Selasa, 09 November 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (223): Pahlawan Nasional Berlatar Belakang Guru; Apakah Guru Adalah Pahlawan Tanpa Tanda Jasa?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Guru tidak hanya mencerdaskan bangsa, guru juga berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Sejumlah guru pejuang telah ditabalkan sebagai Pahlawan Nasional. Dua diantaranya yang dikenal luas adalah Ki Hadjar Dewantara dan Jenderal Abdoel Haris Nasution. Guru pejuang tidak hanya pintar menulis, juga piawai dalam berperang. Abdoel Haris Nasution tidak hanya seorang guru, juga seorang militer hingga mencapai pangkat jenderal. Jenderal Abdoel Haris Nasution juga guru militer berkaliber internasional dengan karya buku berjudul Pokok-Pokok Gerilya.

Seorang pensiunan guru Dja Endar Moeda membuka sekolah swasta di kota Padang pada tahun 1895. Pada tahun 1897 Dja Endar Moeda ditawari oleh penerbit surat kabar berbahasa Melayu Pertja Barat. Dja Endar Moeda dengan kapasitas tidak menolak. Sejak inilah Dja Endar Moeda selalu mengatakan: ‘guru dan jurnalis adalah sama-sama mencerdaskan bangsa’. Pada tahun 1900 Dja Endar Moeda mengakuisi surat kabar dan percetakan Pertja Barat tersebut. Pada tahun 1900 ini juga Dja Endar Moeda menginisiasi pembentukan organisasi kebangsaan yang disebut Medan Perdamaian (yang juga dipilih menjadi presidennya). Motto surat kabarnya Pertja Barat diubah menjadi :’Oentoek Sagala Bangsa’ Dja Endar Moeda adalah pionir organisasi bangsa, jauh sebelum organisasi kebangsaan Boedi Oetomo didirikan di Batavia (1908). Radjioen Harahap gelar Dja Endar Moeda adalah alumni sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean tahun 1884.

Lantas bagaimana sejarah Pahlawan Nasional berlatar belakang guru? Seperti disebut di atas, banyak diantaranya Pahlawan Nasional berlatar belakar guru. Tidak hanya Ki Hadjar Dewantara dan Abdoel Haris Nasuition, juga Ir. Soekarno. Bagaimana semua guru-guru itu menjadi pejuang? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pahlawan Indonesia Berlatar Belakang Guru

Sebelum membicarakan Pahlawan Nasional, ada baiknya dibicarakan terlebih dahulu tentang pahlawan Indonesia berlatar belakang guru. Sebelum membicarakan Pahlawan Nasional Ki Hadjar Dewantara, banyak guru di Indonesia masa lampau (era Hindia Belanda) yang berjuang. Salah satu yang penting dan pertama adalah Willem Iskander. Perjuangannya yang terakhir adalah tahun 1874 berkomentar dengan mempertanyakan: ‘Apakah tidak ada penduduk pribumi yang peduli dan menyesali hancurnya kraton dan masjid Atjeh?’.

Komentar itu dilontarkannya sesaat Willem Iskander di Padang sebelum menaiki kapal yang ditumpanginya ke Batavia. Komentar ini dikutip surat kabar dan juga ada surat kabar di Belanda yang melansirnya. Dari Batavia, Willem Iskandar berangkat ke Belanda dengan membawa dan membimbing tiga guru muda untuk studi lebih lanjut di Belanda yakni Raden Soerono dari Soerakarta, Raden Adi Sasminta dari Bandoeng dan Banas Lubis dari Tapanoeli. Willem Iskander adalah pribumi pertama studi guru ke luar negeri di Belanda tahun 1857. Setelah lulus dan mendapat akta guru 1860, Willem Iskander kembali ke tanah air 1861 dan kemudian mendirikan sekolah guru (kweekschool) di kampong halamannya di Afdeeling Angkola Mandailing, Residentie Tapanoeli di Tanobato yang dibuka tahun 1862. Saat itu sudah ada dua buah sekolah guru di Hindia Belanda (baca: Indonesia), yakni di Soerakarta didirikan tahun 1851 oleh Dr Palmer van den Broek dan di Fort de Kock didirikan tahun 1856 oleh JAW van Ophuijsen (ayah Charles Adrian van Ophuijsen). Pada tahun 1865 Inspektur Pendidikan Pribumi CA van Chijs mengunjungi sekolah guru Tanobato ini dan sangat kaget, mutunya terbnyata lebih baik dari yang di Soeracarta dan di Fort de Kock. Pribumi mengalahkan sekolah guru yang diasuh oleh orang Eropa. Pada tahun 1866 sekolah guru Tanobato ini diakuisisi dan dijadikan sebagai sekolah guru pemerintah dengan tetap diasuh oleh Willem Iskander. Sukses itulah yang menyebabkan Willem Iskander membawa dan membimbing tiga guru muda pada tahun 1874. Bagi Willem Iskander menempuh pendidikan ke Eropa adalah salah satu hal, berjuang mengusir penjajah adalah hal lain lagi. Ini dapat dibaca pada bukunya yang diterbitkan di Batavia tahun 1872 yang mana di dalam satu bait dinyatakan dalam puisi berjudul Mandailing di dalam bukunya berjudul Siboeloes-boeloes, Siroemboek-roemboek: ‘Adong halak ruar, Na mian di Panjaboengan—Tibu ia haruar, Baon ia madung busungan’ yang artinya ‘ada orang asing (Belanda), yang berdiam di ibu kota Panjaboengan—semoga mereka lekas pergi, karena perutnya sudah penuh’. Bait puisi ini yang terbit tahun 1872 dan komentarnya tentang bumi hangus Atjeh 1874 bukti seorang guru sejati, mencerdasakan bangsa juga berjuang membebaskan penjajah. Buku yang masih digunakan di sekoalh-sekolah di Tapanuli Bagian Selatan ini. pernah dilarang terbit pada era Hindia Belanda. Willem Iskander meninggal di belanda tahun 1876, dituduh bunuh diri, tetapi menurut pendapat saya dibunuh. Sati Nasution alias Willem Iskander adalah kakek buyut Prof. Andi Hakim Nasution (rektor IPB 1978-1987).

Willem Iskander telah melahirkan banyak guru-guru hebat yang bekerja di Tapanoeli, Sumatra Timur, Atjeh dan Siak (kini Riau). Namun Willem Iskander tidak kembali ke tanah air untuk diproyeksikan menjadi direktur sekolah guru yang baru di Padang Sidempoean yang akan dibuka tahun 1879. Willem Iskander meninggal di Belanda tahun 1876. Salah satu guru yang sangat idealis di Kweekschool Padang Sidempoean adalah seorang yang humanis bernama Charles Adrian van Ophuijsen. Dua murid Charles Adriaan van Ophuijsen adalah Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan. Dja Endar Moeda adalah pendiri organisasi kebangsaan Indonesia pertama.

Dja Endar Moeda pensiun menjadi guru di Singkil dan kemudian berangkat haji ke Mekkah. Sepulang dari Mekkah, Dja Endar Moeda yang memilih tinggal di kota Padang, dan pada tahun 1895 membuka sekolah swasta karena banyak penduduk usia sekolah tidak tertampung di sekolah pemerintah di kota tersebut. Pada tahun 1897 Dja Endar Moeda ditawari oleh penerbit surat kabar berbahasa Melayu Pertja Barat. Dja Endar Moeda dengan kapasitas tidak menolak. Sejak inilah Dja Endar Moeda selalu mengatakan: ‘guru dan jurnalis adalah sama-sama mencerdaskan bangsa’. Pada tahun 1900 Dja Endar Moeda mengakuisi surat kabar dan percetakan Pertja Barat tersebut. Pada tahun 1900 ini juga Dja Endar Moeda menginisiasi pembentukan organisasi kebangsaan yang disebut Medan Perdamaian (yang juga dipilih menjadi presidennya). Motto surat kabarnya Pertja Barat diubah menjadi :’Oentoek Sagala Bangsa’ Dja Endar Moeda adalah pionir organisasi bangsa, jauh sebelum organisasi kebangsaan Boedi Oetomo didirikan di Batavia (1908). Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda adalah alumni sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean tahun 1884.

Soetan Casajangan melanjutkan perjuangan seniornya Dja Endar Moeda. Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, lulus Kweekschool Padang Sidempoean tahun 1887. Setelah mengabdi menjadi guru, Soetan Casajangan memintan pensiun dini dan melanjutkan studi (perguruan tinggi) di Belanda tahun 1905. Saat kedatangannya, baru satu orang pribumi yang kuliah di perguruan tinggi di Belanda yakni Raden Kartono (abang RA Kartini). Pada majalah berbahasa Melayu Bintang Hindia yang terbit Oktober 1908 dimana Soetan Casajangan menulis artikel yang isinya menghimbau putra-putri pribumi datang kuliah di Eropa/Belanda. Di dalam artikel itu Soetan Casajangan mendeskripsikan universitas yang dapat dimasuki dan pedoman persiapan datang ke Belanda serta bersedia membantu calon yang akan datang. Himbauan ini mendapat banyak respon di tanah air terutama di Jawa, pantai barat Sumatra, Minahasa dan Amboina (Maluku). Guru telah berjuang dengan caranya sendiri (mendorong pendidan pribumi ke tingkat yang lebih tinggi).

Pada tahun 1908, ketika jumlah mahasiswa pribumi di Belanda sekitar 20 orang, Soetan Casajangan menginisasi pembentukan organisasi dengan mengundang semua mahasiswa di rumahnya pada tanggal 25 Oktober di Leiden. Organissasi mahasiswa ini disebut Indische Vereeniging (IV). Soetan Casajangan secara aklamasi diangkat sebagai presiden dan sebagai sekretaris diangkat Raden Soerono dari Semarang. Soetan Casajangan lulus dengan mendapat gelar sarjana pendidikan tahun 1911(sebagai guru pribumi yang bergelar sarjana) dan kembali ke tanah air tahun 1913 dan diangkat pada tahun 1914 sebagai direktur sekolah guru Fort de Kock. Setelah berpindah beberapa kali, pada tahun 1921 Soetan Casajangan diangkat menjadi direktur sekolah guru Normaal School di Meester Cornelis (kini Jatinegara). Pada tahun ini di Belanda, di bawah kepemimpinan Dr Soetomo dkk, Indische Vereeniging menjadi Indonesia Vereeniging. Lalu pada tahun 1924 di bawah kepemimpinan Mohamad Hatta dkk kembali nama Indische Vereeniging diubah menjadi Perhimpoenan Indonesia disingkat PI (masih eksis hingga ini hari). Mahasiswa-mahasiswa anggota IV/PI inilah yang menjadi motor pergerakan awal kemerdekaan Indonesia. Soetan Casajangan meninggal tahun 1927 karena sakit semasih menjadi direktur Normaal School. Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan seorang guru yang visioner.

Soetan Casajangan tidak hanya seorang guru yang visioner, juga memperjuangkan ketidakadilan yang dihadapi teman sebangsanya, penduduk pribumi dalam peningkatan pendidikan termasuk berjuang untuk mendapatkan hak pribumi pada pendidikan yang lebih tinggi. Soetan Casajangan, setelah bekerja untuk pemerintah selama enam tahun lebih, sejak bulan Februari 1920 diberikan cuti selama delapan bulan ke Eropa (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 20-12-1919). Saat ini yang menjadi ketua Indische Vereeniging adalah Dahlan Abdullah (guru muda yang direkomendasikannya studi ke Belanda pada saat Soetan Casajangan sebagai direktur Kweekschool Fort de Kock 1914.

Selama di Belanda, Soetan Casajangan diundang kembali oleh Vereeniging Moederland en Kolonien (Oost en West) untuk berpidato di hadapan para anggota organisasi pada tanggal 28 Oktober 1920. Soetan Casajangan berbicara di dalam forum bergengsi tersebut dengan makalah 19 halaman yang berjudul: 'De associatie-gedachte in de Nederlandsche koloniale politiek (modernisasi dalam politik kolonial Belanda). Dalam forum ini juga diundang dan dihadiri oleh Soeltan Djogjakarta. Soetan Casajangan, sebagaimana dulu pernah berbicara di forum yang sama tahun 1911 (setelah Soetan Casajangan lulus sarjana), tetap dengan percaya diri untuk membawakan makalahnya. Berikut beberapa petikan isi pidato Soetan Casajangan:

Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).

‘....saya berterimakasih kepada Mr. van Rossum, ketua organisasi...yang mengundang dan memberikan kesempatan kembali kepada saya...di hadapan forum ini....pada 28 Maret 1911 (sekitar sepuluh tahun lalu)...saya diberi kesempatan berpidato karena saya dianggap sebagai pelopor pendidikan bagi pribumi...ketika itu saya menekankan perlunya peningkatan pendidikan bagi bangsa saya...(terhadap pidato itu) untungnya orang-orang di negeri Belanda yang respek terhadap pendidikan akhirnya datang ke negeri saya (pendirian THS di Bandoeng yang dibuka tahun 1920)..dan memenuhi kebutuhan pendidikan (yang sangat diperlukan bangsa) pribumi. Gubernur Jenderal dan Direktur Pendidikan juga telah bekerja keras untuk merealisasikannya..yang membuat ribuan desa dan ratusan sekolah telah membawa perbaikan..termasuk konversi sekolah rakyat menjadi sekolah yang mirip (setaraf) dengan sekolah-sekolah untuk orang Eropa..

 

Sekarang saya ingin berbicara dengan cara yang saya lakukan pada tahun 1911...saya sekarang sebagai penafsir dari keinginan bangsaku..politik etis sudah usang..kami tidak ingin hanya sekadar sedekah (politik etik) dalam pendidikan...tetapi kesetaraan antara coklat dan putih...saya menyadari ini tidak semua menyetujuinya baik oleh bangsa Belanda, bahkan sebagian oleh bangsa saya sendiri...mereka terutama pengusaha paling takut dengan usul kebijakan baru ini...karena dapat merugikan kepentingannya..perlu diingat para intelektual kami tidak bisa tanpa dukungan intelektual bangsa Belanda..organisasi ini saya harap dapat menjembatani perlunya kebijakan baru pendidikan. saya sangat senang hati Vereeniging Moederland en Kolonien dapat mengupayakannya...karena anggota organisasi ini lebih baik tingkat pemahamannya jika dibandingkan dengan Dewan Hindia..’

Catatan: THS Bandoeng dibuka tahun 1920. Soekarno diterima di THS pada tahun 1921. Jika kembali pada pidato Soetan Casajangan pada forum 1911 (tidak lama setelah Soetan Casajangan lulus sarjana) dengan pidato yang sekarang (192)) terdapat hubungan yang konsisten tema-tema yang disuarakan Soetan Casajangan di dalam bidang pendidikan. Saat itu, Soetan Casajangan diundang oleh Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) untuk berpidato dihadapan para anggotanya. Dalam forum yang diadakan pada bulan Oktober 1911, Soetan Casajangan, saat itu berdiri dengan sangat percaya diri dengan makalah 18 halaman yang berjudul: ‘Verbeterd Inlandsch Onderwijs’ (peningkatan pendidikan pribumi): Berikut beberapa petikan penting isi pidatonya:

Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).

‘..saya selalu berpikir tentang pendidikan bangsa saya...cinta saya kepada ibu pertiwa tidak pernah luntur...dalam memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung mengemukakan yang seharusnya..saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir dalam forum ini). Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku untuk saya dan juga untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang indah. Bukan hanya ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan yang lebih tinggi...hak yang sama bagi semua...sesungguhnya dalam berpidato ini ada konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya (melihat ketidakadilan dalam pendidikan pribumi).’

Soetan Casajangan adalah pribumi pertama yang menyuarakan aspirasi bangsa Indonesia kepada para intelektual Belanda. Dalam dua pidato Soetan Casajangan yang berkelas di atas, bagaikan guru tetap santun dengan gaya bahasa seorang guru yang berpendidikan sarjana: ‘ada konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya’. Soetan Casajangan juga respek terhadap para intelektual di Belanda yang mendorong dan memfasilitasi pendirian Technische Hoogeschool (THS) di Bandoeng yang menjadi tempat kuliah Soekarno (diterima tahun 1921). Kalimat Soetan Casajangan (1911) ‘ada konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya’ kelak pada tahun 1930 (sebelum Ir Soekarno ditangkap) yang dalam teks propaganda Ir Soekarno menyebutkan dengan jelas: ‘kita harus menarik batas yang tegas, antara sana (Belanda) dan sini (pribumi)’. Soetan Casajangan tidak lagi mendengar kata-kata Ir Soekarno tersebut karena Soatan Casajangan meninggal tahun 1927 (setahun setelah Soekarno lulus di THS tahun 1926).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pahlawan Nasional: Apakah Guru Adalah Pahlawan Tanpa Tanda Jasa?

Sejak Willem Iskander mendapat akte guru di Belanda (1860) tidak ada lagi pribumi yang berhasil studi di Belanda. Tiga guru muda yang dibawa Willem Iskander tahun 1874 meninggal satu per satu sebelum mereka menyelesaikan pendidikannya. Willem Iskander sendiri sempat menyelesaikan pendidikannya (untuk mendapatkan akta LO, Lager Onderwijzer) namun tidak bisa mengabdi di tanah air karena kematiannya yang kontroversi (1876). Akta yang lebih tinggi yakni akta guru MO (Middelbare Onderwijzer) ini baru dapat diselesaikan oleh pribumi yakni Soetan Casajangan pada tahun 1911 (sarjana pendidikan) dan akta LO diperoleh tahun 1911.

Selain Willem Iskander yang mendapat akta guru di Belanda, hanya beberapa guru muda saja yang berhasil. Setelah era tiga guru muda Willem Iskander dikirim lagi guru-guru muda pada tahun 1881 dan yang berhasil menyelesaikan akta guru adalah JH Wattimena, lulus di Belanda 1884 (lihat Algemeen Handelsblad,  07-04-1884). Lalu kemudian pengiriman pada tahun-tahun terakhir (setelah kepulangan JH Wattimena) yang terbilang sukses hanya sebanyak lima orang, yakni: Raden Kamil, Raden Soejoed, Darma Koesoema, E. Kandouj dan J. Ratulangi. Setelah mereka ini pada era yang berbeda yang pertama mendapat akta LO adalah Soetan Casajangan tahun 1911. Catatan: Guru yang mendapat akta LO dapat mengajar di sekolah Eropa (ELS) dan untuk akta MO dapat mengajar dan menjadi direktur sekolah guru (kweekschool).

Setelah Soetan Casajangan yang berhasil mendapat akta LO (1909) dan akta MO (1911), guru pribumi yang lulus studi dan mendapat akta LO adalah Dahlan Abdoellah dan Samsi Widagda di ‘sGravenhage (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 27-12-1915). Disebutkan Dahlan Abdoellah lulus untuk bahasa Melayu dan etnografi dan Samsi Widagda lulus untuk bahasa Jawa. Beberapa bulan sebelumnya diberitakan RM Soewardi Soerjaningrat lulus ujian saringan masuk untuk berpartisipasi untuk mendapatkan akte guru hulp acte (lihat Haagsche courant, 18-06-1915). Soewardi Soerjaningrat melanjutkan pendidikan dan menyelesaikan LO dan kembali ke tanah air tahun 1919. Pada tahun ini Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia menyelesaikan pendidikan akta MO. Soewardi Soerjaningrat kelak dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara.

Di tanah air Soewardi Soerjaningrat, oleh karena akta guru hanya LO maka hanya mengajar di sekolah Eropa/ELS dan HIS. Sedangkan untuk posisi direktur HIS harus dengan akta MO. Soetan Goenoeng Moelia pada tahun 1920 diangkat menjadi direktur di sekolah HIS yang baru dibuka di Kotanopan. Ki Hadjar Dewantara, dari pada memilih mengajar HIS, mulai mendirikan sekolah swasta. Sekolah inilah yang kemudian dikenal sebagai sekolah Taman Siswa. Dua guru LO sebelumnya Dahlan Abdoellah dan Samsi Widagda telah mendapat akta MO. Pada tahun 1929 Soetan Goenoeng Moelia kembali studi ke Belanda untuk mengikuti program doktoral dan lulus tahun 1933 dengan gelar doktor (Ph.D). Soetan Goenoeng Moelia adalah guru pribumi pertama yang bergelar doktor. Sebagaimana diketahui, kelak Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi Menteri Pendidikan RI yang pertama (1945). Namun tidak lama kemudian digantikan oleh Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D (Menteri Pendidikan RI kedua).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar