Sabtu, 23 Januari 2021

Sejarah Museum (4): Sejarah Candi Padang Lawas, Tapanuli; Pusat Budha Sumatera Era Kuno Berada di Palembang, Jambi dan Pane

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Museum dalam blog ini Klik Disini

Sejarah kuno selalu penuh teka-teki. Hal yang paling pokok mengapa demikian karena kurang tersedianya data yang lengkap dan akurat. Sebab lain karena pendekatan analisis yang digunakan bersifat parsial tidak keseluruhan (total) dalam arti data dari aspek lain tidak disertakan dalam analisis. Celakanya, interpretasi dari hasil analisis tidak mencerminkan fakta yang sesungguhnya. Itulah gambaran umum tentang narasi sejarah kuno, narasi sejarah yang terus direvisi (jika ditemukan fakta dan data baru).

Pada awalnya, narasi sejarah keberadaan Boedha hanya merujuk (satu-satunya) di Palembang. Pada era Hindia Belanda ditemukan pusat Budha tidak hanya di Palembang (Sriwijaya) tetapi juga di Jambi dan Panai. Panai sebagai (salah satu) pusat Budha di zaman kuno diketahui dari keberadaan candi-candi yang terdapat di Padang Lawas. Sebagaimana diketahui adanya candi di Padang Lawas kali pertama dilaporkan oleh FW Junghuhn ketika melakukan survei pemetaan di wilayah Padang Lawas antara tahun 1841 dan 1842. Penyelidikan candi-candi Padang Lawas baru dilakukan secara intens sejak 1934. Oleh karena itu, penemuan Padang Lawas sebagai pusat Budha masih terbilang baru.

Lantas bagaimana sejarah candi di Padang Lawas? Pada era Republik Indonesia upaya ini baru dilakukan secara komprehensif bersamaan dengan upaya rehabilitasi yang dilakukan pada situ-situs candi yang terdapat di Padang Lawas. Namun yang tetap menyisakan pertanyaan adalah mana yang lebih awal eksis pusat Budha di Palembang atau pusat Budha di Panai. Pusat Budha Panai berada di arah hulu daerah aliran sungai Baroemoen (kini kabupatyen Padang Lawas di Tapanoeli). Okelah, mari kita pelajari kembali. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pusat Budha: Percandian di Padang Lawas, Tapanoeli

Jauh sebelum situs kuno Palembang ditemukan, pada tahun 1841 Dr FW Junghuhn meneukan dan melaporkan keberadaan situs kuno berupa candi di wilayah Padang Lawas, Tapanoeli (hulu daerah aliran sungai Baroemoen). Salah satu situs candi Padang Lawas sudah dipublikasikan oleh pelukis terkenal Rosenberg (1857). Namun keberadaan candi ini hanya direspon sebagai pengetahuan umumnya tanpa pernah direspon lebih lanjut. Para pemerhati kepurbakalaan dan peneliti sejarah termasuk arkeolog hanya tetap fokus tentang situs-situs kuno di Jawa (penemuan Boroboedoer dan Prambanan).

Meski demikian, penemuan situs oleh Junghuhn tahun 1841 di hutan dan semak-semak Padang Lawas selalu tersimpan dalam memori penduduk dan selalu diceritakan kepada setiap orang Eropa yang baru datang seperti yang dapat dibaca pada surat kabar Opregte Haarlemsche Courant, 11-03-1880: ‘kuil bata tua di Pertibi dan dimana saksi mata meyakinkan saya, menunjukkan dengan reruntuhan, datang sebelumnya wilayah ini dulunya adalah dari Hindu yang cukup berkembang…’.

Fokus penyelidikan situs kepurbakalaan di Jawa oleh orang-orang Belanda di Jawa yang tergabung dalam Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen di Batavia (lembaga ilmu pengetahuan) tampaknya sulit menggerakkan pandangan ke Sumatra. Bahkan surat seorang peneliti Inggris, S. Beal pada tahun 1887 yang ditujukan kepada lembaga di Batavia tidak digubris. S Beal Sinoolog yang telah lama melakukan riset di Tiongkok dalam suratnya menyatakan telah menemukan arah suatu kekaisaran besar yang letaknya menuju sungai Moesi dimana kota Palembang berada. Lebih lanjut Beal menyatakan bahwa ia sampai pada kesimpulan bahwa sebuah kota Hindu yang besar pastilah berada di lokasi Palembang yang sekarang. Dalam surat itu juga Beal bertanya apakah Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen tertarik untuk memulai penyelidikan di ibukota Palembang untuk menyelidiki kemungkinan sisa-sisa pusat yang kekaisaran yang kuat tersebut.

Wakil Presiden van den Raad van Indie yang juga anggota Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, WP Groenevelt menjawab surat dan dalam surat tersebut WP Groenevelt menyangkal dan menganggap hipotesis Beal tidak masuk akal dan karena itu lembaga ilmu pengetahuan tertinggi di Batavia tersebut tidak memiliki alasan untuk mengabulkan permintaannya.

Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen di Batavia telah membuat keputusan yang sangat keliru. Sebab pada tahun 1920 Mr LC Westenenk, Residen Palembang mengumumkan penemuannnya di Bukit Sigoentang menemukan puing-puing patung Budha yang bertarih 684 M (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-11-1920).

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-11-1920: ‘Residen Westenenk mengumumkan kemarin menemukan dimana Palembang memiliki inscriptie (tulisan kuno) Hindoe sebanyak tujuh belas catatan dan tidak rusak. Tulisan kuno ini menunjukkan kemiripan yang sangat besar dengan tulisan di Kota Kapoar di Banka dan karena itu mungkin sudah berusia lebih dari sepuluh abad. Ini adalah prasasti Hindoe Melayu pertama yang ditemukan di Sumatera Selatan’.

Batavia geger. Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen kecolongan. Berbagai media (bahkan juga media di Belanda) menyindir kita kehilangan waktu 30 tahun studi untuk memperluas pengetahuan kita tentang Sriwidjaja.  Disebut kehilangan waktu 30 tahun karena S Beal pada tahun 1887 telah mendorong peneliti-peneliti untuk melakukan penyelidikan di Palembang. Sindiran ini seakan mencemooh bahwa kembali Inggris selalu lebih maju selangkah di depan dari Belanda.

Mr LC Westenenk (Residen Palembang 14 Mei 1920 - 25 Mei 1921), bukanlah seorang peneliti apalagi bukan seorang arkeolog. Mr LC Westenenk hanyalah pejabat pemerintah yang memiliki perhatian terhadap perihal kepurbakalan. Media menyindiri mungkin untuk mengolok-olok dimana berada para peneliti dan para arkelolog Belanda selama ini. Peneliti terkenal Inggris S Beal telah diabaikan oleh peneliti Belanda dan temuan Mr LC Westenenk seorang awam justru membuat gempar dunia ilmu pengetahuan Belanda. Dalam hal ini head to head peneliti Belanda kalah cepat dibandingkan Inggris.

Surat S Beal itu sesungguhnya telah menjadi isu di Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, namun entah bagaimana surat S Beal ini kembali masuk laci. Pembicaraan surat S Beal baru intens setelah Mr LC Westenenk melaporkan penemuannya (1920).

Uniknya, setelah penemuan Mr LC Westenenk, peneliti-peneliti Belanda tidak hanya memulai langkah untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut temuan awal Mr LC Westenenk tetapi juga laporan Jung Huhn tahun 1843 tentang keberadaan candi di Padang Lawas dibuka kembali dan dibicarakan serius. Area percandian di Padang Lawas sangat luas yang berpusat di (kampong) Binanga (pertemuan sungau Batang Pane dengan sungai Baroemoen) dan kampong Pertibie (sungai Batang Pane). Nama-nama Binanga (Minanga); Pane (Panai), Baroemoen (aroe=sungai) dan Pertibie (Pritivi=dunia) diduga kuat berasal dari India.

Langkah inilah yang kemudian memunculkan gagasan pendirian Pusat Kepurbakalan di Palembang (bukan di Jawa). Pusat kepurbakalaan ini akan menjadi pusat kajian dalam penyelidikan lebih lanjut situs-situs tua di Palembang, Bangka, Padang Lawas dan berbagai tempat dimana akan ditemukan situs baru di Sumatra. Orang yang ditempatkan di pusat kepurbakalaan yang baru ini adalah  seorang arkeolog bernama FM Schnitger.

Menurut NJ Krom dalam bukunya Hindoe-Javaansche Geschiedenis (1926) hanya tiga kompleks candi di Sumatra yakni Palembang, Muara Takus (Riau) dan Panai (Padang Lawas). Tiga daerah ini jauh mendahului dari semua tempat di Sumatra, seperti Lamuri di Aceh, Malaka dan Pagaruyung. Dari spesimen makara yang terdapat di candi Padang Lawas menurut Krom, tidak hanya lebih tua (dari candi Melayu di Muara Takus) tetapi juga menunjukkan Panai (Padang Lawas) lebih makmur pada abad kesebelas. Keberadaan Panai tercatat dalam prasasti Tanjore, 1030. Urutan keberadaan tempat-tempat penting di Sumatra (lihat Krom, 1926) adalah sebagai berikut: Sriwijaya di Palembang, kemudian Panai di muara sungai Baroemoen dan selanjutnya Jambi (dan dihulunya muncul kemudian Muara Takus).

Pada tahun 1935, Schnitger melakukan beberapa minggu penelitian di Palembang (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 16-02-1935). Disebutkan Schnitger menemukan artefak dan candi-candi yang berasal dari abad ke-13 dan 14. Tidak lama kemudian FM Schnitger, Kepala Pusat Kepurbakalan Sumatra di Palembang, mendapat laporan adanya candi yang lebih tua di Simangambat, Siaboe (dekat Padang Lawas). Schnitger kaget luar biasa dan bergegas dari Palembang datang ke Siaboe untuk mengkonfirmasi keberadaan candi Simangambat. Tanpa pikir panjang, FM Schnitger dan tim langsung melakukan ekskavasi terhadap candi Simangambat dan laporannya dipublikasikan pada bulan Juni 1935 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 05-06-1935 dan Bataviaasch nieuwsblad 05-06-1935).

Berita tersebuit pada kala itu sangat luar biasa, semua koran besar di Hindia melaporkan atau melansirnya. Pada intinya, koran-koran tersebut mengabarkan sebagai berikut: ‘Minggu lalu FM Schnitger dalam laporannya diketahui bahwa candi Simangambat adalah candi Siwa yang dibangun pada abad kedelapan. Di dekat Simangambat (sebelah selatan) juga ditemukan candi di Bonan Dolok. Candi Simangambat adalah candi tertua yang dikenal di Sumatra. Candi ini mengandung relief teratai dan yang paling mengejutkan ditemukan arca dewa Ganesha. Bangunan candi ini merupakan lebih awal dari Borobudur dan diharapkan akan dilakukan perlindungan. Hal yang luar biasa dalam penemuan ini, bahwa ada relief candi yang melukiskan suatu daerah di Jawa. Sekarang, Mr. Schnitger sedang mempersiapkan suatu ekspedisi lanjutan untuk eksplorasi ke percandian di Baroemoen, di mana mereka berharap untuk membuat penemuan menarik di daerah arkeologi itu. Mr Schnitger dan tim pergi ke daerah itu dan diperkirakan berlangsung selama dua minggu’. Laporan FM Schnitger tersebut kemudian diterbitkan dalam bentuk brosur 38 halaman 'Oudheidkundige Vondsten in Palembang' oleh penerbit EJ Brill, Leiden. 1936. Isi laporan tersebut hasilnya sangat menggemparkan: 'Candi (Hindu) Simangambat adalah candi tertua di Sumatra dan candi yang mendahului pembangunan candi (Budha) Borobudur di Jawa Tengah'.

Keberadaan candi di Simangambat boleh jadi merupakan garis continuum kehadiran orang-orang India selatan di Sumatra: Baros, Siaboe dan Padang Lawas. Sebagaimana diketahui, kota tertua di nusantara yang pernah tercatat adalah Baros (konon sudah dikunjungi oleh orang-orang Mesir kuno, jaman prasejarah). Koloni orang-orang India selatan di Baros besar kemungkinan adalah orang-orang India selatan yang melakukan migrasi setelah mengetahui banyak penduduk lokal di sekitar sungai Batang Angkola di Siaboe mengusahakan tambang emas (pertambangan emas masih ditemukan hingga ini hari).

Pelabuhan Panai berkembang setelah era pelabuhan kuno, Baros memudar. Dengan kata lain pusat-pusat perdagangan dari pantai barat Sumatra (di Baroes) telah bergeser ke pantai timur Sumatra dimana Palembang dan Panai menjadi pelabuhan penting. Meski demikian, keberadaan penduduk Batak dalam mengusahaan produk-produk alamiah (kemenyan, benzoin dan kamper) tetap sentral. Pelabuhan Panai (di hulu sungai Baroemoen atau sungai Batang Pane) didukung oleh bandar-bandar kecil di hulu sungai Baroemoen, tempat dimana pedagang-pedagang India melakukan transaksi dagang dengan penduduk dari semua punjuru Tanah Batak. Produk perdagangan kuno kemenyan, benzoin dan kamper sebagaimana diketahui hanya dihasilkan oleh penduduk Batak. Besar kemungkinan produk ini mengalir ke Palembang melalui pelabuhan Panai.

Sehubungan dengan penemuan situs kepurbakalaan di Padang Lawas, Palembang dan Simangaabat memunculkan pertanyaan baru. Situs mana yang lebih eksis dan dimana peradaban awal berkembang lebih awal di Sumatra: Apakah di Tapanuli atau Palembang?

Tunggu deskripsi lengkapnya

Era Hindoe di Sumatra dan Jawa

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar