Senin, 02 Mei 2016

Sejarah Persija Jakarta [11]: Suporter VIOS dari Depok Menuju Cikini; Sepakbola Indonesia Menuju Piala Dunia di Prancis (1938); Ada Apa dengan PSSI?

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Persija Jakarta dalam blog ini Klik Disin


Pada dasarnya bagian terpenting dalam dunia sepakbola adalah penonton. Ukuran kualitas pertandingan sepakbola dapat dilihat dari kehadiran penonton. Kualitas dari penonton dapat diukur dari partisipasinya dalam mendukung salah satu klub. Dukungan fanatic yang diberikan penonton terhadap klubnya disebut suporter. Para suporter ini selalu membicarakan dinamika klubnya dan selalu hadir ketika klubnya bertanding. Adakalanya suporter ini mendukungnya kemana klub mereka itu melakukan lawatan.

Keberadaan suporter dalam dunia sepakbola terdapat dimana-mana dari sejak doeloe hingga kini. Di masa lampau, supporter klub yang mendampingi klubnya ke luar kota terdeteksi pertama kali di Medan (1903) ketika Medan Sportclub bertandang ke Binjai untuk melawan Langkat Sportclub. Para supporter ini memadati dua gerbong belakang kereta api, dimana di gerbong depan para pemain dan ofisial. Penumpang umum menjadi tidak kebagian tempat karena sudah disorder beberapa hari sebelumnya. Suporter serupa ini juga terdeteksi di Bandung, ketika klub kesayangan mereka, Sidolig melakukan pertandingan melawan Sparta di Cimahi (1907). Dengan kereta api berangkat ke Cimahi, gerbong penuh sesak. Hanya itu yang terdeteksi (mudah-mudahan di tempat lain dapat segera terlacak).

Di Jakarta, juga terdapat suporter fanatik, bukan VIOS tetapi yang lebih fanatik adalah Oliveo. Meski VIOS dan Oliveo kerap bertanding ke Bandung, tetapi suporter tidak pernah dilaporkan bersedia mengikutinya. Mungkin karena jauh, atau sadar bahwa kapasitas kereta api terbatas, sebab kala itu belum ada alternatif transportasi selain kereta, yang dapat merugikan penumpang umum. Sebenarnya ada beberapa tempat yang terjangkau, seperti Buitenzorg yang sudah memiliki klub, tetapi klub-klub Batavia hampir tidak pernah menyambanginya dan lebih memilih ke Bandung, Semarang dan bahkan Surabaia. Yang terjadi adalah Tim Bogor yang kerap berkunjung ke Jakarta (sebagai Tim Perserikatan, tidak ada klub yang bisa mewakili).

Sebagai gantinya, di Depok terdapat suporter klub-klub Batavia. Penggemar atau suporter dari Depok terbagi dua: VIOS dan Oliveo. Jumlah suporter dari Depok tidak sebanyak di Bandung (ke Cimahi) dan Medan (ke Binjai) meski kedua kubu supporter Depok digabung. Para penonton dari Depok berangkat dari stasion Depok (lama). Soporter dari Buitenzorg (Bogor) sejauh yang diketahui tidak pernah dilaporkan, mungkin karena jaraknya sangat jauh. Boleh jadi ada batas tertentu dimana suporter bersedia mengikutinya sekalipun biaya transportasi dibebaskan oleh klubnya.Suporter Depok dalam hal ini menanggung biaya sendiri (Bandung dan Medan ada sebagian kontribusi klub).

Anak-anak Tapanoeli sudah banyak yang tinggal di Depok. Mereka adalah yang bersekolah zending dan para pendeta yang melakukan tugas tertentu di Depok, seperti pendeta E. Harahap adalah salah satu penulis dalam penerjemahan Injil ke dalam (bahasa) Logat Melajoe.

Kompetisi sepakbola pada waktu itu masih tetap berjalan normal. Jumlah klub cukup banyak. Kompetisi sepakbola Jakarta (VBO) dibagi ke dalam lima divisi. Divisi-1: UMS, SVJA, Oliveo, Hercules, SVBB, TNH (Tionghoa), VIOS dan BVC; Divisi-2: UMS II, BVC II, Hercules II; dan lainnya; Divisi-3: BVV I, CRC I, UMS III, dan lainnya; Divisi-4: BVV II, Hercule IV, SVBB IV, SVJA IV, CRC II, BVC IV dan lainnya; Divisi-5: SVJA V, CRC III, Sparta V dan lainnya. Beberapa pemain pribumi yang tercatat adalah Hamid, Gontha dan Sahetapy (Hercules); Mohono, Tarbin (VIOS); Onong, Tomodok, F. Meeng, E. Meeng dan Abdul Rachim Harahap (SVBB). Klub Tionghoa seluruhnya Tionghoa, dan beberapa pemain Tionghoa bermain di klub ETI (VIOS). BVV atau Bataksch Voetbal Vereeniging adalah klub anak-anak Batak (tidak semua orang Batak). Klub BVV berkompetisi di Divisi-3 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 18-02-1936).

Sudah lama tidak terdengar sepakbola Inggris. Bataviaasch nieuwsblad, 11-04-1936: ‘Klub The Royal Engineers dari Singapura datang berkunjung ke Batavia untuk melakukan beberapa pertandingan: SVBB, Tim VBO, SVJA, UMS. Bataviaschc Kantoor Voetbal Bond (BKVB). Orang-orang Inggris pernah bermain di Batavia tahun..Di masa lampau Tim Inggris kerap berkunjung ke Deli. Sejauh ini, tidak pernah dikabarkan bahwa Tim Belanda mengunjungi komunitas sepakbola Inggris. Ini menunjukkan superioritas sepakbola Inggris masih ada.

Bataviaasch nieuwsblad, 21-09-1936: ‘pada musim ini kompetisi dibagi enam divisi. Klub yang baru masuk antara lain CH (Divisi-3), VKJB (Divisi-5), VVM (Divisi-4)_

Sesungguhnya dikotomi antara kompetisi ETI vs pribumi tidak terlalu lebar (kecuali kalau dilebar-lebarkan). Yang terjadi adalah sepakbola di Jakarta terdiri dari berbagai ragam ras, kontrasnya dapat diringkas antara ETI dengan pribumi. Dikotomi antara ETI dan pribumi memang sudah ada sejak lama antara penjajah (Belanda) dan yang dijajah (pribumi) seperti yang ditunjukkan oleh Parada Harahap dengan korannya Sinar Merdeka yang mulai terbit di Padang Sidempuan tahun 1919.

Dikotomi juga terjadi diantara sesame ETI dan diantara sesama pribumi. Misalnya di Medan antara klub-klub orang Belanda yang rasial dengan klub yang pro pembauran. Demikian juga klub-klub pribumi yang rasial dengan klub-klub yang pro pembauran. Mereka yang menganggap sepakbola adalah suatu game olahraga, hiburan dan kompetisi cenderung bersifat pro pembauran. Di Medan klub pribumi lebih banyak yang ikut kmpetisi daripada klub ETI, sebaliknya di Jakarta, lebih banyak klub ETI yang ikut kompetisi. Artinya, di Medan ada klub ETI pro rasial, di Jakarta klub ETI tidak begitu kentara pro rasial, buktinya STOVIA VC bebas keluar masuk di dalam kompetisi. Hanya saja di Jakarta, klub ETI begitu banyak, sehingga ruang bagi klub pribumi bersaing untuk ikut kompetisi sangat sulit dan karenanya jumlahnya sangat sedikit. Klub-klub pribumi juga banyak dan kemudian membentuk pertandingan sendiri yang menjadi sebab munculnya perserikatan  pribumi.

Para pelaku sepakbola (baik ETI maupun pribumi) pada dasarnya mengusung esensi sepakbola itu sendiri: sportivitas. Karenanya banyak pemain pribumi yang bagus adalah bagian dari klub ETI. Klub ETI seperti Oliveo justru mengundang bond pribumi untuk ikut merayakan ulang tahun klub mereka. Memang jarang (atau hamper tidak ditemukan) pemain ETI bermain di klub pribumi. Itu karena klub ETI memang sangat banyak dan klub pribumi yang bagus untuk mereka masuki memang sangat jarang. Esensi sepakbola sejauh ini semua pihak masih menjalankannya. Soal suporter, kita bisa melihat suporter di Medan dan di Bandung justru juga didukung supporter pribumi hingga ke Binjai dan hingga ke Cimahi. Penonton atau supporter pribumi juga mengidolakan pemain dan pemain bagus siapapun mereka itu. Itulah esensi sportivitas dalam sepakbola (yang seharusnya bebas dari berbagai kepentingan pribumi dan kelompok). 

Pelanggaran-pelanggaran dalam sepakbola apalagi dalam permainan di dalam suatu pertandingan adalah lumrah (itu dinamika). Namun jika pelanggaran itu by design dan bersifat sistematik apalagi terkait dengan politik rasial, maka itu sudah terjadi politisasi sepakbola, menjauhkan diri sepakbola dari fungsi sportivitas. Orang-orang yang merecokin sepakbola semacam itu tentu saja ada. Namun, para pesepakbola umumnya datang karena memang ingin bermain sepakbola. Kita tahu, para pemain sepakbola ETI umumnya adalah mantan-mantan pemain sepakbola di Eropa. Namun dalam perkembangannya organisasi yang makin besar masuk non pemain bola. Itu juga terjadi di sepakbola pribumi, orang yang tidak pernah main bola ikut mengorganisasikan sepakbola. Ruang sepakbola yang bebas dan niat para ‘penyusup’ akan membuka pintu untuk perpecahan dalam sepakbola dan cenderung ke arah rasial. Dengan kata lain, sepakbola terkooptasi. Apalagi penyusup ini orang kuat, apakah swasta atau pejabat pemerintah.

Parada Harahap sejak 1933 telah mengundurkan diri dari kepengurusan sepakbola. Parada Harahap telah mendelegasikan kepada yang muda. Parada Harahap ingin intens berpolitik (tanpa mengotori sepakbola). Pemerintah hanya ingin semua stakeholder brpartisipasi dalam sepakbola dan membangun dunia sepakbola sebagai hiburan publik (pemerintah hanya berharap dari sepakbola ada pendapatan/pajak, siapapun pelakunya: ETI, Tionghoa atau pribumi). Intinya, pemerintah memberi kebebasan bagi pelaku sepakbola, tidak pernah menghambat, malahan mendoring agar berbagai elemen sepakbola bersatu.

Parada Harahap mendelegasikan urusan sepakbola kepada penerusnya agar lebih optimal dan berkembang. Ketika, BVV (Bataksch Voetbal Vereeniging) ikut berpartisipasi dalam kompetisi VBO, Parada Harahap tidak melarangnya meski dengan  pengaruhnya bisa kapan saja melarangnya. Parada Harahap melihat lapangan (sektor) sepakbola bukan untuk bertarung politik, tetapi hanya sekadar hobi (menghibur dan menyehatkan). Kompetisi politik masih banyak yang lebih pas, seperti lapangan ekonomi, bidang pendidikan, kemiskinan, dan yang pokok tujuan keadilan dan kebebasan.

Apakah politisasi sepakbola itu salah? Tergantung dari mana kita memandangnya. Harus kita ingat bahwa saat itu adalah masa penjajahan (meski dari sudut pandang Belanda sudah menjalankan politik etik) dimana segala sesuatu kegiatan akan mudah ditarik perbedaan (dengan mengabaikan persamaan). Apapu pun bisa menjadi pemicu. Akan tetapi bagaimana pemicu ini diterjemahkan apakah mendatangkan bahaya yang kecil atau lebih besar yang justru menghancurkan cita-cita: kemerdekaan. Kemampuan memilah dan memilih ini tidak semua pribumi piawai. Ada yang hal sepele menjadi konyol akibatnya. Hanya ada dua tujuan para pribumi kala itu: keadilan dan kemerdekaan. Itu hanya dapat dilakukan melalui metode persatuan dan kesatuan. Jika diantara insan sepakbola pribumi yang terjadi adalah perselisihan maka sulit membentuk persatuan dan kesatuan dan semakin sulit pula untuk mencapai keadilan dan kemerdekaan.

Baru-baru ini dalam satu hajatan ulang tahun yang ke-25 VBO (didirikan 1912, waktu itu namanya BVB=Bataviaschen Voetbal Bond), berbagai pihak hadir, pemerintah, swasta, pelaku sepakbola (ETI, Tionghoa dan Pribumi) yang menunjukkan sehingga ekspresi minat yang besar dan apresiasi. Bataviaasch nieuwsblad, 18-03-1937 melaporkan tadi malam pesta perak VBO diantaranya yang hadir Gubernur West Java, Residen Batavia, Regent (bupati) Batavia (seorang pribumi), Walikota Batavia, perwakilan FIFA, dan banyak perwakilan dari asosiasi olahraga dan organisasi lainnya. Gubernur mendorong agar sepakbola maju, sebagaimana telah dilakukan VBO. Kami tahu, VBO. telah menderita di tahun keberadaannya dengan banyak masalah, tetapi organisasi sepakbola federal ini telah begitu baik melalui hingga ulang tahun perak jauh, di sini di Hindia (Belanda) layak mendapat penghargaan besar. VBO sekarang memiliki 25 asosiasi, setiap minggu bermain 20 atau 30 pertandingan dan enam atau tujuh tim yang bersaing di liga (kompetisi utama). Jadi sudah banyak hasil, tapi teruskan agar tumbuh bibit-bibit baru yang menggantikan para veteran. Pidato ini lalu di apresiasi Mr. JCJ. Mastenbroek (pembicara lain). Wakil-wakil dari Bandung, Surabaya juga hadir yang juga berbicara. Perwakilan cabang olahraga lain juga hadir. Dr. Moewardi atas nama dari (Voetbalbond) Indonesia Jacatra, Mr. Mistra atas nama dari Asosiasi Sepakbola Batavia Office (BKVB). Perwakilan Surabajaschen Voetbal Bond yang dalam hal ini juara kompetisi HBS atas nama saudara Timur mengucapkan selamat atas harmoni antara DVD (Djakarta Voetbal Bond?) dan VBO dan selalu sangat baik. Berikutnya Mr. Panangian Harahap dari Bataksch Voetbal Vereeniging berbicara. Akhirnya (kembali) menjawab Presiden (NIVU) Mr Mastenbroek, singkatnya semua pembicara dan mengatakan terima kasih untuk hal simpatik mereka. Namun untuk waktu yang lama setelah mereka hadir tetap berada di bawah cukup muncul bersama-sama’. Koran ini juga menambahkan bahwa di atas semua oleh kondisi yang sangat menguntungkan sehubungan dengan banyak asosiasi adik di Hndia (pribumi), VBO memiliki kewajiban moral untuk dan demi kepentingan sepakbola Hindia (pribumi) untuk menjadi andalan atas organisasi NIVU. VBO dalam hal ini telah jelas menyadari posisi ini dalam NIVU. Dalam hubungannya dengan sejarah pertumbuhan sepakbola sehingga benar-benar sepakbola di Hndia, dibandingkan dengan Belanda, jelas bahwa serikat lokal menempati posisi yang lebih penting di sini. Sama halnya dengan di Belanda, mulanya berbagai klub dan asosiasi di berbagai kota muncul lalu kemudian menjadi uni. Di sini persebaran dan jarak yang berjauhan dalam pertumbuhannya menjadi beberapa sarikat local. Sejumlah klub di kota-kota besar di Belanda (afdeeling) telah dilakukan, yaitu, bersatu menjadi sebuah organisasi yang lebih besar, yang di sini disebut liga lokal (bond). Bahwa di sini telah tumbuh sebuah partikularisme yang kuat yang telah berlangsung lama setelah sebuah organisasi untuk atas seluruh India didirikan, dapat dimengerti. Dan masih sama beberapa kali, dengan jarak yang jauh dan sejarah sehingga dimengerti, namun kepentingan sepakbola umumnya sangat berbahaya partikularisme, persatuan, kekuatan, solidaritas dan disiplin nasional di organisasi yang dijalankan. Namun, seperti serikat besar di Jawa telah menjadi pelopor sepakbola yang diselenggarakan di negara-negara ini, sehingga mereka juga akan memahami bahwa takdir dan tugas mereka dan menerima. Ketika kemajuan ide yang tepat tentang mengorganisir generasi saat ini dalam vereeniging dan oonden yang bertanggung jawab, itu akan berada di loekomst mungkin untuk mengontrol negara sepakbola dengan benar. Tentu, sehingga serikat akan memperoleh pengalaman terpanjang dan paling terorganisir, untuk itu, memberikan dorongan terkuat. Untuk besar, VIJ dan VBO disini terletak disamping tenaga kerja bekerjasama untuk melaksanakan pekerjaan yang indah’.

Ini juga yang pernah dilakukan oleh STOVIA VC jauh sebelumnya. Jika merasa tidak adil mereka keluar, jika tiba waktunya situasi yang  kondusif dan ada keingin kerjasama dari pihak ETI mereka masuk kompetisi lagi. Di dalam internal sepakbola pribumi juga terjadi faksi-faksi, perseteruan yang laten dan bahkan satu sama lain bunuh-bunuhan, hanya semata-mata karena sepakbola. Dan lupa untuk tujuan bersama: persatuan dan kesatuan untuk mencapai tujuan besar: keadilan dan kemerdekaan.

Apakah ada klub di Depok? Ternyata ada. Namanya WIK. Baru-baru ini. Bataviaasch nieuwsblad, 08-05-1937 melaporkan bahwa hari Minggu pertandingan persahabatan antara Tim Perserikatan SBB melawan WIK van Depok. Tujuan dari pertndandingan ini adalah persiapan Tim SBB dalam pertandingan di Batavia.

Para pemain STOVIA VC yang dulu masih muda-muda dan kini sudah mulai menua (senior) tetapi sepakbola sebagai bagian dari kehidupan (style) masih dilakukan. Ini menunjukkan bahwa sepakbola tidak memandang usia, jabatan dan tentu saja ras.

Parada Harahap Tim Wartawan (B n.blad, 26-02-1938
Bataviaasch nieuwsblad, 26-02-1938: ‘Pertandingan antara Tim Kesehatan dengan Tim Wartawan-Pengacara. Minggu 27 Februari. Salah satu pemain Tim Wartawan-Pengacara antara lain: Parada Harahap (surat kabar Tjahja Timoer) dan Soemanang (kantor berita Antara). Wasit: Soetardjo (Ketua Sports Association of Indonesia) atau Oto Iskandar di Nata (PSSI). Hakim garis: Mr. dr. Soekanto (Rec. Committed) dan Dr. Soehardi (Municipal Arts). Kick-off akan dilakukan oleh Ibu Latip. Pada hari yang sama juga berlangsung pertandingan antara Tim Persitas dan Tim Tiong-Hwa dari VBO

Pemerintah (colonial) tidak pernah melarang klub-klub pribumi dibentuk dan perserikatan didirikan. Klub-klub ETI dan klub-klub pribumi dibiarkan berkembang apa adanya dengan dinamika masing-masing. Bahwa antar klub atau antar bond terjadi perselisihan dan atau ada kerjasama itu urusan internal insan sepakbola. Pemerintah tidak terlalu concern untuk hal remeh temeh, baru jika kondisinya semakin membesar baru melakukan intervensi. Demikian juga para pemain sepakbola atau klub sepakbola pribumi dapat membedakan mana yang remeh temeh dan mana yang hal yang bersifat esensial.

Parada Harahap adalah salah satu contoh. Parada Harahap adalah pendiri Bataksch Voetbal Club. Parada Harahap kerap melihat pertandingan antara klub-klub pribumi dengan klub-klub ETI. Tidak ada soal. Sayang di kampungnya tidak ada klub sepakbola maupun bond sepakbola (penduduk terlalu miskis untuk memikirkan itu). Tapi Parada Harahap di Padang Sidempuan berjuang dengan caranya sendiri: mendirikan surat kabar namanya Sinar Merdeka. Parada Harahap tahun memilah dan memiih dan menempatkan suatu hal pada tempatnya. Tidak ngawur dan juga tidak penakut.

Ketika Parada Harahap di Batavia, diantara kesibukannya untuk urusan kini (bisnis) dan urusan jangka panjang (politik), Parada Harahap masih sempat bermain sepakbola dan tentu saja masih bersedia memikirkannya. Oleh karenanya, sebagai pengurus ‘partai politik’ Bataksch Bond menganggap perlunya mempelopori dididirikannya klub sepakbola yang disebut Bataksch Voetbal Club. Sejak itu muncul klub-klub ‘partai politik’ lainnya, seperti Sumatra VC. Perhatiannya tidak sampai disitu yang hanya menambah klub dari klub-klub pribumi yang sudah sangat banyak sejak lama. Yang dirisaukannnya hanya satu: mengapa tidak ada klub pribumi yang bertanding di kompetisi yang lebih dinamis seperti kompetisi klub-klub ETI, padahal tidak ada satu artikel di dalam AD/ART Bataviaschen Voetbal Bond yang melarang klub-klub pribumi ikut berpartisipasi dalam kompetisi reguler.

Adanya klub pribumi yang ikut kompetisi di BVB adalah salah satu bentuk perjuangan: perjuangan dalam mensejajarkan diri dengan klub-klub ETI. Parada Harahap menolak untuk mengasingkan diri karena tidak mampu, malah sebaliknya berjuang untuk mampu dan berjuang untuk dianggap sejajar. Jadi jelas, cara pandang Parada Harahap, bisa memilah dan memilih. Parada Harahap hijrah ke Batavia karena berjuang di kampungnya sudah selesai dengan Sinar Merdeka. Ruang perjuangan masih terbuka luas di Batavia. Berjuang bisa di berbagai sektor: pers, bisnis, politik, dan tentu di lapangan sepakbola.

Hal ini juga sama dalam bidang pendidikan dan pers. Tidak ada sekat-sekat yang dibuat yang hanya hanyalah gradasi. Pintu gerbang sekolah dibuka luas, yang cerdas dan mampu bebas memilih sekolah manapun di Belanda dan lulusannya setara. Soal sekolah peribumi dan sekolah Eropa hanyalah soal gradasi. Banyak siswa-siswa pribumi di sekolah Eropa tanpa ada perbedaan. Demikian juga dalam bidang pers, setiap pribumi bebas menjadi wartawan, bebas memiliki media, terserah mau bahasa apa yang digunakan dalam media. Bebas menulis apa adanya, sebebas pers Eropa/Belanda. Itulah yang terjadi di lapangan sepakbola. Bebas membuat klub, bebas mendirikan bond jika tidak suka dengan bond orang-orang Eropa. Pemerintah tidak campur tangan. Oleh karenanya sangat konyol jika seseorang pribumi yang cerdas dan mampu hanya masuk sekolah pribumi hanya melihat karena semata-mata perbedaan ras (Eropa vs pribumi). Demikian juga di bisnis pers jika media harus berbahasa Belanda mengapa harus berbahasa daerah. Dja Endar Moeda tahun 1905 menerbitkan surat kabar berbahasa Belanda, karena selain banyak pribumi yang berbahasa Belanda juga agar pesannya sampai kepada yang tidak mengerti bahasa Melayu. Demikian yang dilakukan oleh Parada Harahap, dia menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu dan juga membaca koran bahasa Belanda. Ketika pers Belanda menyerang pribumi dia balik menjawab (polemic) dengan menulis dalam bahasa Belanda di surat kabar berbahasa Belanda. Itu baru berjuang namanya, berjuang demi keadilan dan kebebasan. Ratusan kali Parada Harahap dimejahijaukan dan belasan kali dipenjara karena dijerat delik pers, toh juga tidak lalu mengharamkan bahasa Belanda, bond Belanda, sekolah Belanda dan malah kemudian Parada Harahap memiliki suratkabar berbahasa Belanda. Jadi, bukan mengasingkan diri (alienasi). Bagaimana bisa berjuang jika mengasingkan diri (itu artinya membuat ruang penjara sendiri). Dja Endar Moeda, Parada Harahap baru mengaum jika bersifat ensensial seperti ketidakadilan (kezhaliman), ketidakbebasan (dibatasi). Itulah yang mereka lakukan, mereka harus menanggung hokum cambuk, dipenjara, didenda dan suratkabarnya dibraidel. Kareka pasal delik pers yang dikenakan tidak berdasar (dicari-cari) maka itu yang membuat mereka lebih garang (bukan menyerah). Demikian juga yang dilakukan di lapangan sepakbola, ketika Tapanoeli Voetbal Club melihat ada ketidakadilan di Deli Voetbal Bond lalu mengundurkan diri, kemudian Radjamin Nasution menyatukan klub-klub pribumi dalam satu bond. Ketika, situasi kondusif, di Medan klub-klub pribumi bersedia dua bond disatukan, kemudian terjadi ketidakadilan lalu GB Josua nanti mengundurkan diri lagi (itu memberi pelajaran buat orang-orang Belanda yang tidak adil). Di Jakarta, Bataksch Voetbal Vereeninging ikut kompetisi sepakbola ETI dan kenyataanya klub itu terus bertahan (berarti tidak ada persoalan). Yang menjadi persoalan adalah seseorang belum pernah melibatkan diri dan belum pernah mengalami masalah sudah menjauhkan diri dan mengasingkan diri. Itu namanya nyali rendah dalam medan perjuangan, bertempur di tempat kosong, berkompetisi di tempat yang tidak kompetitif. Kapan berhadap-hadapkan untuk mengalahkan lawan. Nah inilah yang terjadi di banyak tempat.   

Bataksch Voetbal Club adalah klub pribumi pertama di Jakarta yang bisa masuk kompetisi setelah STOVIA VC mengundurkan diri tahun 1913. Bataksch Voetbal Club didirikan tahun 1925 oleh Parada Harahap. Kini, Bataksch Voetbal Club masih eksis dan baru-baru ini melakukan pertandingan segitiga dengan klub ETI dari Bandung dan dari Jakarta sendiri. Kerjasama sepakbola adalah satu hal, tetapi dalam hal lain belum tentu bisa dikerjasamakan bahkan harus dilawan. Apa kurangnya Parada Harahap jika sudah berseteru dengan pers Belanda (jika pers Belanda mengintimidasi pribumi) maupun dengan pemerintah kolonial. Parada Harahap dan M. Hatta pergi ke Jepang, karena tidak puas dengan Belanda dan melihat peluang pembangunan jika bekerjasama dengan Jepang. Kunjungan mereka itu yang membuat pers dan pemerintah colonial Belanda menjadi gerah aalah sebuah kemenangan dalam perjuangan. Dalam lapangan sepakbola, keluar dari Bond Belanda dan mengasingkan diri apa untungnya, bagi pelaku sepakbola Belanda malah tidak peduli.       

Parada Harahap Tim BVV (B n.blad, 11-06-1932
Bataviaasch nieuwsblad, 11-06-1932: ‘BVV (Bataksch Voetbal Vereeniging) akan melakukan pertandingan segitiga dengan UNI Bandung dan Oliveo. Pada tanggal 17, 18 dan 19 Juni akan digelar di Kebun Binatang (Cikini). BVV dikombinasikan dengan JAVV (Jong Ambon Voetbal Vereeniging). Bagi pemenang dari kompetisi ini disediakan sebuah piala perak’.

Bataksch Voetbal Vereeniging adalah salah satu klub pribumi tertua yang masih hidup dan terkuat di Batavia. Klub ini didirikan oleh Parada Harahap pada tahun 1925. Pada tahun 1937 masih eksis dan ini berarti klub anak-anak Tapanuli ini sudah berumur 12 tahun. Uniknya, Parada Harahap sampai kini masih bermain dan menjadi pemain inti. Padahal umurnya tidak muda lagi, sudah 38 tahun.

Parada Harahap lawan Bogor (B n.blad, 12-01-1937
Bataviaasch nieuwsblad, 12-01-1937: ‘Militaire Voetbal Vereeniging, Ajax melakukan pertandingan segitiga di Jakarta dengan mengundang Bataksch Voetbal Vereeniging dan Tim Perserikatan Bogor (Buitenzorgsche Bondselftal). Pertandingan yang dilangsung pada hari Sabtu dan Minggu. Buitenzorgsche Bondselftal terdiri dari: Soebrahim, Emmerick, Oesoep, Manorek, O. Boedjil, Minan, Gagliardi, Tobing, Keng Po, D. van Zalm, Karelsz. Sementara Bataksch Voetbal Vereeniging terdiri dari: P. Harahap, J. Loemboentobing, H. Hoetagaloeng, A. Hoetabarat, SJ. Sibakiat, M. Sipahoetar, O. Goeltom,  KG Sukka, O. Siregar, WH. Hoetabarat dan Wastam. Wasit adalah Mr. Mutter’.

Setelah ulang tahun ke-25 VBO dimana Dr. Moewardi mewakili VIJ terdapat suatu kerjasama antarbond yang ada di Batavia. Di Medan, klub-klub ETI dan klub pribumi meski berbeda bond tetapi kerjasama dalam bentuk pertandingan persahabatan kerap dilakukan. Pertandingan antara MSV dengan Sahata VC selalu ramai penonton. Sejauh yang dilaporkan MSV belum menjadi bagian dari NIVU dan Sahata VC belum menjadi bagian dari PSSI. Sepakbola Deli sangat jauh dari Jawa, berada di depan dekat Penang yang menjadi pintu gerbang dunia sepakbola di Nederlandsch Indie (Indonesia). 

Bataviaasch nieuwsblad, 23-06-1937 (Sepakbola VBO vs VIJ): ‘Tanggal 29 bulan ini, untuk merayakan ulang tahun dari Pangeran Bernhard di  lapangan Kebun Binatang (Cikini) pertandingan yang penting antara Tim sepakbola VBO dan VIJ (Voetbal Indonesia Jacatra). Seperti diketahui, keduanya mewakli salah satu dari organisasi ETI dalam dunia sepakbola di Hindia (NIVU) dan Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI) yang merupakan organisasi yang mengorganisir asosiasi sepakbola adat yang sebelumnya memunculkan ‘gentlemen agreement’, sehingga dalam pertemuan mendatang kedua organisasi yang berafiliasi serikat pekerja dan asosiasi telah dimungkinkan setelah keputusan dari perjanjian itu adalah pertandingan yang dilaksanakan tanggal 29 sebagai pertemuan pertama antara dua asosiasi di Bataavia’.

Tim VIJ pada dasarnya terdiri dari pemain-pemain yang berasal dari klub Malay (yang kelak berganti nama menjadi SV Setia, orang-orang Malaya, kini Malaysia); Andalas (orang-orang Sumatra), klub sepakbola Ster dan MOS. Sebaliknya VBO juga terdapat klub sepakbola pribumi seperti BVV dan JAVV. Oleh karenanya kedua bond bukan dikotonomi ETI vs pribumi, tetapi dua organisasi sepakbola yang melakukan tugas masing-masing. Memang kebetulan VBO didominasi dari segi jumlah klub-klub orang ETI, sebaliknya VIJ oleh klub-klub orang pribumi. Sebagai perbandingan: Di Medan pada awalnya bond hanya satu, jumlah klub didominasi klub-klub pribumi, tetapi kemudian karena ketidakadilan lalu bond tersebut bubar. Kemudian, pada tahun 1923 Dr. Radjamin Nasution menghidupkan kembali bond di Deli. Lalu kemudian bond klub-klub ETI membuat bond baru (beberapa tahun kemudian, klub-klub ETI mengajak klub-klub pribumi untuk menyatukan bond dalam satu wadah, maka dibentuklah bond tunggal, tetapi kemudian karena ketidakadilan di dalam tubuh organisasi, klub Sahata mengundurkan diri yang diikuti oleh klub-klub pribumi lainnya. Intinya: pemisahan dan penyatuan klub dalam bond yang berbeda atau bond yang sama hanya semata-mata murni permasalahan organisasi sepakbola.

Salah satu pemain terkenal dari Malaya (yang kemudian berganti nama menjadi klub SETIA adalah Daoed. Kelak Mr. Daoed akan menjadi ketua asosiasi sepakbola Malaya di Semenajung Malaya.   

Kerjasama VIJ dan VBO terus tumbuh di Batavia. Sesungguhnya antara VIJ dan VBO tidak pernah ditemukan perselisihan. Kerjasama antara pemain-pemain pribumi (STOVIA) dan pemain-pemain ETI (di berbagai klub) sudah ada sejak 1907. Memang STOVIA pernah keluar dari BVB hanya karena kesibukan yang lain (dan masuk kembali). Kerjasama itu masih tampak hingga tahun 1937 meski IBB sudah berganti menjadi VIJ. Kerjasama itu sangat dirasakan ketika kedua bond melakukan pengumpulan dana untuk membantu musibah yang terjadi terhadap korban kebakaran di Tanah Tinggi dan Sentiong.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 10-09-1937 (Football Charity): ‘Oleh Asosiasi Sepakbola Indonesia Jacatra (VIJ), bekerjasama dengan Komite pada tanggal 14 Februari, 16 dan 17 mengadakan pertandingan sepakbola, hasil yang diperoleh akan diberikan kepada Komite yang telah dibentuk disini di Batavia dalam memberikan bantuan kepada korban kebakaran di Tanah Tinggi dan G. Sentiong. Pertandingan dijadwalkan: Tuesday 14 September: A. Melay VC (VIJ) vs UMS (VBO), Kamis 16 September: B. Ster (VIJ) vs Hercules (VBO); Jumat, 17 September: Pemenang A lawan pemenang B dimana pertandingan itu disediakan piala dan 11 medali. Semua pertandingan akan dimainkan di Plantenen Dierentuin dan mulai pukul 4.45 dengan harga tiket masuk sangat rendah, yaitu: f 0,10 (berdiri), Æ’0:20 (kursi) dan Æ’0,50 (tribun). Semua warga Batavia dipanggil untuk bekerja sama untuk keberhasilan pertandingan amal tersebut’.

Di Medan dua klub terkuat Medan melakukan pertandingan yakni antara MSV (klub ETI) dan Sahata (klub pribumi). Ini juga pertandingan persahabatan antara klub yang berbeda bond (bond ETI dan bond pribumi).

De Sumatra post, 20-12-1937 (Acara Weekend Pra-Poeasamaand): ‘Sepakbola MSV vs Sahata berakhir dengan skor 2-4. karena hujan MSV dikalahkan Sahata dalam pertandingan kemarin sore di Kebon Boengaveld yang dipimpin oleh wasit van Houten untuk khalayak yang besar. Itu Sahata yang, seperti yang kita tulis sebelumnya, memiliki barisan depan yang baik, akhirnya berhasil dengan serangkaian serangan di saat terakhir untuk mengakhiri dan untuk mendapatkan kemenangan layak atas MSV. Tim. Seperti yang diharapkan, itu Kebon Boengaveld – lapangan olahraga kota - Setelah hujan pada hari Sabtu dan meskipun sinar matahari cerah , pada hari Minggu tampak seperti rawa. Itu hari Minggu sore ada juga game penting, sehingga kedua tim tidak dapat mencapai optimal mengembangkan permainan mereka. Untungnya, pemerintah kotamadya akan membangun lapangan olahraga baru, tapi selama ini tidak dilakukan. MSV bermain dengan pengganti, yang bermain pada posisi sayap kanan. Itu pada MSV bahwa pemain sayap kiri Goerdi hari kemarin dia tidak banyak kesempatan terbuang oleh masing-masing, dalam posisi berdiri yang baik, bola menendang keluar. Sahata garis tengah dan garis pertahanan bermain jauh lebih baik. Hal ini memungkinkan barisan depan bermain dengan kekuatan penuh, dan mereka tidak selalu satu pemain - biasanya Harahap - untuk menarik kembali untuk membantu pertahanan. Itu menyenangkan untuk melihat bagaimana semuanya benar kemarin di Sahata garda depan sebagai pelatih. Orang besar itu Damora Harahap, pusat permainan dalam pertandingan. Ia juga dengan taktik yang sangat baik. Ditambahkan kedalamnya, para pemain di dalam Willy dan Tombang juga memiliki pandangan yang baik dari permainan dan dua sayap yang sangat cepat dan gambar yang baik, maka salah satu telah menjadi semuanya menuntut pelopor yang baik. Kami mendengar bahwa Harahap juga adalah pelatih Sahata dan menjadi pemain garis depan Sahata dalam permainan kemarin sore, juga memprediksi bahwa Sahata bahkan saat ini adalah klub terkuat yang tidak bisa dianggap remeh oleh lawan’.

Sementara itu kompetisi VBO dan BKVB tetap bergulir. Jika VBO didirikan tahun 1912, sampai sejauh ini belum diketahui kapan BKVB didirikan. Di Surabaya, bond sejenis BKVB disebut SKVB. The SKVB sendiri didirikan pada tanggal 30 Juni 1927. Tahun inilah yang dijadikan Persebaya sebagai tahun kelahirannya. BKVB dan SKVB perserikatan klub-klub karyawan.

Pada tahun 1938 klub-klub sepakbola di Jakarta sangatlah banyak. Klub lama yang masih bertahan diantaranya adalah VIOS (di bond VBO). Selain, VBO dan VIJ di Batavia juga sudah terdapat bond baru (BKVB). Anggota klub adalah Internatio, Borsumy, BPM, Statistiek, KPM, De la Mar, IMIW, Kolff, Singer dan lainnya.

Statistiek VC adalah klub sepakbola dari kantor Statistik. Pada tahun 1938 seorang anak Padang Sidempuan tiba di Batavia untuk melanjutkan pendidikan dan diterima di Middlbare Handelsschool. Namanya Kalisati. Kalisati Siregar ingin kuliah ke Negeri Belanda tetapi itu tentu sangat mahal (kala itu sekolah tinggi ekonomi hanya ada di Belanda), lalu demi menghormati orangtuanya di kampong, Kalisati Siregar memilih bekerja langsung dan melamar di Kantor Pusat Statistik di Batavia. Kali Sati Siregar kemudian diterima dan diangkat sebagai pegawai kelas-satu di Kantor Pusat Statistik di Batavia (Bataviaasch nieuwsblad, 04-04-1941). Belum ditemukan apakah Kalisati Siregar sudah bermain sepakbola sebelumnya di SMA (Middlbare Handelsschool) atau apakah Kalisati Siregar bagian dari Statistiek VC juga belum terdeteksi. Kalisati Siregar di masa pendudukan Jepang pulang kampong dan di era agresi militer Belanda berjuang mengangkat senjata di Padang Sidempuan. Kalisati Siregar kelak lebih dikenal sebagai ayah dari Hariman Siregar (tokoh Malari 1974, Pembina Persija Jakarta Selatan).

Anak-anak asal Padang Sidempuan yang bermain sepakbola di Jakarta kala itu, selain Parada Harahap adalah Abdoel Moenir Nasution dan Arifin Harahap dan Siregar dimana ketiganya adalah pemain dari Singer Voetbal Club. Dalam turnamen (non kompetisi) Singer-beker ketiganya dimainkan sekaligus melawan Kolff dan kalah 0-3 (Bataviaasch nieuwsblad, 08-04-1938). Dr. Abdoel Moenir Nasution adalah alumni STOVIA (pendiri Sumatranen Bond tahun 1917), Arifin Harahap adalah alumni Sekolah Tinggi Teknik di Bandung (kini ITB). Abdoel Moenir kelak lebih dikenal sebagai abang dari SM Nasution (Gubernur Sumatra Utara yang pertama), sedangkan Ir. Arifin Harahap menjadi Menteri Industri RI.

Di Petodjo, Batavia VIJ melakukan persiapan untuk mengikuti kejuaraan antar perserikatan (di bawah naungan PSSI). Ini adalah kejuaraan yang pertama dan akan dilaksanakan di Solo bulan Juni 1938.

Bataviaasch nieuwsblad, 04-05-1938: ‘Sabtu sore tanggal tujuh ini akan berada di situs dari Voetbal Indonesia Jacatra (VIJ) di Petodjo pertemuan antar akan berlangsung antara tim federasi adat dari Poerwokerto dan Batavia, masing-masing adalah  anggota PSSI. Juara Midden Java dan West Java. Pertemuan ini merupakan bagian dari pertandingan kejuaraan PSSI pada tanggal 3, 4, 5 dan 6 Juni di Solo yang akan digelar antara tim perwakilan dari Surabaya, Solo, Poerwokerto dan Batavia. Pada hari Minggu tanggal 8 ini Tim Poerwokerto akan melakukan pertandingan persabatan melawan tim Persibo (Bogor). Sebelum keberangkatannya ke Solo, Tim VIJ akan memenuhi uji coba melawan Tim VBO dan akan digelar pada hari Minggu, 15 Mei. Pertemuan khusus ini akan diadakan di situs Petodjo. Game ini mungkin tidak akan tanpa ketegangan (tidak terlalu serius), karena pemain VIJ kalah dalam pertandingan terakhir. Seperti yang anda ingat Tim VIJ itu pada tahun 1936 dan 1937 oleh Tim VBO menglahkannya dengan skor masing-masing sebesar 9-0 dan 2-1’.

Singkat cerita: pada tahun 1936 dan 1937 VIJ tidak berhasil mencapai final, tetapi pada tahun ini (1938) VIJ berhasil menjadi juara dalam kejuaraan (se-Jawa). Prestasi juara ini pernah sebelumnya diraih pada tahun 1933 dan 1934 serta 1931 (kejuaran yang pertama). Setelah tahun 1934 baru tahun ini VIJ mencapai final (dan juara). Dengan prestasi yang manis di Solo, kini saatnya VIJ melakukan ulang tahun yang kesepuluh.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 05-09-1938 (VIJ Jubileum): ‘Seperti yang dilaporkan Sinar Deli (Medan) bahwa pada pertengahan September ini akan menjadi 10 tahun sejak VIJ (Voetbalbond Indonesia Jactra) didirikan. Tanpa sadar pikiran kita kembali pada 20 tahun lalu, ketika upaya pertama dibuat oleh beberapa pemain terkemuka dari dunia adat, termasuk Mr. Iskander Brata (salah satu karyawan tertua Tiedeman en van Kerchem, delapan tahun duduk di dewan kota Batavia waktu itu mengambil menargetkan Asosiasi Sepakbola Indonesia (bond pribumi) tidak berlangsung lama hidup. Ini harus mengambil sampai 1928 sebelum Vereeniging basis benar-benar kohesif bisa dibentuk untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkebangan VIJ, sebagai bagian dari top sepakbola adat organisasi PSSI (Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia) yang dipimpin oleh Ir. Soeratin (adik dari almarhum Dr. Soetomo). Dari awal, berharap untuk membantu asosiasi adat, dan itu sampai ke kepemimpinan, disiplin kompeten Mr. Koesoema Atmadja yang waktu itu Ketua Dewan Tanah (Landraad) di Batavia). Untuk berterima kasih bahwa mereka benar-benar dipatuhi prinsip bantuan diri, begitu pendapat Mr. Koesoema, bahwa dunia sepakbola adat memiliki terlalu banyak ketergantungan pada organisasi Belanda seperti VBO, banyak anggota VIJ juga anggota dari VBO sekarang dilarang bermain pada serikat lain. Dari pembatasan berdasarkan disiplin-ini adalah kekuatan dari VIJ ini lahir, yang mana dalam kejuaraan PSSI dicapai pada tanggal 11 Juni. Pada bulan Maret 1937, mengakhiri pertandingan melawan VBO (ETI organisasi terkuat). Dengan kekalahan untuk VIJ dengan skor 9-0; lalu dua bulan kemudian posisi 12-0, sementara pada Maret 1938 VIJ kembali uji coba, Tim VBO sesaat sebelum delegasi berangkat ke Eropa mengalahkan dengan skor dengan 4-0. Pada tanggal 17 dan 18 September ini digelar kompetisi di tempat di sini, sementara ulang tahun secara resmi berlangsung pada 24 September. Dengan bangga, sebagaimana di dalam lembar (blad) yang dibagikan, VIJ para pemain dapat melihat kembali jarak yang ditempuh setelah 10 tahun’.

Hal yang dilakukan oleh Parada Harahap juga terjadi di Surabaya. Diselenggarakan pertandingan antara Tim ETI (SVB) dan Tim Pribumi (Persibaja). Pembina Persibaja adalah Radjamin Nasution. Dalam pertandingan yang memperebutkan piala Oliveo itu yang memberikan piala dan hadiah kepada pemenang adalah istri Radjamin Nasution sendiri. Oleh karenanya antara klub-klub ETI dan klub-klub pribumi tidak ada persoalan. Kedua bond hidup berdampingan. Itulah sepakbola di Surabaya dan seharusnya demikian, sepakbola adalah game yang bersifat hiburan publik yang menuntut sportivitas.

Istri Radjamin pembina sepakbola Surabaya, 1938
Soerabaijasch handelsblad, 05-12-1938: ‘Pertandingan sepakbola di Surabaya yang diselenggarakan untuk memperebutkan Oliveo-beker. Pertandingan tersebut mempertemukan tim SVB (Belanda) dan Persibaja (pribumi) dimana penonton sangat ramai. Pertandingan yang dilakukan pada hari Sabtu sore itu Persibaja memperlihatkan pemainan yang menarik. Persibaja dengan kemeja hijau sulit diladeni pada awal permainan oleh SVB yang berbaju oranje. Namun Persibaja malah kemasukan gol duluan. Pada akhir pertandingan Persibaja kalah dua nol. Piala dan hadiah diberikan, dimana SVB dipimpin kapten Samuel dan salah satu pemain Persibaja, Gie Hoo yang diserahkan oleh Ibu Radjamin (Nasution), istri dari Wethouder (anggota dewan senior) Radjamin Nasution. Istri Radjamin Nasution (br. Lubis) mengharapkan terus adanya kerjasama antara kedua asosiasi. Presiden SVB berbicara beberapa kata dan mengucapkan terimakasih dan pujian untuk organisasi yang rapi dan bermain sangat baik dari Persibajanen’.

Memang ada riak-riak di antara para stakeholder sepakbola. Itu tidak terhindarkan apalagi yang terkait dengan isu ras (ETI vs pribumi). Persoalannya adalah bagaimana kedua belah pihak mengelola konflik dan memupuk kerjasama. Pihak pemerintah sesungguhnya netral meski setiap saat bisa melakukan intervensi. Akan tetapi tidak pernah digunakan. Pemerintah memberikan kebebasan dalam sepakbola dan tidak terlalu mau mencampuri urusan internal sepakbola. Berbeda dengan pada masa kini. Sudah jelas pemerintah tidak boleh intervensi dalam organisasi sepakbola dunia di Indonesia tetapi pemerintah tetap saja melakukan intervensi (akibannya PSSI dibekukan FIFA). Padahal waktu itu pemerintah tidak dilarang oleh FIFA melakukan intervensi, tetapi pemerintah tidak pernah melakukannya. Independensi sepakbola di Indonesia kala itu memang diberikan. Yang menjadi soal adalah persaingan antara klub ETI dan klub pribumi.

Hal itu juga terjadi dalam pembentukan tim Nasional ke Piala Dunia di Prancis tahun 1938. Untuk lengkapnya baca seri artikel saya di blogdetik.

Untuk mendapat gambaran seperti apa liga Nederlands jelang Piala Duni 1938 di Prancis dapat dilihat dalam klasemen akhir Liga Belanda (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 04-05-1938).

Jadi, jelas sekarang bahwa perseteruan klub-klub ETI (Eropa/Belanda) dengan klub pribumi tidak seperti yang dikisahkan pada masa ini. Memang betul ada dua bond: bond ETI dan pribumi bahkan adakalanya menjadi tiga bond: plus bond Tionghoa. Itu hanya soal afiliasi, bukan yang satu terhadap yang lain saling mematikan. Kenyataannya bersifat komplemen, saling memperkuat. Oleh karenanya pertandingan antara klub ETI dan klub pribumi masih dimungkinkan. Pemerintah juga tidak ambil pusing soal dualisme kompetisi (dualisme kepengurusan). Yang menjadi persoalan adalah ketika terjadi pembentukan tim nasional ke Piala Dunia 1938. FIFA hanya butuh satu bendera ke Piala Dunia, tidak mempersoalkan adanya dualisme. Demikian juga pemerintah tidak mempersoalkan bond mana yang mewakili (NIVU or PSSI). Malahan lebih parah dualisme sepakbola Indonesia yang sekarang: PSSI vs PSSI Tandingan.

Upaya ini telah dilakukan NIVU untuk mengakomodir PSSI, tetapi PSSI yang tidak bersedia untuk menggabungkan potensinya. Akhirnya, pemain-pemain yang terseleksi untuk pembentukan tim Nasional hanya pemain-pemain yang berada di klub-klub ETI. Akan tetapi klub-klub ETI juga bukan semuanya pemain ETI tetapi juga cukup banyak pemain pribumi. Bahkan dalam tim Nasional yang dikirim, dari 17 pemain yang dikirim ke Prancis, sebanyak sembilan orang adalah pemain pribumi (dari klub ETI). Klub pribumi yang berkompetisi di bond ETI malah tidak ada menyetor nama pemain alias boleh jadi tidak ada pemain yang layak. Pertanyaannya? Apakah ada pemain yang layak dari klub-klub bond pribumi? Sangat diragukan, karena pemain terbaik pribumi sudah bermain di klub ETI. Mereka inilah yang menjadi bagian tim Nasional (dengan bendera NIVU) ke Prancis.

Sebelum berangkat menuju Rheim, Prancis, Tim Nasional (NIVU) ini terlebih dahulu melakukan ujicoba terakhir di Medan. Tim Nasional ini kalah di Medan, tetapi pelatih berdalih itu hanya sekadar latihan, apapun hasilnya tidak masalah. Persoalan berikutnya, mengapa NIVU tidak menyertakan pemain-pemain ETI dari DELI yang boleh jadi banyak yang bagus-bagus. Mungkin hanya alasan yang bersifat adminstratif organisatoris, tetapi diskriminasi diantara ETI juga ada toh karena kepentingan setiap pemain dan setiap klub dan setiap asosiasi menjadi berbeda dengan tujuan nasional (NIVU). Akibatnya, kepentingan di Medan (OSVB) hancur dan kepentingan nasional (NIVU) juga hancur karena yang berangkat ke Prancis bukan mencerminkan potensi tim nasional yang sebenarnya.

Pertandingan Indonesia vs Hungaria yang dilangsungkan tanggal 6 Juni dalam Piala Dunia 1938 ternyata pertemuan dua kapten yang sama-sama berprofesi dokter. Kapten Tim Indonesia adalah Dr. Achmad Nawir dan kapten Tim Hungaria adalah Dr. Sarosi. Ini unik. Sangat jarang, dan mungkin satu-satunya kejadian dalam dunia sepakbola.

Kapten Achmad Nawir di Piala Dunia 1938 adalah representasi perjalanan sepakbola Indonesia. Yakni, sejak STOVIA VC oleh Radjamin Nasution berkunjung ke Medan untuk berhadapan dengan Tapanoeli VC. Kemudian, Tapanoeli VC yang berganti menjadi Sahata VC mampu mengalahkan klub-klub ETI di Medan. Kemudian, Timnas ke Piala Dunia 1938 pada saat uji coba terakhir di Medan dapat dikalahkan oleh Tim ETI di Medan, Tim yang didominasi klub MSV, klub yang kerap dikalahkan oleh Sahata dimana pemain andalannya waktu itu Kamaruddik Panggabean dan Damora Harahap.

Setelah pulang dari Eropa, Tim Nasional dibubarkan dan semua pemain dikembalikan ke klub masing-masing. PSSI dan NIVU kembali beraktivitas seperti sebelumnya, menjalankan kompetisi masing-masing. Evaluasi tentang sepakbola di Indonesia mulai dilakukan. Ulasan pertama datang dari koran yang terbit di Belanda.

Het volksdagblad: dagblad voor Nederland, 25-08-1938 (Berita Olahraga): ‘Fasilitas permainan  sepak bola di Indonesia, berkembang pesat, gerakan olahraga nasional di semua federasi olahraga terkait bersama-sama. Pada hari ketika tim Hindia Belanda mengunjungi negara kami dan berpartisipasi dalam Piala Dunia (1938) sudah beberapa waktu belakang. Tim mungkin telah mencapai setiap keberhasilan besar - keuntungan positif dari perjalanan ke Eropa, yang juga di Belanda membangkitkan minat dalam gerakan olahraga di Indonesia. Pertama dan terpenting, bagaimanapun, dinyatakan yang menjadi ‘Timnas’ ini tidak dapat dianggap sebagai representasi dari arti sebenarnya dan kualitas sepakbola di Indonesia. Itu hanya terdiri dari para pemain, yang bermain di klub-klub yang menjadi anggota sepakbola Eropa di Indonesia (baca: NIVU), organisasi ini, bagaimanapun, telah mengembangkan suatu gerakan olahraga yang luas dari rakyat Indonesia, berarti jauh melampaui mantan federasi, tapi untuk kompilasi tim, perjalanan ke Eropa tidak memenuhi syarat karena tidak mengambil dari keseluruhan yang sebenarnya. Asosiasi Sepak Bola Indonesia, PSSI dalam delapan tahun ini utamanya dalam empat tahun terakhir, telah menyelenggarakan kompetisi kejuaraan se-Jawa, berbagai turnamen, dll. Setelah kembalinya tim, bahwa Eropa adalah pertandingan untuk pertama kalinya dalam sejarah sepakbola di Indonesia yang diselenggarakan antara tim Eropa-Indonesia (NIVU) dan tim perwakilan dari PSSI. Setelah permainan yang menyenangkan, hasil imbang 2-2 yang diraih, hasil yang tak terduga bagi pendukung tim Eropa (NIVU) yang dianggap sebagai kekalahan besar dan kemenangan bagi Indonesia memiliki kesatuan dalam gerakan olahraga Indonesia. Kongres PSSI yang diadakan pada bulan Juni tahun ini di Solo, telah habis, untuk memulai diskusi antara organisasi terkemuka dari semua olahraga di Indonesia. Perwakilan dari Asosiasi Sepakbola dalam diskusi ini, federasi tenis, catur, athletiekbond, dan federasi korfball dan setiap organisasi lain berpartisipasi. Juga orang-orang dari cabang olahraga, yang saat ini tidak diatur secara terpusat, seperti misalnya yang masih terpendam (seni bela diri), berenang dan olahraga sepeda dan panahan terlibat di dalam pembicaraan. Tujuan dari konferensi ini, yang berlangsung di bawah kepemimpinan Komite Sportbond Indonesia, itu untuk datang ke pembentukan badan yang memayungi dari berbagai olahraga yang dipraktekkan oleh masyarakat Indonesia. Diskusi ini memang memiliki mengarah pada tujuan yang diinginkan. untuk Jacatra (Batavia) sebagai pusat dari Ikatan Sport Indonesia (ISI) muncul menjadi ada, yang banyak organisasi olahraga dari Indonesia terikat bersama dalam hubungan federasi. ISI secara khusus bertujuan, declarer memainkan olahraga di Indonesia. untuk masuk dan, secara umum, untuk mempromosikan kesehatan dan ketahanan Indonesia dengan cara olahraga’.

Dari ulasan di atas, padangan orang-orang Belanda di Nederlands bahwa NIVU dan PSSI merupakan dua organisasi sepakbola yang diakui tetapi sangat menyayangkan tim yang berangkat ke Eropa (Piala Dunia) tidak mencerminkan keduanya. Mengapa PSSI tidak berpartisipasi dalam pembentukan tim nasional patut dipertanyakan, karena NIVU pada dasarnya sudah sepakat untuk bekerjasama dengan PSSI. Kesalahan ini juga tidak bisa ditipakan semua kepada PSSI. NIVU juga harus bertanggung karena kekuatan potensi sepakbola di Indonesia saat itu tidak hanya di Jawa. Ini terbukti ketika Timnas (versi NIVU) yang akan ke Prancis mengikuti Piala Dunia malakukan uji coba terakhir di Medan, justru timnas dikalahkan oleh Tim Medan (MSV plus). Padahal, kekuatan sepakbola Medan ada di tim Sahata (pribumi) yang telah berhasil mengalahkan MSV. Mungkin karena banyaknya kendala, baik NIVU maupun PSSI hanya focus di Jawa, sebab klub-klub di Medan belum menjadi bagian dari NIVU maupun PSSI.  

Melihat kenyataan bahwa sepakbola di Indonesia (yang bersifat dua kamar: ETI dan pribumi) mulai direspon di Medan dan melakukan upaya penggabungan. Ini bermula ketika OSVB yang dimotori oleh MSV merasa perlu menggabungkan kompetisi OSVB dengan kompetisi pribumi (DVB bentukan Radjamin Nasution). Penggabungan ini didukung oleh klub-klub pribumi termasuk Sahata VC. Di dalam kompetisi Sahata VC masuk Divisi Satu. Kompetisi OSVB tahun 1940, Sahata VC berada pada peringkat keempat di bawah Noertjahaja dan, Shells SC dan Deli Mij. VC (kampiun). Untuk Divisi Dua adalah Deli Spoor SC.

Klub Sahata pimpinan GB Josua ini yang sudah cukup lama eksis, ketika fase penggabungan, lalu kemudian muncul perselisihan dengan OSVB, lagi-lagi karena soal ketidakadilan. Salah satu pemain andalan Sahata VC adalah Kamaraoedin Panggabean (kelak menjadi tokoh sepakbola Medan) mendapat perlakuan yang tidak adil (dikasari). Perselisihan semakin memuncak pada bulan Juni 1941 OSVB melakukan rapat tahunan seperti biasanya evaluasi kompetisi dan bertepatan dengan pemilihan pengurus baru. GB Josua yang hadir dalam rapat tahunan tersebut mewakili Sahata VC merasa selama ini seakan tidak diberi kesempatan bagi pribumi untuk menjadi Presiden. GB Josua melakukan protes dan memberi argumen yang realistik.

De Sumatra post, 14-06-1941: ‘Sejumlah kandidat telah diumumkan sebelum pemilihan. Kandidat non Belanda adalah Dr. Soedin dan Mr Joshua. Perwakilan Sahata dalam hal ini mengumumkan bahwa Mr Josua untuk menarik kembali. GB Josua harus meninggalkan pertemuan. Alasannya, tidak akan mungkin Indonesia menjadi presiden karena sudah diatur meski namanya pemilihan. Seperti biasanya Presiden adalah dari MSV. Padahal menurut GB Josua jumlah klub Indonesia lebih banyak di dalam kompetisi. Penjaringan calon dan pemilihan itu hanya akal-akalan saja. OSVB adalah federasi dan bukan MSV. Jangankan menjadi presiden, anggota dewan saja tidak ada wakil Indonesia’. Klub Sahata lalu mundur dari OSVB (De Sumatra post, 14-06-1941).

Inilah untuk kali kedua wakil pribumi protes keras terhadap pengurus bond yang notabene orang-orang Belanda. Pada tahun 1908 Tapanoeli VC juga pernah melakukan protes dan menarik diri dari kompetisi karena adanya ketidakadilan (kala itu nama bond adalah Deli Voetbal Bond yang dimotori oleh DSV). Kemudian muncul dua bond: klub-klub ETI membentuk bond OSVB dan klub-klub pribumi yang diorganisir oleh Dr. Radjamin Nasution mendirikan Deli Voetbal Bond (DVB). Kini, pada tahun 1941 terjadi lagi proses yang sama ketika penggabungan kompetisi dilakukan (OSVB dan DVB).

Serba kebetulan, Tapanoeli VC berafiliasi dengan surat kabar Pewarta Deli (lembaga pemberitaan) milik Dja Endar Moeda dan Sahata berafiliasi dengan Josua Instituut (lembaga pendidikan) milik GB Josua. Dja Endar Moeda dan GB Josua adalah anak Padang Sidempoean yang sama-sama menjadi guru. Guru ternyata berjuang dengan caranya sendiri. Di Jakarta, Parada Harahap pendiri Bataksch Voetbal Bond (dan kemudian menjadi Bataksch Voetbal Vereeniging) sudah sejak 1933 mendelagasikan kepengerusan kepada yang muda karena Parada Harahap sudah sangat sibuk dalam urusan politik yang besar (dimulai dengan manuver kunjungan ke Jepang tahun 1934 termasuk di dalam rombongan M. Hatta). Pada saat detik-detik berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia (pendudukan Jepang) di Medan dua bond yang sudah terpisah, GB Josua (DVB) mulai menjauh dari komunitas Belanda, sementara di Batavia, meski bond VIJ dan VBO tidak pernah disatukan (sejak awal, karena pendiriannya memang terpisah dengan alasan optimalisasi) justru hubungan keduanya kini makin mesra dan bahu membahu. Mungkin karena di VBO juga terdapat klub-klub pribumi seperti BVV (sebagai faktor perekat). Singakat kata: di satu level antara NIVU dan PSSI memiliki dinamika sendiri, di level lain: antara satu kota (bond) dengan kota lain memiliki dinamika sendiri-sendiri. Lain Medan, lain pula Jakarta.

Tunggu deskripsi lebih lanjut

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar