Jumat, 02 Desember 2016

Sejarah Jakarta (2): Kapan Nama Batavia Muncul; Kapal Kargo Pertama Dilaporkan dari Batavia Tahun 1627



Nama tempat Sunda Kelapa (Cunda Calapa/Belanda) atau Iacatra (Jacatra/Portugis) tidak muncul lagi. Nama yang muncul ke permukaan sebagaimana disebut dalam surat kabar dan peta adalah nama baru, yaitu Batavia. Yang menyisakan pertanyaan kapan nama Batavia menggantikan Sunda Kelapa/Jacatra?

Berdasarkan buku sejarah, VOC didirikan 20 Maret 1602. VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) adalah perkumpulan dagang Belanda di Asia. VOC kemudian membangun pos yang awalnya di Banten (1603) dan kemudian ke Jacatra/Jayakarta. Pada tahun 1619 Jan Pieterzoon Coen mendirikan benteng Batavia.

Nama Batavia Diketahui Berdasarkan Berita Kapal Sejak 1627

Courante uyt Italien, Duytslandt, &c, 31-07-1627
Informasi pertama tentang nama Batavia ditemukan dalam surat kabar Courante uyt Italien, Duytslandt, &c edisi 31 Juli 1627. Nama Batavia dalam surat kabar tersebut mengacu pada kutipan berita berikut: ‘Kapal kargo dari Batavia pada bulan Desember 1626 telah tiba di Texel pada tanggal 24 Juli 1627’. Berita ini mengindikasikan bahwa perjalanan kapal kargo ini sejak dikirim dari Batavia hingga tiba di Texel membutuhkan waktu tujuh bulan. Suatu waktu yang sangat lama, tapi begitulah pelayaran saat itu.

Sejak berita kapal kargo yang pertama dari Batavia, semakin kerap kapal kargo dari Oost Indisch yang dilaporkan yakni dari Batavia dan Suratta (Sumatra?). Kapal kargo yang dilaporkan surat kabar Courante uyt Italien, Duytslandt, &c. edisi 16-07-1633 memberitakan sangat rinci. Kapal-kapal yang tiba tersebut terdiri dari kapal Prins Willem, Hollandia, Zutphen, Amelia, Rotterdam, Hoorn dan Amboina. Kapal-kapal ini di bawah komandan Jenderal Specx.

Courante uyt Italien, Duytslandt, &c, 16-07-1633
Muatan kapal-kapal tersebut berisi 36 jenis komoditas yang dirinci menurut volume (seperti pon, pikul). Komoditi tersebut antara lain lada, rotan, puli, getah dammar, gambir, indigo, kelapa, pala, berlian dan permata. Secara keseluruhan komoditi tersebut komoditas tahan lama. Selain itu juga terdapat kain (sutra dan katun) yang kemungkinan diangkut dari pelabuhan-pelabuhan di India.

Dari tahun ke tahun frekuensi kapal kargo dari Batavia semakin tinggi. Jumlah kapal juga semakin banyak, jenis komoditas semakin banyak dan volume masing-masing komoditas semakin besar. Seperti dilaporkan surat kabar Ordinaris dingsdaeghse courante, 11-08-1648 kapal-kapal tersebut dicarter oleh Nederlantfe Geoctroyeerde Ooft-Indifche Compagnie (VOC?).

Kota Batavia Dibentuk: Sungai Ciliwung dan Pakuan

Ordinaris dingsdaeghse courante, 11-08-1648
Keberadaan Sungai Ciliwung pertamakali diketahui di dalam laporan Tome Pires (1513). Di Batavia tersiar kabar yang menyebutkan bahwa ada kerajaan Sunda yang beribukota Pakuan terletak di daerah pegunungan dua hari perjalanan dari Pelabuhan Kalapa di muara Ciliwung.

Lokasi ibukota kerajaan ini tepat berada pada posisi jarak terdekat di antara dua sungai yang sejajar (lihat gambar disamping). Dua sungai itu adalah Sungai Ciliwung (timur/kanan) dan Sungai Cisadane (barat/kiri). Karena posisinya yang sejajar maka letak ibukota Pakuan itu juga disebut sebagai Pajajaraan. Pada masa ini lokasinya antara Batu Tulis dan Empang.

Laporan ini ada tidak lama setelah Portugis mengalahkan Kerajaan Malaka (1511) dan Portugis juga telah menjalin komunikasi dengan Kerajaan Sunda untuk menandatangani perjanjian dagang terutama lada (1512).

Selanjutnya pada tahun 1522 di Pelabuhan Kalapa ini dilakukan perjanjian persahabatan perdagangan antara Portugis dengan Kerajaaan Pajajaran. Adanya perjanjian ini maka Portugis diperbolehkan membangun gudang dan bahkan benteng di Pelabuhan Kalapa. Dalam perkembanganya, kerajaan Sunda, yang masih beragama Hindu  meminta bantuan Portugis untuk menghadapi kemungkinan serangan oleh Demak yang beragama Islam. MoU kerjasama ditandatangani dan sebuah ‘prasasti’ didirikan di Pelabuhan Sunda Kalapa. Namun baru lima tahun (1527) perjanjian bilateral antara Portugis dan Pajajaran tersebut dibuat, pelabuhan pusat perdagangan ‘internasional’ ini telah dikuasai oleh pasukan yang dipimpin Fatahillah  yang yang telah lebih dahulu sukses mengusir pasukan Portugis dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Atas kemenangan ini, nama Sunda Kelapa diganti dengan Jayakarta (Kota Kemenangan). Ini dengan sendirinya Cirebon yang dibantu Demak lalu menyerahkan wilayah Sunda Kelapa yang dikuasai ke Banten. Dengan semakin menguatnya Banten dan Pajajaran menjadi terkurung di pedalaman, maka Banten mulai melkukan invasi besar-besar ke wilayah Pajajaran. Pada tahun 1579 Banten berhasil menyerang dan menghacurkan Pajajaran. Pasca peran besar dengan Pajajaran, Kesultanan Banten merebut sisa-sisa kerajaan Sunda tersebut dan menjadikannya beragama Islam. Raja Sunda terakhir (Prabu Suryakancana) tampaknya enggan memeluk Islam dan memilih meninggalkan ibukota Pakuan tetapi meninggal dalam pelarian.

Dari Maluku keperkasaan Belanda semakin menonjol dan kemudian merangsek ke barat hingga pada tahun 1619 Jan Pieterszoon Coen dapat menghancurkan Jayakarta. Kota Jayakarta diganti Batavia. Para pedagang Belanda yang datang pertamakali ke Jayakarta (sebelumnya Pelabuhan Sunda Kalapa) merasakan bahwa Sungai Ciliwung lebih dalam dibanding Sungai Banten (Cisadane) sehingga akan dimungkinkan dapat dilayari lebih jauh ke pedalaman.

Pada 4 Maret 1621 pemerintah kota (Stad Batavia) Kota Batavia dibentuk. Selanjutnya dari kota pelabuhan inilah VOC mengendalikan perdagangan dan kekuasaan militer dan politiknya ke seluruh penjuru wilayah Nusantara.

Benteng Batavia (Peta 1656)
Sungai Ciliwung adalah tempat dimana Belanda pertama kali membangun benteng. Letak benteng ini persis berada di tepi timur muara Sungai Ciliwung, sedang di tepi barat muaranya terdapat gedung Culemborg dan kantor pabean. Ini berarti Kota Batavia sendiri sebenarnya terletak di selatan benteng yang juga dikelilingi oleh tembok-tembok tinggi yang dilengkapi beberapa lapis parit pertahanan.

Selanjutnya Belanda pun sibuk dengan berbagai peperangan yang beberapa diantaranya terbilang alot. Dalam fase awal di Kota Batavia ini, selama delapan tahun pertama Kota Batavia sudah meluas menjadi tiga kali lipat dan akhirnya proses pembangunan Kota Batavia sendiri selesai pada tahun 1650.

Peta Batavia, 1656
Di dalam Kota Batavia sendiri dinamika sosial berkembang pesat. Pada masa awal Kota Batavia perahu -perahu berlayar lalu lalang disepanjang Ciliwung untuk mengangkut barang dari gudang ke kapal yang berlabuh di laut. Tahun 1648 Beng Gan seorang Kapitein der Chinezen (kepala warga Cina di Batavia) mendapat izin dari Belanda untuk membuat kali (kini Gajah Mada/Hayam Wuruk) dan memungut tol dari sampan-sampan yang lewat. Tahun 1654 tol kali ini diambil alih Belanda dengan harga 1.000 real (Bagian Kali Ciliwung yang lurus dari Harmoni ke utara). Kali ini oleh orang Belanda dinamakan Molenvliet).

Sementara itu batas-batas kota juga mengalami perubahan. Setelah mencapai persetujuan dengan Cirebon (1681), Belanda menandatangani persetujuan dengan Banten (1684) yang mana dalam persetujuan itu ditetapkan Cisadane menjadi batas kedua belah pihak. Selanjutnya dengan beberapa persetujuan bersama antara Belanda dengan Banten dan Mataram maka daerah antara Cisadane dan Citarum dianggap sebagai wilayah Belanda.

Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula berada di Kali Angke dan kemudian bergeser menjadi Sungai Cisadane.

Ketika pusat perdagangan VOC tumbuh dan berkembang di Batavia, keadaan di Nusantara (Oost Indisch) dapat digambarkan sebagaimana diceritakan oleh seorang Tionghoa yang dicatat dalam Kastil Batavia pada tanggal 1 Maret 1701. Ia baru pulang dari Angkola (kini kota Padang Sidempuan) via Barus. Ia berangkat dari Batavia 10 tahun lalu via Malaka, lalu ke Angkola. Ia di pedalaman berdagang kamper dan bahan lilin yang dipertukarkan dengan kain dan garam. Ia meneruskan barang-barang dagangannya ke Baros yang ditempuh 10 hari perjalanan (dari Angkola). Sesudah lima tahun di Angkola ia menikah sesuai adat setempat dengan gadis Angkola. Ia memiliki seorang anak perempuan berumur empat tahun ketika mereka tiba di Batavia pada tanggal 27 bulan yang lalu, melewati Padang, dan bergabung dengan orang-orang sebangsanya di Batavia dan dia mulai bercocok tanam dan mengerjakan berbagai kegiatan lain.

De locomotief, 17-06-1897
Dokumen ini dapat dilihat dalam artikel “Pemeriksaan atas Seorang Pedagang Cina mengenai Orang Batak yang berada di Sumatera Utara, 1 Maret 1701” oleh Daniel Perret,di dalam jurnal ‘Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari Arsip VOC di Jakarta, dokumen 9. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2013. Dokumen ini sudah pernah diterjemahkan oleh Dr. F. de Haan yang dimuat di dalam surat kabar De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad. 17-06-1897 yang berjudul Een oud Bericht aangaande de Battaks (Dagregister des Casteeels, Batavia, 1 Maart 1701). Sayang sekali, Perret tidak menyebut nama de Haan dalam tulisannya, atau apakah Perret sengaja menyembunyikannya?

Kisah pedagang Tionghoa yang berada di pedalaman Tanah Batak selama sepuluh tahun (sekitar 1691) menggambarkan berbagai perspektif. Orang Tionghoa sudah banyak di Batavia, perdagangan ke berbagai tempat sudah umum bahkan ke pedalaman Tanah Batak. Kisah ini juga mengindikasikan bahwa orang Padang Sidempuan sudah ada di Batavia sejak 1701.

Sungai Ciliwung, pintu masuk Batavia (1726)
Kisah berikutnya terjadi pada tahun 1771 seorang botanis Wales yang dikirim pemerintah Inggris di Calcutta untuk melakukan ekspedisi ke Angkola. Ekspedisi ini dilakukan oleh Charles Miller untuk membuka hubungan dagang kulit manis dengan penduduk Angkola. Charles Miller di Angkola disambut dengan tembakan senjata ke udara, memukul gong dan menyembelih seekor kerbau (lihat William Marsden dalam bukunya The History of Sumatra, 1811).

Gambaran ini juga mengindikasikan bahwa selain Belanda (VOC) juga di pantai barat Sumatra pihak Inggris melakukan perdagangan. Sebagaimana diketahui dalam buku sejarah, Bengkulu dan Tapanuli termasuk teritori Inggris yang paling strategis di Nusantara. Dalam perkembangan berikutnya Inggris membuka pos pedagangan di Singapoera dan Penang, sementara Malaka sudah sejak lama berada di bawah kekuasaan Belanda (mengalahkan Portugis).

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar