Jumat, 29 September 2023

Sejarah Bahasa (48): Bahasa Tjeribon, Kini Bahasa Cirebon Pantai Utara;Sudut Pandang Bahasa Jawa, Sudut Pandang Bahasa Sunda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Suku Cirebon adalah kelompok etnis keturunan Jawa cirebonan (rumpun jawa banyumasan) yang tersebar di sekitar wilayah Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon. Menggunakan istilah Wong sebagai penanda keturunan jawa. Suku Cirebon juga dapat ditemui di sebagian Kabupaten Majalengka, sebagian Kabupaten Subang mulai dari Blanakan, Pamanukan, hingga Pusakanagara dan sebagian Pesisir utara Kabupaten Karawang mulai dari Pesisir Pedes hingga Pesisir Cilamaya dan di sekitar Kec. Losari di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.


Bahasa Cirebon adalah rumpun bahasa Jawa (jawa ngapak cirebonan) yang dituturkan di pesisir utara Jawa Barat terutama mulai daerah Pedes hingga Cilamaya Kulon dan Wetan di Kabupaten Karawang, Blanakan, Pamanukan, Pusakanagara, sebagian Ciasem, dan Compreng di Kabupaten Subang, Ligung, Jatitujuh, dan sebagian Sumberjaya, Dawuan, Kasokandel, Kertajati, Palasah, Jatiwangi, Sukahaji, Sindang, Leuwimunding, dan Sindangwangi di Kabupaten Majalengka sampai Kota dan kabupaten Cirebon (kecuali bagian selatan) serta Losari Timur di Kabupaten Brebes di Provinsi Jawa Tengah. Bahasa Cirebon juga dipergunakan bersama bahasa Sunda di wilayah Surian, kabupaten Sumedang. Bahasa Cirebon sebagian besar kosakatanya dipengaruhi oleh bahasa Jawa Sansekerta, yaitu sekitar 80% sehingga bahasa Cirebon disebut sebagai bahasa Sanskerta kontemporer, kosakata serapan bahasa Sanskerta diantaranya adalah ingsun (saya) dan cemera (anjing). Penelitian kosakata elementer menunjukkan perbedaan kosa kata Bahasa Cirebon dengan Bahasa Jawa mencapai 75%. (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Tjeribon, kini bahasa Cirebon di Pantai Utara? Seperti dissebut di atas penutur bahasa Cirebon berada diantara penutur bahasa Jawa dan bahasa Sunda di pantai utara pulau Jawa. Bahasa pesisir dari sudut pandang bahasa Jawa dan sudut pandang bahasa Sunda. Lalu bagaimana sejarah bahasa Tjeribon, kini bahasa Cirebon di Pantai Utara? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Tjeribon, Kini Bahasa Cirebon di Pantai Utara; Sudut Pandang Bahasa Jawa, Sudut Pandang Bahasa Sunda

Nama Cirebon? Bagaimana penulisan yang benar, apakah Tjirebon atau Tjeribon? (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-02-1863). Lantas apakah ada bahasa Tirebon atau Tjeribon? Bahasa di Tjeribon paling tidak sudah diidentifikasi sebagai suatu dialek tahun 1870 (lihat Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indiƫ, 1870).

 

Salah satu pemerhati bahasa-bahasa asli, Prof Keyzer menganggap bahasa di Tjierebon adalah dialek bahasa (yang berbeda bahasa Jawa dan bahasa Sunda). Boleh jadi halini dikemukan karena Keyzer menemukan ada perbedaan dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Dialek bahasa Tjirebon tidak tidak hanya ucapan lisan juga sumber tulisan (babad Tjirebon yang ditulis oleh Abdoelqahar; koleksi Dr. Brandes).

Bahasa Tjirebon sebagai suatu dialek bahasa, hingga tahun 1913 belum ada ahli bahasa atau peminat bahasa yang coba menyelidikan dialek bahasa Tjirevbon (lihat De heiligen van Java, 1910-1913). Disebutkan dialek Tjierbon belum diteliti secara ilmiah, dan upaya mendatangkan orang ahli dari Batavia (Genootschap) sejauh ini gagal. Babad Tjirebon yang dibaca oleh R. Ng. Soera di Poera dan R. Wira Wangsa, keduanya dari Solo, hanya memahami sepintas saja.


Dalam hal ini dialek bahasa Tjirebon berbeda dengan bahasa Jawa, bahkan dua ahli bahasa dari Solo masih kesulitan membaca Babad Tjirebon. Seperti dikutip di atas, lantas apakah bahasa Tjirebon merujuk pada bahasa Jawa? 

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sudut Pandang Bahasa Jawa, Sudut Pandang Bahasa Sunda: Bahasa Cirebon Berakar Bahasa Sanskerta?

Bahasa Tjirebon sebagai suatu dialek bahasa (bahasa tersedniri), paling tidak dari sudut pandang bahasa Jawa, lalu apakah bahasa Tjirebon memiliki kedekatan dengan bahasa Soenda? Satu hal yang terjadi di wilajah residentie Tjeribon pada tahun 1920an dianggap berbahasa Pasoendan (bahasa Sunda). Hal itulah kemudian mengapa residentie Tjirebon dimasukkan ke dalam province West Java. Lalu bagaimana dengan bahasa Batavia/Betawi?


Setelah wilayah Tjeribon sebagai residentie sejak awal terbentuknya Pemerintah Hindia Belanda (pasca dibubarkannya VOC), lalu pada tahun 1925 digabungkan dalam satu provinsi (lihat De nieuwe vorstenlanden, 24-08-1925). Pembentukan ini seiring dengan pembentukan privinsi West Java dan Provincial Raad. Dasar pembentukannya karena bahasa yang sama (Pasoendan). Provinsi (Staatsbled No 378 tanggal 14 Agustus 1925). Wilayah residentie yang tergabung dalam provinsi: Banten, Batavia, Buirenzorg en Karawang, Priangen, Tjeribon en Indramajoe (Stbl 285 tangga;20 Juni 1925).

Bahasa Tjirebon sebagai suatu dialek bahasa baru mendapat perhatian dari seorang peminat bahasa NJ Smith (dari Genootchap) yang menulis dengan judul Het dialect van Tjeribon yang diterbitkan dalam Tijdschrift van Indische taal-, land- en volkenk. 1926). NJ Smith pernah menjadi asisten residen di Tjirebon.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar