Senin, 27 September 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (136): Pribumi dan Pers Pribumi;Medan Perdamaian Medan Prijaji, Pewarta Prijaji dan Pewarta Deli

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Pers berbahasa Melayu di Hindia Belanda sudah sejak lama ada. Ini seiring dengan semakin meningkatnya pendidikan penduduk yang sudah semakin banyak yang bisa baca tulis dan semakin meluasnya penggunaan bahasa Melayu. Awalnya pers bebahasa Melayu investasinya adalah orang Eropa/Belanda, tetapi kemudian secara perlahan bergeser menjadi investasi orang pribumi. Adanya pers pribumi, menjadi pemicu munculnya organisasi kebangsaan dan minat berpolitik. Seperti pernah dikatakan Dja Endar Moeda (1898) bahwa pendidikan dan jurnalistik sama pentingnya: sama-sama untuk mencerdaskan bangsa.

Surat kabar berbahasa Melayu pertama terbit tahun 1856 di Surabaya yakni Soerat kabar Bahasa Melaijoe yang diterbitkan E. Fuhri & Co. Lalu pada tahun 1858 di Batavia terbit Soerat Chabar Batawie yang diterbitkan oleh Lange en Co. Surat kabar berbahasa Belanda juga terus bertambah. Surat kabar ketiga berbahasa Melayu terbit tahun 1860 di Batavai bernama Selompret Malajoe, Soerat Kabar Basa Malajoe Rendah yang diterbitkan oleh GCT van Dorp. Sejak itu surat kabar berbahasa Melayu terus bertambah dan berkembang. Surat kabar berbahasa Melayu pertama yang investornya pribumi dimulai di Padang. Pada tahun 1900 Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda mengakuisi surat kabar berbahasa Melayu Pertja Barat beserta percetakannya (percetakan Winkeltmaatschappij milik Paul Bauner & Co). Saat akuisisi percetakan Pertja Barat ini, Dja Endar juga editor Pertja Barat sejak 1897. Singkat kata: Dja Endar Moeda dapat dikatakan investor pertama pribumi di bidang media.

Lantas bagaimana sejarah awal pers pribumi di Indonesia (baca: Hindia Belanda)? Seperti disebut di atas pers pribumi tidak hanya berkembang di Sumatra tetapi juga di Jawa. Pernyataan Dja Endar Moeda tentang pendidikan dan jurnalistik sama pentingnya untuk mencerdasakan bangsa diduga menjadi pemicu lahirnya organisasi kebangsaan pribumi (baca: Indonesia). Lalu bagaimana sejarah awal pers pribumi di Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pers Berbahasa Melayu: Lahirnya Pers Pribumi

Sebelum muncul pers pribumi di Hindia Belanda (baca: Indonesia), sudah terbentuk pers berbahasa Belanda dan pers berbahasa Melayu. Sejauh ini pers di bawah investasi Eropa/Belanda. Pers dalam hal ini adalah industri persuratkabaran (persaingan dalam konteks usaha penerbitan dalam bidang persuratkbaran). Jatuh bangun surat kabar sangat ditentukan oleh oplah dan sirkulasi dan hasil pendapatan (harga koran dan iklan). Banyak yang gulung tikar dan tetap saja muncul surat kabar baru. Seorang jurnalis di kota Padang bernama Dja Endar Moeda mulai mengusung ‘teori’ baru bahwa pendidikan dan jurnalistik sama pentingnya: sama-sama untuk mencerdaskan bangsa. Dja Endar Moeda, sejak 1897 adalah editor surat kabar berbahasa Melayu Pertja Barat.

Dja Endar Moeda setelah pensiuan menjadi guru di Singki, berangkat haji ke Mekkah. Sepulang dari Mekkah, Dja Endar Moeda memilih tinggal di kota Padang (ibu kota province Sumatra’s Westkust, provinsi yang terdiri dari tiga residentie: Padangsche Benelanden, Padangsche Bovenlanden dan Tapanoeli). Di kota Padang, pada tahun 1895 mendirikan sekolah swasta (karena banyak penduduk usia sekolah tidak tertampung di sekolah pemerintah). Dja Endar Moeda menulis buku pelajaran sendiri dan juga menulis buku-buku umum termasuk roman. Pada tahun 1897 saat Dja Endar Moeda mengantar roman barunya ke pertekan, ada dua hal yang terjadi: romanya dianggap layak untuk terbit dan juga ditawarkan kepadanya posisi editor pada surat kabar berbahasa Melayu Pertja Barat yang juga diterbitkan oleh percetakan tersebut. Dja Endar Moeda sepakat. Inilah awal mula pribumi masuk ke dalam pers berbahasa Melayu investasi Eropa/Belanda. Hal serupa ini belum pernah terjadi seorang pribumi menjadi editor surat kabar. Pada fase inilah Dja Endar Moeda mempopulerkan bahwa pendidikan dan jurnalistik sama pentingnya: sama-sama mencerdaskan penduduk (bangsa pribumi). Oplah surat kabar Pertja Barat langsung terdongkrak ke atas bahkan mengalahkan oplah surat kabar berbahasa Melayu yang terbit di Batavia dan Soerabaja. Investor tampaknya tidak salah memilih Dja Endar Moeda. Dalam konteks inilah yang disebut pers (berbahasa Melayu).  

Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1900 Dja Endar Moeda diberitakan telah mengakuisisi surat kabar Pertja Barat di kota Padang. Para insan pers berbahasa Belanda dan berbahasa Melayu di (pulau) Jawa sedikit molohok, tetapi tetap memberi apresiasi. Surat kabar ini diakuisisi Dja Endar Moeda sejak pertengahan tahun 1899 (termasuk percetakannya). Dja Endar Moeda menjadi pribumi pertama pemilik percetakan. Dja Endar Moeda mengubah motto surat kabar Pertja Barat menjadi: “Oentoek Sagala Bangsa’.

Boleh jadi Raden Oetojo, bupati Japara mendengar berita itu. Lalu pada tahun 1900 ini mulai menerbitkan majalah berbahasa campuran (Jawa dan Melayu) dengan nama Medan Prijaji. Raden Oetojo yang lulusan HBS Semarang (1891)menjadi editornya. Majalah ini hanya bertahan beberapa edisi pada tahun permulaan ini lalu tutup. Disebutkan alasan bangkrut karena pendanaan (lihat De locomotief, 11-01-1907). Lantas mengapa disebut Medan Prijaji? Berbeda dengan surat kabar Pertja Barat sirkulasinya untuk segala (suku) bangsa, sedangkan majalah yang diasuh Oetojo hanya ditujukan kepada masyarakat Jawa terutama golongan priyayi sesuai namanya. Lalu mengapa menggunakan nama Medan? Yang jelas sejak Dja Endar Moeda mengakuisisi surat kabar Pertja Barat dan percetakannya pada tahun 1899, Dja Endar Moeda semakin pede dan pada awal tahun 1900 berinisiatif mendirikan organisasi kebangsaan di Padang yang disebut Medan Perdamaian (suatu organisasi kebangsaan pribumi pertama, yang sesuai motto surat kabarnya Oentoek Sagala Bangsa. Organisasi yang bersifat nasional untuk segalam suku bangsa pribumi). Apakah Raden Oetojo mengacu pada nama organisasi kebangsaan Medan Perdamaian? Tidak diketahui secara pasti.

Masih pada tahun 1900, Dja Endar Moeda menerbitkan dua media baru yakni surat kabar berbahasa Melayu yang diberi nama Tapian Na Oeli dan majalah bulanan berbahasa Melayu yang diberi nama Insulinde (yang memuat artikel pembangunan, pertanian dan manufaktur serta perdagangan). Surat kabar Tapian Na Oeli ditujukan untuk menyasar market di wilatah Residentie Tapanoeli. Oplah surat kabar Perja Barat tidak hanya di seputar province Sumatra’s Westkust tetapi beredar di Batavia, Medan dan Palembang. Surat kabar Pertja Barat menjadi surat kabar nasional yang terbit di daerah (bukan di ibu kota Batavia). Hal itu terjadi, boleh jadi seiring dengam adanya cabang Medan Perdamaian di Batavia dan Palembang.

Pada tahun 1902 di Medan, surat kabar nasional yang terbit di Medan Sumatra Post tertarik untuk investasi dalam surat kabar berbahasa Melayu. Lalu diterbitkan surat kabar dengan nama Pertja Timor (boleh jadi mengacu pada nama Pertja Barat). Editor yang diangkat untuk surat kabar berbahasa Melayu di Medan ini adalah mantan seorang jaksa di Natal, Hasan Nasution gelar Mangaradja Salamboewe. Hasan Nasution adalah alumni Kwekschool Padang Sidempoean tahun 1891 yang notabene adalah adik kelas Dja Endar Moeda (lulus tahun 1884). Mangaradja Salamboewe adalah editor pribumi kedua yang menjadi editor pada surat kabar berbahasa Melayu investasi Eropa/Belanda (tetapi kini Dja Endar Moeda sebagai yang pertama sudah menjadi investor pribumi pertama). Heboh di Padang dan Medan, membuat Karel Wijbran, mantan editor Sumatra Post di Medan yang menjadi editor surat kabar berbahasa Belanda di Jawa tertarik investasi pada surat kabar berbahasa Melayu. Untuk menyaingi surat kabar berbahasa Melayu Selompret di Batavia. Wijbran mendirikan surat kabar berbahasa Melayu di Batavia dengan nama Pembrita Betawie pada tahun 1903. Editor yang diangkat untuk membantunya adalah Tirto Adhi Soerjo. Dalam hal ini Tirto Adhi Soerjo, yang kini dikenal sebagai Bapak Pers Indonesia, adalah editor pribumi ketiga (pada investasi Eropa/Belanda). Tirto Adhi Soerjo sebelumnya diketahui pernah menjadi mahasiswa selama dua tahun di Docter Djawa School (tidak diketahui sebab mengapa gagal kuliah).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pers Pribumi: Lahirnya Organisasi Kebangsaan

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar