Sabtu, 26 Juni 2021

Sejarah Kupang (39): Labuan Bajo, di dekat Pulau Komodo, Kini Ibu Kota Manggarai Barat; Menatap Destinasi Wisata Dunia

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kupang dalam blog ini Klik Disini

Beberapa tahun terakhir ini, nama Labuan Bajo mulai populer. Banyak orang tidak mengetahui Labuan Bajo kini adalah ibu kota kabupaten Manggarai Barat di provinsi Nusa Tenggara Timur. Labuan Bajo lebih dikenal dengan adanya reptil raksasa di pulau Komodo. Labuan Bajo awalnya hanya sebagai ibu kota kecamatan Komodo yang berbatasan langsung dengan provinsi Nusa Tenggara Barat (di kabupaten Bima; di tengah kecamatan Sape, di utara kecamatan Wera dan di selatan kecamatan Lambu). Nama Labuan Bajo sendiri diduga kuat merujuk pada pelabuhan (Labuan) dan Bajo (mungkin dari Wajo).

Kabupaten Manggarai Barat adalah pemekaran dari Kabupaten Manggarai (ibu kota di Ruteng). Penduduk di Kabupaten Manggarai (juga barat dan timur) di Pulau Flores ini mengidentifikasi diri sebagai Orang (suku) Manggarai dengan menggunakan bahasa (dialek) Manggarai. Sebelum orang Portugis menyebut nama pulau Flores dan juga pernah disebut sebagai pulau Ende pada era VOC, namanya adalah pulau Mangarai (menjadi atau Manggarai). Rai dalam bahasa Manggarai adalah reptil besar komodo itu sendiri. Dengan kata lain nama pulau lebih dulu disandang Manggarai daripada Flores. Mengapa? Hal serupa juga berlaku untuk penamaan pulau Sumbawa (sama-sama merujuk dari barat).

Lantas bagaimana sejarah Labuan Bajo sendiri? Tentu saja, seperti disebut di atas, sejarah Labuan Bajo tidak berdiri sendiri, paling tidak terkait dengan nama Manggarai dan Komodo dan bahkan nama Sape (selat yang memisahkan pulau Sumbawa dan pulau Manggarai atau pulau Flores yang mana di selat ini termasuk pulau Komodo). Lalu apa pentingnya sejarah Labuan Bajo? Kini nama Labuan Bajo mulai popoler bahkan lebih populer dari nama kabupatennya sendiri. Dalam rangka, Labuan Bajo sebagai tujuan destinasi wisata dunia, bagaimana sejarahnya menjadi penting. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk ntuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Labuan Bajo: Komodo dan Manggarai

TPulau Flores memanjang dari barat ke timur sekitar 355 Km. Pada era Hindia Belanda, pulau Flores secara tradisional terbagi ke dalam tiga wilayah: Flores Barat yang disebut Manggai, Flores Tengah disebut Endeh dan Flores Timur disebut Larntuka. Batas antara Manggarai dan Endeh dibentuk oleh Pota di pantai utara dan Nanga Ramoe di pantai selatan. Secara umum penduduk Flores adalah ras campuran antara Melayu dan Papua. Wilayah Manggarai ini mengakui Kesultanan Bima. Sisa Flores secara administratif dimasukkan ke Timor (lihat De locomotief, 28-08-1907).

Pada tahun 1889 pada wilayah batas barat dan tengah pulau Flores ini terjadi perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda yang dipimpin oleh tokoh berpengaruh Angga Molo. Setelah kedatangan pasukan tambahan dari Makassar, perlawanan dapat dipadamkan dan dilakukan perdamaian (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 04-06-1890 ). Hal itulah kemudian Conttroleur Bima JW Meerbrug melakukan perjalan ke pedalaman Manggarai pada tahun 1892. Rute yang dilalui dari Reo tangga; 14 April ke Koi, Tjiba, Dege, Rote[ng], Lolah dan Todo dan terus ke Ranga Ramoe tanggal 6 Mei 1890 (lihat laporannya yang diuat dalam majalah Indische T, L en Volkenkunde Vol 2 1892).

Secara spesifik hanya yang berada di pantai utara yang mengakui kekuasaan Sultan Bima, terutama kampung Bari, Reo dan Pota yang mana satu-satunya subjek adalah Pota yang sebagian besar penduduknya terdiri dari Bima, Bugis dan Manggarai. Penduduk di pedalaman sebagian ada yang sudah Katolik dan lebih banyak masih pagan. Penduduk Flores secara umum dari pertanian, hasil hutan dan penangkapan ikan yang diperdagangkan ke Singapoera, Bali dan Koepang yang terutama dilakukan oleh orang Bugis, Makassar, Boeton, Saleyer, Koepanger, Soemba dan Solor. Berkenaan dengan pelayaran di Flores, tempat berlabuh untuk kapal-kapal berikut harus diingat: kampung Badjo di pantai barat, Teluk Watoe lpoe di kampung Meborong, Teluk Aimereh, Teluk Endeh, Teluk Spih, Lila. Sika, semua di pantai selatan Flores, Teluk Toreng, Sosalape atau Teluk Wai Lobab, Mauwari baai, Maumeri dan Geliting semua di pantai utara. Ada sebuah kampung yang cukup besar di Maumeri, yang sebagian besar penduduknya beragama Katolik; mereka memiliki misi Katolik di sini dengan biara. Laporan ini dibuat oleh Kaptein Christofel di Endeh 10 Agustus 1907.

Tampaknya hingga 1907 satu-satunya pelabuhan yang disinggahi kapal-kapal perdagangan di wilayah Manggarai yang sekarang hanya kampong Badjo. Ekspedisi yang dipimpin Christofel menyarankan perluanya di semua wilayah Flores untuk dilakukan pemerintah (1) mematahkan semua perlawanan di Flores, (2) mengadakan kontrak kepada pemimpin seperti yang dilakukan di Aceh, (3) penghapusan perbudakan, (4) memperkenal pemerintahan sendiri tanpa pengawasan, (5) pengamanan, pendaftaran dan pembangunan jalan dan lain-lain, (6) survei geologi tanahm (7) generalisasi kondisi reguler dan keamanan diantara penduduk Flores, yang masih berada di bawah ancaman dari penduduk yang berada di pedalaman.

Jika memperhatikan eskalasi politik yang ada awal abad ke-20 ini wilayah Flores juga termasuk wilayah terakhir yang melakukan administrasi, karena dua wilayah lainnya yakni wilayah (residentie) Aceh minus Atjeh Besar (Perang Aceh 2) dan wilayah Residentie Tapanoeli di afdeeling Bataklanden minus Silindung (perlawanan Sisingamangaraja). Berdasarkan rekomendasi Christofel 1907 ini diduga dalam memulai pemerintahan dan pembangunan di seluruh pulau Flores, maka diduga akan terjadi pemisahan wilayah Manggarai Barat yang sejak lama berada di wilayah yurisdiksi Residentie Bima dimasukkan ke wilayah Residentie Timor..

Tunggu deskripsi lengkapnya

Labuan Bajo: Antara Manggarai dan Bima

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar