Selasa, 23 Oktober 2018

Sejarah Kota Medan (77): Kerajaan Deli dan Kerajaan Aru; Dua Kerajaan Berbeda, Eksis Jauh Sebelum Munculnya Kesultanan Deli


*Semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini

Kerajaan Aru atau Kerajaan Haru adalah kerajaan kuno yang terdapat di sekitar sungai Barumun. Keberadaan Kerajaan Haru (Daroe atau Aroe) telah disebut dalam Pararaton (1336). Laporan Tiongkok di era Cheng Ho (1411-1431) disebutkan terdapat hubungan timbal balik antara Tiongkok dan Kerajaan Aroe. Keberadaan Kerajaan Aroe juga masih dicatat oleh Tome Pires (1512-1515) dan Duarte Barbosa (1518). Mendes Pinto dalam bukunya (1535) menyebut Kerajaan Aroe sebagai Batak Kingdom. Kerajaan Aru ditaklukkan oleh Kesultanan Atjeh tahun 1619. Wilayah Kerajaan Aru (Terra d’Aru atau Terra Daru) di sekitar sungai Barumun teridentifikasi dengan jelas pada peta Portugis tahun 1619.

Aru (Aroe) dan Deli (Dilli) pada Peta 1750
Ada yang menyebut Kerajaan Aru atau Kerajaan Haru adalah cikal bakal Kerajaan Deli dan Kesultanan Deli. Bahkan ada yang menyebut nama Haru menjadi nama Karo. Namun semua itu tidak ada argumentasi atau fakta yang mengindikasikan bahwa suksesi Kerajaan Aroe/Haru adalah Kerajaan Deli. Sejauh ini klaim Kerajaan Aru atau Kerajaan Haru adalah cikal bakal Kerajaan Deli tidak dapat diverifikasi. Sedangkan eksistensi Kerajaan Aroe di sungai Barumun dapat diverifikasi (perhatikan Peta 1750). Bukti ini juga ditunjukkan pada Peta 1818. Anehnya, hingga ini hari, para sejarawan buta melihat peta-peta tersebut. Apakah mereka sengaja menutup mata untuk fakta yang kasat mata ini? Entahlah.

Sesungguhnya Kerajaan Aroe dan Kerajaan Deli adalah dua kerajaan berbeda. Kerajaan Aroe mendahului eksistensi Kerajaan Deli. Kerajaan Aroe secara eksplisit dinyatakan berada di sekitar pengaliran sungai Barumun dan Kerajaan Deli berada di hulu sungai Deli (kini Deli Tua). Kesultanan Deli baru muncul kemudian di hilir sungai Deli (kini Labuhan Deli). Kesultanan Deli yang kini terdapat di Kota Medan adalah kraton Kesultanan Deli yang relokasi dari Labuhan Deli ke Kota Medan pada tahun 1891. Suksesi Kerajaan Aroe di sungai Barumun adalah Kesultanan Kotapinang.

Eksistensi Kerajaan Dilli (baca: Deli) belumlah begitu tua. Masih lebih tua Kesultanan Atjeh dan Kesultanan Gowa. Catatan tentang Kesultanan Atjeh dan Kesultanan Gowa sangat berlimpah di surat kabar yang terbit di Belanda. Tentang eksistensi Kerajaan Pagaroejoeng dilaporkan Thomas Dias dalam ekspedisinya ke Pagaroejoeng tahun 1684 yang disarikan oleh F. De Haan yang dimuat dalam Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap [Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, 1897]. Sedangkan catatan tertua tentang sungai Barumun ditemukan dalam Dagh Register di Batavia 1 Maret 1701 diceritakan seorang pedagang Tionghoa yang telah bermukim di Angkola (kini Padang Sidempoean) selama 10 tahun. Pedagang Tionghoa ini sudah berada di Angkola sejak 1690 (enam tahun setelah ekspedisi Thomas Dias ke Pagaroejoeng). Catatan kedua tentang Angkola/sungai Barumun dilaporkan oleh seorang utusan Inggris, Charles Miller yang melakukan ekspedisi ke Angkola dan hulu sungai Barumun pada tahun 1773. Ini mengindikasikan wilayah Pagaroejoeng dan wilayah Barumun sudah terbuka dengan dunia luar, dan telah mengindikasikan orang asing menuju wilayah ini karena sudah ada hal yang penting yang harus dikunjungi. Sementara catatan tertua tentang sungai Deli kali pertama kali dilaporkan oleh John Anderson (1822). Ada perbedaan waktu sekitar 150 tahun antara Mendes Dias ke Aroe Batak Kingdom (1539) dan Thomas Dias ke Pageroejoeng Minangkabau Kingdom (1684). Ada perbedaan waktu sekitar setengah abad antara laporan Charles Miller di Angkola dan laporan John Anderson di Deli.

Kerajaan Aroe

Dalam peta yang lebih kuno (1619) sudah diidentifikasi Kerajaan Aroe. Peta Portugis ini mengidetifikasi I. Daru dan Terra Daru. Ilha (pulau) Daru dan Terra (Tanah) Daru adalah singkatan bahasa Portugis dari de Aru menjadi Daru.

Peta 1619 (Portugis)
Dimana letak Aru ini menurut laporan orang-orang Inggris sebelum Portugis menguasai Malaka tahun 1511 adalah sebagai berikut: Kerajaan Kedah atau Quedah (Lat.6’10’) di daerah sebelah bawah Siam (Thailand). Di sebelah utara semenanjung Malacca ini yang sejajar dengan Kedah di Pulau Sumatra pada posisi 5’5’. Titik penting di pulau ini adalah Cape Diamond pada posisi 4’50’. Tempat berikutnya adalah Pulo Pera, suatu pelabuhan yang berada di tengah lautan (selat Malacca). Lebih jauh di selatan terdapat Pulo Aru (Lat.2’50’), suatu pulau kecil di tengah selat. Di sisi semenanjung Malacca di sebelah tenggara pulau ini terdapat teluk besar, yang kemudian di arah selatannya terdapat Malacca, ibukota semenanjung pada posisi 2’20’. Kota ini awalnya di bawah supremasi India (sebelum Portugis). Pelabuhan ini sangat ramai, selain India, juga dikunjungi oleh kapal-kapal dari Hindustan, China, Philipina, Persia, Arab dan bahkan Afrika. Orang-orang Arab menyebarkan agama Islam. Pelabuhan Malacca ini dikunjungi admiral Lopez pada tahun 1508 (lihat C. Pennant, 1800).

Deskripsi yang dikutip C Pennant (1800) kurang lebih sama dengan posisi geografis yang dinyatakan dalam peta Portugis (1619). Dalam peta terlihat jelas posisi Baroes, Terra Daru, Ilha Daru dan Malacca berada pada posisi sejajar. Satu kerajaan yang teridentifikasi dalam Peta 1619 yang berada di teritori Batak adalah Bathan (Batahan) yang terletak dekat Kota Natal yang sekarang. Dalam peta juga ditunjukkan posisi Ambuara (juga disebut Djamboe Ajer) yang berada di muara sungai Wampu yang sekarang. Dalam peta ini belum teridentifikasi nama Dilli atau Deli di sungai Deli.

Kerajaan Aroe (Peta 1598)
Sejarah seharusnya dibangun dari fakta, yakni fakta yang paling masuk akal. Para ahli sejarah seharusnya tetap konsisten pada fakta sejarah. Sejarah tidak bisa dibangun dari cerita/legenda, suatu cerita lisan, yang kemudian cerita itu ditulis. Tugas para ahli sejarah mendudukkan cerita/legenda yang hidup di masyarakat ke dalam fakta sejarah, bukan sebaliknya justru memanfaatkan cerita/legenda menjadi fakta sejarah. Akan tetapi adakalanya ahli sejarah sangat tergesa-gesa, ketiadaan atau minimnya fakta sejarah, lalu cerita/legenda dijadikan untuk mengisi kekosongan fakta sejarah. Fakta sejarah direkam dalam berbagai bentuk seperti artefak (yang dapat diperbandingkan dengan artefak lainnya di tempat-tempat yang berbeda), lisan (cerita legenda), tulisan (dokumen, buku, majalah, surat kabar), lukisan (sketsa, peta) dan foto (setelah ditemukannya teknologi pemotretan), Peta yang memiliki tarih/tahun dapat diandalkan sebagai sumber penulisan sejarah, sebab peta lebih valid jika dibandingkan dengan lisan (cerita/legenda). Para sejarawan terdahulu jarang menggunakan peta karena sulit diperoleh. Pada era digital yang sekarang bahkan peta-peta kuno mudah ditemukan. Zaman telah berubah, konten dalam penulisan sejarah juga dapat berubah.  

Kerajaan Deli

Kerajaan Dilli untuk kali pertama teridentifikasi pada peta Portugis bertarih 1750. Dalam peta ini Kerajaan Dilli berada di hulu sungai Deli yang sekarang (Deli Tua). Kerajaan Dilli ini berada di pedalaman sebagaimana Kerajaan Aru barada di pedalaman sungai Baroemoen. Dalam peta Prancis (1752) nama sungai Deli teridentifikasi dengan nama sungai Songi Delli. Dalam peta Perancis ini letak Ambara atau Ambuara berada di sebelah utara Songi Delli.

Peta 1818 (Belanda)
Pada peta terbaru buatan Belanda (1818), Kerajaan Aru dan Kerajaan Dilli sama-sama eksis. Dalam peta 1750 Deli disebut Terre de Dilli dan Aru disebut Terre de Aroe dan kemudian pada peta tahun 1818 buatan Belanda, Kerajaan Aru disebut sebagai Het Rijk Aroe, sedang Kerajaan Dilli disebut Het Rijk Dilli. Jika Portugis dan Belanda menyebut Deli dengan nama Dilli, lalu pertanyaan yang muncul adalah kapan nama Deli atau Delhi pertamakali digunakan?

Dalam peta tahun 1843 buatan Belanda nama Rijk Dilli dan Rijk Aroe tidak teridentifikasi. Yang masih eksis adalah Rijk Astjien dan Rijk Siak. Apakah kedua kerajaan ini telah menghilang atau tidak populer lagi dari sudut pandang asing (Eropa)?

Dalam laporan John Anderson (1823) menyebut dua kerajaan sedang berperang yakni antara Kerajaan (Batak) Pulau Braijan Kesultanan Laboehan Deli. Disebutkan Kerajaan (Laboehan) Deli dibantu oleh seorang sersan Inggris dari (Pulau) Penang. Lantas muncul pertanyaan, apakah setelah Rijk Dilli yang berada di hulu sungai Deli (Deli Tua) hilang muncul kerajaan-kerajaan kecil di daerah pengaliran sungai Deli? Kerajaan-kerajaan kecil tersebut antara lain (Laboehan) Deli, Baraijan, Soenggal dan Serdang. Laporan lain menyebutkan Kerajaan Deli pernah ditundukkan Kesultanan Siak yang lalu kemudian nama kerajaan berubah menjadi kesultan Deli. Kesultanan Deli juga pernah dilaporkan ditundukkan oleh Kerajaan Serdang.    

Dalam hal ini dapat diringkas sebagai berikut: Kerajaan/Kesultanan Aru telah ditaklukkan oleh Kesultanan Atjeh tahun 1619. Kerajaan Aru menurut peta Portugis tahun 1619 Kerajaan Aru terletak di sungai Barumun. Pada peta Portugis 1750 teridentifikasi Kerajaan Dilli di hulu sungai Deli (Deli Tua). Meski demikian, nama Kerajaan Aru masih teridentifikasi di sungai Barumun. Ini berarti Kerajaan Aru dan Kerajaan Dilli adalah dua kerajaan yang berbeda. Pada peta yang lebih baru buatan Belanda tahun 1818 nama Kerajaan Dilli dan Kerajaan Aru masih teridentifikasi yang mana Kerajaan Dilli di hulu sungai Deli dan Kerajaan Aru di sekitar sungai Barumun. Namun menurut laporan John Anderson, Kerajaan Dilli (Deli) di Deli Tua hanya tinggal sejarah (sudah lama tiada). Menurut John Anderson yang muncul adalah kerajaan-kerajaan kecil seperti Kerajaan Braijan (Pulau Brayan) dan Kerajaan/Kesultanan (Laboehan) Deli di hilir/muara sungai Deli.

Pulau Aru dan Sungai Barumun (googlemaps)
Di sekitar pengaliran sungai Deli terdapat kisah/legenda Putri Hijau yang dianggap sebagai pemangku Kerajaan Deli (di Deli Tua). Namun kapan kisah/legenda ini terjadi tidak pernah diketahui. Jika John Anderson (1822) menyebut Kerajaan Deli sudah tiada hanya tinggal sejarah, dan pada peta Portugis tahun 1750 teridentifikasi eksistensi Kerajaan Dilli (Deli) di hulu sungai Deli (Deli Tua), maka kisah/legenda Putri Hijau ini terjadi pada periode waktu antara tahun 1750 dan 1822 (sekitar 70 tahun). Namun sejumlah penulis legenda/kisah Putri Hijau ini menempatkannya pada tahun yang lebih awal yakni ketika terjadi serangan Atjeh dan supremasi Atjeh di Kerajaan Haru 1539-1619. Persoalannya adalah seorang Portugis Mendes Pinto (1839) telah mengunjungi Kerajaan Aroe (Batak Kingdom) di pedalaman Sumatra di seberang Malacca. Pada peta Portugis tahun 1619 letak Pulau Aroe dan Kerajaan Aroe ini terdapat di sekitar sungai Barumun. Sementara Kerajaan Dilli (yang terletak di Deli Tua yang sekarang) baru muncul pada peta Portugis tahun 1750. Pada peta tahun 1750 nama Kerajaan Aroe masih eksis di sungai Barumun. Kedua kerajaan yang berbeda ini bahkan masih eksis dan teridentifikasi pada peta buatan Belanda tahun 1818 (Kerajaan Dilli di Deli dan Kerajaan Aroe di Barumun). Lantas pertanyaannya, mengapa penulis-penulis sekarang mencampuradukkan informasi Kerajaan Dilli dengan Kerajaan Aroe, seakan-akan semua informasi menunjukkan eksistensi Kerajaan Dilli di Deli Tua dan tidak pernah merujuk pada eksistensi Kerajaan Aroe di sungai Barumun. Padahal nyata-nyata peta-peta yang ada yang dapat ditelusuri pada masa ini, Kerajaan Aroe di sungai Barumun lebih dulu eksis daripada Kerajaan Dilli di sungai Deli dan dua kerajaan ini masih eksis dan masih diidentifikasi pada peta Belanda tahun 1818. Jawabnya adalah para penulis-penulis Kerajaan Dilli di Deli Tua tidak merujuk pada peta yang otentik dan hanya berdasarkan kisah atau legenda. Peta-peta tahun 1619, 1750 dan 1818 adalah bukti paling valid tentang eksistensi Kerajaan Dilli di sungai Deli (Deli Tua) dan Kerajaan Aroe di sungai Barumun. Dalam hal ini kisah/legenda Putri Hijau seharusnya diletakkan pada era yang lebih muda (1750-1822) bukan pada era yang lebih kuno (1539-1619). Ada kesalahan paralaksis selama ini dalam penulisan cerita/legenda Putri Hijau.

Lahirnya Kerajaan Aroe di (hulu) sungai Barumun bukanlah tanpa dasar. Peradaban baru meneruskan peradaban lama. Peradaban adalah kumulatif pengetahuan penduduk/masyarakat di sekitar lokasi ditemukan peradaban. Kerajaan Aroe sebagai kerajaan kuno di sungai Barumun adalah garis continuum peradaban Hindu/Budha di Padang Lawas (di hulu sungai Barumun). Bukti adanya (peradaban) Hindu/Budha di sungai Barumun ditunjukkan oleh situs percandian di Padang Lawas (hulu sungai Barumun). Candi-candi ini dibangun di era Kerajaan Cola pada abad ke-11 (sekitar tahun 1030). Pararaton (1336) telah mencatat keberadaan Kerajaan Haru (Aroe). Sumber Tiongkok juga telah mencatat yang mana ekspedisi Cheng Ho (1405-1433) berlabuh di muara sungai air tawar (fresh water estuary). Lokasi dimana fresh water estuary tempat kapal-kapal Cheng Ho membuang sauh hanya sesuai dengan muara sungai Barumun (lihat peta googlemaps). Satu abad kemudian muncul ekspedisi Mendes Pinto (1535) ke Kerajaan Aroe yang secara jelas disebutnya Aroe Kingdom sebagai Batak Kingdom. Menurut Mendes Pinto Kerajaan Aroe atau Batak Kingdom ini tidak jauh dari Pagaroejoeng Kingdom. Mendes Pinto menyebut jika Kerajaan Aroe diserang Kesultanan Atjeh, Kerajaan Aroe dapat mendatangkan pasukan tambahan dari dataran tinggi Pagaroejoeng.

Peta 1724
Berdasarkan peta-peta kuno dapat dilihat perkembangan di sungai Baroemoen dan di sungai Deli. Pada Peta 1695 (atau peta-peta sebelumnya) belum teridentifikasi suatu kerajaan di sungai Deli. Pada Peta 1619 sudah teridentifikasi Terra d’Aru di sungai Baroemoen (dan masih teridentifikasi hingga tahun 1705). Pada Peta 1705 di sungai Deli teridentifikasi nama wailayah Garo (mungkin maksudnya Karo) dan belum teridentifikasi kerajaan. Lokasi Kerajaan Aroe di sungai Baroemoen berdasarkan Peta 1705 terletak di muara sungai Baroemoen (Labuhan Bilik yang sekarang). Pada Peta 1724 sudah teridentifikasi Kerajaan Dilli di sungai Deli (sementara Kerajaan Aroe masih eksis di sungai Baroemoen). Sejak itu (Peta 1724) nama Kerajaan Aroe dan Kerajaan Dilli sama-sama eksis. Berdasarkan Peta 1724 Kerajaan Dilli tampak lebih penting. Kedua kerajaan ini masih teridentifikasi pada Peta 1818. Pada peta-peta selanjutnya kedua kerajaan ini tidak teridentifikasi lagi. Peta 1724

Kesultanan Deli

Pada saat ekspedisi Belanda yang dipimpin oleh Residen Riouw, Elisa Netscher tahun 1863 Kesultanan Deli berada dibawah Kesultanan Atjeh. Namun setelah Belanda menempatkan seorang controleur di Laboehan, elemen Atjeh menghilang (Supremasi Siak berkuasa kembali di Laboehan). Dalam laporan Netscher, otoritas Kesultanan Deli hanya terbatas di Laboehan Deli dan Pertjoet. Ini mengindikasikan bahwa Kesultanan Deli tidak terkait dengan Kerajaan Deli (eks Rijk Dilli) di Deli Tua yang sekarang.

Peta 1750 (Portugis)
Sejak kehadiran Belanda di Laboehan, mulai muncul investor yang dimulai oleh Nienhuys dan kawan-kawan. Keberhasilan Nienhuys mengembangkan perkebunan tembakau di Laboehan para investor Eropa mulai berdatangan. Kebutuhan lahan yang terus meningkat akhirnya mencapai hulu sungai Deli. Perlawanan Radja Soenggal mulai dilancarkan karena Sultan Deli telah menjual lahan-lahan yang bukan wilayahnya menjadi lahan konsesi kepada pihak asing. Sultan, Controleur (dengan militernya) dan para planter telah berkolaborasi melawan penduduk asli pemilik lahan, seperti di Soenggal. Perkembangan yang cepat di Kesultanan Deli (akibat masuknya investor) telah mengundang minat para sultan Serdang dan Langkat untuk mendatangkan investor asing. Hanya Radja Soenggal yang bersikukuh menolak kehadiran asing. Radja Soenggal akhirnya dapat dilumpuhkan.

Kesultanan Deli secara perlahan menjadi kesultanan superior. Pemerintah Belanda terus mendukung Kesultanan Deli. Oleh karena para planter semakin mendapat keuntungan yang besar maka para planter mendukung relokasi kraton Sultan Deli di Laboehan ke Medan. Kraton Sultan Deli dibangun tahun 1888 dan selesai dibangun tahun 1891. Relokasi ini sehubungan dengan relokasi ibukota pemerintahan Belanda dari Laboehan ke Medan.

Controleur pertama di Deli ditempatkan oleh pemerintah Belanda di Laboehan pada tahun 1863. Sehubungan dengan semakin ekspansifnya lahan perkebunan ke Medan, pada tahun 1875 status controleur Labohan ditingkatkan menjadi Asisten Residen dan menempatkan seorang controleur di Medan (di pertemuan sungai deli dan sungai Baboera). Pada tahun 1879 controleur Laboehan dilikuidasi dan controleur Medan ditingkatkan menjadi Asisten Residen. Di Laboehan hanya ditempatkan seorang controleur. Pada tahun 1887 ibukota Residentie Oostkust Sumatra dipindagkan dari Benagkalis ke Medan. Status Asisten Residen di Medan ditingkatkan menjadi Residen (sebaliknya status Residen di Benagkilis diturunkan menjadi Asisten Residen). Saat perpindahan ibukota dari Bengkalis ke Medan, relokasi Sultan Deli juga dipersiapkan untuk pindah dari Laboehan ke Medan.

Lantas mengapa kemudian muncul klaim dua pihak tentang eksistensi Kerajaan Deli di hulu sungai Deli (Deli) antara Kesultanan Deli dengan kerajaan-kerajaan di Karo? Orang Karo mengklaim Kerajaan Deli sebagai kerajaan yang berada di wilayahnya yang dibangun sejak dahulu kala oleh para nenek moyang. Sementara, Kesultanan Deli mengklaim Kerajaan Deli sebagai garis continuum Kesultanan Deli. Namun klaim ini terkesan dipaksakan, karena faktanya saat Belanda datang ke Deli tahun 1863, Kesultanan Deli hanya memiliki otoritas untuk dua wilayah marjinal yakni Laboehan Deli (muara sungai Deli) dan wilayah Pertjoet.

Kesultanan Deli yang dibesarkan oleh Belanda (dan para planter) ekspansi wilayah perkebunan telah mencapai Deli Tua. Untuk melegitimasi bahwa wilayah-wilayah yang dijadikan konsesi perkebunan hingga ke Deli Tua merupakan wilayah Kesultanan Deli maka dibutuhkan suatu legitimasi sejarah. Klaim Kerajaan Deli (Deli Tua) sebagai sukses Kesultanan Deli akan memperkuat klaim hukum terhadap penjualan (konsesi) lahan dan lokasi dimana kraton Sultan Deli yang baru berada (dipindahkan dari Laboehan ke Medan). Karena itu, Kesultanan Deli membutuhkan klaim sejarah terhadap Kerajaan Deli. Sebaliknya penduduk Karo membutuhkan klaim sejarah Kerajaan Deli karena dianggap sebagai warisan sejarah yang terpenting.    

Sangat naif memang Kesultanan (Laboehan) Deli di muara sungai (di pantai) mengklaim eks Kerajaan Deli (Deli Tua) jauh di hulu sungai (di pedalaman), sementara Kesultanan (Laboehan) Deli sendiri berperang melawan Kerajaan (pulau) Braijan (di era John Anderson; 1822) dan Kesultanan (Laboehan) Deli berperang melawan Kerajaan Soenggal (di era pemerintahan Belanda; sejak 1872). Para raja dan pangeran Soenggal kemudian diasingkan ke tempat lain. Pada tahun 1891 Sultan Deli relokasi dari Laboehan ke Medan. Dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Indonesia sangat jarang situs (lokasi) kerajaan/kesultanan berpindah tempat, yang dalam hal ini termasuk kraton Sultan Deli.

Situs bandar 'Kota Tjina' (Peta 1915)
Menentukan dimana letak Kerajaan Aru/Haru sebagaimana dalam teks Pararaton (1336), ibarat sebuah titik waktu (ruang dan waktu) untuk menarik garis ke titik waktu yang lain. Titik waktu lain itu pertama adalah muara air tawar dari laporan Tiongkok dan yang kedua laporan-laporan Portugis. Dua titik waktu ini mempertegas titik waktu yang terdapat pada teks Pararaton, dimana Kerajaan Aru/Haru menunjuk pada lokasi yang terletak di sungai Barumum. Ketiga titik waktu tersebut kemudian dipertegas dengan titik waktu yang terdapat pada Peta 1619 yang lebih eksplisit menunjukkan lokasi Kerajaan Aru terdapat di sungai Barumun. Peta 1750 dan Peta 1818 tidak hanya menujukkan lokasi Kerajaan Aru tetapi juga lokasi Kerajaan Dilli yang berbeda semakin mempertegas lokasi Kerajaan Aru faktanya memang terletak di sungai Barumun. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah menentukan titik waktu (ruang dan waktu) Kota Cina.  Situs Kota Cina dalam hal ini tidak terhubung dengan situs Kerajaan Dilli. Situs Kota Cina adalah titik waktu yang berbeda dengan Kerajaan Dilli, tetapi situs Kota Cina di sungai Belawan diduga kuat terhubung dengan Kerajaan Aru di sungai Barumun. Bagaimana dua tempat itu (Bandar 'Kota Cina' di sungai Belawan dan Kerajaan Aru di sungai Barumun) dapat dihubungkan? Untuk case ini akan dibuat artikel tersendiri (Epistemologi Bandar Kota Cina).

Demikian, semoga membantu meningkatkan level pengetahuan kita. Dalam memahami jarak yang jauh ke masa lampau, memperluas pengetahuan tidak cukup, juga harus meninggikan tingkat (level) pengetahuan. Hanya dengan begitu kita dapat menyederhanan sesuatu yang rumit sehingga lebih mudah dipahami (bukan sebaliknya, sesuatu yang sederhana diperrumit).

Semasih Medan masih kampong, Padang Sidempuan sudah kota
Kini, data tidak hanya terdapat di bawah dasar tanah, data juga tersimpan di atas teknologi digital. Dunia telah berubah, metode pengetahuan juga telah jauh berkembang. Analisis parsial (bersifat local secara vertikal) tidak lagi memadai, dibutuhkan analisis yang komprehensif (menggunakan semua sumber data, secara horinzontal). Sumber data boleh bohong tetapi para peneliti tidak boleh salah, tetapi para peneliti mungkin saja salah tetapi dalam prakteknya tidak boleh berbohong (tidak elok mengelabui para pembaca).

Data baru yang terverifikasi akan dipromosikan (semakin diakui), peneliti bohong (tidak memiliki integritas) akan sendirinya terdegradasi (tidak diakui orang). Generasi terpelajar masa kini tidak membutuhkan sensasi-sensasi dalam publikasi, tetapi generasi terpelajar masa kini membutuhkan sejarah yang baik dan benar, sejarah sebagai narasi fakta dan data.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.


Kerajaan Aroe (Aru) vs Kerajaan Dilli (Deli)


Kerajaan Aroe (Binanga di sungai Barumun)

Kerajaan Dilli (Deli Tua di sungai Deli)


Situs dan Naskah Kuno
1
Situs candi Simangambat di Siabu pada abad ke-8 hingga abad ke-10 (satu era dengan Borobudur); situs candi Padang Lawas di hulu sungai Barumun pada abad ke-11 hingga abad ke-13 (pasca Sriwijaya).


2
Kerajaan Aru atau Kerajaan Haru disebut dalam Pararaton (1336); Laporan Tiongkok (1411-1431); Tome Pires (1512-1515); Duarte Barbosa (1518); Mendes Pinto (1535).


3
Laporan Belanda (VOC) muncul sejak 1668.




Peta Geografi
1
Peta 1619 Portugis mengidentifikasi wilayah Kerajaan Aru (Terra d’Aru atau Terra Daru) di sekitar sungai. Peta ini juga mengidentifikasi Ilha (pulau) Aru berdekatan dengan Terra d’Aru.

Peta 1619 Poertugis tidak ada indikasi dan tidak ada teridentifikasi nama tempat atau nama kerajaan di sungai Deli
2
Peta 1750 Portugis nama Kerajaan Aroe tetap berada di sungai Barumun

Peta 1750 Portugis teridentifikasi nama kerajaan Dilli di sungai Deli )sekitar Deli Tua sekarang).
3
Peta 1818 Belanda nama Kerajaan Aroe tetap berada di sungai Barumun

Peta 1818 Belanda nama Kerajaan Dilli tetap berada di sungai Deli


Deskripsi Portugis (Tome Pires, Duarte Barbosa dan Mendes Pinto).
1
Kerajaan besar yang tidak ada yang melebihinya (pasca Sriwijaya di Jambi/Palembang).


2
Posisinya sangat sulit dipenetrasi dan dikelilingi oleh pegunungan, jauh ke pedalaman dan sungainya berliku-liku (sungai Barumun)

Tidak dikelilingi pegunungan, tidak jauh ke pedalaman, sungainya tidak berliku-liku (sungai Deli)
3
Nama Aru adakalanya ditulis Ara dan dipertukarkan dengan Bata, Bara, Baros (nama-nama yang dihubungkan dengan teritori Tapanuli sekarang)

Nama-nama yang tidak terhubung dengan teritori Deli sekarang
4
Berseberangan dengan Malaca. Muara sungai Barumun sangat dekat ke Malaca (Pernyataan ini sesuai Peta 1619).

Sangat jauh dari Malaca (Tidak didukung Peta 1619).
5
Kerajaan Malaca selalu waspada kepada Kerajaan Aru, karena dimasa lalu Kerajaan Aru pernah menyerang Malaka.

Belum ada Kerajaan Dilli
6
Memiliki wilayah kekuasaan antara Ambuara di sungai Wampu dan Rokan di sungai Rokan (berada pada posisi tengah antara Ambuara dan Rokan).

Berada di ujung dekat Ambuara
7
Beribukota di pedalaman, dapat dilayari, ratusan mil jauhnya, sangat jauh ke pedalaman, lima hari perjalanan (sesuai sungai Barumun)

Tidak sesuai sungai Deli yang hanya belasan mil, kurang dari satu hari perjalanan.
8
Di pusat kerajaan dan sekitarnya terdapat banyak sungai dan terhubung satu sama lai.  (Di hulu sungai Barumun terdapat sungai Batang Pane, sungai Aek Sirumambe, sungai Aek Sangkilon, sungai Aek Batang Onang dan sungai Aek Sihapas)

Sungai Deli hanya terhubung dengan sungai Babura.
9
Menghasilkan banyak emas dan daging (emas dari Batang Angkola di Angkola dan Batang Gadis di Mandailing; populasi ternak besar banyak di Padang Bolak).

Tidak pernah ada indikasi perdagangan emas dan ternak di sungai Deli.
10
Menghasilkan benzoin, kamper, rotan, madu, gaharu dan beras (produk-produk alami asal penduduk Batak di pedalaman).

Tidak pernah ada indikasi perdagangan beras di sungai Deli.
11
Produk-produk alamiah dijual melalui Pedir dan Pase dan melalui Panchur atau Baros (melaui laut ke Pedir dan Pase, melalui darat ke Baros)

Sulit membayangkan dari Deli ke Baros.
12
Terdapat pasar budak (keluar/masuk) terutama di Kualu, Bila dan Panai (Bila dan Panai tidak terlalu jauh dari muara sungai Baroemun). Perdagangannya dipimpin oleh orang Moor dan memiliki banyak orang Mandarin di sisi luar (pantai) kerap melakukan perampokan dan ancaman di selat.

Kualu, Bila dan Panai jauh dari sungai Deli


Deskripsi Belanda
1
Wilayah independen. Kerajaan Aru tidak terdeteksi lagi. Muncul kerajaan-kerajaan kecil (luhak dan Djandji)

Silih berganti di bawah kekuasaan Kesultanan Siak dan Kesultanan Aceh. Kerajaan Dilli tidak terdeteksi lagi. Muncul kerajaan-kerajaan kecil, seperti Kerajaan Braijan, Kerajaan Soenggal dan Kesultanan Laboehan.
2
Aneksasi pasukan Padri. Sebagian penduduk melakukan perlawanan dan sebagian yang lain eksodus ke wilayah-wilayah pantai termasuk ke semenanjung Malaka.

Kesultanan Laboehan Deli terakhir berada di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh. Elemen Aceh masih ada ketika Belanda melakukan invasi ke Deli tahun 1863.
3
Pemerintahan militer Belanda (1830-1839)


4
Pemerintahan sipil Belanda dimulai sejak 1840. Tidak melibatkan pemimpin lokal (raja-raja) dalam struktur pemerintahan Belanda. Pemerintahan langsung di bawah pusat (Gubernur Jenderal)

Pemerintahan sipil dan militer Belanda dimulai tahun 1863. Melibatkan pemimpin lokal (sultan-sultan) dalam struktur pemerintahan Belanda. Sultan Deli diposisikan sultan di atas sultan (King of the King; yang disejajarkan dengan Sultan Siak (sultan yang dulu memberi mahkota dan mengubah Kerajaan Laboehan menjadi Kesultanan Laboehan).
 

7 komentar:

  1. wah artikelnya cukup lengkap tentang kota medan, bisa menambah wawasan min
    ijin promo min Berita Kuliner Terbaru

    BalasHapus
  2. Keren Pak.menambah wawasan ttg Sejarah Kota Medan maupun ttg kerajaan lama di Sumatera Utara..Aru dan Deli..
    Bagaimana dg kerajaan Nagur Pak? Apakah ada ada tulisan Bapak ttg Kerajaan Nagur?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Belum dipublish, masih dalam bentuk draf. Suatu waktu nanti akan kembali ke serial Sejarah Kota Medan. Sebagai bagian dari Sejarah Menjadi Indonesia, sekarang masih di serial Sejarah Air Bangis. Kerajaan Nagur tentu sangat menarik, Dalam buku penulis Porugis, Pinto (1500) mencatat Radja Aroe sangat marah besar kepada kerajaan Atjeh karena dua anaknya dibunuh di Nagur. Ini adalah petunjuk awal dalam menelusuri sejarah Kerajaan Nagur. Hipotesis: Apakah Kerajaan Nagur berafiliasi dengan Kerajaan Aroe (yang diserang Kerajaan Atjeh), Mungkin tidak terlalu kita sadari teritorial Aroe dan teritorial Nagur berdampingan dan juga dialek bahasa Padang Lawas dan Simalungun terkesan mirip. Menurunnya reputasi Aroe dan Nagur diduga menjadi sebab munculnya Kerajaan Deli (di Karo)sebagai wujud aliansi Atjeh di hulu sungai Deli Karo). Kemudian Kerajaan Deli diserang Portugis. Tamat kerajaan Deli (Tua) dan muncul kerajaan-kerajaan kecil di sepanjang daerah aliran sungai Deli, termasuk kerajaan Soenggal, Brayan dan (Labuhan) Deli. Kerajaan Labuhan Deli diperebutkan Atjeh dan Siak dan kemudian awalnya dibesarkan oleh Inggris dan dilanjutkan Belanda (hingga kraton Kesultanan Labuhan Deli direlokasi ke kota Medan.
      Demikian untuk sekadar info awal.

      Hapus
    2. sudah pernah ke binanga min ???

      Hapus
  3. Nah, ini analisa yang cukup luas yang baru saya dapat tentang peta lokasi aru. Saya lebih condong ke anda dalam teori dan bukti pendukung bahwa aru memang eksis di wilayah selatan ke timur laut dari sumatra utara. Lebih masuk akal lokasinya di sungai barumun karena lebih dekat ke selat malaka dari pada lokasi lainya di sungai deli. Semoga bisa mendapat bukti dan petunjuk yang lebih baik kedepan agar dapat menambah wawasan bagi orang asli sumatra utara. Terima kasih.

    BalasHapus
  4. Saya mau minta pendapat min,,apakah benar bahwa kerajaan aru didirikan orang karo?sehingga ada pernyataan yg nengatakan bahwa suku karo itu berasal dari aru,haru,haroe ,karo.Adakah relasinya?

    BalasHapus
  5. Haru dalam sulalatus salatin di sebut sejaman Lamuri Aceh belum muncul kesultanan Aceh Syeikh Ismail datang dr atas angin mencari negri samudra . tetapi sampai di Lamuri kemudia Aru . Ketika kembali tiba di negri samudra tujuan membuktikan kebenaran hadis dg kemunculan nama negri itu di cari kemudian hari.

    BalasHapus