Kamis, 19 Maret 2020

Sejarah Bukittinggi (3): Nama Kampong Mandailing, Padang Lawas dan Baringin di Batusangkar; Kampong Teleng Sidempuan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bukittinggi dalam blog ini Klik Disini

Tempo dulu ada nama kampong Jawa, kampong Darek dan kampong Teleng di kota Padang Sidempuan (masih eksis hingga kini). Itu tidak dipertanyakan. Tempo dulu ada kampong Mandailing, kampong Baringin dan kampong Padang Lawas serta kampong Jawa di Batusangkar. Bagaimana bisa? Sedikit membingungkan, tetapi dapat dijelaskan.

Mansailing, Padang Lawas, Baringin di Batusangkar (Peta 1883)
Di Jakarta pada masa ini tidak ada nama kampong Batusangkar (kampong Minangkabau) dan juga tidak ada kampong Padang Sidempuan (kampong Batak). Nama-nama kampong yang ada yang sudah diidentifikasi sejak tempo doeloe (bahkan sejak era VOC/Belanda dan masih eksis hingga ini hari, antara lain: kampong Ambon, kampong Banda, kampong Tambora, kampong Bali, kampong Jawa, kampong Makassar, kampong Bangka, kampong Malaka, kampong Duri, kampong Melayu dan sebagainya. Itulah gambaran Indonesia pada tempo doeloe. Pada masa kini, nama Batusangkar dan nama Minangkabau di Jakarta ditabalkan menjadi nama jalan. Tidak ada nama jalan Padang Sidempuan. Di jalan Batusangkar Jakarta nyaris tidak ada orang Minangkabuu, sementara di jalan Minangkabau banyak ditemukan orang Batak. Itulah gambaran Indonesia pada masa kini di Jakarta. Timbulnya kekeliruan dalam pemahaman geografis masa kini hanyalah karena kurangnya data dan informasi yang tersedia. Tidak bisa suatu analisis (interpretasi) menjelaskan sesuatu hal masa kini jika data yang dibutuhkan tidak tersedia. Analisis yang tidak berdasarkan data hanyalah karangan belaka. Karangan semacam ini bukanlah sejarah. Sejarah adalah narasi fakta dan data.

Bagaimana penjelasannya bahwa ada nama kampong Mandailing, kampong Baringin dan kampong Padang Lawas serta kampong Jawa di Batusangkar? Paling tidak tiga nama kampong yang berasal dari Tapanoeli ini juga terdapat di dekat benteng Padang Ganting, benteng Soeroaso dan benteng Paijakoemboeh. Seperti kita lihat nanti kampong Jawa dan kampong orang Minangkabau juga terbentuk di Padang Sidempoean. Penjelasannya kurang lebih sama dengan terbentuknya nama-nama kampong di Jakarta pada waktu tempo doeloe. Orang-orang yang membentuk kampong di dekat benteng-benteng di ranah Minangkabau ini adalah pasukan pribumi yang direkrut (militer) Hindia Belanda untuk membenatu militer Belanda menjaga benteng sekaligus ikut aktif menjaga perdamaian pasca Perang Padri. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*

Pagaroejoeng

Istana Pagaroejoeng terbakar dalam ‘perang saudara’ antara kaum Padri dan kaum adat pada tahun 1804. Habis sudah Kerajaan Pagaroejoeng. Sementara itu, pedagang-pedagang Belanda mati suri karena VOC dinyatakan bangkrut pada tahun 1799 yang kemudian diakuisisi oleh Kerajaan Belanda dengan membentuk Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang tengah sibuk di Batavia dalam proses pemerintahan terjadilah perang saudara di Pagaroejoeng yang mengakibatkan terbakarnya Istana Pagaroejoeng.

Nama kerajaan Minangkabau sudah disebut dalam ikhtisar pada era Madjapahit (pertengahan abad ke-14). Dalam ikstisar ini juga disebut Mandailing. Nama Minangkabau juga disebut dalam laporan Tome Pires (1512-1515). Laporan ini juga menyebutkan kerajaan Aroe atau de Aroe atau Daroe. Dalam laporan Portugis berikutnya (Joao Barbosa) menyebut tujuh bandar penting, yakni: Pedir, Pansem (Baros?), Achem (Atjeh), Compar (Kampar), Andiagao (Indragiri), Macaboo (Minangkabau) dan Ara (Aru). Dalam laporan Mendes Pinto (1535) juga menyebut nama Kerajaan Aroe Battak Kingdom yang bertetangga dengan kerajaan di Minangkabau. Dalam peta-peta Portugis dan juga peta yang dibuat oleh tim ekspedisi Cornelis de Houtman (1595-1597) juga masih teridentifikasi nama Aroe dan Minangkabau di pedalaman Sumatra. Namun dimana letak kerajaan Minangkabau tidak dapat diketahui.

Dimana letak kerajaan Minangkabau, baru terinformasikan pada tahun 1684 ketika tim ekspedisi VOC yang dipimpin Thomas Dias melakukan kunjungan dari Malaka (dikuasai Belanda sejak 1641) ke Pagaroejoeng di dataran tinggi (lihat Daghregister 25 Desember 1684). Rute yang dilalui melalui sungai Siak dengan 14 hari perjalanan darat. Gambaran yang dideskripsikan Thomas Dias mengindikasikan tempat dimana istana Pagaroejoeng itu berada di sekitar Tanah Datar yang sekarang. Beberapa tahun sebelum pada tahun 1665 Ekspedisi VOC telah mengusir Atjeh dari sungai Batang Arau. Pada tahun 1680 VOC menerima utusan dari Radja Minangkabau (lihat Daghregister 22 Maret 1680). Korespondensi terakhir VOC dengan kerajaan Minangkabau terakhir tahun 1687. Ini dapat dipahami sejak ekspedisi VOC ke hulu sungai Tjiliwong tahun 1687 konsentrasi VOC mulai intens di Jawa dan kota-kota pelabuhan di luar Jawa. Kerajaan Minangkabau di pedalaman tidak pernah terinformasikan lagi hingga Raffles melakukan ekspedisi ke Minangkabau pada tahun 1819.

Sejak terbakarnya istana Pagaroejoeng 1804 hanya Thomas Stamford Raffles orang Eropa yang pernah berkunjung ke pedalaman Minangkabau 1819. Besar kemungkinan tidak ada lagi aktivitas yang berarti di sekitar wilayah istana Pagaroejoeng. Penduduk telah meninggalkan area tersebut.

Sementara itu aktivitas perdagangan internasional di kota Padang masih berlangsung. Paling tidak pada tahun 1803 tercatat di Batavia kapal Prancis dan kapal Inggris berasal dari Padang (lihat Daghregister).

Pada tahun 1819 ini juga wilayah pantai barat Sumatra akan diakuisisi kembali Belanda dengan mengangkat Kommissaris J. du Puy. Pada bulan Mei 1819 secara defacto J. du Puy berfungsi sebagai Residen Sumatra's Westkust.

Oleh karena eskalasi politik yang masih memanas di pantai barat Sumatra (Belanda vs Inggris) maka pembentukan pemerintahan tidak dapat langsung dilakukan,. Hal ini juga karena satu wilayah yang masih dikuasai oleh Inggris saat itu Benkoelen (Bengkulu) di (pulau) Sumatra masih dapat dianggap sebagai ancaman. Baru pada tahun 1821 secara dejure di Residentie Sumatra’s Westkust pemerintahan dapat dibentuk yang mana struktur pemerintahan yang dibentuk dikepalai oleh setingkat Asisten Residen yang berkedudukan di Tapanoeli.

Untuk mendukung pembentukan pemerintahan sipil di pantai barat Sumatra, Pemerintah Hindia Belanda di Batavia mengirim satu ekspedisi militer yang dipimpin oleh Luitenen Colonel AT Raaff. Pengiriman ekspedisi ini diduga setelah ada kesepakatan antara keluarga kerajaan Pagaroejoeng dengan pemerintah sipil Hindia Belanda di pantai barat Sumatra. Besar dugaan permintaan keluarga kerajaan Pagaroejoeng ini sudah muncul ketika Raffles melakukan kunjungan ke pedalaman Minangkabau pada tahun 1819. Sehubungan dengan kedatangan pasukan dari Batavia ini, dalam pembebasan pengaruh Padri di Minangkabau, Kapitein C Bauer mulai mengadministrasikan wilayah (kerajaan) Pagaroejoeng dengan menempatkan komandan militer di Agam, Samawang dan Padang Ganting.

Luitenant Colonel Raaff tiba di Padang pada bulan Desember 1821 (lihat Arnhemsche courant, 09-11-1822). Luitenant Colonel Raaff  menghadapi 20.000 pasukan Padri pada bulan Maret 1822 di sekitar Samawang. Luitenant Colenel hanya dengan kekuatan pasukan sebanyak 500 orang dan tiga belas ribu orang Melayu dengan para pemimpin mereka (pasukan yang dibentuk keluarga kerajaan Pagaroejoeng).

Setelah berhasil membebaskan wilayah Pagaroejoeng dari pengaruh Padri, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1824 mulai membangun benteng di Batoe Sangkar dekat Pagaroejoeng. Benteng ini kemudian disebut Fort van der Capellen. Setahun kemudian pada tahun 1825 benteng Fort de Kock dibangun di Bukittinggi.

Inilah awal kehadiran Belanda di Ranah Minangkabau yang dimulai di Pagaroejoeng. Untuk mendukung kekuatan militer Belanda (yang dibantu pribumi) dibangun sejumlah benteng. Pada akhirnya kekuatan Padri berakhir setelah jatuhnya benteng Bondjol dimana Tuanku Imam Bondjol menyerah dan diasingkan pada tahun 1837. Ranah Minangkabau secara keseluruhan telah terbebaskan dari pengaruh Padri. Setahun kemudian juga benteng Daloe-Daloe pusat kekuatan Padri berikutnya di bawah pimpinan Tuanku Tambusasi berhasil dilumpuhkan tahun 1838. Tanah batak yang secara khusus wilayah Mandailing en Angkola dan Padang Lawas terlah terbebaskan dari pengaruh Padri.

Benteng Fort van der Capellen dan Pasukan Mandailing en Angkola dan Jawa

Pada peta-peta awal tidak terdapat nama kampong Mandailing, Padang Lawas dan Baringin di Fort van der Capellen.

Nama-nama kampong Mandailing, Padang Lawas dan Baringin hanya ditemukan di Mandailing, Angkola dan Padang Lawas (lihat Peta 1843).

Pada Peta 1883 tiga nama kampong Mandailing, Padang Lawas dan Baringin diidentifikasi di dekat Fort  van der Capellen.

Kapan nama-nama kampong ini muncul di Fort van der Capellen tidak diketahui. Dalam berita-berita perang di sekitar Fort van der Capellen tidak muncul. Nama-nama yang muncul adalah Soeroaso. Sementara keberadaan orang-orang Jawa di Padang Pandjang sudah terdeteksi tahun 1841 (lihat Javasche courant, 12-05-1841). Disebutkan dalam suatu kerusuhan di Padang Pandjang banyak orang Jawa terbunuh. Pasukan perdamaian di benteng Kajoe Tanam hanya terkepung selama dua hari dengan kekurangan bahan makan sebelum mereka dibebaskan oleh militer Belanda yang didukung pasukan pribumi dari Pariaman yang didatangkan dari Padang. Setelah tiba militer Belanda barulah penduduk pribumi ikut bergabung untuk mengusir perusuhan yang merupakan sisa-sisa pengikut Padri. Area dimana mereka bermukim (dekat benteng Goegoek Malintang) besar dugaan menjadi asal-usul nama kampong Jawa dan kampong Jao di Padang Pandjang. Di Padang Pandjang juga ditemukan kampong Nias dan nama (bukit) Si Boga.

Dalam Peta 1883 selain tiga nama tersebut, juga teridentifikasi nama kampong Goenoeng Medan. Nama kampong Mandailing, Padang Lawas dan Baringin di sekitar benteng Fort van der Capellen tidak hanya di satu tempat tetapi paling tidak terdapat dua titik untuk masing-masing nama.

Bagaimana nama-nama kompong itu muncul di sekitar benteng Fort van der Capellen dapat dihubungkan dengan pasukan penjaga perdamaian yang bertugas di benteng Fort van der Capellen. Untuk menambah penghasilan mereka para pasukan ini juga melakukan kegiatan pertanian yang menjadi sebab munculnya perkampongan baru. Dalam situasi inilah para pasukan ini berinteraksi dengan penduduk yang boleh jadi telah terjadi perkawinan.

Kapan pasukan asal Mandailing dan Angkola serta Padang Lawas ini berada di benteng For van der Capellen diduga setelah berakhirnya Perang Pertibi pada tahun 1838 (Perang Bondjoel berakhir pada tahun 1837). Pasukan ini awalnya adalah pasukan pribumi pendukung militer Pemerintah Hindia Belanda dalam Perang Pertibie. Sementara pasukan pribumi asal Padang-Minangkabau yang mendukung militer Pemerintah Hindia Belanda ditempatkan di benteng-benteng di wilayah Tapanoeli (dan kelak di Atjeh). Pasukan pribumi asal Tapanoeli ini adalah untuk menggantikan pasukan asal Jawa. Situasi inilah yang menyebabkan munculnya kampong Jawa di dekat benteng dan kampong-kampong Mandailing dan Angkola serta Padang Lawas berada lebih jauh dari benteng. Pasukan asal Padang-Minangkabau dan Jawa yang ditempatkan di (benteng) Padang Sidempoean menjadi sebab munculnya nama kampong Jawa, kampong Teleng dan kampong Darek di Padang Sidempoean.

Seperti di sekitar Batavia pada era VOC ditempatkan pasukan pribumi pendukung militer VOC yang berasal dari Ambon, Makassar, Bali dan Melayu serta Jawa. Tidak ada pasukan pribumi asal Soenda yang ditempatkan di sekitar Batavia. Pasukan asal Soenda atau Banten ditempatkan di Sumatra bagian Selatan dan Kalimantan. Dalam perang di Padang pada tahun 1663 adalah pasukan pribumi pendukung militer VOC yang berasal dari Ambon, Ternate dan Bugis.

Segera setelah terbebaskan Ranah Minangkabau dari pengaruh Padri pada tahun 1837, pasukan yang ditempatkan untuk menjaga perdamaian yang berpusat di benteng-benteng adalah pasukan pribumi dari Jawa. Itulah asal-usul mengapa ada nama kampong Jawa di dekat benteng Fort van der Capellen. Pasukan pribumi asal Jawa untuk menjaga perdamaian juga ditempatkan di Mandailing, Angkola (Padang Sidempoean) dan Padang Lawas.

Ada pola umum yang diterapkan oleh militer Belanda dalam pembagian penugasan pasukan pribumi pendukung militer Belanda. Untuk pasukan pembebasan atau penyerangan direkrut dari tempat yang jauh (yang tidak ada hubungan emosional seperti Ambon ke Jawa dan Sumatra). Sedangkan pasukan penjaga perdamaian dan penjaga benteng-benteng (tidak berasal dari setempat) tetapi direkrut dari daerah yang lebih dekat tetapi tidak menimbulkan konflik sosial. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa pasukan dari Jawa dan dari Mandailing, Angkola dan Padang Lawas (yang beragama Islam) ditempatkan di Minangkabau. Pasukan dari Mandailing, Angkola dan Padang Lawas dapat diterima di Ranah Minangkabau selain beragama Islam, juga perlu diingat bahwa Minangkabau, Mandailing, Angkola dan Padang Lawas memiliki musuh yang sama yakni Padri. Kelak, pasukan pribumi untuk mendukung militer Belanda ke Toba dan Silindung bukan dari Minangkabau dan Mandailing, Angkola dan Padang Lawas tetapi wilayah lain. Namun untuk ke Atjeh pasukan pribumi yang dikirim adalah berasal dari Padang (pantai barat Sumatra) dan Melayu (pantai timur Sumatra). Untuk pasukan pribumi penjaga perdamaian dan penjaga benteng-benteng pasukan pribumi yang ditempatkan di Atjeh adalah pasukan pribumi yang berasal dari Mandailing, Angkola dan Padang Lawas (sebagaimana sebelumnya di Ranah Minangkabau).

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar