Minggu, 20 November 2022

Sejarah Bengkulu (25): Sejarah Gempa di Bengkulu, Masa ke Masa; Mendata Kembali Riwayat Gempa Bengkulu Sejak Masa Lalu


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bengkulu dalam blog ini Klik Disini  

Sejarah gempa sebenarnya kurang mendapat perhatian dalam narasi sejarah Indonesia, demikian juga di daerah termasuk wilayah Bengkulu. Tujuan memperlajari gempa sebenarnya belajar untuk mencegah dampaknya. Beberapa hari lalu terjadi gempa Kembali terjadi di wilayah Bengkulu, kekuatannya 6,8 SR. Berdasarkan berita gempa itu tidak berpotensi tsunami. Kita sedikit lega karena gempa tidak menimbulkan bencana. Namun gempa secara teoritis dapat berulang. Gempa tercatat yang tercatat sangat hebat di Bengkulu terjadi pada tahun 1834.


Gempa bumi Bengkulu 2000 terjadi pada 4 Juni 2000, pukul 22:28 pusat gempa berada di palung Jawa dekat pulau Enggano 90 Km barat daya Kota Tais, kabupaten Seluma kedalaman 33 Km. Gempa ini dirasakan sangat kuat pada skala IX MMI di pulau Enggano. Skala VI MMI di Bengkulu, IV-V MMI di Pagaralam, Lubuklinggau dan Palembang serta skala II-III MMI di Lampung, Banten dan Jakarta. Gempa ini menewaskan sedikitnya 94 orang, lebih dari 1.000 orang luka-luka dan sedikitnya 15.000 rumah rusak berat, dan 29.940 rusak ringan, gedung-gedung sekolah, rumah ibadah dan fasilitas Kesehatan (Wkipedia). Berdasarkan data BNPB yang dirangkum Okzone.com (2021), selama kurun 10 tahun beberapa gempa magnitudo besar tercatat terjadi tahun 2011, 2012, 2014, 2015, 2016, 2017 dan 2020 berdampak kerusakan bangunan rumah. BNPB mencatat gempa 6 Desember 2017 gempa M5,1 kedalaman 10 km di darat sekitar 6 km barat daya Lebong menyebabkan kerusakan 247 rumah warga. Pada 10 April 2016, gempa M5,8 dengan kedalaman 61 km mengakibatkan 4 rumah warga rusak berat, 20 rusak sedang dan 40 rusak ringan. Pada 4 Agustus 2011, gempa serupa merusakkan 40 rumah warga Mukomuko (gempa M6,0 berkedalaman 28 km dan berpusat di laut pada 37 km barat daya Mukomuko). Catatan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) gempa yang terjadi di sekitar provinsi Bengkulu pernah beberapa kali menyebabkan tsunami. Pada tahun 1770 gempa M7,0 tsunami dan mengakibatkan bagian pantai di dekat muara Sungai Gutongi, Padang, surut yang selanjutnya gelombang pasang terjadi pada saat bersamaan dengan terjadinya gempa. Fenomena tsunami juga tercatat pada tahun 1818, 1833, 1896, 1931, 1958 dan 2007.

Lantas bagaimana sejarah gempa di Bengkulu, masa ke masa? Seperti disebut di atas wilayah Indonesia rawan gempa termasuk di wilayah Bengkulu. Kejadian gempa di wilayah Bengkulu sudah dicatat dari waktu ke waktu namun belum sepenuhnya lengkap. Dalam hal ini mendata kembali riwayat gempa di Bengkulu dari masa lalu berguna untuk belajar untuk mencegah dampaknya. Lalu bagaimana sejarah gempa di Bengkulu, masa ke masa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Sejarah Gempa di Bengkulu, Masa ke Masa; Mendata Kembali Riwayat Gempa di Bengkulu dari Masa Lalu

Gempa Sumatra pada tahu 1833 adalah gempa yang sangat besar. Peristiwa yang terjadi di wilayah Redjang, Benkoelen diberitakan surat kabar yang terbit di Batavia (lihat Javasche courant, 08-02-1834). Disebutkan gunung Kaba meletus di wilayah Redjang, Residentie Palembang. Danau kecil di lembah yang disebut danau Ketjil tumpah akibat goyangan gempa sehingga danau itu benar-benar isinya menjadi kosong. Ada kampong tersapu banjir, banyak korban jiwa. Akibat dampak letusan gunung api dan gempa, sungai Musi di Palembang airnya tidak bisa digunakan selama seminggu. Catatan: hulu sungai Musi di wilayah Redjang.


Javasche courant, 08-02-1834: ‘Batavia, 7 Februari 1834. Gempa bumi yang terjadi pada tanggal 24 hingga 25 November yang lalu itu terjadi di Jawa dan di tempat lain, tetapi terutama di Sumatera, dengan kekerasannya, dan rinciannya, sebagaimana diketahui, telah dilaporkan oleh kami, menurut laporan lebih lanjut dari Palembang, ada kaitannya dengan letusan gunung berapi Bukit Kaba yang terletak di district Sindang Klingie dan Sindang Blietie, res. Palembang, berbatasan dengan district Bengkoelen, Redjang. Terlepas dari kerusakan yang disebabkan oleh guncangan gempa bumi yang berulang-ulang, efek banjir air dari gunung tersebut adalah yang paling menyedihkan dari semua fenomena alam yang mengerikan ini. Diantara dua puncak utama gunung tersebut, yakni terdapat sebuah danau di pedalaman yang dikenal dengan nama Telaga Ketjiel, yang kini harus hilang sama sekali akibat gempa. Air yang tumpah dari danau ini segera membanjiri kampong-kampong terdekat, didukung oleh pasokan dari sungai Aijer Dingien, yang juga telah tersumbat secara massal oleh pohon-pohon yang tumbang dan tanah yang runtuh. Dusun Talang Aijer Lang antara lain terendam banjir hingga kedalaman 21 kaki, sedangkan setelah banjir tersisa lumpur setinggi 7 kaki. Dalam penghancuran dusun ini, 36 warga kehilangan nyawanya. Jumlah total korban di distrik Klingie dan Blietie adalah sembilan puluh orang. Gunung Kaba berjarak sekitar lima puluh jam berjalan kaki dari ibu kota Palembang, namun terlepas dari jarak tersebut, air di sungai Groote Moessie tidak dapat diminum selama beberapa minggu’.

Letusan gunung api satu hal, gempa adalah hal lain lagi. Bisa terpisah satu sama lain, juga bisa berkaitan. Fakta bahwa telah terjadi bencana besar di wilayah Redjang (sekitar Tjoeroep sekarang) pada tahun 1833. Pengamatan dan pelaporan yang dikumpulkan berita tersebut dari sisi timur (wilayah Residentie Palembang). Bagaimana dari sisi barat di pantai barat Sumatra di Bengkoelen? Surat kabar yang terbit di Den Haag Dagblad van 's Gravenhage, 07-04-1834 melansir berita gempa di Sumatra. Disebutkan pada tanggal 24 November tahun sebelumnya, gempa bumi dahsyat melanda Padang, di pulau Sumatra, yang menyebabkan banyak kerusakan. Beberapa rumah roboh, sebagian besar rusak parah; laut naik dalam beberapa menit setinggi 3 hasta dan 14 inci. Untungnya, tidak ada yang meninggal dalam bencana ini.


Laporan dari Palembang dan laporan dari Padang tampaknya tentang gempa pada hari yang sama juga dirasakan di Batavia (24 Novermber 1833). Di Padang terjadi gelombang setinggi sekitar 1.5 meter. Jika memperhatikan pada hari yang sama ada gempa di Redjang dan di Padang, lantas berapa meter ketinggian gelombang laut di pantai Bengkoelen? Gunung api meletus di wilayah Redjang (kini Bengkulu), lalu dimana pusat gempa? Apakah di sekitar gunung Kaba atau di titik lain, yang tidak tertutup kemungkinan di lepas pantai.

Gempa bumi di Bengkoeloe tanggal 24 malam, tidak hanya dirasakan di Batavia dan Padang, juga dilaporkan bahwa gempat pada hari yang sama diraskan di Singapoera (lihat Noord-Brabander, 06-05-1834). Dengan memperhatiak goyangan gempa sangat dahsyat di Redjang (menyebabkan air danau tumpah seluruhnya), diduga kuat episentrum gempa di sekitar Redjang, Bengkoelen. Surat kabar ini juga menyebutkan guncangan tampaknya paling kuat di Palembang.


Noord-Brabander, 06-05-1834: ‘Pada petang dan malam tanggal 24 November, guncangan gempa yang berulang-ulang dirasakan tidak hanya disini di Batavia, tetapi juga di Palembang dan Sinkapoer, yang dikaitkan dengan semua letusan Gunung Merapi di Sumatra. Guncangan tampaknya paling kuat di Palembang. Yang pertama, seperti disini dan di Sinkapur, dirasakan sekitar jam setengah delapan malam, diikuti oleh enam lainnya, salah satunya yang paling penting pada jam tiga malam, dan pasti berlangsung sekitar 15 detik. Rumah tinggal yang baru dibangun di Palembang mengalami kerusakan berat akibat retaknya tembok; sementara tiga rumah warga ambruk dan beberapa lainnya rusak. Pergerakan itu tampaknya terjadi dari selatan ke utara di langit cerah.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Mendata Kembali Riwayat Gempa di Bengkulu dari Masa Lalu: Belajar Sejarah Gempa Mencegah Dampaknya

Seperti banyak tempat lain, peristiwa gempa di wilayah Bengkoelen seakan tidak pernah berhanti. Sewaktu-waktu dapat terjadi gempa. Cerita gempa hebat yang terjadi pada tahu 1833 mungkin sudah hilang dari ingatan penduduk, Boleh jadi soal gempa dianggap sesuatu yang biasa saja dan lalu gempa yang berlalu gampang terlupakan. Pada tahun 1914 di Bengkoelen kembali terjadi peristiwa gempa. Surat kabar yang terbit di Medan, De Sumatra post, 15-07-1914 merangkumnya.


Bencana gempa di Benkoelen, pada tanggal 25 sampai 26 Juni malam. Menjelang pukul 2 dini hari, gempa bumi dahsyat dirasakan selama dua menit, yang sebagian besar mengubah bangunan beton di kamp Cina hancur, dimana banyak korban kehilangan nyawa. Semua bangunan lain juga sedikit banyak rusak; bangunan tempat tinggal yang besar yang terbuat dari beton juga sangat menderita dan ada kekhawatiran akan runtuh total jika terjadi gempa bumi lebih lanjut. Segera setelah bencana, pemulihan jenazah dan luka-luka dimulai; Selama pengerjaan yang berlangsung hingga pukul 4 sore, Resident Knappert nyaris tertimpa bongkahan batu yang berjatuhan. Dua puluh orang Cina dan empat penduduk asli meninggal; Dua puluh orang terluka, termasuk tujuh orang Eropa. Kerusakan bangunan ditaksir NLG 500,00-. Residen Knappert telah pindah ke sebuah rumah milik seoang Cina Tjong Hong sementara sekretaris Controleur telah mengungsi ke sekolah pribumi. Rumah Residen berlantai dua itu harus dirobohkan hingga rata dengan tanah, setidaknya memperbaiki bangunan kebanggaan ini, padahal baru saja dipugar seluruhnya. Sekitar 200 orang Eropa dan sekitar seribu orang Cina tinggal di kota Bengkoelen.

Benkoelen adalah kota kedua di Hindia Belanda yang hancur akibat gempa bumi (di luar Anjter dan Telok Betoeng yang juga diakibatkan tsunami tahun 1883). Yang pertama adalah kehancuran sebagian besar kota Ambon terjadi pada bulan Januari 1898. Kerusakan akibat pergerakan bumi, termasuk pada tahun 1866 di Djokja dan tahun 1900 di afdeeling Sukaboemi (Tjiandjoer), tetapi ini tidak sepenting yang kemudian terjadi di Bengkoelen. Untuk sekadar diketahui dapat dibaca sejarah gempa dalam blog ini antara lain: Sejarah Sukabumi (40): Sejarah Gempa Bumi dan Bencana Alam di Sukabumi; Sejarah Letusan Gunung Api di West Java; Sejarah Yogyakarta (5): Gunung Merapi dan Daftar Panjang Letusan; Ekspedisi Pertama 1820 oleh Nahuijs dan Merkus (Jung Huhn).


Pantai Benkoelen rata hampir di semua tempat, sehingga kapal bahkan tidak bisa mengunjungi pelabuhan utama Benkoelen, tetapi harus berlabuh di Poeloe Tikoes atau Rotteneiland di ketinggian Cape Buffel. Sementara itu, benteng tua "Marlborough", yang bentengnya berasal dari periode Inggris, hanya mengalami sedikit kerusakan akibat gempa, bukti konstruksinya kokoh. Berbagai bangunan, masih dari masa Inggris, yang selama lebih dari satu abad telah bertahan dari gempa. Berbagai bangunan, masih dari masa Inggris, yang selama lebih dari satu abad telah bertahan dari berbagai cobaan oleh alam, namun kali ini tidak mampu menahannya misalnya, sebuah makam dengan batu peringatan dari tahun 1810 hancur total. Monumen "Van der Parra" dan "Puncak Hamilton" yang terkenal juga tidak luput dari hantaman gempa. Bahwa rumah kayu lebih tahan gempa kini menjadi jelas. Tidak ada rumah kayu, betapapun tua dan bobroknya, yang rusak, setidaknya tidak berarti.

Akibat bencana ini, sekolah dasar Eropa dan sekolah pribumi juga harus ditutup selama sekitar tiga bulan, karena sekolah Eropa terancam runtuh, dan sekolah-sekolah pribumi, yang tidak dibangun dari beton sekarang dihuni oleh keluarga Eropa yang tidak dapat menemukan tempat berlindung lainnya.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar