambil para stake holder kesehatan. Pada konteks kolonialisme di Indonesia, kalangan dokter dan asosiasinya dianggap sebagai garda terdepan dalam sirkulasi pengetahuan medis. Namun yang terjadie ra Hindia Belanda terdapat problematika dualisme posisi dokter dalam birokrasi kesehatan kolonial yang mengantarkan pada dokter pribumi dan dokter Eropa tidak dalam posisi setara. Semua bermuara dari perbedaan kualifikasi pendidikan dokter pribumi dan dokter Eropa, pemerintah kolonial melanggengkan ketimpangan gaji, kewenangan dan posisi keduanya dalam birokrasi kesehatan. Sering terjadi pergesekan antara dokter pribumi dan dokter Eropa di lapangan. Beberapa situasi memanas antara dokter Eropa dan Pribumi, mendorong sekelompok dokter pribumi mendirikan perkumpulan dokter pribumi. Tahun 1909 mendirikan Vereeniging van Inlandsche Geneeskundige (VIG) yang digunakan sebagai wadah para dokter pribumi menghimpun upaya-upaya dalam penghapusan diskriminasi sosial dan materil bagi dokter pribumi serta mendongkrak profesionalisme medis para dokter pribumi.

Lantas bagaimana sejarah Tehupelory bersaudara dokter di Belanda? Seperti disebut di atas, dokter lulusan Docter Djawa School dan siswa pribumi asal Hindia banyak melanjutkan studi kedokteran ke Belanda termasuk Tehupelory. Pendidikan di Ambon masa ke masa dan guru JH Wattimena studi ke Belanda. Lalu bagaimana sejarah Tehupelory bersaudara di Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tehupelory Bersaudara Dokter di Belanda, Guru JH Wattimena Studi ke Belanda; Pendidikan di Ambon Masa ke Masa

Sehubungan dengan penerbitan majalah berbahasa Melayu Bandera Wolanda di Batavia, nama JE Tehupeiory muncul sebagai salah satu anggota redaksi. Majalah dwi mingguan Bandera Wolanda akan terbit pertama pada tanggal 15 April 1901. Dalam jajaran redaksi terdapat nama F Wiggers sebagai pemimpin redaksi (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 14-06-1901).


JE Tehupeiory masih studi di sekolah kedokteran pribumi Docter Djawa School di Batavia. Beberapa teman satu kelasnya adalah Mohamad Hamzah Harahap, M Asmaoen dan Haroen Al Rasjid Nasoetion dan WK Tehupelory. Dalam hal in sejatinya WK Tehupelory adalah abang dari JE Tehupelory. Pada bulan Desember 1901 WK Tehupelory, JE Tehupelory dkk lulus ujian naik dari kelas empat ke kelas lima (lihat De Preanger-bode, 02-12-1901). Pada tahun 1902 WK Tehupelory lulus ujian akhir dan mendapat gelar dokter djawa (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 24-11-1902). Dokter-dokter baru yang lulus tahun ini diangkat menjadi pegawai pemerintah dan ditempatkan di kota-kota yang berbeda, Haroen Al Rasjid ditempatkan di Padang dan Mohammad Hamzah di Telok Betoeng (lihat De locomotief: Samarangschhandels- en advertentie-blad edisi 29-12-1902).

Dalam perkembangannya majalah Bandera Wolanda dilikuidasi, dan kemudian majalah baru diteribitkan dengan nama Bintang Hindia. JE Tehupeiory di Bintang Hindia sebagai anggota redaksi (lihat Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage, 14-09-1903). Dalam suatu ekspedisi yang akan melakukan perjalanan ke Borneo termasuk JE Tehupelory (lihat Het vaderland, 24-11-1903). Disebutkan ekspedisi ini dipimpin oleh Dr. Nieuwenhuis.

 

Dalam perkembangannya Clockener Brousson (Belanda) dan JE Tehupelory (pribumi) sebagai kepala redaksi di Hindia Belanda dan Abdoel Rivai sebagai kepala redaktur pribumi di Belanda (lihat De Preanger-bode, 22-04-1904). Sementara itu, setelah cukup lama bertugas di Batavia, WK Tehupelory dipindahkan berdinas sebagai dokter pemerintah di Medan (lihat Sumatra-bode, 09-06-1905). Sedangkan JE Tehupelory pada bulan Juli diberitakan diberikan lisensi untuk membuka apotik (lihat De locomotief, 11-07-1905). Pada bulan Agustus WK Tehupelory diketahui sudah dipindahkan di Bagan Siapi-api (lihat De nieuwe courant, 07-08-1905).

Pada bulan September 1906 muncul brosur tentang laporan Borneo yang ditulis JE Tehupelory yang diterbitkan surat kabar di Batavia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 25-09-1906). Pada tahun 1907 JE Tehupelory diketahui sudah di Belanada. Hal ini diketahui dari Soerabaijasch handelsblad, 12-12-1907 dimana JE Tehupelory editor majalah Bandera Wolanda (suksesi Bintang Hindia) menulis dari Amsterdam.


Dalam tulisan JE Tehupelory, bahwa dia berkolaborasi dengan Clockener Brousson. Menyebutkan tiga pemuda pribumi yang dibawa ke Belanda oleg Clockener dengan kejam dibiarkan sendiri dan sekarang tanpa roti, tidak dapat lagi kembali ke tanah air. Mereka itu adalah satu orang Jawa dan dua orang Sumatera dipekerjakan disini oleh redaktur Bintang Hindia yang sudah ditutup. Mas Songkono Jawa telah dikirim ke Belanda sebagai korektor pada Februari 1906, Samsoedin Rassat seorang Melayu didatangkan sebagai asisten editor pada Mei 1906 dengan Clockener Brousson dan Amaroellah seorang Melayu, mantan guru pribumi di Idi, juga berangkat ke Belanda pada September 1906 untuk membantu editor. Penerbit Bintang Hindia berani mengeluarkan biaya besar mengingat dukungan pemerintah saat itu. Karena Mas Soenkono tidak memenuhi syarat sebagai korektor dan publikasi tidak sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan, penerbit memutuskan untuk mengirimnya kembali ke kantor di Bandung pada Februari 1907 untuk bergabung dengan staf administrasi disana seperti sebelumnya. Mas Soengkono, bagaimanapun, tidak ingin kembali ke Hindia dan karena itu mengundurkan diri pada bulan Juni 1907, setelah berkat intervensi baik dari Asosiasi Timur dan Barat, yang diterima di rumahnya oleh seorang mantan Resident van Sumatra’s Westkust membantu Soengkono untuk ujian masuk sekolah pertanian di Wageningen. Sayangnya, upaya mulia dari Soengkono yang baik ini tidak berhasil, karena Sungkono yang malang tiba-tiba jatuh sakit pada bulan Agustus dan meninggal dalam beberapa hari kemudian.

Lantas dimana WK Tehupelory? WK Tehupelory berangkat ke Belanda (bersama JE Tehupelory dan saudara perempuan mereka). Di Belanda disebutkan [WK] Tehupelory tampil berbicara di Indisch Genootschap di Belanda (lihat Soerabaijasch handelsblad, 30-01-1908). Perihal yang dibicarakan oleh Tehupelory adalah menyangkut posisi sekolah kedokteran Docter Djawa School/STOVIA di Hindia. Catatan: Di Belanda sudah ada sejumlah lulusan Docter Djawa School yang akan melanjutkan studi kedokteran: Dr Abdoel Rivai, Dr R Boenjamin, Dr WK Tehupelory, JE Tehupelory dan Dr R Asmaoen.


Pada bulan Oktober 1908 di Belanda, Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan meminta Raden Soemitro (lulusan HBS di Belanda) yang telah diterima di Nederlanasch Administrative Diesnt untuk mengirimkan undangan kepada semua mahasiswa pribumi di berbagai kota di Belanda. Pada tanggal 25 Oktober di tempat kediaman Soetan Casajangan di Leiden berkumpul 15 orang mahasiswa. Semua setuju dengan pembentukan organisasi mahasiswa yang diberi nama Indische Vereeniging. Lalu secara aklamasi diangkat sebagai ketua Soetan Casajangan dan Raden Soemitro sebagai sekretaris. Catatan: WK Tehupelory pada tahun 1908 telah berhasil menyelesaikan studi kedokterannya di Amsterdam.

Namun tidak terduga, WK Tehupelory kehilangan saudaranya. JE Tehupelory meninggal dunia di Belanda (lihat  De Telegraaf, 24-12-1908). Disebutkan JE Tehupelory hari Jumat meninggal di Utrecht dalam usia 26 tahun. WK Tehupelory kehilangan seorang abang yang sama-sama studi di Docter Djawa School dan sama-sama berangkat ke Belanda pada tahun 1907. Tulisan JE Tehupelori tentang Orang Dajak mendapat perhatian luas. JE Tehupelory belum menyelesaikan studinya.


Middelburgsche courant, 29-12-1908: ‘Pemakaman dokter JE Tehupelory, kelahiran Amboinia, yang meninggal karena kecelakaan di Utrecht, dilakukan di pemakaman umum disana, dengan penuh minat. Sejumlah orang Hindia hadir dan sejumlah besar rangkaian bunga menutupi usungan jenazah. Beberapa orang berbicara di pemakaman Mr C Th. von Deventer, anggota Tweede Kamer atas nama semua orang Belanda, Giesbera, atas nama mahasiwa NOVA. Abendanon, Graanboom, R Soetan Casajangan Soeripada, ketua Inidische Vereeniging di Belanda dan Victon mahasiswa di Universitas Amsterdam. Saudara almarhum mengucapkan terima kasih atas minat dan partisipasinya’.

WK Tehupelory setelah menyelesaikan semuanya di Belanda, bersiap-siap kembali ke tanah air. WK Tehupelory telah menyelesikan studi dan telah mendapat gelar dokter (setara Eropa). WK Tehupelory akan berangkat tanggal 7 Agustus (lihat Het vaderland, 06-08-1909). Disebutkan kapal ss Koning Willem I akan berangkat tanggal 7 dari Amsterdam dengan tujuan akhir Batavia dimana di dalam manifes terdapat nama WK Tehupelory. WK Tehupelory tidak sendiri tetapi juga dengan istri. Juga ada nama nona LJ Tehupelory. Kepulangan WK Tehepelory ini ada yang kurang. JE Tehupelory telah meninggal di Belanda. LJ Tehupelory diduga nama adiknya yang sama-sama berangkat dengan almarhum tahun 1907. Abang adik ini seakan hanya mengantar saudara mereka ke Belanda (untuk selama-lamanya).


Bataviaasch nieuwsblad, 22-11-1909: ‘Di pemakaman di Utrecht pada tanggal 23 Oktober, dilakukan pendirian monument cara yang sangat sederhana untuk peringatan meninggalnya dokter JE Tehupelory. Banyak anggota Indische Vereeniging dan pihak berkepentingan lainnya, termasuk Graanboom hadir. OTh van Deren berbicara dan menyatakan: “Ketika tahun lalu banyak orang berdiri di tempat, kami berjanji untuk tidak melupakan pemuda yang menjanjikan kehidupan yang begitu cerah tetapi pendek. Janji untuk mengingat keahliannya, dan jerih payahnya, sebagai contoh yang baik jadi kami berpikir, kami dapat menghormati. Dalam lingkungan yang tinggi memang dia adalah seorang pria, yang harus diterjemahkan ulang. Di sekolah rendah maupun di Artsensohool dia selalu menjadi yang pertama. Setelah menyelesaikan studinya di Weltevreden, dia memulai pekerjaan sosialnya, tetapi tidak melupakan sains atau masa depan bangsanya. Kesempatan yang diberikan kepadanya oleh teman kami, Abeadanon, untuk membaca tulisannya dengan kekaguman, Tak lain hanyalah sebuah simbol: seorang anak laki-laki berbaju oriental tenggelam dan membungkuk di atas buku penuh kesedihan, sosok kecil yang diselimuti dedaunan, yang membangkitkan ingatan akan pohon sagu Ambon; sinar matahari terbit di latar belakang. Sekretaris Inisdishe Vereeniging, R. Soemitro memasang batu itu, kemudian, van Deventer melanjutkan: Soetan Casajangan, ketua Indische Vereeniging berbicara pada intinya berterimakasih kepada asosiasi Belanda atas pendirian monument tersebut, dan kemudian menceritakan pada bulan Desember tahun lalu, saya berdiri di tempat ini sebagai ketua Indische Vereeniging, ketika kita mengantarkan ke Tehupelory tempat peristirahatan terakhirnya Juga kini membuat saya merasakan hal yang sama lagi kesedihan mendalam ketika saya mengingat kembali kehidupan muda ini, yang tiba-tiba hancur yang tidak dapat lagi menghiasi tanah air kita yang jauh. Dalam hal ini, saya juga mencampurkan rasa terima kasih yang mendalam kepada teman-teman Belanda yang terus menunjukkan minat mereka yang selalu diperbarui pada pekerjaan dan usaha kami. Tehnpelory tidak diizinkan menggunakan haknya demi kepentingan tanah air, yang disayanginya. Yang lain akan selalu mengikuti jalan yang dia tunjukkan dalam jumlah besar. Mr. Van Deventer dan Mr. Abendanon, kami sangat berterima kasih bahwa Anda memberi tahu kami, bahwa Anda semua menunjukkan tempat ini dan bahwa Anda memberi kami tugas yang tepat untuk mengungkap tugu peringatan ini. Atas nama anggota Indische Vereeniging, saya menerima penugasan yang diberikan oleh itu dan bersumpah dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan bahwa kami juga akan menyerahkan tugas pertama kami kepada penerus kami di Belanda. Semoga monumen ini, yang ditakdirkan sejak awal Tehupeiory selain ikatan yang semakin kuat antara Belanda dan koloni dan dengan demikian membantu mewujudkan cita-cita almarhum. Selanjutnya, saya berterimakasih kepada JH Abendanon, mantan direktur pendidikan di Hindia dan van Deventer’.

Kehilangan JE Tehupelory, telah menambah jumlah pelajar terbaik pribumi dari Hindia yang menjadi tidak kembali ke tanah air. Tahun yang lalu Raden Mas Soengkono meninggal saat masih studi pertanian di Wagenigen.


Jika mundur jauh ke belakang, dua yang pertama meninggal karena sakit saat melanjutkan studi keguruan ke Belanda adalah Barnas Loebis dan Raden Soerono tahun 1874 dan 1875 yang kemudian disusul guru mentor mereka Satie Nasoetion alias Willem Iskander meninggal tahun 1876. Selanjutnya guru muda ME Anakota meninggal pada tahun pertamanya di Belanda tahun 1882.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pendidikan di Ambon Masa ke Masa: Dokter-Dokter Asal Ambon

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar