Selasa, 02 November 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (209): Potensi Ladang Minyak Cekungan Minahasa; Area Semenanjung Utara Sulawesi dan Mindanao

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Apakah ada ladang minyak di wilayah (provinsi) Sulawesi Utara? Nah, itu dia. Yang sudah teridenttifikasi sejak lama, bahkan sejak era Hindia Belanda berada di wilayah Mamuju dan Pasang Kayu (kini provinsi Sulawesi Berat). Namun perlu diingat bahwa wilayah Semenanjung Sulawesi (Grontalo dan Sulawesi Utara) terdapat cekungan sedimen, salah satu dari cekungan yang memiliki potensi minyak dan gas.

Cekungan sedimen (sedimentary basin) adalah suatu daerah cekungan endapan mineral tertentu seperti batuan sedimen dan karena konfigurasinya diperkirakan merupakan tempat penampungan minyak bumi. Indonesia memiliki 60 cekungan sedimen, diantaranya 22 cekungan telah dieksplorasi secara ekstensif, dan 14 cekungan produktif menghasilkan minyak dan gas bumi (Wikipedia). Sebanyak sembilan cekungan sedimen yang sangat besar, yaitu: (1) Cekungan North Sumatera (berada di sebagian daratan provinsi Sumatera Utara dan provinsi Aceh serta laut di Selat Malaka; (2) Cekungan Central Sumatera dan sebagian South Sumatera (provinsi Sumatera Selatan, provinsi Riau dan provinsi Jambi serta laut lepas di Selat Malaka dan Peraian Kepulauan Riau): (3) Cekungan West Natuna dan East Natuna (perairan Kepulauan Natuna, Kepulauan Riau serta berada di sekitar perairan Laut Cina Selatan); (4) Cekungan Kutai dan Ketungau (provinsi Kalimantan Timur dari pedalaman Kalimantan yang berbatasan langsung dengan Malaysia hingga perairan Selat Makassar); (5) Cekungan Tarakan (berada di provinsi Kalimantan Timur dari pedalaman Kalimantan yang berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sabah, Malaysia hingga perairan Laut Sulawesi); (6) Cekungan Minahasa (berada di Laut Sulawesi, perairan provinsi Sulawesi Utara yang berbatasan langsung dengan perairan Negara Filipina); (7) Cekungan Timor (di perairan Laut Timor, Nusa Tenggara Timur yang berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste dan perairan Australia); (8) Cekungan Tanimbar dan Palung Aru (di perairan Laut Arafur di provinsi Maluku yang berbatasan langsung dengan perairan Timor Leste maupun Australia); (9) Cekungan Sahul (berada di provinsi Papua di sekitar Merauke yang berbatasan langsung dengan Negara Papua New Guinea).

Lantas bagaimana sejarah ladang minyak dan gas di pulau Sulawesi? Seperti disebut di atas, sejauh ini belum ada eksploitasi minyak di khususnya di Semenanjung utara Sulawesi. Namun adanya cekungan besar di laut Sulawesi diduga memiliki potensi minyak dan gas. Lalu bagaimana sejarah cekungan dan potensi minyak dan gas Sulawesi? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Navigasi Pelayaran Zaman Kuno: Antara Semenanjung Sulawesi dan Pulau Mindanao

Berdasarkan analisis berbagai pihak bahwa ada korelasi adanya cekungan (basin onshore atau offshore) dengan potensi minyak di dalamnya. Okelah, itu satu indikasi yang baik. Namun pertanyaannya, apakah setiap cekungan benar-benar memiliki kandungan minyak. Seberapa besar (secara teknis) dan seberapa layak dilakuan eksplorasi dan eksploitasi (secara ekonomis). Kita hanya berharap dapat memberi manfaat (ketersedian minyak/gas dan keuntungan). Cekungan yang diduga mengandung minyak di Indonesia cukup banyak termasuk cekungan Minahasa yang disebut di atas.

Mengutip dari daftar cekungan dari Kementerian ESDM terdapat 16 cekungan yang telah berproduksi yaitu North Sumatera, Central Sumatera, South Sumatera, West Natuna, Sunda, NW. Java, NE. Java Sea, NE. Java, Barito, Kutai, Tarakan, Bone, Banggai, Seram, Salawati dan Bintuni. Sebanyak 15 cekungan yang telah di-drill namun belum ditemukan cadangan migas yaitu South Java, Biliton, Melawi, Asem-Asem, Lariang, South Makasar, Spermonde, Sawu, Maui, Buton, Misool, Palung Aru, Waipoga, Akimeugah dan Sahul. Sebanyak 7 cekungan berhasil ditemukan cadangan migas namun belum berproduksi yaitu Sibolga, Bengkulu, East Natuna, Pati, Sila, Timor dan Biak Sebanyak 22 cekungan migas terletak di daerah frontier tersebut adalah Ketungau, Pembuang, Lombok Bali, Flores, Tukang Besi, Minahasa, Gorontalo, Sala Bangka, South Sula, West Buru, Buru, South Obi, Nort Obi, North Halmahera, East Halmahera, South Halmahera, South Seram, West Weber, Weber, Tanimbar, Waropen dan Jayapura.

Lantas bagaimana sejarah cekungan Minahasa? Seperti yang dideskripsikan pada artikel-artikel sebelumnya, bahwa potensi minyak di suatu kawasan dapat dipelajari dari sumber fosil yakni massa padar berupa sampah tumbuhan atau hewan yang terendap dalam proses sedimentasi jangka panjang. Keberadaan sunga-sungai besar menjadi salah satu faktor yang membawa massa padat dan juga faktor arus laut. Dalam hal ini cekungan Minahasa berada di daerah frontier. Ini mengindikasikan bahwa cekungan Minahasa berada di dekat daratan.

Cekungan Minahasa (Celebes), terletak di daerah sebelah barat Sulawesi Utara. Cekungan Celebes terletak di batuan dasar cekungan berumur Eosen dengan ketebalan sedimen 1000 – 2000 M pada kedalaman 2000 M. Cekungan ini memiliki daerah terbuka  yang mencapai 29.275 Km2. Cekungan Minahasa di dalam strategi jangka panjang pemerinrtah Sulawesi Utara, termasuk salah satu dari dua kawasan pertambangan minyak dan gas bumi, terdapat di Cekungan Minahasa dan Cekungan Teluk Tomini. Letak potensi minyak dan gas di cekungan Minahasa berbatasan dengan kabupaten Sitaro.

Cekungan adalah satu hal, potensi minyak adalah hal lain lagi. Namun demikian, ada korelasi yang kuat antara cekungan dengan potensi minyak. Lalu bagaimana kita memahami bahwa cekungan Minahasa memiliki potensi minyak/gas? Satu yang pasti bahwa terbentuknya minyak bersumber dari bahan fosil (tumbuhan dan hewan). Jika memperhatikan cekungan Minahasa, potensi minyak di area frontier diduga tidak berada di dekat oantai utara Semenanjung Utra Sulawesi (Gorontalo dan Minahasa) tetapi di perbatasan yang berdekatan dengan kabupaten Sitaro (kabupaten Siau Tagulandang Biaro).

Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (kabupaten Sitaro) adalah sebuah kabupaten di provinsi Sulawesi Utara, Indonesia, beribu kota di Ondong Siau. Kabupaten Kepulauau Sitaro terletak di bagian utara propinsi Sulawesi Utara yang terdiri dari empat puluh tujuh buah pulau besar dan kecil dimana sepuluh buah pulau diantaranya berpenghuni dan tiga puluh tujuh buah pulau tidak berpenghuni. Pulau-pulau besar antara lain pulau Siau, pulau Tagulandang dan pulau Biaro. Keadaan tanah sangat subur dan cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan berbagai jenis tanaman terutama tanaman pertanian dan perkebunan. Hal ini terkait dengan jalur Sirkum Pasifik yang melintasi wilayah ini yang ditandai dengan keberadaan sejumlah gunung berapi yaitu Gunung Api Karangetang di Pulau Siau dan Gunung Api Ruang di Pulau Tagulandang yang hingga saat ini masih aktif menyemburkan material perut bumi sebagai pupuk alami. Keadaan tanah bergunung dan berbukit - bukit. Gunung Karangetang yang berada di kabupaten ini adalah salah satu gunung berapi teraktif di Indonesia dengan letusan sebanyak lebih dari 40 kali sejak 1675 serta banyak letusan kecil yang tidak terdokumentasi pada catatan sejarah. Pada tanggal 8 Desember 2009 terjadi bencana banjir bandang di Pulau Siau.

Kawasan laut Sulawesi dimana terdapat cekungan Minahasa sejak masa lampau sudah diketahui sebagai jalur navigasi pelayaran perdagangan yang penting dan intens. Interakasi antara penduduk dan pedagang manca negara sudah terbentuk di kawasan laut Sulawesi sejak zaman kuno. Bukti terbaru orang pendatang dapat diperhatikan pada era Portugis dimana terdapat benteng pedang-pedagang Portugis di Amoerang (benteng Amoerang) dan Gorontalo (benteng Otanaha). Sementara aktivitas manusia yang sudah eksis di daratan bukti-bukti teretua dapat diperhatikan dengan adanya situs kuno Watu Rerumeran (di dekat gunung Empung dan danau Tondano).

Aktitvitas penduduk di wilayah daratan Semenanjung Utara Sulawesi terintegrasi dengan aktivitas penduduk di pulau-pulau Sangir Talaud dan pulau-pulau di wilayah Filipina seperti pulau Mindanao. Integrasi kegiatan penduduk dalam satu kawasan di seputar cekungan Minahasa di laut Sulawesi di hubnngkan oleh para pedagang mancanegara.

Aktivitas penduduk sejak zaman kuno di kawasan cekungan Minahasa telah menyebabkan terakumulasinya sisa produksi berupa sampah-sampah tumbuhan/vegetasi, seperti hasil dari penebangan atau pembakaran hutan maupun karena kegiatan pertambangan (emas)yang intens serta. Faktor gempa juga bisa meningkatkan volume massa padat. Semua itu akan terbawa arus sungai secara alamiah maupun adanya erosi akibat curah hujan yang tinggi juga telah mempercepat proses akumulasi massa padat yang terbawa ke laut, selain sampah tumbuhan juga massa padat berupa lumpur.

 

Aktivitas vulkanik yang intens di wilayah daratan Semenanjung Utara Sulawesi dan di pulau-pulau kawasan Sangir Talaud juga dapat dikatakan menjadi faktor penting lain dari adanya sampah tumbuhan yang terbawa oleh arus air (sungai) pada waktu hujan. Seperti disebut di atas, di wilayah Semenanjung Utara Sulawesi dan kepulauan Sangir Talaud masih terdapat gunung aktif hingga masa ini. Belum lagi dengan memperhitungan kegiatan aktivitas manuai dan vulkanik di wilayah pulau-pulau Filipina. Arus air laut dengan sendirinya mengubah pola penumpukan dan pengendapan (sediementasi) massa padat. Arus air laut tidak hanya dipengetahuo oleh arus air di kawasan cekungan tetapi juga arus air laut dari sisi luar seperti selata Makasssar, Laut Cina Selatan dan lautan Pasifik.

Dalam hubungan tersebut, kita bisa melihat cekungan yang terbentuk sejak awal adalah faktor awal (syarat pertama) dan pembentukkan massa padat sebagai proses berikut yang memicu terbentuknya sedimentasi massa padat yang bertrasformasi menjadi bahan fosil. Massa padat yang terbawa di daerah aliran sungai dan hingga ke laut membentuk bahan fosil.

Bahan fosil terdiri dari berbagai jenis seperti gambut, batubara dan minyak/gas. Bahan fosil berumur muda akan terbentuk kawasan gambut di sekitar pantai dan bahan fosil lebih tua terbentuk kawasan lahan batubara di belakang pantai. Minyak/gas di dasar tanah apakah di daratan atau laut adalah bahan fosil yang lebih tua.

Posisi dimana bahwa fosil mengendap dalam jangka panjang (proses sedimentasi jangka panjang) menjadi satu indikasi dimana posisi terbentuk minyak/gas. Sebagaimana di ketahui bahwa lahan gambut di wilayah Semenanjung Utara Sulawesi dan pulau-pulau di Sangir Talaud tidaK ditemukan kawasan gambut yang luas. Bahasa fosil lainnya berupa batubara juga dapat dikatakan tidak terlalu signifikan. Satu-satunya wujud yang terbentuk dari fosil di wilayah kawasan cekung Minahasa adalah minyak/gas yang tidak berada di daratan/pantai tetapu di dasar lautan.

Bagian tengah laut Sulawesi adalah laut dalam. Laut dangkal hanya terdapat di dekat daratan dan hanya terdiri dari kawasan yang sempit ke dekat daratan (bandingkan dengan laut dangkal di laut Jawa ata selat Sumatra. Perbedaan ini akan dipengarihi oleh arus laut yang berasal dari laut China selatan maupun lautan Pasifik serta selat Makasar dan laut Maluku.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Cekungan Minahasa dan Potensi Ladang Minyak

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar