Minggu, 01 Oktober 2023

Sejarah Bahasa (51): Bahasa Tegal Bahasa Jepara Subdialek Bahasa; Brebes, Pemalang, Tegal, Pekalongan, Batang hingga Jepara


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini

Dalam sejarah bahasa, ada bahasa yang promosi dan ada bahasa yang degradasi. Tentu saja ada bahasa yang terbentuk baru dan ada bahasa yang punah. Bahasa. Dalam hal ini kita sedang membicarakan peta bahasa. Ibarat peta topografi suatu pulau, tidak seluruhnya datar, ada pegunungan dan ada lembah. Ada bervegetasi lebat dan tentu saja ada yang berair (danai atau rawa). Kandungan permukaan tanahnya juga dapat beragam.


Bahasa Jawa Tegal atau Dialek Tegalan adalah dialek bahasa Jawa dituturkan di pesisir utara Jawa Tengah di wilayah Tegal, Brebes dan Pemalang. Dialek bahasa Tegal beda dengan daerah lainnya. Pengucapan kata dan kalimat agak kental. Kosakata relatif sama dengan bahasa Jawa Banyumasan, pengguna dialek Tegal tidak mau disebut ngapak karena perbedaan intonasi, pengucapan, dan makna kata. Selain intonasinya, dialek Tegal memiliki ciri khas pengucapan setiap frasanya, apa yang terucap sama dengan yang tertulis seperti padha dalam dialek Tegal tetap diucapkan 'pada', seperti pengucapan bahasa Indonesia, tidak seperti bahasa Jawa wéṭanan (Yogyakarta, Surakarta, dan sekitarnya) yang mengucapkan pådhå. Sementara itu, bahasa dialek Pekalongan adalah yang dituturkan di pesisir utara wilayah Pekanpetang, sebagian barat Kendal dan sebagian selatan pegunungan Kendeng. Dialek Pekalongan sederhana namun komunikatif, berbeda dengan daerah pesisir Jawa lainnya. Orang Surakarta dan Yogyakarta sulit mengerti dan orang Tegal anggap dialek Pekalongan berkerabat hanya saja menggunakan logat bandek. Sedangkan dialek Jepara, Jeporonan umumnya dituturkan di kecamatan Jepara sebagai bahasa sehari-hari (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Tegal dan bahasa Jepara subdialek bahasa? Sepderti disebut di atas bahasa dialek Tegal dan dialek Jepara ditemukan di pantai utara Jawa. Garis bahasa di wilayah pantai mulai dari Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang hingga Jepara. Lalu bagaimana sejarah bahasa Tegal dan bahasa Jepara subdialek bahasa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Bahasa Tegal dan Bahasa Jepara Subdialek Bahasa; Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang hingga Jepara

Lembaga pengetahuan di Batavia (Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen) sudah sejak lama aktif dalam kontribusi bahasa-bahasa di Hindia. Sebelumnya, yang terlibat dan aktif dalam penyelidikan bahasa-bahasa di Hindia adalah NZG. Salah satu dukungan Lembaga Pengetahuan Batavia terbaru adalah penyelidikan bahasa dialek Djapara.


De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 29-10-1897: ‘Het Dialect van Djapara. Dialek Djapara adalah judul bagian ketiga yang baru diterbitkan dari volume ke empat puluh sembilan Verhandelingen van het Batavia'sch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, yang disusun oleh AHJG Walbeehm, guru bahasa Jawa di afdeeling B. tata bahasa Willem III School di Batavia. Mengenai tujuan penerbitan ini, penulis dalam kata pengantarnya menyampaikan hal-hal sebagai berikut. Walaupun kajian dialek bahasa Jawa belum berkembang sedemikian rupa sehingga sudah dapat diketahui daerah-daerah mana saja yang termasuk dalam hal ini. Dengan kata lain, yang merupakan dialek-dialek utama Jawa, sudah dapat diasumsikan bahwa dialek Surakarta yang biasanya dianggap paling murni, terutama terbatas pada tempat tinggal nama itu dan tidak hanya menunjukkan lebih banyak penyimpangan dari bahasa Jawa Kuno, misalnya dialek-dialek yang paling dibenci di wilayah Pasisir, namun jika dilihat dari sudut pandang tata bahasa, tidak selalu merupakan dialek yang paling murni. Di antara dialek-dialek di pantai utara Jawa, kita dapat membedakan dengan cukup jelas dialek-dialek Semarang, Djapara, dan Surabaya. Di Residentie Rembang, dialek daerah Blora dan Rembang hampir seluruhnya mirip dengan Djapara, sedangkan dialek paling timur di kediaman ini seolah-olah merupakan peralihan ke dialek Surabaya. Untuk dialek yang dibahas disini, yang saya usulkan untuk disebut Djapara'sche, saya mendapat tugas: untuk Djapara dari Bupati Raden Mas Adipati Arjo Sosroningrat, untuk Koedoes dari Bupati Raden Toemenggoeng Tjokronegoro, untuk Pati dan Djoewana dari Mas Sastrohardjo, untuk Rembang dari Bupati Raden Toemenggoeng Djojo Adiningrat, untuk Blora dari mantan Bupati Raden Mas Adipati Tjokronagoro dan untuk Bodjonegoro dari Bupati Raden Toemenggoeng Reksokoesoemo. Karena tugas yang diterima menunjukkan bahwa hampir tidak ada perbedaan yang dapat diidentifikasi antara bahasa yang digunakan di Pati dan Djoewana, saya selalu menganggap komposisi karya ini sebagai satu kesatuan. Hanya bila ada penyimpangan yang terlihat maka Djoewana akan disebutkan. Saya memperoleh tugas mengenai penggunaan bahasa di Solo dari pembantu saya Raden Padmosoesastro dan dari beberapa orang Solo lain yang sementara berada di Batavia. Tujuan awal saya adalah membandingkan dialek-dialek tersebut dengan dialek-dialek yang ada di ibu kota, Semarang, agar dapat memperoleh gambaran langsung mengenai persamaan dan perbedaannya. Salah satu mantan murid saya, pejabat yang ditempatkan di Semarang H. Th. Weehuizen Jr. (sejak dipromosikan menjadi aspirant controleur) telah menjanjikan kerjasamanya dalam hal ini dan saya juga telah menerima beberapa pernyataan ketika pejabat tersebut dipindahkan ke Sumatera. Saya semakin menyayangkan hal ini karena apa yang telah diterima membuat saya berharap dapat diberikan kontribusi yang bila perlu dapat dipertimbangkan untuk diterbitkan secara independen. Untuk Rembang, salah satu mantan murid saya juga membantu dalam pendataan, yaitu pejabat WM. Ingenluyff. Terima kasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan karya ini.

Sukses guru Walbeehm dalam menerbitkan dialek bahasa Djapara tidak hanya memicu para pejabat local di Jawa untuk dilakukan penyelidikan terhadap dialek bahasa mereka, juga semangat Walbeehm semangat meingkatkat karena studi bahasa adalah bidang keahliannya. Walbeehm pada tahun 1901 diketahui berada di Tegal (lihat Soerabaijasch handelsblad, 30-08-1901).Disebutkan Wahlbeem saat ini berada di Tegal untuk tujuan penyelidikan bahasa dialek Tegal.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang hingga Jepara: Promosi Bahasa vs Degradasi Bahasa

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar