*Untuk melihat semua artikel Sejarah Indonesia Jilid 1-10 di blog ini Klik Disini
Dalam diskusi publik ada sejumlah penanya ingin
usulannya dimasukkan dalam narasi Sejarah Indonesia yang sedang ditulis. Satu
penanya dari Batak mengusulkan aksara Batak karena di dalam penulisan hanya
aksara Jawa dan aksara Bali. Panelis menjawab bahwa aksara Batak baru ditemukan
pada abad ke-16 sehingga hanya ada aksara Jawa dan Bali pada masa awal. Untuk menjawab
usulan dari Bima, panelis hanya mengatakan kami belum mendengarnya. Dari
diskusi ini karena penulisan masih berproses sebaiknya para penelis
mempertimbangkan untuk dipahami/dipelajari lebih lanjut. Dalam diskusi publik
sebaiknya perhatikanlah usulan penanya dan dengarkanlah usulan penanya yang
lain.
Prasasti (digurat di batu atau dicetak dalam logam) hanya dua media dimana bahasa dan aksara tua ditemukan. Lantas apakah tidak ada media bahasa dan aksara lain sejaman dengan prasasti atau bahkan usianya jauh lebih tua? Demikian juga dengan pecatatan bahasa (kamus) bahasa Melayu pertama kali dibuat pada tahun 1521 dan kamus bahasa Jawa pada tahun 1706 dan kamus bahasa Batak pada tahun 1861. Lalu apakah bahasa Melayu lebih tua dari bahasa Jawa dan bahasa Melayu lebih tua dari bahasa Batak? Yang perlu diperhatikan dari penanya aksara Batak karena merasa aksara Batak dan aksara berbeda, sedangkan aksara Jawa dan aksara Bali sama-sama berkarakter abugida. Dalam hal ini aksara Batak memiliki karakter abjad seperti aksara Arab. Sistem penulisan Devanagari (yang digunakan untuk bahasa Hindi) dan aksara-aksara lain yang diturunkan dari Brahmi, seperti aksara Tamil dan aksara Jawa (Hanacaraka), adalah contoh dari aksara abugida. Aksara abugida adalah sistem penulisan di mana setiap huruf dasar biasanya melambangkan konsonan dengan vokal inheren (default), dan vokal lainnya ditandai dengan diakritik yang ditambahkan pada huruf dasar tersebut. Dengan kata lain, aksara abugida menggabungkan sifat-sifat aksara dan suku kata. Berbeda dengan karakteri alfabet (seperti aksara Latin), di mana vokal dan konsonan memiliki status yang sama, sementara abjad (seperti Arab dan Batak), di mana vokal mungkin tidak ditulis atau hanya opsional. Dalam konteks inilah menjadi penting penanya yang mengusulkan mengapa hanya aksara Jawa dan Bali, bagaimana dengan aksara Batak?
Lantas bagaimana sejarah bentuk panel penulisan narasi Sejarah Nasional Indonesia? Seperti disebut di atas, diskusi tentang sejarah nasional, haruslah mempertimbangkan semua unsur sejarah Indonesia terwakili secara nasional: data time series versus data cross-section. Lalu bagaimana sejarah bentuk panel penulisan narasi Sejarah Nasional Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. Dalam hal ini saya bukanlah penulis sejarah, melainkan hanya sekadar untuk menyampaikan apa yang menjadi fakta (kejadian yang benar pernah terjadi) dan data tertulis yang telah tercatat dalam dokumen sejarah.
Bentuk Panel Penulisan Narasi Sejarah Nasional Indonesia; Data Time Series versus Data Cross Section
Sejarah Indonesia yang ditulis dalam narasi nasional pada dasarnya merupakan gabungan peristiwa-peristiwa sejarah di berbagai daerah di Indonesia. Dalam penulisan Sejarah Indonesia yang tengah dikerjakan sekarang disebut akan mengusung Indonesia sentris. Itu berarti ingin mendudukkan keseimbangan (proporsional) dengan narasi Sejarah Indonesia terdahulu (sejak era Pemerintah Hindia Belanda hingga era Pemerintah Republik Indonesia yang bertumpu pada pelaku sejarah). Indonesia sentris dalam hal ini seharusnya merujuk pada sebaran peristiwa sejarah secara seimbang (proporsional) yang mencakup seluruh daerah di Indonesia (bertumpu pada semua peristiwa sejarah). Indonesia sentris yang dimaksud bukan berarti Jawa sentris dan Sumatra sentris, tetapi juga bukan Jawa Tengah sentris dan Sumatra tengah sentris. Indonesia sentris yang dimaksud adalah narasi sejarah Indonesia sesuai sebaran peristiwa sejarah menurut urutan waktu di seluruh daerah di Indonesia.
Data time-series merujuk pada satu atau lebih variabel
berdasarkan urutan waktu secara vertikal. Dalam hal ini variable pada kolom dan
urutan waktu pada baris. Data cross-section merujuk pada satu waktu (tahun, masa
dan abad) berdasarkan sebaran wilayah secara horizontal. Gabungan kedua jenis
data ini (parsial) membentuk data panel yang berbentuk matrik (total). Narasi
penulisan sejarah Indonesia secara nasional menjadi bersifat total sejarah.
Dalam pemahaman total sejarah ini antar waktu terhubung (berkesinambungan) dan
antar tempat terhubung (berhubungan/direlasikan) yang membentuk ruang sejarah
Indonesia.
Dalam penulisan Sejarah Indonesia yang sekarang, selain dengan tema Indonesia sentris, juga ingin mengusung Sejarah Indonesia sejauh mungkin di masa lampau (era sejarah awal) dan sejauh mungkin di masa kini (era reformasi hingga masa pemerintahan presiden Joko Widodo). Dijelaskan sejarah awal bukan prasejarah, tetapi sejarah awal adalah situasi dan kondisi (wilayah) Nusantara sebelum kehadiran pengaruh India dan Tiongkok. Oleh karena itu, dalam penulisan Sejarah Indonesia yang sekarang, ‘ruang’ sejarah Indonesia semakin besar.
Satu peristiwa sejarah adalah satu titik dalam garis
sejarah. Garis sejarah dalam hal ini bersifat garis lurus vertikal (D1) dan bersifat
garis lurus horizontal (D1). Kombinasi keduanya membentuk bidang sejarah (D2).
Bidang-bidang sejarah yang dihubungkan pada akhirnya membentuk ruang sejarah
Indonesia (D3).
Bagaimana mengisi untuk mencapai ruang Sejarah Indonesia (sebanyak 10 jilid), itulah yang menjadi tanggungjawab para penulis Sejarah Indonesia yang sekarang yang disebutkan sebanyak 112 sejarawan Indonesia. Semua para sejarawan yang terbilang banyak ini diharapkan akan mampu mengisi ruang Sejarah Indonesia secara akurat dan lengkap. Bagaimana jika tidak akurat dan tidak lengkap akan dapat dilihat nanti jika buku Sejarah Indonesia 10 jilid itu telah dipublikasikan. Tidak akurat berarti ada yang lebih akurat yang tidak dimasukkan dalam narasi sejarah Indonesia 10 jilid, tidak lengkap berarti banyak bolong-bolongnya di dalam ruang sejarah baik dari dimensi waktu maupun dimensi tempat.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Data Time Series versus Data Cross Section: Lengkapilah Sel Data Kosong dengan Memperhatikan dan Mendengarkan Usulan Data Baru.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar