Minggu, 06 Desember 2020

Sejarah Singapura (17): Sejarah Awal Nama Malaya, Malaka, Malaca, Malayu, Melayu, Malay dan Malaysia; Himalaya dan Malea

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Singapura dalam blog ini Klik Disini

Nama Melayu jelas sangat penting. Sejak era Portugis di Malaka (1511) sudah disebut bahasa Melayu sebagai lingua franca. Dalam prasasti kuno di Palembang sudah menggunakan bahasa Melayu kuno (Sanskerta). Nama Malaka adalah sebutan bagi orang-orang Moor pendahulu orang-orang Portugis (orang Portugis menulisnya sebagai Malaca). Sementara itu orang-orang Inggris mengkuti nama aslinya Malaya (Malayu atau Melayu) menjadi Malay (dan kemudian muncul nama Malaysia).

Di Semenanjung Malaya terdapat tiga nama gunung (yang terlihat dari pantai). Tiga gunung itu disebut gunung Malaya, gunung Ophir dan gunung Raja (baca: Raya). Nama Malaya diduga kuat reduksi dari Himalaya. Di kaki gunung Malaya inilah terbentuk kota (pelabuhan). Nama (kota) Malaya kemudian dijadikan nama wilayah (semenanjung). Sementara itu di pantai barat Sumatra juga terdapat tiga nama gunung tersebut: gunung Raja di Angkola, gunung Malea (reduksi dari Himalaya) di Mandailing dan gunung Ophir di Pasaman (gunung Ophir juga saling dipertukarkan dengan nama gunung Pasaman). Tiga wilayah gunung di pantai Sumatra ini adalah sama-sama penghasil emas. Tidak jauh dari gunung Malea terdapat candi kuni (di Siabu) dan candi yang lebih baru di Portibi (Padang Lawas) dan di Muara Takus (antara hulu sungai Rokan dan hulu sungai Kampar). Muara sungai Rokan yang sekarang adalah suatu teluk yang jauh ke pedalaman (tidak jauh dari percandian). Oleh karena nama gunung dan candi-candi tersebut terkait dengan India maka arah terbentuknya candi-candi tersebut berasal dari pantai barat Sumatra. Apakah migrasi orang Angkola Mandailing sudah terjadi sejak zaman kuno, jauh sebelum kehadiran penduduk dari Jawa, Minangkabau, Bugis dan Borneo?

Lantas bagaimana sejarah nama Malaya hingga menjadi Malaysia? Tampaknya Semenanjung Malaya telah menjadi simpul pertemuan antara (kebudayaan) Barat (India) dan (kebudayaan) Timur (Tiongkok). Antara orang India dan Sumatra dari arah barat dan orang Tiongkok dan Indochina. Bagaimana hal itu bisa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah internasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, 05 Desember 2020

Sejarah Singapura (16): Sejarah Perak, Kedah dan Perlis; Sejarah Perkebunan Karet Terkenal di Batak Rabit, Sungai Perak

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Singapura dalam blog ini Klik Disini 

Sebelum Kota Perak yang sekarang berkembang, penduduk asal Sumatra (Mandailing dan Angkola) sudah bermukim di pedalaman di hulu sungai Perak. Ibu kota Perak sendiri yang waktu itu masih bernama Kwala Perang berada di pantai (muara sungai). Penduduk asal Mandailing dan Angkola juga sudah bermukim di hulu sungai Klang di kampong Kwala Loempoer. Pada saat itu ibu kota Selangor masih berada di Kwala Selangor (di pantai di muara sungai Selangor). Nama tempat utama di  muara sungai Klang adalah Klang.

Nama Malaya sudah lama dikenal. Hal itulah nama kota Malaya ini kemudian menjadi nama semenanjung (Malaya). Orang-orang Moor menyebutnya dengan Malaka dan orang Portugis menulisnya sebagai Malaca. Dalam laporan Mendes Pinto (1545) mencatatan nama-nama sungai si sekitar Malaka, antara lain Salangor, Quedam, Parles dan Sambilan. Tiga nama yang pertaa diduga kuat kini bernama Selangor, Kedah dan Perlis, tiga nama sungai (tempat) yang sudah lama adanya. Sedangkan nama pulau (sungai) Sambilan diduga kuat telah berganti nama menjadi Perak (Ferah). Nama Ferah atau Perak diduga merujuk pada nama pulau di tengah lautan (pulau Vera). Pada era VOC (Belanda), nama-nama tempat semuanya berada di pantai. Sementara itu di seberang lautan di pulau Sumatra penduduk sudah bermukim di pedalaman di daerah hulu sungai Beroemoen (Kerajaan Aroe) yang kemudian penduduknya dikenal sebagai Mandailing dan Angkola. Seperti halnya pada era VOC orang-orang Boegis, pada era Hindia Belanda sebagian besar penduduk Mandailing dan Angkola eksodus (karena Perang Padri 1805-1838) ke Semenanjung Malaya (juga dalam hal ini penduduk Minangkabau). Eksodus ini masih berlanjut pada era Koffiestelsel (1840-1875). Mereka yang sudah di Semenanjung Malaya (Inggris) kemudian bermigrasi dari pantai ke pedalaman (seperti hulu sungai Klang dan hulu sungai Perak).

Lantas bagaimana sejarah Perak, Kedah dan Perlis? Tentu saja sudah banyak ditulis. Namun narasi sejarah tidak pernah berhenti selagi fakta dan data baru ditemukan. Salah satu yang menarik dalam hal inilah terdapatnya nama (kampong) Batak Rabit di daerah aliran sungai Perak. Nama kampong ini diduga sebelumnya bernama Batoe Rabit. Namun setelah munculnya perkebunan karet (1900an) nama Batoe Rabit bergeser menjadi Batak Rabit. Lalu apakah penduduk kampong ini berasal dari Mandailing dan Angkola? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah internasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.