Selasa, 13 September 2022

Sejarah Jambi (35): Pertanian di Jambi; Produk Alam Zaman Kuno Tempo Doeloe - Produk Industri Perkebunan Modern Kini


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jambi dalam blog ini Klik Disini  

Jauh sebelum terbentuk pertanian di wilayah Jambi, navigasi perdagangan sungai hanya terbatas pada produk-produk hasil hutan (termasuk gading dan kulit). Produk kuno antara lain damar, kamper, kayu dan rotan. Wilayah daerah aliran sungai Batanghari kurang kondisuf untuk pertanian tanaman pangan karena kerap mengalami banjir (produk sagu mulai ditinggalkan). Penduduk di wilayah utama daerah aliran sungai Batanghari sangat tergantung beras dari impor, seperti dari Padang Lawas. Tapanoeli dan Jawa. Beras pada zaman kuno termasuk salah satu komoditi perdagangan domestic.


Pada tahun 1906 cabang Pemerintah Hindia Belanda di wilayah Jambi dimulai. Hingga saat itu ketersediaan beras sangat rentan di wilayah Jambi. Pertanian sawah yang ada hanya bersifat subsisten (adakalanya untuk kebutuhan sekampung tidak mencukupi). Dua sentra beras yang terbilang masuk wilayah (kesultanan Jambi) hanya ditemukan di Kerinci dan di Merangin. Dua wilayah hulu sungai Batanghari ini surplus beras yang dapat diekspor ke wilayah hilir termasuk kota Jambi. Namun itu tidak mencukupi untuk wilayah Jambi sangat luas. Sejak zaman kuno, pertanian sawah/padi sudah dikenal. Sentra utama berada di Jawa. Namun ada perbedaan di Sumatra antara di wilayah pantai barat dan pantai timur Sumatra. Pantai barat yang berpusat di pegunungan Bukit Barisan surplus beras, sementara pantai timur selalu kekurangan persediaan beras. Pertanian sawah/padi di wilayah Merangin dan Kerinci pada dasarnya bagian dari system perdagangan beras di pantai barat Sumatra.

Lantas bagaimana sejarah pertanian di Jambi? Seperti yang disebut di atas, sejarahnya dimulai sejak zaman kuno, dimana produk zaman kuno tempo doeloe bertumbu pada hasil hutan dan pertanian sawah/padi yang terbatas. Pergeseran poduk alam menjadi produk perdagangan mulai dikembangkan perkebunan-perkebunan lada (termasuk gambir dan pinang), perkebunan kopi rakyat hingga munculnya produk industri pertanian seperti karet yang dimulai di hilir sungai Batanghari (kini era kelapa sawit). Lalu bagaimana sejarah pertanian di Jambi? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pertanian di Jambi; Produk Zaman Kuno Tempo Doeloe hingga Produk Perkebunan Zaman Modern Masa Kini

Sejak Pemerintah Hindia Belanda membentuk cabang pemerintahan di Jambi, dimana setingkat Controleur ditempatkan di Moeara Kompeh, 1836, pertanian tanaman pangan mulai dikembangkan khususnya pencetakan sawah baru. Sudah barang tentu tujuannya untuk mengatasi pangan (pokok) penduduk, agar tergantung dari impor dan peenduduk dapat diarahkan dalam perkebunan komoditi ekspor seperti kopi (koffiestelsel mulai diterapkan di Jawa tahun 1830). Tampaknya dalam tempo singkat, secara perlahan sudah membuahkan hasil dimana impor mulai dapat diminimalisasi. Namun segera pula muncul persoalan deisit beras di Jambi.


Populasi penduduk yang terus meningkat dan beralihkan di beberapa wilayah yang mensubstitusi sagu, beralih ke beras, mulai ada tekanan pada produksi. Situasi tidak menguntukan pada tahun 1856, pemerintah di Jambi harus terpaksa mengimpor beras (lihat De Noord-Brabanter: staat- en letterkundig dagblad, 26-06-1855). Disebutkan dalam sidang ini telah diterima salinan terbitan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, yang memuat ketentuan bahwa padi dan beras dari mana saja di Moearah Kompeh dan Djambi, selama tahun 1855, dapat diimpor dengan bebas bea. Lalu pada tahun berikutnya dikeluarkan beslit/stbls (lihat Nederlandsche staatscourant, 03-04-1856). Disebutkan tanggal 19 Februari, dengan keputusan tanggal 1 Februari, Gubernur Jenderal, setelah mempertimbangkan prospek yang tidak menguntungkan produksi padi di wilayah Djambi, dan ingin mengambil tindakan untuk menyediakan kurangnya beras, selama tahun 1856, padi dan beras, dari mana saja, di Muara Kompeh, di wilayah Djambi dapat diimpor dengan bebas. Seperti biasa di wilayah lain, pengumuman ini akan segera direspon cepat oleh para pedagang domestic (terutama pedagang-pedagang Cina baik di Jawa maupun di Sumatra). Keputusan ini mengindikasikan bahwa persediaan beras di Jambi samakin sulit di Jambi sehingga harus dituangkan dalam undang-undang hal yang mengatur impor besar dan padi dengan bebas bea. Undang-undang ini merupakan salah satu turunan dari undang-undang yang telah ditetapkan untuk Jambi tentang bea masuk dan ekspor dan pembebasannya, tanggal 23 April 1847 (Stbl No 19).

Wilayah Jambi, dimana populasi penduduk sebagai besar berada di daerah aliran sungai, dalam hubungannya dengan pengembangan pertanian sawah menjadi persoalan sendiri. Bagaimanapun pengembangan pertanian sawah di wilayah hulu seperti di Merangin, tidak akan terpenuhi untuk seluruh wilayah Jambi yang luas dan populasi penduduk yang semakin banyak. Ketergantungan beras dari wilayah lain (impor) menjadi permasalahan akut yang sangat sulit diatasi di wilayah Jambi.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Produk Zaman Kuno Tempo Doeloe hingga Produk Perkebunan Zaman Modern Masa Kini: Wilayah Jambi Masa ke Masa

Penduduk asli di Jambi sudah sejak lama aktif menanam karet. Para pedagang Cina telah memperdagangkannya ke pelabuhan utama di Jambi. Namun rencana konsensi perkebunan karena baru muncul pada tahun 1910 (lihat De Preanger-bode, 05-05-1910). Era baru perkembunan karet di Jambi akan dimulai. Sebelumnya perkebunanan karena sudah berkembang di Pantai Timur Sumatra di Deli hingga Asahan (termasuk di Siak)..


Sebagaimana diketahui sejak 1905 wilayah Jambi, sepenuhnya sudah mulai dikontrol oleh Pemerintah Hindia Belanda, dimana dibentuk Residentie Djambi yang dipimpin oleh setingkat residen (guburnur) dengan ibu kota di Jambi. Pembentukan cabang pemerintahan setingkat residentie di Jambi, menjadi perhatian di Eropa khususnya Belanda dimana para pengusaha merespon dengan positif. Pada tahun 1910 sudah ada pengusaha Belanda yang telah mendapa hak konsesi pertambangan minyak.

Setelah konsesi perkebunan karet di Jambi dibuka, dengan segera pula berkembang dan semakin meluas di daerah aliran sungai Batanghari. Pionir perkebunan karet di Jambi adalah Cumming (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 18-04-1925). Perusahaan R v E Batanghari yang dipimpin Cumming. Pada tahun 1918 Jambi mengekspor sebanyak 2.532 ton dan pada tahun 1924 (sampai November) sudah mencapau 20.164 ton. Hingga 1924 ini baru satu perkebunan Eropa.

Pada tahun 1930 sudah ada dua perusahaan yang membukan estate perkembunan karet di wilayah Jambi, yakni R v E Batanghari yang membuka estate di sekitar kota Jambi dan R v E Timboel Matahari yang membuka estate di perbatasan dengan Palembang di selatan R v E Batanghari. Persahaan R v E Batanghari adalah perusahaan pertama dengan luas area yang jauh lebih luas dari Timboel Matahari.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar