Selasa, 23 Mei 2023

Sejarah Pendidikan (7): Sekolah Guru dan Willem Iskander; Kebutuhan Guru dan Guru di Soerakarta, Fort de Kock dan Tano Bato


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pendidikan dalam blog ini Klik Disini

Perguruan tinggi keguruan (fakultas keguruan/IKIP) pada masa kini bermula dari sekolah guru (kweekschool) tempo doeloe. Kebutuhan guru tidak terputus, karena itu sekolah guru tidak pernah berhenti. Guru mengasuh murid untuk menjadi guru. Guru tetap guru. Guru tidak hanya di ruang sekolah, guru juga ikut berjuang. Berjuang untuk mencerdaskan bangsa. Kecerdasan yang diperlukan dalam perjuangan bangsa.


Pendidikan Guru Bumiputra masa Hindia Belanda. November 24, 2022. Kweekschool atau Sekolah Guru, jenjang menandai fase baru dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Kehadiran sekolah guru di Hindia Belanda dimulai pada akhir abad 19 dan awal abad 20.  Sekolah guru menjadi sebuah upaya dari Pemerintah Hindia Belanda untuk memajukan pendidikan bagi penduduk bumiputra. Penduduk bumiputra mulai mendapat materi pendidikan. Mereka dibutuhkan menggantikan tenaga terampil dari bangsa Belanda dan bangsa Barat lainnya. Kebutuhan tenaga terampil yang murah adalah alasan pemerintah Hindia Belanda mulai mendirikan sekolah. Pada tahun 1871, pemerintah mengeluarkan peraturan tentang pendidikan untuk guru bumiputra. Peraturan ini diperlukan sebagai langkah awal dari pendirian sekolah dasar bumiputra. Praresta Sasmaya Dewi dalam artikel Perkembangan Kweekschool (Sekolah Guru) di Yogyakarta Tahun 1900-1927, menyebutkan bahwa Kweekschool di Hindia Belanda pertama dibuka pada tahun 1852. Pembukaan ini segera diikuti dengan pembukaan sekolah guru di sejumlah lokasi di Indonesia. Pendirian Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers (Sekolah Pelatihan Guru-guru Pribumi) di Yogyakarta tertera dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie No. 156 tahun 1894. Pembukaan sekolah baru dilakukan pada tahun 1897. Bekas Gedung Sekolah Pelatihan Guru-guru Pribumi sekarang menjadi markas Komando Distrik Militer (Kodim) 0734 Kota Yogyakarta. (http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/)

Lantas bagaimana sejarah sekolah guru dan Willem Iskander? Seperti disebut di atas sekolah guru pertama di Hindia Belanda didirikan di Soerakarta, guru pribumi pertama di Angkola Mandailing (Tapanoeli); Kebutuhan guru dari sekolah guru Kweekschool Soerakarta, Fort de Kock dan Tano Bato hingga era selanjutnya (HKS dan HIK/HCK). Lalu bagaimana sejarah sekolah guru dan Willem Iskander? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Sekolah Guru dan Willem Iskander; Kebutuhan Guru Kweekschool Soerakarta, Fort de Kock dan Tano Bato

Sekolah untuk anak-anak Eropa/Belanda, termasuk sekolah di bawah pemerintah sudah berkembang dan meluas di Hindia Belanda. Bagaimana dengan untuk anak-anak pribumi? Di wilayah Maluku dan wilayah Manado sudah banyak sekolah yang diselenggarakan misionaris/zending. Bagaimana dengan di Jawa?


Dalam laporan akhir jabatan Asisten Residen (afdeeling) Angkola Mandailin, (residentie) Tapanoeli, TJ Willer tahun 1846 merekomendasi untuk pemerintah diperlukan sekolah di Angkola Mandailing. TJ Willer merekomendasikan merujuk pada pembukaan sekolah di Fort de Kock tahun 1846 yang diinisiasi oleh Residen Steinmetz. Sekolah di Angkola Mandailing baru terselenggara pada era Asisten Residen AP Godon (mulai ditempatkan tahun 1848).

Sebuah keputusan kerajaan telah dikeluarkan pada bulan September 1848, yang isinya diberi wewenang oleh Gubernur Jenderal untuk mengalokasikan sebesar f25.000 per tahun untuk pendidikan Hindia untuk mendirikan sekolah bagi orang Jawa, terdiri dari sebuah sekolah pelatihan guru dan dua puluh sekolah pemerintah. Sekolah pendidikan guru itu akan, dibuka dengan jumlah siswa lima belas orang, usia tidak kurang dari lima belas tahun, dipilih dari yang layak.


Dalam merealisasikan tujuan untuk memperluas pendidikan bagi pribumi, Gubernur Jenderal Hindia Belanda menginisiasi pendirian sekolah guru pribumi di Soerakarta. Lalu dibuat permintaan untuk menjadi kepala sekolah guru, kepada W Palmer van den Broek di Koninklijk Akademie di Delft berdasarkan surat tertanggal 26 September 1849 No.3/085. Sehubungan dengan permintaan kepada P van dern Broek, pemerintah juga telah meminta sejumlah individu di Belanda untuk menulis buku pelajaran dalam bahasa Melayu dan bahasa Jawa (juga bahasa Soenda) dalam aksara Latin untuk bidang-bidang tertentu seperti buku lakon dan bacaan, buku artimatika. Juga buku bacaan dalam aksara Jawa.

Pada saat ini Palmer van den Broek diketahui di akademi di Delft sedang bersiap untuk segera berangkat ke Jawa, dan ditempatkan disana menjadi kepala sekolah normal untuk guru-guru Jawa (lihat De Nederlander: nieuwe Utrechtsche courant: (staatkundig- nieuws-, handels- en advertentie-blad) / onder red. van J. van Hall, 16-11-1850). Palmer van den Broek saat ini tengah menyelesaikan studi doktornya di bidang teologi di Groninger Hoogeschool.


Javasche courant, 03-09-1851: ‘Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Batavia, den 30 Augustus 1851 (No. 1.) setelah mendengar Dewan Hindia Belanda disetujui dan dipahami: (a) Dalam rangka menunggu kedatangan kepala sekolah yang akan diutus dari Belanda menyiapkan persiapan yang diperlukan untuk pendirian sekolah guru bagi orang tua guru di kalangan pribumi di Jawa, dan melanjutkan pendidikan disana setelah kedatangan kepala sekolah; (1) bahwa sekolah guru ini akan didirikan di ibu kota Soerakarta, dan ditempatkan di bawah pengawasan Residen disana, yang akan berkomunikasi langsung dengan Gubernur Jenderal mengenai urusan sekolah tersebut; (2) bahwa lima belas peserta pertama akan dilatih disana, yang akan mendapatkan tunjangan dari kas negara sebesar sepuluh gulden sebulan, yang akan dinaikkan menjadi lima belas gulden sebulan jika mereka membuat kemajuan yang baik; (3) bahwa pertama-tama tidak akan diterima peserta didik lain selain orang pendidikan yang layak; (4) bahwa peserta didik itu harus sudah berumur lima belas tahun. (b) meminta Residen Soerakarta, agar mengajukan usul untuk membeli gedung perguruan dan kebutuhan pertama, untuk itu berkonsultasi dan pejabat pegawai negeri JLWilkens, dan dengan memperhatikan asas kesederhanaan yang ditentukan dalam rencana awal dalam hal ini; (c) meminta para kepala pemerintahan daerah untuk mencalonkan orang-orang itu kepada Gubernur Jenderal sebelum akhir Desember mendatang, dengan surat terbukti bakatnya dan memiliki persyaratan lain, adalah yang paling memenuhi syarat untuk menjadi guru di sekolah pelatihan di Soerakarta di kalangan pribumi, dan memberikan serinci mungkin tentang alasan-alasan yang mendasari dianggap cocoknya orang-orang yang akan dinominasikan untuk tujuan ini: Gubernur Jenderal akan membuat pilihan yang baik dari berbagai kandidat’.

Pada bulan April 1852 sekolah guru yang dipimpin kepala sekolah Dr. Palmer van den Broek dibuka. Pada pembukaan sekolah tidak ada bangunan sekolah yang sudah siap. Selama beberapa bulan pertama, instruksi terhadap anak didik harus diberikan di rumah asisten guru yang sempit, di tengah hiruk pikuk rumah tangganya yang banyak. Asisten guru tersebut adalah JL Winter yang sudah lama di Soerakarta sebagai pengajar bahasa Jawa di Java Instituut. Palmer van den Broek yang lajang dari Belanda, pada tanggal 9 November 1852 menikah di Soerakarta dengan gadis Belanda (lihat Javasche courant, 01-12-1852).


Akhirnya bangunan sekolah guru dapat digunakan. Area sekolah dikelilingi oleh parit dan dikelilingi oleh pagar hidup yang lebat, di tengah, dan di salah satu bagian kota Sierakarta yang paling baik letaknya, ruang sekolah disatukan dengan blok perumahan untuk guru magang dan staf lainnya. Bangunan-bangunan bergaya Jawa, terbuat dari bambu dengan tiang-tiang kayu, pintu dan jendela, serta ditutup dengan atap sirap, cukup terisoloasi dan cukup sesuai kebutuhan. Dalam perkembangannya disebutkan akan da tiga siswa yang akan lulus menjadi guru, sementara jumlah siswa telah meningkat dari 13 siswa menjadi 15 siswa dan direncanakan akan menjadi 30 siswa (lihat Javasche courant, 07-06-1854). Salah satu lulusan sekolah guru Soerakarta akan membuka sekolah pertama di Japara tahun 1854 (lihat Javasche courant, 13-01-1855).

Dalam laporan Mr Palmer van den Broek tahun 1855 sebanyak empat orang peserta pelatihan diangkat menjadi guru di residentie Kadoe, Pekalongan, Japara dan Bagelen. Sementara itu pada berdasarkan laporan rinci Komite Pendidikan Pusat tahun 1855, sekolah pemerintah yang baru didirikan pemerintah berada di Japara, Bangil dan Malang (keduanya di residentie Pasoeroean), di Madioen dan Magetan (residentie Madioen). Ini mengindikasikan satu diantara lulusan pertama sekolah guru Soerakarta tahun 1855 ditempatkan di sekolah yang baru dibuka (di Japara). Dalam laporan Mr Palmer van den Broek juga disebutkan bahwa dari murid-murid kelas tertinggi, selain pandai membaca dan menulis bahasa Jawa dan Melayu, berpengalaman dalam geografi Hindia dan seluruh Asia dan dalam survei. Para siswa tidak sepenuhnya mengabaikan tata bahasa Jawa, katanya. Selain itu juga disebutkan di dalam sekolah guru ini telah dibuka sekolah biasa, dan dimana para peserta sekolah guru yang menjadi pengajar yang berada di bawah pengawasan. Sekolah biasa ini memiliki 24 murid (eksternal) dan kehadiran mereka secara teratur.

 

Nederlandsche staatscourant, 04-09-1855: ‘Disebutkan mengutip surat kabar 4 Juli yang lalu, bertanggal 25 Mei 1855 di Soerakarta, diadakan ujian tahunan para magang sekolah untuk melatih guru di kalangan orang Jawa. Rincian berikut diambil dari laporan kepala sekolah, Dr. W. Palmen van den Broek, yang berlangsung dari 5 Mei hingga 31 Mei 1855. Dari 15 murid yang hadir pada tanggal yang disebutkan pertama, 5 siswa meninggalkan sekolah, satu siswa diberhentikan atas permintaannya, sedangkan empat orang lainnya dijadikan guru di residentie Kadoe, Pekalongan, Japara dan Bagelen. Namun, tempat mereka diisi oleh 5 mahasiswa baru. Tidak ada perubahan pada staf pengajar. Dua buku bacaan Melayu, yang disediakan oleh pemerintah untuk sekolah, serta kumpulan dongeng, diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa oleh CF Winter Sr, digunakan dengan baik oleh para murid. Selain itu, selain karya-karya tersebut, murid-murid mendapat kelanjutan tata bahasa Jawa. Murid-murid kelas satu, selain membaca dan menulis bahasa Jawa dan Melayu, sangat berpengalaman dalam geografi Hindia dan seluruh Asia, aritmatika dalam memecahkan berbagai masalah yang berasal dari aturan tiga, dalam kekuatan- menggambar dan mensurvei, sementara mereka tidak sepenuhnya asing dengan tata bahasa Jawa. Murid-murid kelas dua, selain membaca dan menulis, sangat mahir dalam pengetahuan tentang Hindia, dalam pengolatan pecahan, sama seperti desimal, dan dalam bilangan yang disebutkan, dan sekarang sedang diajar proporsi dan diajarkan dalam survei. Siswa kelas tiga membuat kemajuan yang baik dalam membaca dan menulis dan dalam geografi Jawa, dan telah maju dalam praktek pecahan biasa dalam aritmatika. Murid kelas empat atau terendah berlatih membaca dan menulis setiap hari, dimana mereka membuat kemajuan yang wajar, dan sekarang mulai berlatih geografi dan aturan utama aritmatika.  Dua kelas terbawah juga telah diinstruksikan untuk menerjemahkan satu bahasa Jawa ke bahasa lain, sementara semua murid secara terus-menerus dan berhasil diinstruksikan dalam bahasa Madura. Pihak eksternal yang berjumlah 21 telah menunjukkan kemajuan yang baik dalam ujian yang diselenggarakan; selain membaca dan menulis, sebagian besar dari mereka cukup berpengalaman dalam pengetahuan Jawa dan dalam perawatan pecahan dan bilangan bernama; selama ujian, dua peserta pelatihan juga memberikan bukti kemajuan mereka dan kesesuaian mereka untuk mengajar. Tindakan dan tanggapan mereka dengan jelas membuktikan bahwa mereka memahami dengan jelas apa yang telah mereka pelajari dan berhasil mengkomunikasikannya kepada orang lain. Setelah ujian, hadiah buku diberikan kepada dua siswa yang paling mampu dari masing-masing empat departemen eksternal. Dua dari peserta pelatihan tidak dapat menghadiri kelas selama dua bulan karena sakit. Kebetulan, kesehatan anak muda itu baik; perilaku mereka pada umumnya baik. 

Pada tahun 1856 sekolah guru Soerakarta kembali mengadakan ujian. Ini mengindikasikan sekolah guru yang didirikan pada bulan April 1852 telah berjalan baik. Telah banyak kemajuan sekolah guru di Soerakarta sejak awal pendiriannya. Jumlah siswa semakin banyak dan jumlah buku yang disediakan juga semakin bervariasi. Sekolah biasa yang disebutkan di atas dibuka setelah setahun pendirian sekolah guru. Hanya masih ada keluhan para guru karena banyak siswa yang tidak hadir karena adanya acara adat.


Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-06-1856: ‘Soerakarta. Pada tanggal 22 Mei diadakan ujian di sekolah guru Soerakarta di bawah pimpinan Dr. Palmer van den Broek. Fasilitas yang sangat penting ini telah ada selama •empat tahun; setahun setelah pendiriannya juga disediakan untuk pendidikan anak-anak Jawa, yang sekarang bersekolah setiap hari dari jam 7 pagi sampai jam 10 pagi sebagai orang luar. Di antara penambahan berguna yang dibuat untuk sekolah guru dalam beberapa bulan terakhir, perhatian khusus harus diberikan pada penambahan guru menggambar. Pada jam 9 pagi, Residen dan beberapa penduduk Solo, beberapa Pangeran dan Agung Jawa, telah berkumpul di gedung sekolah, diantaranya terutama di rumah Pangeran Adipati Prang Wedono. Sebelum melanjutkan ke tes keterampilan yang diperoleh, beberapa siswa menyanyikan lagu Jawa dalam bahasa Belanda dan Jawa, yang dinyanyikan oleh asisten guru CF Winter Jr diajarkan pada saat-saat senggang, kemudian gambar-gambar ditempati, terutama terdiri dari studi kepala; beberapa dari mereka menunjukkan watak yang sangat baik. Tuan Lavalette, yang baru mengajar mata pelajaran ini selama delapan bulan, tidak diragukan lagi akan menemukan dirinya sangat terdorong oleh kemajuan penting yang dibuat dalam waktu yang begitu singkat. Kemudian mereka beralih membaca bahasa Jawa dengan aksara Melayu (aksara Jawi), bukan Holiandsch (aksara Latin). Tes dalam prinsip seni numerik sangat memuaskan. Dalam geografi, terutama berkaitan dengan Hindia dan Asia, para siswanya cukup mahir. Banyak dari mereka juga telah menggambar peta yang cukup bagus dan sedang menuju pemahaman yang memadai tentang dimensi geografis. Tes tulisan, sejauh menyangkut keindahan tulisan Holland (aksara Latin), meninggalkan sesuatu yang diinginkan, tetapi itu adalah bukti nyata bahwa penulis memahami tulisan itu. Para siswa juga diajarkan dalam survei. Setelah ujian selesai, hadiah dibagi, terutama berdasarkan kehadiran yang lebih setia di sekolah. Pada umumnya siswa rajin dan patuh, sehingga selain bakat yang luar biasa, satu-satunya penyebab ketimpangan yang terjadi adalah karena tidak meratanya kehadiran di sekolah. Sangat disesalkan bahwa beberapa anak dilarang masuk sekolah oleh orang tua mereka pada saat perayaan-perayaan Jawa, yang sering diadakan oleh adat. Akan diinginkan bahwa ini tidak ada’.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kebutuhan Guru Kweekschool Soerakarta, Fort de Kock dan Tano Bato: Normaal School, HKS (Hoogere Kweekschool) dan HIK (Hollandsche Indlandsche Kweekschool)

Pada tahun 1857, Satie lulusan sekolah di Mandailing, yang selama ini menjadi juru tulis Asisten Residen Angkola Mandailing AP Godon, berangkat ke Belanda untuk studi keguruan. Si Satie berangkat Bersama dengan AP Godon yang akan cuti dua tahun di Eropa (setelah mengabdi cukup lama sebagai pegawai pemerintah). AP Godon dan Si Satie berangkat dari pelabuhan Padang menuju Belanda (lihat De Oostpost: letterkundig, wetenschappelijk en commercieel nieuws- en advertentieblad edisi 26-03-1857). Mereka tiba di Amsterdam bulan September (lihat Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 04-09-1857). Sulit membayangkan pelayaran ini membutuhkan lima bulan.


Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 05-05-1858: ‘Sumatra’s Westkust. Pada awal tahun 1856, di Fort de Kock di Padangsche Bovenlanden, sebagai percobaan, sebuah sekolah guru didirikan untuk melatih pemuda menjadi guru. Hasil bagus yang diperoleh dari percobaan ini mendorong pemerintah untuk memutuskan untuk mengakui sekolah guru itu’.

Saat Satie dari Angkola Mandailing berangkat studi keguruan ke Belanda, sekolah guru di Fort de Kock masih tahap percobaan. Lantas apakah percobaan sekolah guru di Fort de Kock yang memicu semangat Si Sati berangkat ke Belanda, yang kelak setelah mendapat akta guru akan mendirikan sekolah guru di Angkola Mandailing? Tidak terinformasikan. Yang terinformasikan adalah dua lulusan sekolah Angkola Mandailing yang diterima di sekolah kedokteran di Batavia pada tahun 1854 telah berhasil dan sudah kembali ke Angkola Mandailing. Dua siswa tersebut merupakan siswa pertama yang diterima di sekolah kedokteran Batavia yang berasal dari luar Jawa.


Yang menginisiasi pembentukan sekolah percobaan di Fort de Kock adalah Asisten Residen Agam JAW van Ophuijsen.  Inisiatif van Ophuijsen mendirikan sekolah guru di Fort de Kock diduga karena kebutuhan guru di residentie Padangsche Bovenlanden seiring dengan kemajuan pendirian sekolah guru di Soerakarta. JAW van Ophuijsen yang pernah menjadi Controleur di afdeeling Natal (residentie Tapanoeli), pada awal tahun 1857 dipindahkan dari Agam sebagai Asisten Residen di Bencolen (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 14-03-1857).

Palmer van de Broek di Soerakarta masih menjadi kepala sekolah guru. Bagaimana situasi kondisi di sekolah guru di Fort de Kock tidak terinformasikan. Siapa yang menjadi kepala sekolah di Fort de Kock selama ini juga tidak terinformasikan. Sementara sekolah guru di Soerakarta mendapat guru baru TAF van der Valk yang didatangkan dari Belanda (lihat Nederlandsche staatscourant, 14-01-1859). Sekolah guru di Soerakarta sudah tahap lepas landas.


Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 04-01-1860 meringkas laporan pendidikan yang di dalamnya disajikan sebaran sekolah dan jumlah siswa sekolah pemerintah dari tahun ke tahun hingga tahun 1858. Satu yang mengindikasikan bahwa di Batavia belum ada sekolah pemerintah, demikian juga di di afdeeling Buitenzorg. Mengapa? Tidak hanya itu. Di Residentie Probolinggo dan Residentie Djogjakarta juga belum ada. Dalam table ini ini tampaknya pada tahun 1848 belum ada sekolah pemerintah (tentu saja itu tidak segera, sebab keputusan kerajaan Belanda untuk perlusan pendidikan di Jawa baru diterbitkan tahun 1848). Sekolah pemerintah yang sudah ada di dalam table ini berada di Pati (residentie Japara) pada tahun 1849 dengan 28 siswa, baru disusul di Pasoeroean pada tahun 1850. Pada tahun 1851 sudah bertambah di Rembang (Residentie Rembang), di Magelang, di Moentilan dan di Temanggoeng (residentei Kadoe). Pada tahun 1852 saat sekolah guru di Soerakarta dibuka, sekolah pemerintah bertambah di Serang (residentie Serang), Poerwakarta (Krawang), Tegal (Tegal), Pekalongan (Pekalongan), Banjoemas (Banjoemas), Poerworedjo, Ambal dan Keboemen (Bagelen). Secara umum pada tahun 1858 sudah semakin banyak sekolah pemerintah. Selain disebut di atas, sudah ada di Tjiandjoer, Bandoeng, Soemedang, Soekapoera, Garoet (Preanger), Cheribon (Cheribon), Pemalang dan Brebesa (Tagal), Semarang (Semarang), Japara (Japara), Toeban, Bodjoenegoro, Blora (Rembang), Soerabaja (Soerabaja), Malang, Bangil (Pasoeroean), Bezoeki (Bezoeki), Perbalingga (Banjoemas), Soerakarta (Soerakarta), Madioen, Ponorogo, Ngawi dan Magetan (Madioen), Patjitan (Patjitan), Toeloeng Agoeng (Kediri). 

Peluasan pendidikan di Jawa sejatinya sangat telat dibandingkan di Maluku dan Manado (sejak 1834 di Amboina sudah ada sekolah guru yang dikelola zendiing). Bahkan perluasan pendidikan di residentie Padangsche dan residentie Tapanoeli malah lebih awal daripada di Jawa. Semua itu sebenarnya sangat tergantung dari situasi dan kondisi wilayah serta inisiatif masing-masing misionaris/zending dan pejabat pemerintah di daerah (Residen/Asisten Residen). 


Di Residentie Tapanoeli inisiatif itu dimulai oleh Asisten Residen di afdeeling Angkola Mandailing (yang mengikuti tindakan yang telah dilakukan Residen Padangsche Bovenlanden di Fort de Kock). Pada tahun 1848 sudah ada dua sekolah di afdeeling Angkola Mandailing di Panjaboengan (ibukota onderafd. Mandailing) dan di Padang Sidempoean (ibu kota onderafd. Angkola). Hal itulah mengapa pada tahun 1854 sudah ada dua lulusan sekolah di Angkola Mandailing yang diterima di sekolah kedokteran Batavia.

Sementara di sekolah guru di Soerakarta masih tetap dipimpin oleh Palmer van de Broek, lalu bagaimana kabar Si Satie dari Angkola Mandailing yang studi ke Belanda tahun 1857? Pada tahun 1869 Si Sati sudah lulus. Ini terlihat di dalam daftar kelulusan di Belanda (lihat majalah Nieuwe bijdragen ter bevordering van het onderwijs en de opvoeding, voornamelijk met betrekking tot de lagere scholen in het Koningrijk der Nederlanden, voor den jare ..., Volume 30, D. du Mortier en zoon, 1860). Dalam daftar ini nama Si Sati dengan nama julukan Willem Iskander. Kelulusan Si Sati tersebut diperkuat penjelasan Prof. Millies.


Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws-en advertentieblad, 14-10-1860: ‘‘Pemuda, yang telah ada di sini, berasal dari Mandheling di Sumatra, datang ke Belanda dengan Mr. Godon, sebelumnya asisten residen disana. Setelah Godon memperkenalkan, saya juga mangamati pemuda ini dapat direkomendasikan untuk menjalani studi lanjut. Lalu Mr. Godon dan saya menghubungi sekretaris eksekutif kolonial agar diusulkan dengan biaya negara untuk melakukan pendidikan. Pemuda ini pernah dipekerjakan di tanah airnya setelah lulus sekolah dasar, dan jika mungkin setelah mendapat Pendidikan disini, pemuda ini bisa menjadi kepala sekolah guru pribumi di afdeeling Batak. Rencana ini telah disetujui oleh Menteri Koloni. Selanjutnya Mr Godon dan saya dipercayakan menjadi superintendence dalam mewujudkan rencana tersebut. Kami menempatkan pemuda ini bersama Mr. D. Hakker Jr, seorang guru di Amsterdam, seorang pria berpengetahuan dan berpengalaman untuk pekerjaan itu, dan hari ini kita mendapat berita yang menyenangkan bahwa pemuda Batak tersebut telah lulus ujian asisten guru sekolah dihadapan sebuah komisi di Haarlem’.

Pada tahun 1862 Si Satie (Nasoetion) alias Willem Iskander membuka sekolah guru di Tanobati (afdeeling Angkola Mandailing). Willem Iskander sendiri yang menyeleksi lulusan sekolah di Angkola Mandailing di sekolah guru yang didirikannya. Banyak yang layak, tetapi hanya sebanyak 20 siswa yang diterima untuk diasuk menjadi guru. Sekolah guru di Tanobato merupakan sekolah guru yang ketiga di Hindia Belanda yang diakui oleh pemerintah.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar