Kamis, 22 Agustus 2019

Sejarah Tangerang (30): Balaraja, Perluasan Tanah-Tanah Partikelir; Area Perang Gerilya Semasa Perang Kemerdekaan 1946-1949


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Balaraja tempo doeloe adalah salah satu distrik di Afdeeling Tangerang: Saat itu Afdeeling Tangerang yang dipimpin oleh seorang Asisten Residen terdiri dari tiga empat distrik: Tangerang, Maoek, Tjoeroek dan Balaradja. Oleh karena itu, nama Balaraja sudah memiliki nama besar di masa lampau. Nama Balaradja paling tidak sudah muncul sebagai nama tanah partikelir (land) tahun 1924 (lihat Bataviasche courant, 11-12-1824).

District Balaradja (Peta 1930)
Pada masa ini, wilayah (afdeeling) Tangerang terdiri dari tiga kabupaten kota: Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Kabupaten Tangerang terdiri dari 21 kecamatan. Ada beberapa nama di wilayah (afdeeling) Tangerang tempo doeloe seperti Teloknaga, Maoek, Tjoeroek, Sepatan, Balaradja dan Tigaraksa. Pada era kolonial Belanda nama-nama Maoek, Tjoeroek dan Balaradja adalah nama distrik. Salah satu onderdistrict di District Balaradja adalah Tigaraksa. Suatu distrik dipimpin oleh seorang wedana dan onderdistrik dipimpin oleh seorang asisten wedana. Nama-nama Teloknaga, Maoek, Tjoeroek, Sepatan, Balaradja dan Tigaraksa pada masa ini di Kabupaten Tangerang adalah nama kecamatan. Peta 1930    

Apa yang menjadi keistimewaan Balaradja? Nah, itu dia! Tentu saja menarik untuk diperhatikan. Balaradja tidak hanya batas antara Residentie Batavia dengan Residentie Banten, tetapi juga banyak hal yang pernah terjadi di Balaradja. Balaradja adalah salah satu area pertempuran selama perang kemerdekaan. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Land Balaradja

HG Wittenrood melalui notaris memasang iklan di surat kabar untuk menyewakan atau menjaul lahannya land Balaradja kepada yang berminat (lihat Bataviasche courant, 11-12-1824). Informasi ini merupakan kali pertama nama Balaradja muncul. Informasi ini juga mengindikasikan pemilik pertama land Balaradja adalah HG Wittenrood. Land Balaradja termasuk salah satu dari land yang dijual pemerintah kepada pihak swasta. Pembeli land Balaradja adalah J Pollonis (lihat  Bataviasche courant, 08-11-1826).

Dalam perkembangannya setelah kematian J Pollonis meninggal, land Balaradja dijual. Pemilik baru land Balaradja telah menggabung land Balaradja dengan land Kresek. Land Balaradja en Kresek diketahui menghasilkan beras (lihat Javasche courant, 03-12-1831).

Land Balaradja dan land Kresek telah dipisah kembali. Hal ini karena pemiliknya telah menjual kepada yang lain. Pada tahun 1842 pemilik land Balaradja diketahui adalah Khouw Thiansek (lihat Javasche courant, 21-09-1842). Seperti di berbagai tempat, land-land yang sebelumnya dimiliki oleh orang Eropa/Belanda telah banyak yang jatuh ke tangan orang-orang Tionghoa. Dalam hal ini, Khouw Thiansek selain memiliki land Balaradja juga diketahui sebagi pemilik land Kadawoeng, land Salapadjang, land Kampong Liemoe dan land Pekadjangan.

Pada tahun 1863 di land Balaradja didirikan pasar. Ini sehubungan dengan keluarnya beslit dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 18-02-1863). Di dalam beslit ini pendirian pasar Balaradja sesuai dengan yang diterapkan dalam peraturan pendirian pasar di Tjikarang (Staatsblad 1854). Dalam beslit ini pasar hanya dilakukan siang hari dan diadakan sekali dalam seminggu. Namun dalam beslit ini tidak terdeteksi hari kapan buka. Siap pemilik pasar tidak disebutkan. Pemilik pasar biasanya adalah pemilik land (dan kongsi).

Pada tahun 1869 seseorang menulis di surat kabar setelah melakukan perjalanan ke sejumlah land di wilayah Tangerang seperti landen Mauk, Kramat, Karang Serang, Kemienie, Kressek, Tjoerook, Bazaar Baroe, Tiga Raksa, Parong Pandjang dan Blaradja (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 16-01-1869). Di land-land yang dimiliki oleh orang Tionghoa setoran pribumi f9 per tahun yang nilainya lebih tinggi jika dibandingkan land-land Eropa/Belanda yang hanya f5 atau f6.

Balaradja (Peta 1905)
Penulis juga menyebutkan bahwa banyak penduduk asli yang menjual lahan-lahannya kepada orang Tionghoa sehingga penduduk asli tidak memiliki tanah. Para pemilik land Tionghoa juga mewajibkan setiap penggarap untuk menyediakan satu hari setiap minggu untuk pekerjaan sosial. Penulis bertanya apakah Staatsblad 1836 telah dilanggar? Penulis menyindir seperti banyak orang Cina, yang memulai tanpa apa-apa, kemudian kini mereka menjadi seorang millionair? Orang-orang pribumi yang makmur telah benar-benar menyia-nyiakan kekayaan yang mereka miliki sebelumnya. Nama land di Onderdistrict Balaradja (Bataviaasch nieuwsblad. 06-06-1914)

Di Onderdistrict Balaradja pada tahun 1914 ada sebanyak empat land: land Kresek atau Tjakoeng, land Pasilian atau Djegati; land Tjleles atau Karang Serang atau Kemiri; dan land Balaradja dan Boemiajoe/ Empat land ini semua dimiliki oleh keluarga-keluarga Tionghoa.

Bataviaasch nieuwsblad. 06-06-1914
Pemerintah secara bertahap sesuai ketersediaan anggaran membali lahan-lahan partikelit. Pada tahun 1918 land Ragoenan telah dibeli oleh pemerintah. Pada tahun 1926, pemerintah kembali menyediakan dana untuk mengembalikan tanah-tanah partikelir menjadi milik negara. Kesepuluh land tersebut adalah Djasinga, Tigaraksa, Djatinegara, Pondoklaboe, Kebajoran, Tjikokol, Bazaar Tangerang West, Gandaria Noord, Oeloe Pella dan Pella Petogogan. Pada tahun 1927 pemerintah akan membeli land Tjiampea (lihat De Indische courant, 18-10-1927). Land Tangerang Oost telah dibeli oleh pemerintah pada era Gubenur Jenderal Daendels (ketika membangunan kota Tangerang)..

Sampai berakhirnya era kolonial Belanda, land-land yang terdapat di onderdistrict Balaradja tetap berada di bawah kepemilikan orang-orang Tionghoa. Selain keterbatasan anggaran pemerintah untuk mengakuisisi land, land-land yang tetap berada di tangan swasta bisa diakibatkan oleh tingginya harga, kesulitan dalam negosisi (karena land tidak ingin dijual oleh pemilik).

Area Gerilya di Balaradja

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

1 komentar: