Senin, 01 November 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (207): Ladang Minyak Blok Salawati Pantai Barat Papua; Potensi Batubara dan Gambut Pulau Papua

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Apakah ada ladang minyak di pulau Papua? Tentu saja ada. Sejauh ini ladang minyak yang sudah dieksplorasi berada di pantai barat Papua (Blok Salawati). Lantas dimana lagi di wilayah Papua? Yang jelas di (negara) Papua Nugini juga ditemukan ladang-ladang minyak (belum dieksplorasi sepenuhnya). Lalu mengapa tidak/belum ditemukan ladang minyak di Papua Barat Laut di wilayah Merauke sekitar? Yang jelas tahun-tahun terakhir ini ditemukan potensi minyak di laut Arufuru (sekitar pulau Aru).

Minyak, gas, batu bara dan gambut adalah yang berasal dari sumber yang sama (bahan fosil). Minyak/gas dianggap proses bahan fosil yang lebih tua. Gambut sendiri adalah bahan sampah (massa padat( seperti asal tumbuhan. Kawasan gambut di pulau Pupua juga terbilang luas dan tersebar (seperti di Sumtra dan Kalimantan). Satu yang penting dari lahan gambut di Papua terbilang (masih) alami (tidak rusak) dan jarang terbakar (yang kerap terbakar terdapat di Kalimantan Tengah; Riau; Sumatera Selatan; Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan. Berdasarkan keterangan yang ada di wilayah Papua gambut tersebar di 30 lebih kabupaten, seperti kabupaten Mappi (479 ribu Ha), kabupaten Membramo Raya (384.ribu Ha), Asmat (378 ribu Ha), Mimika (268 ribu Ha), Sarmi (203 ribu Ha), Boven Digoel (179 ribu Ha), dan Tolikara (168 ribu Ha). Sedangkan lahan gambut di Papua Barat berada di Teluk Bintuni (445 ribu Ha), Sorong Selatan (287. Ribu Ha), Sorong (126 ribn Ha), dan Kaimana (107 ribu).

Lantas bagaimana sejarah ladang minyak/gas pantai barat Papua di Blok Salawati? Seperti disebut di atas, potensi minyak di pulau Papua baru terbilang tahap awal eksploitas dan masih diperlukan kegiatan eksplorasi yang lebih luas. Sejauh ini potensi minyak hanya ditemukan di wilayah Salawati dan laut Arufuru. Bagaimana dengan potensi di bagian lain pulau Papua? Lantas bagaimana dengan potensi gambut dan lahan batubara? Apakah gambaran peta gambut dapat menjelaskan sebaran potensi minyak/gas dan batubara? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Potensi Batubara dan Gambut di Pulau Papua: Potensi Minyak di Laut Arufuru

Penanda navigasi ditemukannya minyak pada dasarnya terkait dengan keberadaan gambut (yang mudah dikenali di atas permukaan tanah). Ini dapat diperhatikan di pantai timur Sumatra (Sumatra Selatan dan Riau), pantai barat dan selatan Kalimantan (Hulu Sungai Utara), Lantas apakah di pulau Papua mengikuti pola spasial bahan fosil tersebut. Yang jelas kawasan luas gambut di pulau Papua terdapat di pantai barat daya hingga Merauke dan pantai utara serta di pedalaman daerah aliran sungai Membramo.

Potensi minyak/gas ini berada di daratan (onshore) maupun perairan/laut atau lepas pantai (offshore). Di wilayah pantai barat juga ditemukan ladang minyak offshore di sekitar laut Arufuru (di wilayah Merauke sedang disurvei). Gambaran ini tentu saja masih relatif terbatars. Gambaran yang lebih luas di pulau Papua juga ditemukan potensi minyak/gas di wilayah negara Papua Nugini. Jika peta tambang batubata di atas digabungkan dengan kawasan gambut dan potensi ladang menyak tampak berkorelasi. Minyak berdekatan dengan batubara, dan batubara berdekatan dengan gambut. Namun kawasan gambut di pantai barat Papua hingga Merauke belum teridentifikasi adanya potensi minyak. Penyelidikan di sekitar Merauke dan laut Arufuru akan memperkaya pemahaman untuk melihat keseluruhan pata ladang/minyak di wilayah (pulau) Papua.

Potensi minyak/gas di wilayah perairan/laut Arufuru tentulah sangat menarik di perhatikan. Karena kawasan yang potensi ini berada diantara daratan Papua denag pulau Aru (Maluku). Kawasan ini tampaknya di zaman kuno menjadi wilayah tangkapan air, yang diduga menjadi faktor penting terbentuknya daratan yang kini dikenal sebagai pulau Aru di wilayah yang termasuk paparan Sahul (ketinggi dpl 0-15 meter).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Ladang Minyak Blok Salawati di Pantai Barat Papua

Penemuan potensi minyak di wilayah Papua kali pertama di wilayah Sorong. Siapa yang menemukan tidak jelas. Yang jelas pada awal penemuan ini sudah ada investasi (perusahaan) Jepang yang telah mulai melakukan usaha di sekitar, bahkan sebelum hadirnya pengusaha Hindia Belanda (lihat Soerabaijasch handelsblad, 08-12-1933). Game theory antara Jepang dan Belanda dimulai.

Sebagaimana diketahui dua pelabuhan utama terwal di wilayah Papua (Hindia Belanda) berada di Manokwari dan Sorong. Perusahaan Jepang yang pertama begerak di bidang perikanan.  Seorang peneliti Belanda belum lama melakukan perjalanan ke Sorong dan menemukan adanya indikasi orang-orang Jepang memiliki keiinginan secara ekonomi dan politik di kawasan. Sebelum perusahaan Jepang mendapat konsesi penambangan emas dan minyak di kawasan, pemerintah pusat di Batavia mendorong perusahaan-perusahahan untuk melakukan eksplorasi usaha. Untuk itu pemerintah akan merencanakan dan menginisisiasi pembangunan lapangan terbang yang diintegrasikan antara Amboina dan Papua Nugini. Untuk upaya eksplorasi minyak diinisisasi oleh suatu perkumpulan orang-orang Belanda di Hollandia (kini Jayapura) untuk mengumpulkan uang untuk misi eksplorasi di Sorong (lihat De locomotief, 23-05-1934). Upaya mempercepat proses perluasan cabang pemerintah di Papua semakin gencar (lihat Soerabaijasch handelsblad, 01-03-1935). Disebutkan cabang-cabang pemerintah (penempatan pejabat) yang sudah ada berada di Manokwari, Hollandia, Seroei, Sorong, Fakfak, Tanahmerah dan Merauke. Upaya pembangunan lapangan perintis dan upaya eksplorasi mulai dilakukan oleh BPM (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 01-06-1935).

Akhirnya perusahaan orang-orang Belanda (Hindia Belanda) mulai melakukan penyelidikan minyak di Sorong (Nederland Nieuwe Guinea Petroleum Mij.). Usaha pengeboran minyak (eksplorasi) di Salawati, Sorong paling tidak sudah diketahui tahun 1937 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 15-05-1937). Lapangan terbang yang sudah dirintis di Fakfak juga sudah digunakan untuk keperluan survei udara untuk mengamati potensi wilayah (barat) Papua, Survei udara kemudian diperluas ke Seroei (pulau Japen) sebagai basisnya (sehubungan dengan dibukanya lapangan terbang perintis).

Lapangan terbang yang pertama dibangun berada di Babo,  Fakfak (kini Teluk Bintuni). Lapangan terbang ini dirintis oleh perusahaan BPM yang juga telah memiliki lapangan perintis di Boela (Seram). Lapangan perintis di Seroei merupakan perluasan dari Fakfak.

Orang-orang Belanda (pemerintah dan perusahaan) tampaknya terjebak dan masuk perangkap Jepang dalam soal potensi minyak dan pembangunan lapangan terbang. Hal ini dapat dijelaskan dengan keberadaan Jepang yang sudah sejak lama di (kepulauan) Palau di Pasifik. Jalur pelayaran dan penerbangan dari Jepang sudah terbentuk hingga Palau. Sebagaimana diketahui minat Jepang untuk ekspansi (termasuk invasi) hingga ke selatan sudah muncul sejak awal 1930an. Peluang itu direalisasikan ketika pemerintah Belanda semakin represif pada para pemimpin politi pribumi terutama di Jawa khususnyta Batavia, dan adanya keinginan yang kuat membelakangi Eropa/Belanda dan mengalihkan pandangan ke Asia/Timur, maka wujudnya adalah ketika Ir Soekarno akan diasingkan, sebanyak tujuh revolusioner yang dimpimpibn Parada Harahap ke Jepang.

Perusahaan-perusahan Eropa (Inggris dan Belanda) di pantai timur Sumatra dan pantai timur Borneo sangat kuat. Perusahaan-perusahaan Jepang dalam bidang tambang (emas dan minyak) dialihkan ke timur termasuk Papua, salah satu yang potensial adalah Sorong. Adanya keinginan perusahaan Jepang melakukan kegiatan eksplorasi minyak di Papua, haruslah dilihat dari sisi politik (Belanda vs Jepang) dan dari sisi geografi-ekonomi, yang dalam hal ini sudah adais Jepang di Palau. Misi utama Jepang di Papua bukan soal minyak tetapi tujuanj ekspansi/invasi dengan parasyarat adanya pelabuhan (pelayaran) yang eksis dan potensi minyak di kawasan (penerbangabn).. Pemerintah/pengusaha Belanda yang coba menghalangi masuknya investor Jepang yang banyak di Papua, upaya pengeboran minyak dan pembangunan lapangan terbang di wilayah Sorong dan Serui justru menjadi jalan udara Jepang dari Palau ke Papua. yang dibiayai sendiri oleh Belanda (pemerintah Jepang menjadi hemat dalam hal ini). Tidak sampai disitu, terbukti bahwa investor Jepang yang didukung pemerintah berikutnya menjalin kerjasama dengan orang-orang Portugis di pulau Timor (kini Timor Leste) dalam pembangunan lapangan terbang tahun 1939 di Dilli (dalam hal ini orang-orang Belanda (pemerintah dan pengusaha) tidak bisa berbuat banyak (wilayah otoritas Kerajaan Portugis). Inilah awal mula Perang Pasifik dimana militer Jepang melakukan ke Asia Timur, Asia Tenggara (termasuk Hindia Belanda) untuk tujuan akhir Australia. Keberhasilanm Jepang melakukan invasi (mengalahkan Belanda dan Jepang) termasuk dipicu oleh keberhasilan Jepang membuka ruang di Papua danTimor-Portugis melalui eksplorasi minyak dan pembangunan lapangan terbang. Dalam hal ini sejarah terhubung satu sama lain, satu aspek dengan aspek lainnya.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar